Key of Life

“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain.”  Hadits Rasulullah SAW itulah yang selalu membuat saya semangat untuk terus berbuat baik pada sesama. Begitu pun ketika memutuskan untuk bergabung menjadi relawan AAT, tepat pada tanggal 25 Agustus tahun lalu. Saat itulah saya memutuskan untuk mencurahkan tenaga dan pikiran saya untuk yayasan yang peduli pendidikan di Indonesia itu. Tidak terasa, dua tahun sudah saya menjadi bagian dari keluarga besar AAT. Ya, keluarga besar dengan semangat kepedulian yang tinggi. Begitu banyak pengalaman, ilmu, dan pelajaran-pelajaran berharga yang saya dapatkan. Tak ubahnya sebuah keluarga, saya mendapatkan curahan kasih dan perhatian dari saudara-saudara di AAT. Mereka selalu menawarkan tangan ketika saya membutuhkan pertolongan dan menawarkan bahu ketika sedang kesusahan. Padahal, niat pertama saya ketika bergabung bersama AAT adalah untuk menyumbangkan tenaga dan pikiran saya untuk membantu anak-anak yang kurang mampu. Karena saya tahu, saya adalah bagian dari mereka. Saya pernah merasakan apa yang mereka rasakan. Susahnya membayar uang sekolah, susahnya membeli buku-buku pelajaran, bahkan sampai susahnya membeli jajan ketika bel istirahat berbunyi. Saat di mana anak-anak bersorak untuk segera mengisi perut setelah mengikuti pelajaran. Memang, saya belum bisa membantu mereka secara finansial. Karena saat ini pun, saya masih dalam perjuangan. Berjuang untuk terus bisa mengenyam pendidikan. Namun, dengan segala kekurangan saya, saya masih ingin memberi manfaat bagi mereka. Melalui AAT, saya bisa berbagi sedikit tenaga dan pikiran saya untuk membantu pengelolaan beasiswa yang diberikan pada anak-anak sekolah dari tingkat SD, SMP, sampai SMA/SMK. Rasa syukur selalu saya ucapkan ketika tangan saya masih dibolehkan untuk membantu sesama. Lebih bersyukur lagi ketika saya mendapatkan kesempatan untuk bertemu langsung dengan anak asuh maupun calon anak asuh ketika survei dan wawancara. Survei dan wawancara langsung adalah salah satu prosedur penerimaan beasiswa AAT. Hal itu supaya donasi AAT tidak salah sasaran dan anak yang dibantu benar-benar anak yang membutuhkan.   AAT tidak pernah membedakan dalam membantu. Agama apapun, suku apapun, daerah manapun, jika memang membutuhkan pasti dibantu. Semua itu menginspirasi saya untuk terus peduli tanpa membeda-bedakan. Relawan, pengurus, maupun donatur AAT pun juga berasal dari berbagai agama, suku, dan daerah. Bahkan donaturnya juga ada yang berasal dari luar Indonesia. Semua bahu-membahu menyelamatkan pendidikan di Indonesia. Sungguh, saya bersyukur menjadi bagian dari mereka. Mereka telah mengajarkan kepada saya tentang kekuatan berbagi dan peduli. Sesungguhnya, semangat berbagi dan peduli sudah ditanamkan dalam diri saya sejak kecil. Kedua orang tua sayalah yang dengan sabar menanam dan merawat benih kepedulian dalam diri saya. Sejak saya kecil, orang tua saya selalu mengajarkan saya untuk mau berbagi, sekalipun kami dalam kekurangan. “Sekecil apapun rezeki, harus disisihkan untuk sesama.” Awalnya saya kesal. “Kita saja dalam kesusahan, kenapa masih harus berbagi?” pertanyaan dalam hati ini tidak pernah mendapatkan jawaban dari orang tua saya. Selama bertahun-tahun mereka mengajarkan kepada saya untuk terus berbagi. Bukan dengan kalimat-kalimat motivasi maupun kata-kata mutiara, namun dengan tindakan langsung tanpa memberitahu apa maksudnya. Dari mulai berbagi makanan, beras, air minum, pakaian, bahkan uang satu-satunya pun akan mereka berikan jika orang lain memang lebih membutuhkan. Semua itu mereka lakukan, mereka ajarkan kepada saya, sampai saat ini. Hingga suatu hari, tepat di tanggal 12 Juli 2014, saya menyaksikan sendiri. Seorang perempuan yang hanya bekerja sebagai pembantu rumah tangga dengan gaji sekitar Rp 400.000,00 per bulan, menyerahkan sebagian uangnya untuk empat orang nenek-nenek. Perempuan itu menyerahkan uang Rp 100.000,00 kepada salah satu nenek dan meminta nenek itu untuk membaginya dengan tiga nenek yang lain. Semua terjadi di depan mata saya. Saya melihat langsung sebuah pelajaran yang sangat berharga. Meskipun hidupnya berkekurangan, perempuan itu tidak pernah lelah untuk berbagi. Baginya, untuk bisa berbagi, tidak harus menunggu kaya dahulu. Sekarang, saat ini juga, kita bisa melakukannya. Dan saat itu, saya hanya bisa tersenyum bangga disela tetesan airmata. Karena perempuan itu adalah ibu saya. Perempuan yang selama ini mengajarkan saya untuk berbagi dan peduli. Mengajarkan saya untuk selalu menawarkan tangan untuk membantu sesama. Hingga saya pun menemukan jawaban atas kegundahan hati saya. “Hidup kita memang selayaknya untuk orang lain. Tangan kita, kaki kita, semua Tuhan ciptakan untuk menolong sesama. Menjadi manfaat, menjadi berkat, adalah kunci bahagia kita.”   Rike Kotikhah* Relawan AAT Sekretariat Madiun  *Rike Kotikhah adalah mahasiswa Universitas Katolik Widya Mandala Madiun angkatan 2011. Merupakan relawan AAT sekaligus salah satu anak asuh AAT tingkat perguruan tinggi.   [qrcode content=”https://aat.or.id/key-of-life” size=”175″]  

Key of Life Read More »

Bahagia itu Sederhana

NAMA saya Dian Mayasari. Saya biasa dipanggil Dian oleh teman-teman dan keluarga. Saya anak ketiga dari tiga bersaudara. saya mempunyai kakak perempuan (Theresia Chandra) dan kakak laki-laki (Yohan Setiawan Chandra). Kedua kakak saya sudah menikah dan mempunyai anak. Papah saya bernama Chandra Hasan dan mamah saya bernama Linawati. Papah saya bekerja sebagai buruh tidak tetap. Terkadang berjualan burung dara di pasar atau menjadi pelatih burung dara yang akan dilombakan. Penghasilan yang diperoleh memang tidak tetap, tergantung ada latihan ataupun perlombaan. Mamah bekerja sebagai penjahit kerudung burung, membuat tas kertas untuk acara tertentu, dan berjualan kacang yang dititipkan ke warung-warung di dekat rumah. Sebelumnya, saat saya kelas XII saya sempat bimbang dan bingung, harus melanjutkan pendidikan kuliah atau tidak karena tidak adanya biaya dan juga bingung harus mengambil jurusan apa dan kuliah di mana. Tapi saya optimis. Saya yakin dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang perkuliahan serta membahagiakan kedua orang tua saya. Saya sempat berpikir untuk tidak melanjutkan kuliah, namun mamah berkata, “Tamatan SMA sulit cari kerjanya.” Saya juga sudah mencari-cari di internet, kampus mana yang akan saya masuki dan juga mencari beasiswa agar tidak membebani kedua orang tua saya. Pada pertengahan Januari saya belum juga mendapatkan kampus untuk melanjutkan pendidikan dan juga jurusan apa yang harus saya ambil. Sampai pada akhirnya ada salah satu kampus di Semarang yang presentasi ke sekolah. Awalnya, saya tidak tertarik dengan jurusan tersebut karena nilai saya yang tidak begitu bagus. Namun, dalam brosur tersebut tertulis bahwa ada beasiswa kurang mampu dan dengan persyaratan nilai rapor harus bagus dan juga akan dicarikan beasiswa dari PT dengan syarat IP semester awal diatas 2,85. Saya masih bimbang, dan pada akhirnya saya bercerita dengan mamah dan beliau meyerahkan kembali keputusannya pada saya. Akhirnya, saya memutuskan untuk mencoba mendaftar. Ternyata tidak semudah yang saya bayangkan. Saya harus mengikuti wawancara terlebih dahulu. Setelah wawancara berlangsung, tinggal menunggu keputusan saja. Dan saya pun diterima di kampus tersebut. Tetapi, ternyata ada persyaratan lain, yaitu harus membayar Rp500.000,00 terlebih dahulu untuk mendapatkan almamater dan juga jas laboratorium. Sebelumnya, mamah kebingungan untuk mencari biaya tersebut, dan akhirnya mamah mendapatkan berkat dari Tuhan yang tidak terduga sehingga bisa membayar uang pendaftaran tersebut. Saya pun sudah menyelesaikan Ujian Nasional dan lulus dengan nilai yang cukup baik. Setelah itu, saya dan mamah pergi ke Semarang untuk membayar biaya pendaftaran dan juga untuk memperjelas tentang beasiswa saya. Di sana saya bertemu dengan petugas BAAK yang mencarikan beasiswa untuk saya. Namun, saya harus menunggu dan meninggalkan nomor telepon. Setelah beberapa hari, saya mendapatkan sms yang berisi saya didaftarkan masuk beasiswa Bidik Misi. Saya sangat senang sekali dan harus mengumpulkan persyaratan tersebut secepatnya. Akhirnya, saya mempersiapkan semua persyaratan yang dibutuhkan dan juga ke Semarang lagi untuk mengumpulkan persyaratan tersebut. Sesampainya di sana saya langsung menyerahkan persyaratan tersebut. Namun, saya kecewa karena saya tidak jadi mendaptkan beasiswa tersebut karena nilai teman saya jauh lebih tinggi dari saya. Saya sangat kecewa dan hampir berputus asa, namun pihak BAAK memberikan saya formulir tentang beasiswa baru lagi untuk diisi dan memenuhi persyaratan. Dan beasiswa itu adalah beasiswa AAT. Mengenal Anak Anak Terang (AAT) Awalnya, saya tidak tahu dan tidak mengerti apa itu AAT. Tetapi, setelah membaca formulir dan membuka website-nya saya sedikit mengerti. Saya harus ke Semarang lagi untuk memberikan persyaratan tersebut dan juga akan diberi penjelasan tentang AAT. Setelah pengumpulan persyaratan tersebut, ternyata saya harus menunggu beberapa hari terlebih dahulu dan juga datang kembali untuk mengikuti wawancara. Dan bersyukur saya lolos dan menjadi penerima beasiswa AAT. Tantangannya, IPK harus di atas 3,00. Saya senang sekaligus takut. Tapi saya yakin saya pasti bisa memberikan yang terbaik. Tanggal 18 Agustus 2014, saya masuk untuk mengikuti MOPD di salah satu kampus di Semarang. Setelah selesai mengikuti MOPD dan juga LDK, saya resmi menjadi mahasiswi di Akademi Kimia Industri Semarang (AKIN) dan tinggal di kos. Berbeda dari teman-teman lainnya, kos yang saya tempati cukup jauh dari kampus karena disuruh mamah dekat dengan rumah kakak yang di Semarang. Saya tidak tinggal bersama kakak, karena tempatnya kecil dan masih menumpang di rumah mertuanya. Saya ke kampus diantar oleh suami kakak saya, namun terkadang naik motor sendiri, atau berangkat bersama teman yang rumahnya dekat dengan kos. Semester satu ini saya dapat melewati dengan baik, meskipun jadwal perkuliahan yang sangat padat dengan tugas-tugas dan harus mengurus yang lain juga. Ada salah satu mata kuliah yang tidak saya suka, entah karena pelajarannya atau dosennya, yang pasti saat ada ulangan mata kuliah tersebut saya selalu mendapatkan nilai yang jelek. Setelah beberapa bulan mengikuti perkuliahan ujian akhir semester pun berlangsung, awalnya saya bisa mengerjakan dengan baik. Namun, setelah masuk pada hari di mana mata kuliah yang tidak saya sukai diujikan, saya menjadi takut jika nilai saya jelek. Nilaipun sudah keluar satu persatu dan saya sempat down karena nilai mata kuliah yang tidak saya sukai jelek. Saya takut kalau tidak bisa mendapatkan IPK 3,00 karena saya tidak tahu harus membayar uang semester satu dengan apa. Setelah semua nilai keluar, akhirnya IPK saya cukup memuaskan dan melebihi 3,00. Saya sangat bangga dan senang sekali. Bangga menjadi Anak Asuh sekaligus Relawan AAT Saya merasa bangga menjadi salah satu Anak Asuh AAT, karena tidak banyak orang yang bisa mendapatkan beasiswa AAT. Sebelumnya saya ingin berterima kasih kepada Ibu Lies Endjang, Ibu Meitasari, Om Christ Widya, Kak Santi Widya (Kak Can), Om Adhi, dan pengurus AAT lainnya. Banyak pengalaman yang saya dapat setelah bergabung bersama AAT. Saya mendapatkan keluarga baru dan dididik untuk menjadi lebih baik lagi. Saya juga mendapatkan teman baru, menjadi peduli terhadap sesama, dan merasa bahagia bisa membantu anak-anak yang membutuhkan bantuan. Pengalaman yang sangat menarik adalah ketika saya survei sekolah dan wawancara calon anak asuh yang mengajukan beasiswa. Saat saya perjalanan menuju ke tempat survei, saya dan teman-teman kesasar sampai jauh dan sudah ditunggu oleh anak-anak yang akan diwawancarai. Setelah selesai wawancara, saya dan teman-teman pulang. Namun, di tengah perjalanan pulang, hujan tiba-tiba turun dan kami harus mencari tempat berteduh untuk istirahat sebentar. Akhirnya, kami berteduh sebentar sambil makan. Di sini saya merasakan kebahagiaan yang luar biasa. Kami dapat berkumpul dan juga bercanda satu sama lain.

Bahagia itu Sederhana Read More »

It is Simple, It is so Beautifull

“Dengan kasih Tuhan, AAT peduli akan pendidikan anak-anak yang tidak mampu.” Sebaris kalimat itu tidak bisa dihilangkan dalam pikiran saya dan membuat saya hingga saat ini bertahan bersama AAT. Menjadi relawan sekaligus penerima beasiswa AAT adalah hal yang luar biasa untuk saya. Saya bangga menjadi bagian dari Anak-anak Terang. Perkenalkan, nama saya Tanti Kusumawati. Saya adalah seorang mahasiswi di Universitas Atma Jaya Yogyakarta Fakultas Ekonomi dan saya adalah bagian dari karya pelayanan Anak-Anak Terang. Perasaan haru selalu menyelimuti hati saya. Tidak jarang, setiap hari setetes air mata selalu menyelimuti wajah yang penuh pengharapan ini. Merasakan betapa bahagia mengenal dan menjadi bagian Anak-Anak Terang. Dengan AAT, saya bisa belajar banyak hal. Saya menjadi lebih sadar bahwa belajar itu bukan hanya dengan orang tua, bukan hanya dengan orang yang banyak gelar dinamanya, dan bukan hanya dengan motivator handal. Tiga Rantai Yang Tidak Terputuskan It is simple, it is so beautifull … Hanya di AAT hal seperti itu akan didapat. Kita belajar bersama orang yang usianya jauh di bawah kita. Kita belajar bersama orang yang usianya sama dengan kita dan kita belajar bersama orang yang usianya jauh di atas kita. Ini adalah tiga rantai yang tak terputuskan di AAT, rantai khas AAT. Mengapa? Belajar bersama orang yang usianya jauh di bawah kita, kadang membuat saya malu dan membuat saya kagum. Hal itu saya dapatkan saat kami, para relawan AAT datang ke sekolah-sekolah untuk melakukan survei dan wawancara anak asuh. Saat itu posisi kami adalah sebagai tokoh yang luar biasa untuk anak-anak SD, SMP, SMA/SMK, karena setahu mereka kami adalah pahlawan untuk mereka dan keluarganya (menurut cerita dari calon anak asuh). Tapi, saat wawancara berlangsung, saya merasa menjadi orang yang paling berdosa. Saat wawancara calon anak asuh, ada seorang anak asuh yang bercerita bahwa ia membawa uang saku Rp12.000,00. Untuk transportasi pulang pergi ke sekolah Rp10.000,00 dan harus berangkat setengah 6 pagi dari rumah untuk naik bus dan harus oper untuk bisa sampai ke sekolahan. Dan saat saya bertanya, dia hanya menjawab, “Bisa sekolah sudah luar biasa, Mbak. Tidak usah menuntut yang lain-lain yang penting setelah lulus nanti saya bisa kerja dan membantu orang tua.” Status dia saat itu adalah murid yang mendapatkan peringkat 1 di SMK Putra Nusantara Magelang. Saat itu saya hanya bisa diam, kagum mendengarnya, dan mata sudah mulai berkaca-kaca teringat kejadian semalam ketika menghubungi ibu untuk minta kenaikan uang saku dan mengeluh karena jalan kaki untuk pergi ke kampus. Yang jarak kos ke kampus hanya 17 menit jika di tempuh dengan jalan kaki. Dalam hati saya, “Oh Tuhan, maafkan saya…” Saya merasa sangat berdosa pada ibu. Saya mendapatkan pelajaran dari orang yang seusia ketika berinterkasi dengan teman-teman sesama anak asuh perguruan tinggi dan teman-teman relawan AAT. Kita memiliki kesibukan yang sama, yaitu sebagai mahasiswa dan sebagai relawan di AAT. Saya kagum ketika melihat seorang relawan yang tidak mendapatkan imbalan apapun di AAT dapat bekerja dengan penuh cinta dan pengorbanan. Tak jarang, mereka harus hujan-hujanan untuk pergi survei ke sekolah-sekolah, mengerjakan tugas-tugas AAT di sela kesibukannya sebagai seorang mahasiswa, menjalankan kewajibannya sebagai Pendamping Komunitas (PK) AAT di sela jam istirahat mereka, dan mempromosikan AAT ke sana ke mari supaya banyak donatur, serta menyisihkan uang saku untuk mengurangi biaya operasional AAT. Ya. Orang-orang hebat dapat saya kenal di sini. Meskipun kadang merasa lelah, tetapi relawan yang bukan anak asuh membangkitkan semangat saya. Yang seperti ini yang kadang membuat saya malu. Mereka yang tidak mendapatkan apa-apa saja bisa seperti ini, kenapa saya yang mendapatkan bantuan biaya kuliah dari AAT justru tidak bisa seperti mereka? Di AAT saya juga belajar bersama orang yang usianya jauh di atas kita. Untuk hal di sini saya mendapatkan pelajaran karena keberadaan donatur yang rela dan senang hati membantu kami, anak asuh AAT untuk tetap bisa sekolah. Walaupun donatur memiliki kesibukan dan kebutuhan hidup, tetapi tetap bisa membantu kami yang mungkin tidak beliau kenal. Bekerja pagi hingga malam menyisihkan uangnya untuk didonasikan ke Anak-anak Terang, supaya anak asuh AAT bisa tetap sekolah. Begitupun dengan semua pengurus yayasan AAT Indonesia yang luar biasa, yang membimbing kita para relawan, memberikan perhatian kepada kami anak asuh dengan rela mengorbankan waktu disela kesibukannya belajar dan bekerja hingga mengorbankan biaya untuk membuat kami senang. Mereka juga memberikan arahan serta memberikan motivasi yang membangun untuk kami para relawan Anak-anak Terang. Terima kasih adik, teman, romo, suster, bapak dan ibu yang menjadi bagian karya pelayanan Anak-Anak Terang yang telah membuat saya menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Saya bangga mengenal dan ada bersama kalian.   Tanti Kusumawati* Koordinator AAT Sekretariat Yogyakarta *Tanti merupakan mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Tanti adalah salah satu anak asuh AAT yang juga menjadi koordinator AAT Sekretariat Yogyakarta.   [qrcode content=”https://aat.or.id/its-simple-its-so-beautifull” size=”175″]  

It is Simple, It is so Beautifull Read More »

Akhirnya Mimpi Saya menjadi Nyata

NAMA SAYA Tiara Riszky Ananda, kelahiran Madiun 17 Maret 1993. Saya merupakan salah satu anak asuh Perguruan Tinggi AAT dari Universitas Katolik Widya Mandala Madiun yang baru saja lulus dan diwisuda. Saya bergabung dengan AAT dan dibantu para bapak/ibu donatur AAT sejak 24 Agustus 2013. Saat itu saya sedang belajar di Prodi Akuntansi Fakultas Ekonomi semester V. Sejak 24 Agustus 2013, saya juga dipercayai untuk menjadi Koordinator AAT Madiun selama satu periode, yaitu pada tahun 2013-2014. Bersama dengan teman-teman pendamping komunitas sekretariat AAT Madiun, kami mengelola sekretariat AAT Madiun dengan ratusan anak asuh yang tersebar di sekolah/komunitas Se-Eks Karesidenan Madiun. Dalam mengelola beasiswa, kami juga didampingi para pendamping rohani, yaitu Br. Yakobus CSA, Br. Alex CSA, dan Br. Neri CSA, serta Bapak Bernadus Widodo M.Pd. selaku penanggungjawab sekretariat AAT Madiun. Kemudian, pada tanggal 21 September 2014, saat Rapat Pengurus Yayasan AAT Indonesia, saya dipercayai kembali untuk menjadi Koordinator Nasional Relawan AAT untuk tahun ajaran 2014-2015. Mimpi saya untuk menyelesaikan pendidikan S1 Akuntansi sebelum waktunya, yaitu dengan 3,5 tahun adalah mimpi saya sejak awal masuk perkuliahan. Saya ingin segera meringankan beban kedua orang tua saya dan segera bekerja. Untuk mencapai keinginan saya itu, setiap semesternya saya berusaha untuk mendapatkan IPK di atas 3,00. Dengan begitu, saya bisa mengambil mata kuliah di atas tingkatan saya. Tidak hanya hardskill saja yang saya tekuni, tetapi di Widya Mandala Madiun saya juga belajar untuk melatih softskill saya. Dan pada 28 Februari 2015, doa saya terjawab. Saya berhasil menyelesaikan kuliah S1 saya dengan masa studi 3,5 tahun dan berhasil menyandang gelar Sarjana Ekonomi. Terimakasih kepada para sahabat AAT yang telah membantu biaya kuliah saya. Berkat bantuan dari Bapak/Ibu Donatur AAT, saya bisa melanjutkan dan menyelesaikan kuliah saya sebelum waktunya. Terima kasih untuk dukungan semangat dan doa yang telah diberikan para sahabat AAT. Terimakasih untuk pendampingan yang diberikan kepada saya selama ini. Terima kasih atas pengalaman dan kesempatan yang luar biasa yang telah diberikan kepada saya untuk menjadi salah satu Anak Asuh AAT, menjadi Pendamping Komunitas, menjadi Koordinator AAT Madiun, menjadi Koordinator Nasional Relawan AAT, dan menjadi bagian dari keluarga besar AAT. Untuk kedepannya, saya ingin menyisihkan sebagian penghasilan saya untuk membantu adik-adik asuh di AAT, sesuai dengan visi Beasiswa PT dari AAT, yaitu Pay it Forward! Harapan saya, makin banyak anak-anak SD, SMP, SMA/SMK, dan mahasiswa yang dapat dibantu oleh AAT. Untuk 46 Anak Asuh AAT tingkat perguruan tinggi yang lainnya, tetap semangat untuk menyelesaikan kuliah, ya. Kejar semua cita-cita yang kalian inginkan dan yakinlah semua akan bisa tercapai dengan kerja keras dan doa tentunya. Tangan Tuhan tidak akan bekerja jika tangan manusia tidak bekerja. Just do it and do your best! Terima kasih AAT.   Tiara Riszky Ananda Koordinator Relawan AAT Nasional   [qrcode content=”https://aat.or.id/akhirnya-mimpi-saya-menjadi-nyata” size=”175″]  

Akhirnya Mimpi Saya menjadi Nyata Read More »

Bersyukur Menjadi Bagian dari AAT

NAMA SAYA YENI PUSPITASARI. Saya biasanya akrab dipanggil Yeni. Saya lahir di kota Nganjuk, Jawa Timur pada tanggal 13 September 1993. Saya anak pertama dari dua bersaudara. Adik saya perempuan. Jarak usia kami terpaut cukup jauh, yakni 9 tahun. Orang tua saya bekerja sebagai buruh pabrik di Sidoarjo. Sejak kecil, saya diasuh dan dibesarkan oleh nenek di kota Madiun. Orang tua saya harus pergi karena pekerjaan. Saya diasuh oleh nenek, karena kedua orang tua harus bekerja dan saat itu tidak mampu membayar babysitter untuk mengasuh saya. Alhasil, saya diasuh dan dibesarkan di desa bersama nenek hingga sekarang ini. Adik saya tinggal bersama orang tua di Sidoarjo, sedangkan saya memilih untuk tetap tinggal di Madiun bersama nenek, karena nenek tinggal di rumah sendirian. Tidak sampai hati rasanya jika harus meninggalkan seorang nenek yang sudah merawat saya sejak kecil tinggal di rumah seorang diri. Masa Sekolah Memasuki usia sekolah, mulanya saya bersekolah di TK Dharma Wanita Ngadirejo. Saat itu saya baru berusia 5 tahun. Namun, nenek sudah memasukkan saya ke sekolah. Lalu, saya bersekolah di SDN Ngadirejo 02. Kebetulan TK dan SD berada dalam satu lokasi yang sama dan lokasi sekolah tidak terlalu jauh dengan tempat tinggal saya, kira-kira 15 menit jika ditempuh dengan jalan kaki. Kemudian, saya bersekolah di SMPN 1 Wonoasri. Jarak sekolah dengan rumah saya lumayan jauh, sekitar 5 km. Saat diumumkan kelulusan SMP dan dinyatakan lulus, saya mulai bimbang akan kemanakah saya melanjutkan sekolah. Saya benar-benar bingung antara SMA atau SMK. Saya berpikir, jika sekolah di SMA berarti harus kuliah, sedangkan biaya kuliah sangatlah mahal. Akhirnya, saya mendaftarkan diri ke sekolah swasta, yaitu SMK PGRI Wonoasri dan mengambil jurusan Akuntansi. Sekolah tersebut terletak di tengah kota Caruban. Jarak sekolah dan tempat tinggal saya sekitar 11 km. Untunglah saat itu saya ada teman untuk berangkat dan pulang sekolah, sehingga bisa sedikit meringankan biaya untuk membeli bensin. Seminggu sekali, kami bergantian untuk mengisi bensin. Waktu sekolah dulu, saya bersama sahabat saya pernah berjualan kacang bawang. Tiap pulang sekolah kami membuat kacang bawang dan besoknya kami titipkan ke warung-warung. Selain itu, saya juga berjualan pulsa untuk tambahan uang saku, karena jika mengandalkan uang saku dari orang tua sangatlah tidak cukup. Kelas XI saatnya melakukan Pendidikan Sistem Ganda (PSG). Saya bersama ketiga teman mencari tempat untuk melakukan praktek. Hingga akhirnya, kami berempat diterima PSG di PLN Madiun selama 2 bulan. Dalam waktu 2 bulan saya mendapatkan banyak sekali pengalaman, dari mengarsipan data, entri data tusbung, melayani pelanggan, dll. Masa SMA pun segera berakhir. Sambil menunggu ijazah keluar, saya mencoba melamar pekerjaan di sebuah toko pusat oleh-oleh yang berada di kawasan Madiun. Saya diterima di sana dan kontrak awal selama 3 bulan. Awalnya, saya merasa tidak sanggup bekerja selama 10 jam per hari, tapi saya berusaha memberi semangat pada diri saya bahwa saya pasti bisa. Satu bulan saya bekerja, ayah saya menyuruh saya untuk melanjutkan pendidikan lagi. Akhirnya, saya menyetujuinya dan ayah mengusahakan untuk mencarikan biaya pendaftaran. Saya pun konsultasi dengan guru BK SMK. Menurut beliau, kampus Widya Mandala (WIMA) Madiun adalah kampus yang cukup baik. Akhirnya, saya memutuskan untuk mendaftarkan diri di kampus UNIKA Widya Mandala Madiun dan mengambil program studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Kedua orangtua saya awalnya tidak setuju kalau saya kuliah di situ. Mereka ingin saya kuliah di perguruan tinggi lain yang ada di Madiun, tetapi saya tetap ingin kuliah di WIMA Madiun. Awal Mengenal AAT Jalan Tuhan memang indah. Jika saat itu saya ikut saran orangtua untuk kuliah di universitas lain, mungkin sekarang saya tidak akan mengenal AAT. Saya baru sadar mengapa saat itu saya bersikeras ingin kuliah di Wima, yaitu karena Tuhan punya rencana yang indah buat saya. Hingga akhirnya, saya bisa mengenal yayasan yang begitu hebat, Yayasan AAT Indonesia. Pagi itu, tanggal 26 Agustus 2013 adalah hari di mana saya pertama kali mengenal Anak-anak Terang (AAT). Awalnya, saya ke kampus hanya untuk mengerjakan tugas, tetapi mendengar bahwa ada sosialisasi beasiswa AAT, saya dan teman saya Mbak Rike tertarik untuk mengikuti sosialisasi mengenal beasiswa AAT. Sebelumnya, saya sudah mendengar ada pengajuan beasiswa dan mahasiswa yang lolos seleksi beasiswa tersebut akan menjadi staf administrasi dan tugasnya adalah mengurus beasiswa untuk anak SD, SMP, dan SMA. Saya tidak mengajukan beasiswa AAT, karena pada saat itu saya sudah mendapat beasiswa Bantuan Belajar Mahasiswa (BBM). Beberapa teman mengatakan bahwa tidak hanya yang penerima beasiswa AAT saja yang bisa mengurus beasiswa untuk SD, SMP, dan SMA, tetapi yang tidak menerima beasiswa AAT pun boleh membantu. Mendengar hal seperti itu saya tertarik untuk ikut bergabung menjadi relawan AAT. Saat memasuki ruangan tersebut, saya berkenalan dengan Mbak Chika dan Mbak Alma yang saat itu menjadi koordinator nasional. Saat Mbak Chika menanyakan apakah sudah membuka situs web AAT, saya jawab belum. Karena saat itu yang saya tahu beasiswa AAT memberikan beasiswa kepada SD, SMP, SMA, dan perguruan tinggi. Saya belum melangkah lebih jauh sampai membuka website-nya AAT. Setelah Mbak Alma, Mbak Chika, Pak Christ, dan Pak Hadi menjelaskan kepada semua audience yang hadir, saya baru paham apa itu Beasiswa AAT. Dari penjelasan mereka dan dari tanya jawab, saya semakin yakin untuk ikut bergabung menjadi relawan AAT, karena kegiatan di AAT sangat positif. Bersyukur Menjadi Bagian dari AAT Setelah resmi bergabung bersama AAT, saya mulai mendapatkan teman-teman baru yang awalnya belum saya kenal. Mereka semua baik dan kami saling bekerja sama, saling membantu, dan saling memberikan semangat. Menjadi staf administrasi AAT, saya belajar bagaimana input data anak asuh di SIANAS (Sistem informasi Anak Asuh), bagaimana mengirim bukti transfer dan kuitansi setiap bulannya kepada donatur, dan bagaimana mengirim rapor anak asuh untuk donatur.   Saat survei, saya mendapatkan pengalaman yang luar biasa. Pengalaman ini tidak pernah saya dapatkan sebelumnya. Ketika wawancara, saya mendengar cerita langsung dari calon anak asuh. Saya merasa sangat bersyukur atas kehidupan saya. Saya sadar, ternyata banyak sekali adik-adik di luar sana yang tidak seberuntung saya. Cerita dan perjuangan mereka semakin membuat saya bersyukur dan bersemangat untuk meraih cita-cita saya, untuk terus membantu sesama, dan terus melakukan yang terbaik untuk orang-orang disekeliling saya dan tentunya untuk AAT. Menjadi Anak Asuh AAT Tahun ajaran

Bersyukur Menjadi Bagian dari AAT Read More »

AAT Membawa Terang dalam Hidupku

SATU SETENGAH TAHUN aku berkecimpung di AAT. Berkat beasiswa AAT inilah aku bisa kuliah sampai sekarang. AAT yang telah membiayai kuliahku dari semester 3 kemarin. Dulu, sebelum aku dibiayai AAT, orang tuaku harus menggadaikan cengkeh dan menjual anak sapi yang didapat setelah bertahun-tahun memelihara induknya dari saudaraku. Dan sekarang, aku bersyukur sekali kuliahku sudah dibiayai AAT. Berkat AAT, beban ekonomi yang ditanggung oleh orangtuaku sudah tidak seberat dulu. Terkadang, orang tuaku menjual kayu atau pinjam ke saudara untuk biaya hidup sehari-hari, karena ibuku sudah tidak bekerja lagi. Sekarang, ibu hanya mengurusi sawah dan ladang bersama bapak, serta cari daun cengkeh dan rempah–rempah untuk dijual. Selama 1,5 tahun juga, aku ditunjuk sebagai bendahara AAT sekretariat Madiun. Jujur, tidaklah mudah menjadi seorang bendahara yang harus mengurusi uang. Bahkan, kalau sampai salah hitung, aku bisa pusing yang akhirnya terlambat untuk mengirim laporan ke pusat. Tapi semuanya kulakukan, karena tugas sebagai bendahara tidak seberat pengorbanan dari para pengurus yang rela meluangkan waktunya untuk AAT. Selain sebagai bendahara, aku juga sebagai salah satu tim public relations. Di sini aku banyak belajar mengenal orang yang tak dikenal, yang akhirnya menjadi kenal. Di tim ini aku bertugas posting di fanpage AAT sesuai jadwal masing-masing. Ketika melihat data anak asuh di SIANAS (Sistem Informasi Anak asuh) angkanya berkurang, saya merasa sangat senang, karena ada yang membantu mereka. Mereka dapat melanjutkan sekolahnya berkat para donatur yang baik hati. Rasa malas untuk posting terkadang datang menghinggap. Tapi perasaan itu segera hilang ketika ingat perjuangan para pengurus yang rela meluangkan waktu untuk posting setiap hari demi mencari donatur untuk adik-adik yang membutuhkan. Berkat AAT juga aku merasa lebih bersyukur. Saat rapat public relations 2014 lalu, sebelum pulang, aku, Mbak Rike, dan Mbak Tiara yang diantar oleh Om Adhi dan Pak Greg mampir ke Panti Asuhan Cacat Ganda Semarang. Di situlah seolah aku merasakan tamparan atas kurang syukurku selama ini yang selalu memandang ke atas. Rasa trenyuh, sedih, terharu, bercampur aduk menjadi satu. Di sana aku melihat banyak anak-anak yang dengan kondisi berkekurangan. Mereka tidak bisa melakukan aktivitasnya sendiri layaknya orang-orang normal pada umumnya. Mereka harus dibantu oleh para perawat. Sedangkan aku? Aku masih bisa melakukan semuanya sendiri. Aku membayangkan, bagaimana jika aku menjadi mereka? Apa aku bisa seperti sekarang ini? Semua itu membuat aku sangat merasa bersyukur atas pemberian Tuhan selama ini. Aku masih beruntung dibandingkan dengan mereka. Karena Tuhan masih memberikan indra yang lengkap untukku. Dulu, di awal menerima beasiswa AAT, jujur aku pernah berpikir untuk keluar atau mengundurkan diri. Kenapa? Karena aku takut. Aku bingung, karena saat itu langsung ditunjuk sebagai salah satu Pendamping Komunitas (PK) di SDK dan SMPK Santo Yusuf Madiun. Kenapa harus aku yang duluan? Apa aku bisa? Berhari-hari aku memikirkan hal itu. Aku tidak punya teman yang kenal saat pertama kali penerimaan beasiswa. Bahkan, sama Andika yang satu kelas saja aku tidak begitu akrab. Apalagi sama yang lainnya. Tapi akhirnya semua aku jalani saja. Ternyata, tidak seberat yang aku pikirkan. Sungguh pilihan yang bodoh kalau aku dulu benar-benar keluar dari AAT hanya karena hal sepele. Kemungkinan besar, tidak akan pernah ada yang berubah dalam hidupku. Bahkan, bisa jadi aku tidak akan operasi sampai aku tua. Dan di AAT, apa yang aku dapatkan? Banyak sekali. Pengalaman yang begitu berharga yang tidak aku dapatkan di luar AAT. Berawal dari “penculikan” tak terduga di Kaliurang bulan April kemarin yang membuat aku berani operasi, sampai pada perubahan-perubahan hidup yang saya alami sampai sekarang. Sesaat, aku jadi jera gara-gara operasi tahap dua. Tapi aku berpikir lagi, “Aku sudah melewati dua tahap, sayang sekali kalau aku harus berhenti sampai di sini. Aku harus melanjutkan operasi sampai terapi.” Dan akhirnya, aku memutuskan untuk operasi tahap ketiga. Bahkan, kalau ada tahap-tahap selanjutnya akan aku lakukan sampai hasil terbaik. Dulu, aku tidak sampai berpikir sampai sejauh ini. Semua itu berkat AAT. Bagiku, AAT adalah keluarga besar. Keluarga yang memberikan cinta dan kasih sayang yang luar biasa. Meskipun kami berasal dari berbagai agama, daerah, suku dan ras, namun aku benar-benar menemukan cinta yang begitu besar di AAT. Sebuah organisasi yang berhasil membuat diriku berubah. Di AAT juga aku bisa mengenal banyak orang. Banyak teman dari Purwokerto, Yogyakarta, Semarang, Bandung, Malang, Padang, dan Pontianak. Aku juga bersyukur, karena di AAT inilah aku bisa mengenal para pengurus dan sebagian donatur yang bergabung di AAT. Semuanya membuatku lebih bersemangat. Mereka adalah inspirasiku. Aku telah banyak belajar dari mereka. Begitu banyak pelajaran hidup yang bisa aku dapatkan di AAT. Terima kasih untuk semuanya. Terima kasih untuk donatur baik hati yang telah bersedia membayai kuliahku. Aku akan berusaha semaksimal mungkin untuk tidak mengecewakan beliau yang telah membiayai kuliahku. Semoga suatu saat ini aku bisa bertemu dengan beliau.Dan terimakasih juga untuk Pak Hadi, Pak Christ, Kak Can Santi Widya, Pak Marcel, Mami Can Lies Endjang, Om Adhi, Pak Greg, Bruder, dan semuanya atas pelajaran yang sangat berharga. Semuanya membuat perubahan dalam hidupku, sehingga menjadikan Emy yang sekarang. Yang sedikit demi sedikit mulai bermetamorfosis. Semua itu berkat orang-orang hebat yang aku kenal di AAT. Semua hal yang ada di AAT begitu memberi arti dalam hidupku. Memberi warna dalam setiap langkahku. AAT-lah pembawa terang dalam hidupku.   Emy Prihatin* Relawan AAT Sekretariat Madiun *Emy merupakan mahasiswa Program Studi Akuntansi Universitas Katolik Widya Mandala Madiun angkatan 2012. Emy adalah salah satu anak asuh AAT tingkat perguruan tinggi yang ditunujuk sebagai bendahara AAT sekretariat Madiun.   [qrcode content=”https://aat.or.id/aat-membawa-terang-dalam-hidupku” size=”175″]  

AAT Membawa Terang dalam Hidupku Read More »

Gerakan Kecil Bermakna Besar

PERKENALKAN nama saya Anggun Septin Kartika Wulan, biasa dipanggil Anggun. Saya tinggal bersama kedua orang tua, satu adik laki-laki dan satu nenek yang sedang sakit stroke di Giwangan Yogyakarta. Saat ini saya sedang menempuh pendidikan S1 di Program Studi Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Atma Jaya Yogyakarta dan telah memasuki semester VI. Saya mengenal Anak-Anak Terang (AAT) dari seorang teman. Waktu itu dia memberi tahu mengenai beasiswa kuliah dari AAT yang telah bekerja sama dengan Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Mengetahui hal itu, saya kemudian mencari tahu apa itu beasiswa AAT dan persyaratan-persyaratan untuk mengajukan beasiswa. Pada saat itu sedang liburan semester IV dan akan memasuki semester V. Singkat cerita, pengajuan beasiswa saya diterima walau sebenarnya saya belum begitu paham mengenai AAT itu sendiri. Awalnya saya mengira AAT itu hanya sekedar memberikan beasiswa saja tanpa ada hubungan lain setelahnya. Tapi ternyata saya salah. Di AAT, semua orang yang telah bergabung juga ikut terlibat dalam mengembangkan AAT atau bisa disebut setiap orang adalah roda bagi AAT. Awalnya terasa berat menjadi pengurus baru. Ya, mungkin karena belum terbiasa dengan sistem dan lingkungannya. Tugas wajib yang harus saya lakukan adalah piket, mengurus rapor anak asuh AAT tingkat sekolah, mengunggah dan mengirim kuitansi serta tanda terima beasiswa dari sekolah-sekolah yang telah dibantu oleh AAT. Suatu ketika, saya ikut survei mengunjungi anak-anak calon penerima beasiswa. Sekolahnya terletak di atas pegunungan di Purworejo. Beberapa kali kendaraan kami tidak kuat naik jalanan yang menanjak. Setelah melalui perjalanan yang panjang dan melelahkan, kami akhirnya sampai di sekolah yang dituju. Sekolah itu cukup kecil, sebuah SMP yang hanya terdiri atas tiga ruang kelas. Saya mengobrol dengan anak-anak tersebut. Dari mereka, saya mengetahui ternyata saya tidak ada apa-apanya dengan mereka dalam semangat belajar. Kebanyakan dari anak-anak tersebut harus berjalan kaki kurang lebih 2 kilometer untuk sampai di sekolah. Keadaan rumah mereka pun juga masih banyak yang beralaskan tanah dan dengan dinding kayu atau anyaman bambu. Bahkan, ada juga yang belum tersambung dengan jaringan listrik. Namun, tidak ada kesedihan dan rasa malas di wajah mereka untuk terus belajar. Saya menjadi malu karena kadang merasa berat melakukan tugas di AAT. Melalui mereka saya menjadi mengerti dan lebih bersemangat bergabung dengan AAT. Di AAT saya mendapatkan keluarga baru dan pengalaman baru. Tidak hanya cerita dari anak-anak tersebut, namun juga para pengurus yang rela mencurahkan pikiran, tenaga, materi dan hati mereka untuk anak-anak melalui AAT. Mereka semua mengajarkan pada saya untuk terus peduli pada sesama. Mereka juga mengajarkan untuk terus berbuat baik. Sekecil apapun tugas kita, harus dilakukan sebaik mungkin. Karena, setiap gerakan kecil kita di AAT sangat berarti besar untuk mereka, sang penerus bangsa. Terima kasih AAT.   Anggun Septin Kartika Wulan Relawan AAT Sekretariat Yogyakarta   Mahasiswa Program Studi Arsitektur Fakultas Teknik UAJY, Anak Asuh AAT Tingkat Perguruan Tinggi   [qrcode content=”https://aat.or.id/gerakan-kecil-bermakna-besar” size=”175″]  

Gerakan Kecil Bermakna Besar Read More »

Survei dan Wawancara SD Kanisius Ngawen

PAGI ITU, 15 November 2014 sekitar pukul 7.30, saya dan teman-teman menuju tempat survei, yaitu SD Kanisius Ngawen Wonosari. Sebenarnya pagi itu badan saya kurang bersahabat. Tetapi, saya tetap bersemangat dalam melaksanakan tugas untuk survei dan wawancara calon anak asuh AAT meskipun sesekali saya mengeluh, “Duh, jauhnya Wonosari”. Mengendarai motor selama 30 menit membuat saya merasa mengantuk karena badan yang tidak enak. Setelah pertigaan, kami pun belok ke arah kanan. Di sana terlihat tanjakan tinggi dan tajam. Mata yang tadinya mengantuk pun mendadak terang benderang karena kami sadar perjalanan akan sangat ekstrim dengan jalan yang berliku-liku. Sebelumnya, saya belum pernah melalui jalan seekstrim itu. Setelah melalui pegunungan kapur, kami pun bertanya kepada warga sekitar apakah betul jalan tersebut adalah jalan menuju sekolah yang akan kami survei. Ternyata benar. Ketika kami belok ke arah kanan, akhirnya kami sampai di sekolah. Padahal sebelumnya, saya merasa tidak yakin akan sampai ke sekolah. Hal itu karena waktu kami sampai di pertigaan sebelum sekolah, kami tidak melihat tanda-tanda kehidupan (maksudnya tidak melihat rumah-rumah). Setelah berjalan lagi, kami menemukan beberapa rumah di bukit kapur dan kami pun bertanya lagi dengan warga yang ada disekitaran situ dan jawabannya sama, “Benar, masih naik lagi, Mbak?” Kami hampir menyerah. Tapi akhirnya kami menemukan sekolah yang kami tuju juga. Luar biasa perjalanan yang kami tempuh.   Sesampainya di SD Kanisius Wonosari, kami disambut dengan pertunjukan drumband yang dimainkan oleh siswa-siswa SD Kanisius Wonosari. Kami merasa terharu dan bahagia atas penyambutan yang luar biasa itu. Rasa lelah pun seketika menghilang ketika melihat anak-anak memainkan drumband dengan lincah dan penuh bersemangat. Wawancara Waktu wawancara pun tiba. Saya mendapatkan jatah 2 siswa untuk diwawancarai. Yang pertama, saya mewawancarai Nabila. Nabila adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Ayahnya sehari-hari bekerja mencari burung dan hasil penjualannya burung itu untuk membeli kebutuhan makan serta susu untuk kedua adiknya yang kembar. Namun, pada musim hujan seperti ini ayahnya sulit sekali menangkap burung. Saya melihat kembali rapor Nabila. Nilainya di atas rata-rata. Saya mulai bertanya kepada Nabila. “Nabila rangking berapa?” “Rangking 3, Mbak.” Jawabnya singkat. Saya membalas lagi, “Rangking 3 dari berapa siswa?” “Dari 3, Mbak.” Saya terkejut dengan jawabannya, Nabila rangking 3 dari 3 siswa? Bagaimana ceritanya? Lalu, berapa siswa total keseluruhan siswa di sekolah ini jika kelas tiganya hanya 3 anak? Sebelum semuanya terjawab, saya pun melanjutkan wawancara dengan siswa lainnya. Namanya Lilo, nama yang lucu. Dia terlihat polos ketika saya mewawancarainya. Lilo menceritakan pekerjaan ayahnya sebagai buruh tani. Setelah itu saya bertanya kepada Lilo, “Lilo berangkat sekolah jam berapa? Diantar bapak nggak?” “Berangkat jam 6 pagi dari rumah, Mbak. Lilo berangkat sendiri,” jawabnya. Setelah mendengar jawaban Lilo saya terdiam sesaat dan bertanya kembali, “Lilo naik sepeda?” “Jalan kaki, Mbak.” Luar biasa sekali perjuangan Lilo. Diumurnya yang masih kecil, ia harus melewati gunung berkapur, jalan menanjak, dan jalan menurun demi bisa sekolah. Saya bertanya kembali kepada Lilo, “Lilo rumahnya jauh ya? Berapa lama sampai sekolahan?” “Sampai di sekolah setengah tujuh lebih, Mbak.” Saya begitu salut dengan semangat yang tinggi dan luar biasa dari seorang anak laki-laki yang mempunyai cita-cita sebagai guru ini. Mungkin orang lain di luar sana tidak mendapatkan pengalaman yang saya dapat ini. Ini adalah pelajaran yang sangat berharga untuk saya. Ternyata, masih ada orang di bawah saya yang lebih kesusahan. Semua ini membuat saya semakin bersyukur dengan apa yang saya miliki saat ini. Meskipun dalam kekurangan, saya lebih beruntung dibandingkan adik-adik di sana. Setelah selesai wawancara, saya dan teman-teman berkumpul di tempat yang sudah disediakan oleh sekolah tersebut. Saya melihat-lihat apa yang terletak di ruangan itu. Saya membaca total murid dari kelas I hingga kelas VI SD Kanisius Wonosari ternyata berjumlah 35 anak. Kelas III-nya hanya 3 anak saja. Saya tak henti-henti terpaku oleh keadaan yang ada. Sungguh jelas di depan mata dan sungguh jelas cerita kehidupan yang terjadi, bukan drama, bukan acting ataupun skenario. Ini benar-benar nyata. Perjalanan Pulang Survei dan wawancara pun selesai. Kami bergegas untuk kembali ke Yogyakarta. Tiba-tiba seorang guru menghampiri kami. “Mbak! Apabila turun ke bawah tolong bonceng tiga murid saya, ya. Rumahnya di bawah gunung berkapur.” Setiap harinya, tiga murid tersebut bergantung kepada salah satu guru yang memberikan tumpangan karena rumah mereka sangat jauh di lereng gunung. Pada saat membonceng dua siswa, saya bertanya pada salah satu dari mereka yang bernama Wanda. “Wanda kalau berangkat jam berapa?” “Tadi saya menunggu Bu Guru jam enam, tapi Bu Guru datangnya jam tujuh lebih.” kata-kata itu di ucapkan dalam bahasa jawa. Kemudian saya bertanya lagi, “Wanda kalau Bu Guru tidak menjemput bagaimana sekolahnya?” “Ya nggak sekolah, Mbak. Jalannya jauh.” Sungguh mulia sekali Guru itu. Demi siswanya, beliau rela menjemput mereka. Bagi saya ini adalah cerita yang tak bisa saya lupakan. Saya jadi lebih bersemangat lagi untuk menjalankan pendidikan yang saya tempuh dan kegiatan organisasi di Yayasan AAT Indonesia, serta lainnya. Mungkin bagi orang lain ini hanya sekedar cerita semata, namun bagi saya ini adalah pelajaran yang berharga dan tak pernah ternilai harganya.   Elisabeth Putri Krismawati Relawan AAT Sekretariat Yogyakarta.   [qrcode content=”https://aat.or.id/survei-dan-wawancara-sd-kanisius-ngawen” size=”175″]      

Survei dan Wawancara SD Kanisius Ngawen Read More »

Sketsa Indahku

NAMAKU VENA, lahir 1 Agustus 1995 sebagai anak pertama dari 2 bersaudara. Bak sebuah sinetron, hidup di keluarga “broken home” membuatku menjadi anak pendiam dan penyendiri, serta mudah emosi. Ayahku entah di mana, pergi dengan banyak wanita lain. Ibu yang terpaksa berhenti bekerja demi membesarkan kedua anaknya, memutuskan untuk pulang ke rumah orangtuanya. Sekarang, di rumah eyanglah aku tinggal. Biaya makan dan sekolah pun eyang yang menanggungnya dengan modal uang pensiunan almarhum kakekku. Ibuku selalu dipandang sebelah mata, makin diperparah oleh kelakuan ayahku yang tak berperasaan itu. Hidup dalam hinaan keluarga sendiri sangat membuatku dan adik tertekan. Tak jarang kami berdua menangis bersama. Meskipun adikku seorang laki-laki, tapi aku tahu dia begitu rapuh dan sangat membutuhkan figur seorang ayah. Karena ayah dan ibu menikah sebagai seorang Katolik, ibu selalu mencoba memaafkan dan bertahan demi aku dan adikku. Meskipun sakit rasanya melihat diam-diam ibuku menangis. Aku banyak belajar darinya yang begitu kuat menjalani hidup. Aku menjadi lebih kuat menghadapi semuanya, sesakit apapun itu. Karena aku tahu, tak ada yang lebih sakit seperti yang ibu rasakan. Ketika lulus SMA, aku tak bisa melanjutkan kuliah karena masih memiliki tunggakan uang sekolah yang membuat aku tak bisa mengambil ijazah maupun rapor. Namun, dengan alasan untuk mencari kerja, akupun diperbolehkan mendapat fotokopi legalisir rapor. Tanpa persiapan yang matang, aku pergi ke Bandung menerima tawaran saudara. Dua minggu sudah aku di sana. Tetapi, dua hari sebelum bekerja, tiba-tiba aku memutuskan untuk pulang ke Purwokerto. Itu semua karena aku merasa tidak nyaman di tempat saudara. Aku pun kembali ke Purwokerto dan mendaftar di STIKOM Yos Sudarso, tempat di mana aku pertama mengenal AAT. Semesta Mengirimnya Untukku Semester pertama, disitulah aku bergabung dengan AAT. Awalnya kupikir AAT adalah tempat untuk mengajar anak-anak seperti di dalam kelas. Ternyata tidak, di sini kami menjadi relawan atau staf administrasi untuk membantu para donatur menyalurkan donasinya kepada anak-anak melalui sekolah yang sudah bekerjasama dengan AAT. Awalnya memang berat, bahkan sempat berpikir untuk keluar karena teman-teman AAT disini tidak ramah. Hingga suatu hari, saya bertemu Mas Bani, Mbak Alma, dan Mas Dhika di sebuah acara. Mereka begitu ramah dan murah senyum kepadaku, meskipun baru pertama kali bertemu. Mereka ternyata juga relawan AAT. Saat itu, aku merasa seperti mendapat sengatan. Seketika itu juga aku ingin mengenal AAT lebih dalam dan ingin bertemu dengan relawan AAT dari kota lain. Sejak pertemuan itu, aku mencoba untuk lebih mengenal teman-teman AAT di kotaku. “Kalau mereka tidak ingin memulai, mengapa aku harus menunggu? Kalau aku bisa, mengapa tak kulakukan? Hanya menjadi sok kenal, kan? Pasti bisa!” pikirku. Semakin hari aku mulai memahami mereka. Selangkah demi selangkah kami menjadi akrab. Ditambah lagi jika sedang melakukan survei calon anak asuh, banyak pengalaman dan pelajaran yg kudapat. Selain menjadi lebih dekat dengan yang lain, aku jadi tahu banyak kisah calon anak asuh dengan perjuangan luar biasa mereka demi menjalani hidup. Mereka menyadarkanku bahwa di dunia ini bukan diri kita saja yang memiliki masalah. Salah bila kita menganggap diri kita paling menderita, menghakimi orang lain tak akan mengerti perasaan kita, atau bahkan sampai menyalahkan Tuhan. Apapun keadaannya, kita harus bersyukur dan tersenyum. Karena hal itulah yang akan menguatkan kita. Kemudian, pada Rekoleksi 2014 di Yogyakarta, aku bertemu banyak relawan dari berbagai kota. Mulai dari relawan AAT Yogyakarta sendiri, Semarang, Madiun, Pontianak, dan Padang. Hari pertama, ketika ada sharing yang dibagi menjadi beberapa kelompok. Aku melihat seseorang yang “mengalihkan duniaku”. Rasanya aku “jatuh cinta”! Maksudnya, dia terlihat begitu dewasa. Saat itu, ia menjadi koordinator kota Semarang. Ketika dia sharing dan memberikan solusinya untuk kami, aku melihatnya begitu tenang, dengan pembawaannya yang santai dan ramah. Semua itu membuat seakan-akan ia tak memikiki beban dipundaknya. Saat itulah aku kagum padanya. Dalam hatiku berkata, “Siapa dia? Superhero-kah?” Dengan senyum dan tawanya yang begitu lepas, ia tak terlihat terbebani. Padahal aku tahu pasti sangatlah pusing memikirkan ribuan anak asuh yang ada di Semarang, belum lagi jika ada masalah lain. Aku pun tersadar! Aku berjanji pada diriku sendiri bahwa aku tak mau kalah darinya! Dengan tanggung jawab besar yang dibawanya saja, ia dapat tertawa dan tersenyum. Mengapa aku tidak? Ya. Dialah inspiasiku… Mas Edo. Setelah itu, aku mulai lebih mengenal AAT, aku membaca banyak kisah relawan. Kisah mereka yang selalu mengingatkanku untuk terus tersenyum. Dalam lamunan, aku berkata pada diri sendiri, “Hahaha.. Mengapa aku harus larut dalam masalah? Ayahku yang tak tahu ada di mana, bagaimana keadaannya, dan dengan atau tanpa wanita lain. Setidaknya aku tahu, aku masih memiliki seorang ayah. Tidak bisa kubayangkan bagaimana parasaanku bila tidak memiliki ayah. Aku hanya ingin dia tahu, aku memaafkannya, dan aku akan selalu menyayanginya. Terima kasih. Karena ayah, aku ada di sini. Aku bisa bertemu orang-orang hebat. Aku bisa memiliki mas-mas “strong” -ku, Mas Edo, Mas Sindhu, Mas Billy, Mas Tyok, dan semuanya yang sangat berharga dihidupku. “If there are no ups dan downs in your life, it means you are dead.” Menemukan atau Ditemukan? Jiwaku Semarang, 25 Januari 2015, hari ke-2 Rapat Nasional AAT. Ini adalah kali pertama aku mengikuti Rapat Nasional AAT sebagai perwakilan Divisi “Public Relations”. At least, banyak yg dibicarakan dalam rapat, mulai dari evaluasi sampai program kerja selanjutnya.   Pada sesi terakhir di hari kedua ini, para pengurus sharing pengalaman mereka. Suasana mengharu biru. Bu Meita dengan perjuangannya yang luar biasa, Abang Incon dan Om Marcel dengan kisahnya yang menginspirasi. Kata mereka, “Jika kamu harus membaca 3 atau bahkan 30 kali untuk bisa memahaminya, lakukan! You must try hard! Semua tak akan sia-sia.” Mas Christ, Sekretaris AAT, ia adalah nspirasiku, kekuatanku. Ia dan KakCan Santi Widya istrinya adalah penyemangatku. Senyum mereka membuatku tenang dan menguatkanku menjalani hidup. Mereka selalu kuidolakan. Hari ini mendengar sharing Mas Christ dengan matanya yang berkaca-kaca, aku tak bisa berhenti meneteskan airmata. Begitupun uncle-ku tersayang, Om Adhi “SikuAAT” yang selalu setia menjaga, melindungi, dan menyayangi keponakan-keponakannya. Airmataku pun mengalir deras ketika ia katakan bahwa kamilah para relawan yg menginspirasi mereka. Dalam diam dan terus memperhatikan, aku berkata, “Siapakah aku? Menjadi inspirasi orang-orang hebat ini? Merekalah inspirasiku, kekuatanku. Mereka adalah bintang-bintang yang datang menghiasi langit gelapku. Mereka adalah terang yang selalu

Sketsa Indahku Read More »

Wisuda Sarjana Anak Asuh AAT

Selamat dan sukses kepada Anak Asuh AAT yang telah diwisuda pada Wisuda Sarjana Universitas Atma Jaya Yogyakarta Periode IV Tahun Akademik 2013/2014, 30 Agustus 2014. Sdr. Fransiska Mulyani, Lulusan Terbaik, dengan Predikat Cum Laude, Program Studi Teknik Industri, Angkatan 2010, IPK : 3.97. Sdr. Maria Claudia Alma, Lulus dengan Predikat Sangat Memuaskan, Program Studi Akuntansi, Angkatan 2010, IPK : 3.44. Predikat Cum Laude diberikan jika IPK antara 3.51 – 4.00 dengan masa studi maksimal 5 tahun, dan tidak ada mata kuliah dengan nilai kurang dari B. Fransiska Mulyani dan Maria Claudia Alma adalah 2 anak dari 50 anak asuh AAT tingkat perguruan tinggi. AAT memiliki anak asuh mahasiswa yang tersebar di berbagai perguruan tinggi Indonesia. Mari Berpartisipasi Bagi para sahabat AAT yang belum memiliki anak asuh, kami mengajak untuk menjadi orangtua asuh bagi para mahasiswa yang menjadi staff administrasi AAT. Mereka merupakan pelaksana operasional dan lapangan dalam pengelolaan beasiswa AAT untuk 2.833 anak asuh di seluruh Indonesia. Untuk Beasiswa Perguruan Tinggi, AAT menggunakan sistem gotong-royong, dimana satu anak asuh dibantu beramai-ramai. Mengingat besarnya biaya pendidikan perguruan tinggi, tentu saja jika biaya tersebut harus ditanggung oleh satu orang akan berat sekali. Komitmen donasi cukup minimal Rp100.000 per bulan, jika mampu bisa lebih. Bagaimana caranya? Cukup sederhana : Login ke SIANAS ( http://sianas.aat.or.id ) dengan username dan password milik bapak/ibu >> pilih menu Donasi >> Pendaftaran Donasi >> isikan besarnya donasi yang dikehendaki >> scroll ke bawah >> Pilih Proses >> Setuju >> Selesai. Selanjutnya tinggal menunggu konfirmasi dari Staff Admin. Bila sudah terdaftar sebagai orangtua asuh mahasiswa, bapak/ibu bisa mengakses data-data serta perkembangan studi anak asuh mahasiswa yang dibantu. Jadi tunggu apa lagi? Segera login ke SIANAS, pilih donasi yang sesuai dengan keinginan bapak/ibu. Setiap uluran kasih yang kita berikan, membuat anak-anak kurang mampu dapat terus mengenyam pendidikan. Terima kasih.   [qrcode content=”https://aat.or.id/wisuda-sarjana-anak-asuh-aat” size=”175″]  

Wisuda Sarjana Anak Asuh AAT Read More »