Aster, Bunga yang Bersemi dalam Terang

Nama saya Asteria Semi, akrab dipanggil Semi. Saya berasal dari Kalimantan Barat tepatnya kota Ngabang, Kabupaten Landak, Dusun Pagung Nahaya, Desa Amboyo Selatan. Saya anak ke-4 dari 7 bersaudara. Saya berasal dari keluarga yang sederhana. Orang tua saya tidak berpendidikan bahkan SD pun tidak tamat. Setiap hari mereka bekerja sebagai petani biasa dan dengan pendapatan yang pas-pasan. Terkadang untuk kebutuhan sehari-hari pun tidak cukup. Dari kecil saya sudah biasa hidup serba kekurangan. Terlambat Mengenyam Pendidikan Sekolah Dasar Ketika umur sudah beranjak besar 7 tahun, barulah saya bisa menduduki bangku sekolah dasar. Sekolah sambil bekerja di tempat orang lain saya lakukan agar bisa mengenyam pendidikan. Semua saya syukuri. Dengan begitu saya bisa sekolah dan sedikit meringankan beban kedua orang tua. Setamat SD, perasaan bingung mulai mengusik. Saat itu dalam pikiran ada dua pilihan, lanjut sekolah ke SMP atau tidak. Di dalam hati, saya ingin sekali lanjut. Namun, kembali lagi melihat keadaan keluarga yang sangat memprihatinkan, orang tua sudah tua dan ditambah sering sakit-sakitan, membuat niat yang tadinya menggelora perlahan-lahan surut. Saya tidak tahu akan nasib saya saat itu. Bapak yang selalu menemani saya dalam urusan sekolah pun ikut terdiam membayangkan nasib saya nanti. Beliau merasa sedih melihat saya yang sudah pasrah dengan keadaan. Itulah jiwa orang tua yang begitu bersemangat memikirkan masa depan anak-anaknya. Maka pada saat itu bapak memberanikan diri mengajak saya ke pasar dan mengantar saya ke sebuah asrama susteran tempat yang sebelumnya tidak pernah saya jumpai. Bapak mencoba bertanya kepada seorang suster yang pada saat itu menjadi pembina asrama putri. Puji Tuhan saat itu saya dan bapak pun disambut dengan baik dan mendapatkan jawaban baik pula. Saya diterima tinggal di asrama dan sekolah di situ dengan syarat saya harus bekerja dengan suster selama saya sekolah. Rasa bangga dan bahagia tidak dapat saya sembunyikan. Semua saya jalani dengan sepenuh hati. Tentunya tidak pernah lupa akan kuasa Tuhan untuk semuanya. Fase Sekolah Menengah Atas Tamat SMP saya melanjutakan pendidikan di SMK. Semua kegiatan serta tanggung jawab pun tetap saya jalani setiap harinya hingga tamat SMK. Mulai saat itulah terulang lagi semua perasan bimbang, gelisah, sedih yang mengusik pikiran. Tak tertahan air mata pun tertumpah. Saya hanya bisa terdiam karena di dalam hati saya tidak akan mungkin bisa melanjutkan pendidikan sampai ke perguruan tinggi. Biaya kuliah tidaklah sedikit dan saat itu saya hanya memiliki uang Rp. 200 ribu. Dalam hati saya berkata, “Tuhan, mampukan saya untuk hadapi ini semua”. Saat itu saya benar-benar tidak tahu berbuat apa-apa. Saya sangat ingin melanjutkan pendidikan, namun saya tidak mau egois. Hingga tiba saatnya pembagian amplop kelulusan dan saya dinyatakan lulus dari SMK dengan nilai yang sangat memuaskan. Saya belum mendapatkan jawaban atas kegelisahan saya. Ketika semua sudah berlalu dan saya terlepas dari bangku sekolah, saya mulai termenung memikirkan apa yang harus saya lakukan agar bisa melanjutkan pendidikan. Saat itu usaha yang saya lakukan adalah berusaha mengumpulkan uang sedikit demi sedikit dengan bekerja di toko swalayan, dan mencoba mengikuti program beasiswa bidik misi di Universitas Tanjungpura Pontianak, Kalimantan Barat. Semua persyaratan serta prosedur saya lakukan dengan baik. Setelah mendengarkan pengumuman hasilnya ternyata saya tidak lulus. Seketika itu saya merasa kecewa dan hampir putus asa. Tak henti-hentinya saya berdoa supaya Tuhan memberikan jalan agar bisa melanjutkan pendidikan. Batas akhir pendaftaran mahasiswa baru dan waktu liburan anak-anak sekolah pun akan berakhir. Saya semakin gelisah. Saya coba memberanikan diri bertanya kepada kedua orang tua apakah saya masih bisa melanjutkan pendidikan atau tidak. Jawaban mereka pada saat itu, bapak dan ibu sangat ingin sekali saya melanjutkan pendidikan tetapi biayanya tidak ada. Jika saya mampu menahan diri dan siap hidup sederhana maka bapak ibu akan usahakan. Dengan bersemangat saya menjawab saya mau hidup apa adanya asal bisa melanjutkan pendidikan. Di dalam keluarga, hanya saya yang melanjutkan pendidikan sampai ke perguruan tinggi. Mendengar penuturan kedua orang tua, saya pun mulai cerita bahwa kuliah di luar pulau itu biaya hidup murah sehingga saya bisa menghemat pengeluaran. Itulah alasan satu-satunya yang saya tuturkan. Kedua orang tua saya pun setuju dan mengijinkan saya untuk kuliah di luar pulau. Maka, pada saat itu tepat tanggal 29 Agustus 2012 saya berangkat dari rumah dan merantau ke pulau seberang untuk menimba ilmu. Sebuah Langkah Besar dalam Hidup Universitas Katolik Widya Mandala Madiun tempat saya menggali ilmu hingga sampai saat ini. Awal masuk perkuliahan, biaya kuliah masih aman. Kuliah pun sangat bersemangat dan selalu mendapatkan nilai terbaik. Memasuki semester kedua biaya kuliah mulai bermasalah, tetapi saya tetap menunjukan yang terbaik dengan kuliah bersungguh-sungguh. Akhirnya saya pun selalu dispensasi alias menunggak. Bukan hanya uang kuliah yang bermasalah, tetapi uang makan pun begitu juga. Saat itu saya juga termasuk baru di kota Madiun. Bingung mencari jalan keluar. Sempat terlintas di pikiran bahwa saya tidak akan mungkin memaksa orang tua saya untuk saya melanjutkan pendidikan ini. Perasaan sedih selalu menghantui. Saya selalu berdoa kepada Tuhan agar diberikan jalan yang terbaik. Saat itu liburan semester pun berakhir dan perkuliahan pun akan segera dimulai. Tepatnya saya akan menginjak semester dua. Saat itulah dosen saya Bu Rustiati, M.Hum. memberikan saran agar saya mendaftar sebagai calon penerima Beasiswa AAT. Sejak saat itu saya mencoba mulai mengenal AAT. Dengan bersemangat saya mengikuti prosedur dan melengkapi persyaratan yang telah ditentukan. Semua saya ikuti dengan sepenuh hati. Puji Tuhan saat itu nama sayalah yang pertama kali disebut sebagai penerima beasiswa AAT. Luar biasa bahagia saya rasakan. Begitu juga dengan keluarga yang ada di Kalimantan, karena berkat AAT saya masih ada kesempatan untuk melanjutkan kuliah. Saya merasa terharu dan tidak percaya akan semua itu. Terlebih lagi saat melihat kedua orang tua saya tersenyum bahagia ketika tahu saya mendapatkan beasiswa AAT. Tak henti-henti saya bersyukur kepada Tuhan dengan Rahmat dan Nikmat yang diberikan-Nya.   Di samping dapat meringankan beban kedua orang tua, di AAT saya juga mendapatkan berbagai pengalaman yang sangat berharga. Misalnya dari wawancara dengan calon anak asuh yang bermacam-macam ceritanya. Sangat banyak pengalaman ketika kunjungan dan wawancara yang tidak mungkin saya ceritakan satu per satu. Pengalaman pertama adalah kunjungan ke sekolah SMPK Santo Bernadus. Awalnya saya bingung, bahkan saya kerapkali melamun akan semua ini. Semua seakan seperti

Aster, Bunga yang Bersemi dalam Terang Read More »

AAT Bagaikan Lemon Tea

AAT, keluarga yang hebat yang pernah saya miliki. Saya dapat merasakan tiga rasa sekaligus. Pahit, asam, dan manis, seperti lemon tea. Kalian suka yang happy ending atau sad ending? Kalau pilih yang happy ending, maka yang pahit di depan, sedangkan manis di belakang. Tapi, jika suka yang sad ending, manisnya di depan, namun pahitnya di belakang. Karena saya tidak suka yang sad ending, jadi saya ceritakan yang tidak menyenangkan dulu ya. Yang pahit-pahit dahulu, baru yang menyenangkan. Selamat menikmati. Awal di AAT Seperti kebanyakan orang, adaptasi adalah hal yang tersulit dilakukan, ketika kita berada di tempat yang benar-benar baru. Itulah yang saya rasakan ketika pertama bergabung di AAT. Awalnya, saya merasa kesulitan beradaptasi dengan teman-teman baru. Terlebih di sekretariat Semarang, yang di dalamnya terdapat Mas Christ, Mami Lies, dan Bruder Konrad, CSA, yang terkenal galak dan suka memarahi relawan yang tidak aktif. Hal ini jelas membuat saya pribadi merasa takut. Dengan beban sebagai relawan yang harus tiap bulan mengirimkan tanda bukti penerimaan beasiswa dan kuitansi ke donatur, serta mengirimkan tabel kebutuhan pada tim keuangan AAT. Selain itu, tiap semester harus mengirimkan raport, menerima proposal pengajuan beasiswa, dan melakukan wawancara calon anak asuh. Dan pasti harus mencari donatur juga. Shock. Mungkin itu yang saya rasakan. Karena belum apa-apa, tugasnya sudah banyak sekali dan sepertinya berat. Pesimis juga menyelimuti hati saya. Apakah saya bisa melaksanakan tugas yang cukup banyak ini? Gelisah, tentulah. Karena pasti takut “dimarahi” oleh Mas Christ dan Mami Lies jika tugas tersebut tidak terlaksana dengan baik. Beberapa bulan di AAT, saya ditunjuk untuk membantu sekretariat pusat di bagian pengelolaan SIANAS (Sistem Informasi Anak Asuh). Senang? Pastinya. Bisa bertemu dengan banyak teman lagi. Tapi, ternyata tugas yang dijalani tidak kalah beratnya, harus sering online di depan laptop atau komputer. Setiap saat harus siap untuk mengonfirmasi donatur yang baru masuk, melelang anak asuh yang sangat banyak, dan mengecek data anak asuh, apakah ada kesalahan atau tidak. Pernah juga merasakan penat yang sangat mendalam. Saya merasakan dalam tim ini, sedikit sekali orang yang bekerja atau yang aktif bekerja. Terkadang, saya juga sebal dengan beberapa tingkah sesama relawan. Di saat saya masih bingung dan pusing, masih saja ada teman yang mengajak bercanda. Selalu ada yang usil. Namun, terkadang saya merindukan saat-saat kebersamaan itu. Satu Kata yang Tepat, Pahami! Setelah saya banyak berpikir di kamar mandi, akhirnya saya mulai memahami. Sebetulnya, yang diungkapkan oleh Mas Christ dan Mami Lies saat “memarahi” kami adalah sebuah saran. Supaya kita bisa lebih baik lagi. Namun, karena salah tanggap, saya mengiranya itu adalah luapan emosi semata. Setelah sering berbincang dengan Mas Christ dan Mami Lies, saya baru benar-benar menyadarinya. Mereka tidaklah galak seperti yang pernah diungkapkan para relawan senior Sekretariat Semarang. Untuk tugas pengelolaan SIANAS, awalnya saya menganggapnya terlalu berat. Namun, setelah menjalaninya, beban itu terasa hilang. Tergantikan oleh rasa senang, karena melihat adik-adik yang memang membutuhkan bantuan, bisa mendapatkan donatur yang baik hati. Tidak bisa dipungkiri juga, hal itu berkat bantuan teman-teman yang sering share informasi AAT, baik lewat media sosial, email, dan sms. Terima kasih atas bantuan teman-teman, yang membuat semua anak asuh yang diterima semester ini, tahun ajaran 2013/2014, bisa mendapatkan orangtua asuh semua. Saya senang bisa melihat orang lain juga senang. Saya tidak ingin, apa yang terjadi pada saya dan keluarga saya, terjadi juga pada orang lain. Dikucilkan di lingkungan sendiri, karena keluarga yang tidak mampu, tidak dianggap ada oleh teman, dan tidak dipercaya oleh orang lain. Sering diremehkan, itu adalah hal yang paling biasa saya dapatkan, ketika saya kecil dan itu masih ada sampai sekarang. Ya, mungkin ini yang membuat saya malas kembali ke kota asal saya, Madiun. Dan salah satu cita-cita saya, pindah bersama keluarga saya dari Madiun, menuju tempat yang lebih baik lagi. Berusaha menjadi orang yang dipercaya, itulah yang saya lakukan sekarang. Saya ingin, selama saya masuk AAT, saya dianggap “ada”. Saya ingin sesuatu yang lebih berwarna dan berasa di AAT, seperti lemon tea. Mungkin inilah yang menjadi alasan, mengapa ketika saya diminta mengerjakan tugas, saya berusaha melaksanakannya, meski saat itu ada pekerjaan lain. Saya percaya, saya bisa membagi pikiran dan dapat menyelesaikan semua pekerjaan yang diberikan. Meskipun keteteran, tidak apa-apa, setidaknya saya sudah berusaha. Terkadang, saya juga sering dinasehati atau istilahnya diwejangi sama Mas Bani. “Kamu harus pintar-pintar membagi waktu, karena ini tugas tim, Bar”. Itulah salah satu wejangan Mas Bani yang masih saya ingat sampai sekarang. Tapi, karena saya dasarnya keras kepala dan bandel, saya jarang mengikuti sarannya itu. Manisnya Lemon Tea Saat pahit sudah dirasakan, ditambah asamnya, sekarang giliran manisnya. Banyak cinta yang saya dapatkan di sini. Cinta ibu pada anaknya, yang ditunjukkan Mami Lies, cinta bapak pada anaknya, yang dilakukan oleh Pak Hadi, cinta kakak pada adiknya, seperti yang sering Mas Christ, Mbak Santi, Mas Bani, Mbak Nisa dan Mbak Alma. Cinta sesama teman, sering ditunjukkan oleh Mas Edo, Mas Billy, Mas Tyo, Mas Sindhu, Rike (harusnya saya panggil mbak), Mas Handy, dan teman-teman lainnya yang tidak mungkin saya tulis semua di sini. Cinta kepada adik-adiknya, yang sering ditunjukkan para relawan, yang tidak mengenal siang ataupun malam, tetap berusaha untuk mendapatkan donatur dan berusaha agar adik-adiknya bisa terus melanjutkan pendidikannya. Masih banyak jenis cinta lainnya di AAT yang tidak dapat diungkapkan oleh kata-kata. Berbagai pengalaman saya dapatkan. Dari pelatihan menulis yang diberikah oleh tim Rumah Media, pelatihan bagaimana menjadi pribadi yang lebih baik, dan bagaimana kita bisa percaya dengan kemampuan yang kita miliki. Bertemu orang-orang yang hebat pada bidangnya dan bisa berbagi pengalaman saat survei ataupun saat pengenalan AAT. Mendapatkan teman yang baru, itulah yang saya sukai. Semakin banyak teman baru yang bergabung di AAT. Bisa berbagi satu sama lain, tanpa harus canggung. Tanpa harus melihat apakah kita berbeda ras, agama, dan umur. “Perbedaan tidak untuk dibandingkan, akan tetapi untuk disatukan”. Dan dengan AAT, semuanya terkumpul di sini. Yang tak kenal pun menjadi akrab, apalagi yang sudah kenal, tambah akrab lagi. Saya sangat senang menjadi bagian dari keluarga besar AAT. Saya senang minum lemon tea. Jadi saya ibaratkan AAT seperti lemon tea, yang di dalamnya terdapat rasa pahit, asam, dan manis. Tercampur jadi satu, menghasilkan

AAT Bagaikan Lemon Tea Read More »

Kulakukan yang Terbaik untuk AAT

Saya, Yosefin Andita Putri, biasa dipanggil Yosi (di rumah) atau Yosefin (di luar rumah). Saya anak bungsu dari 2 bersaudara. Tinggal di sebuah kecamatan bernama Gombong. Saya tinggal bersama papah (bapak), emak (nenek), dan ooh (kakak). Mamah (ibu) sudah meninggal dunia karena tumor otak ketika saya berumur 1 tahun 3 bulan. Penyakitnya baru diketahui setelah melahirkan saya. Sehingga, dari kecil saya tidak pernah merasakan kasih sayang seorang mamah dan tidak tahu bagaimana wajah mamah. Saya hanya dapat mengingat dan melihat mamah dari foto-fotonya saja. Tidak Ada Kata Berhenti untuk Belajar Hidup kami sekeluarga jauh dari kata cukup. Gaji papah Rp. 700.000,- per bulan. Dari TK, saya tergolong anak yang kurang pandai dalam mengingat. Di SD, saya mulai bisa mengikuti pelajaran dengan baik. Di SMP, kemampuan belajar saya mulai meningkat, tetapi harus belajar mati-matian untuk mengejar ketertinggalan dari teman-teman. Di SMA, saya mulai benar-benar bisa mengikuti pelajaran. Kelas X saya mendapat peringkat ke-7, kelas XI saya mendapat peringkat ke-6, dan kelas XII saya mendapat peringkat ke-7 lagi. Nilai saya memang pas-pasan, tetapi saya tidak akan berhenti belajar. Itu semua juga berkat bantuan dari Gereja yang membiayai setengah dari uang sekolah saya sejak SD. Saya juga mendapat bantuan dari donatur di luar Gereja. Pertolongan Tuhan tidak pernah berhenti untuk saya. Saya aktif mengikuti kegiatan ekstrakurikuler di SMA. Saya senang membantu teman-teman, juga guru-guru yang membutuhkan bantun saya. Jiwa ingin menolong saya semakin tumbuh saat SMA. Saya Ingin Kuliah Saat ujian sekolah, saya begitu takut dan cemas. Hingga orang tua saya berusaha mengumpulkan uang lebih untuk membiayai les dan selalu berdoa khusus untuk saya. Pihak sekolah mengajukan saya untuk mengikuti wawancara beasiswa dari OKE Peduli Bangsa bagi anak-anak yang mau berkuliah. Tetapi, saya masih belum punya rencana untuk kuliah karena ketidakmampuan orang tua. Sementara itu, ooh bisa kuliah dengan bantuan saudara saya dan mendapat beasiswa setelah masuk kuliah. Menyadari hal itu, saya jadi ingin kuliah. Akhirnya, dengan rasa takut, saya tetap mengikuti wawancara beasiswa itu. Suatu hari, ada promosi dari kampus STIKOM Yos Sudarso. Sebelum itu, saya sudah disarankan oleh Romo Dimas Danang AW atau Romo Danang untuk kuliah di STIKOM. Saat mahasiswa STIKOM dan pendampingnya memberikan penjelasan, saya benar-benar tertarik masuk STIKOM. Meskipun saya tidak paham dan pandai dalam bidang Sistem Informasi, saya tidak ingin pendidikan saya berhenti di sini. Saya ingin kuliah. Saya ingin terus belajar. Sebelum pengumuman kelulusan SMA, saya memutuskan bekerja di toko aksesoris yang direkomendasikan oleh saudara yang bekerja di sana. Sembari menunggu pengumuman dan sambil mendaftar di STIKOM, saya berusaha mencari uang untuk uang tambahan saku dan biaya masuk STIKOM. Selama 4 bulan, saya bekerja di sana. Selama itu pula, saya bisa mengumpulkan uang 1 juta lebih dari gaji saya. Banyak pengalaman yang saya dapat selama 4 bulan bekerja. Salah satunya adalah pengalaman menghadapi teman kerja yang tidak suka atau iri atas kinerja dan penghasilan saya. Betapa senangnya emak dan papah. Ketika pengumuman kelulusan SMA, saya lulus dengan nilai yang cukup bagus. Meskipun hanya peringkat ke-8, tetapi saya tetap bersyukur. Setidaknya, saya sudah berusaha semaksimal mungkin. STIKOM Yos Sudarso adalah kampus yang akan membesarkan saya. Dengan dibiayai oleh Romo Danang (dari Gereja Santo Mikael Gombong) dan dari OKE Peduli Bangsa. Saya sangat bersyukur bisa kuliah, karena saya tidak menyangka bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi lagi. Mungkin, jika tidak mendapat beasiswa, saya tidak akan bisa kuliah sama sekali. Karena, orang tua saya benar-benar tidak mampu membiayai saya. Mengenal AAT Suatu ketika, Romo Danang mengajak saya, 3 teman, dan 1 kakak angkatan untuk menjadi staf administrasi AAT atau yang disebut juga sebagai Pendamping Komunitas (PK). “Nama komunitasnya adalah Anak-Anak Terang atau AAT. Jika kamu mau, besok ada pertemuan di Jogja,” kata Romo Danang waktu itu. Karena kita berempat kurang memahami apa itu AAT, Romo Danang pun datang ke STIKOM untuk memberikan penjelasan. Romo Danang juga memberitahu, jika ingin mendapat beasiswa dari AAT, kami harus ke Yogyakarta untuk wawancara dengan pengurus AAT, dengan syarat-syarat yang harus dipenuhi. Saya cemas dan takut. Apakah saya bisa mendapatkan beasiswa untuk membantu meringankan beban orang tua saya? Apakah saya bisa membagi waktu antara belajar dan bertugas di AAT nanti? Berbagai pertanyaan muncul dalam pikiran saya, hingga tanggal pemberangkatan ke Yogyakarta.   Sampai disana, saya bertemu dengan teman-teman dari Yogyakarta, Semarang, dan Malang. Mereka semua adalah mahasiswa-mahasiswi. Saya berpikir, mereka bisa melakukan tugas-tugas sebagai staf administrasi, dari yang awalnya tidak tahu apa-apa, menjadi seperti sekarang ini. Jika mereka bisa, saya juga harus bisa. Dua hari di sana, saya mulai mengenal Pak Hadi Santono, yang merupakan ketua Yayasan AAT Indonesia dari Yogyakarta. Selain itu, saya juga mengenal Pak Christ Widya Utomo (Sekretaris AAT) dari Semarang, Mami Elisabeth Lies Endjang Soerjawati (Bendahara AAT), Suster, Romo, serta teman-teman relawan atau staf administrasi AAT yang sudah bergabung lebih dulu. Benar-benar suasana persaudaraan yang sangat erat. Yang menurut saya merupakan perwujudan dari visi AAT, yaitu sebagai komunitas yang peduli pada anak-anak yang kurang beruntung agar mendapatkan kesempatan pendidikan formal, dan perwujudan misinya, yaitu memberikan pelayanan dan pendampingan anak-anak asuh dengan perhatian dan kasih sayang. Sungguh mulia visi dan misi AAT. Saat wawancara, saya memilih untuk wawancara belakangan. Saya tidak yakin. Saya takut dan saya belum siap dengan pertanyaan wawancara. Sampai tiba saat wawancara, Pak Hadi didampingi Kak Ikka, bertanya seputar keluarga, teman, kuliah, dan kehidupan saya. Terakhir, saya ditanya tentang mamah saya. Tanpa sadar, saya mulai meneteskan air mata. Saya selalu teringat sosok mamah saya yang selalu saya rindukan. Saya juga diwawancarai oleh Romo Agus Widodo, Pr. dari Kentungan. Kulakukan yang Terbaik untuk AAT Pertanyaan demi pertanyaan saya jawab sesuai kondisi yang saya alami. Saat semua anak sudah sampai di wisma, saya dipanggil Pak Hadi, Pak Christ, Romo, dan pengurus AAT lainnya. Saya tidak tahu kenapa saya dipanggil. Ternyata saya diberitahu bahwa saya mendapat beasiswa dan saya juga dipilih menjadi koordinator Sekretariat AAT di Purwokerto. Puji Tuhan, terima kasih Tuhan. “Emak, papah, mamah… Yosi dapat beasiswa,” seru saya dalam hati. Sekarang, saya benar-benar senang dapat bergabung bersama AAT, karena misinya seperti misi pribadi saya. Saya sangat bersemangat menghidupkan komunitas Anak-Anak Terang di Purwokerto, meski tidak tahu

Kulakukan yang Terbaik untuk AAT Read More »

Dulu Siswi, Sekarang Mahasiswi

Menjadi Staf Administrasi AAT adalah salah satu kegiatan yang sudah saya jalani dari tahun 2012. Sebagai Staf Administrasi AAT, saya belajar bagaimana input data anak asuh di SIANAS (Sistem Informasi Anak Asuh), bagaimana pengiriman kuitansi dan tanda bukti penerimaan beasiswa, dan masih banyak lagi. Lebih-lebih, saya juga bisa mengetahui bagaimana kondisi ekonomi anak asuh yang dibantu AAT lewat kegiatan survei sekolah dan wawancara. Di mana mereka harus menghabiskan waktu bermainnya untuk mencari nafkah dan membantu orang tuanya bekerja. Ada juga yang harus tinggal bersama kakek dan neneknya atau bersama tante dan omnya, tanpa mendapatkan kasih sayang dari orang tua kandungnya dan harus menjadi anak yatim piatu. Kisah-kisah dan perjuangan mereka mengingatkan saya pada perjuangan saya dan keluarga beberapa tahun silam. Bagaimana kerja keras ayah mencari pekerjaan dan bagaimana perjuangan saya agar tetap bisa sekolah, hingga akhirnya bertemu dengan AAT. Dari Kantin Sampai Nasi Kucing Semenjak kecil saya hidup serba kekurangan. Untuk urusan biaya sekolah, selalu telat, selalu dapat peringatan dari sekolah. Tidak hanya saya yang mengalami ini, kedua adik saya pun sampai saat ini masih mengalami hal yang sama. Rumah, kami tidak punya. Kami sekeluarga tinggal di rumah kakek dan nenek. Hingga suatu ketika, saya sekeluarga harus hidup berpindah-pindah, dari satu tempat ke tempat lain, dari satu kota ke kota lain. Sampai akhirnya, kami menetap di Yogyakarta dan hanya mengontrak sebuah rumah kecil untuk beristirahat sekeluarga. Saat pertama datang ke Jogja, orang tua saya sama sekali tidak memiliki mata pencaharian. Dengan semangat dan cinta kasih, mereka terus mencari pekerjaan demi menghidupi keempat anaknya. Pekerjaan pertama yang mereka dapat adalah membantu orang berjualan di kantin sekolah. Pekerjaan itu tidaklah berlangsung lama sehingga orang tua saya harus mencari pekerjaan lagi. Akhirnya, ayah mendapatkan pekerjaan lagi, yaitu sebagai sales alat kesehatan. Tetapi, di sini hanya ayah saya saja yang bekerja, sedangkan ibu tidak. Karena, ibu memiliki keterbatasan yaitu terkena penyakit glukouma sehingga penglihatan ibu sangat terbatas. Ibu hanya bisa mengurus rumah saja. Pekerjaan itu hanya bertahan beberapa bulan saja, karena ayah saya ditipu oleh atasannya sehingga beliau akhirnya memutuskan untuk resign. Dengan bertambahnya umur yang tidak produktif lagi dan kondisi kesehatan yang tidak mendukung (memiliki penyakit jantung), ayah saya memutuskan untuk berwirausaha saja. Akhirnya, sejak tahun 2012 hingga sekarang, orang tua saya bekerja sebagai pembuat dan penjual nasi kucing, yang nantinya dititipkan di satu angkringan dan di beberapa sekolah. Tidak perlu ditanya lagi untuk berapa penghasilannya. Saya katakan, penghasilan dari pekerjaan ini jauh di bawah cukup. Tapi, berkat kasih sayang orang tua saya, mereka tulus dan terus berusaha untuk mencukupi kebutuhan kami sekeluarga. Beasiswa AAT Ketika saya duduk di kelas 2 SMA, di situlah saya mulai mengenal AAT. Selama dua tahun terakhir di SMA, saya mendapatkan bantuan beasiswa dari AAT. Benar-benar sangat membantu. Bagaimanapun juga, itu sudah membantu meringankan beban dari orang tua saya. Tapi, saya masih pesimis. Dengan keadaan ekonomi keluarga saya yang seperti ini, apa saya bisa melanjutkan ke perguruann tinggi? Padahal, itulah salah satu impian terbesar saya setelah lulus SMA nanti. Suatu ketika, salah satu dari PJ (Penanggung Jawab) sekolah saya memberitahu saya bahwa AAT membuka beasiswa perguruan tinggi, ini kesempatan bagi siapa saja (yang kurang mampu dalam finansialnya) yang ingin melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi. Jadi, biaya kuliahnya dibantu oleh AAT. Itu adalah kesempatan emas yang tidak boleh saya sia-siakan. Saya harus bisa mendapatkannya. Karena, dengan begitu saya bisa lebih meringankan beban orang tua saya. Sejak itu, saya lebih rajin lagi dan lebih semangat untuk belajar demi mendapatkan nilai yang baik, mencapai prestasi, dan demi impianku menjadi seorang MAHASISWI. Usaha selama SMA itu tidak sia-sia. Dengan nilai yang cukup baik, prestasi yang baik, dan masih dengan semangat belajar yang tinggi, saya diterima sebagai anak asuh AAT tingkat perguruan tinggi. Tuhan selalu memberikan keindahan tepat pada waktunya. “Melalui AAT, Tuhan menjawab doa saya yang ingin melanjutkan ke perguruan tinggi.” Dulu Siswi, Sekarang Mahasiswi Pada tahun 2012, tepatnya bulan Juli, saya resmi menjadi mahasiswi Sekolah Tinggi Ilmu Pariwisata Ambarrukmo (STiPRAM) Yogyakarta. Senang, akhirnya saya dapat kuliah dan masuk ke dunia pariwisata, karena memang saya sangat menyukainya. Bangga, karena kini status saya bukanlah lagi SISWI melainkan MAHASISWI. Tidak hanya itu, selain saya mendapatkan jurusan kuliah yang saya inginkan, di sini saya juga bisa menyalurkan bakat saya yang terpendam, yaitu modelling. Kebetulan sekali di tempat saya kuliah tersedia yang namanya UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) Modelling. Dari UKM ini saya belajar lebih mendalam tentang modelling. Dari UKM ini juga saya mulai mengikuti lomba modelling, photo session, dan memperagakan baju koleksi dari beberapa designer. Kegiatan saya selain kuliah dan modelling, saya mengambil part time job di sebuah event organizer di Solo sebagai pagar ayu. Ini sebagai bentuk usaha saya untuk membantu orang tua saya. Bagaimanapun juga, saya harus mencari biaya untuk keperluan kuliah saya (biaya fotokopi, dan lain-lain). Karena sejak saya kuliah, saya tidak pernah lagi mendapatkan uang saku dari orang tua saya, jadi saya harus mencari biaya sendiri. Dengan mengikuti kegiatan-kegiatan tersebut, saya mendapatkan banyak pengalaman, memperluas pertemanan, dan tentunya saya bisa mengukir prestasi yang lebih baik lagi. Yah, senanglah akhirnya satu impian saya tercapai kembali. Itu semua berkat kasih Tuhan yang diberikan kepada saya melalui AAT. Dan sejak saat survei itulah, saya sadar, ternyata banyak sekali adik-adik saya di luar sana yang sangat jauh di bawah saya. Masih bersyukur atas kehidupan saya yang masih bisa bersekolah lancar dan kedua orang tua yang masih utuh. Meskipun untuk bisa hidup dan sekolah, sampai kuliah, kami sekeluarga harus berusaha mati-matian untuk bisa mencapainya. Kisah-kisah mereka dan perjuangan keras mereka membuat saya semakin bersyukur dan semakin bersemangat untuk meraih cita-cita yang belum tercapai, untuk terus membantu sesama, dan terus melakukan tugas di AAT dengan sebaik-baiknya. Agar adik-adik itu bisa terus melanjutkan pendidikannya. Semoga, mereka juga tidak henti untuk terus bersemangat dan berusaha. Cerita singkat ini saya tulis sebagai ucapan terima kasih saya sekaligus ucapan terima kasih dari semua anak asuh yang sudah dibantu oleh beliau-beliau yang turut turun tangan untuk membantu dan mendampingi kami melalui AAT. Semoga, apa yang sudah diberikan beliau-beliau ini dapat bermanfaat bagi masa depan kami dan tetap semangat untuk mengenyam pendidikan yang lebih

Dulu Siswi, Sekarang Mahasiswi Read More »

Berubah untuk Berbuah

Tentang Diriku Namaku Natalia Agassi Cristinawati. Sejak kecil aku biasa dipanggil Gessi oleh orang tua, teman dan saudaraku. Tetapi biasa juga dipanggil Natalia atau Agassi. Masa kecil kuhabiskan di sebuah kota kecil di pinggir Utara Pulau Jawa yaitu Juana. Hingga saat menginjak SMA aku meninggalkan tempat tinggalku untuk hidup di lingkungan baru di sebuah kota besar, Semarang. 19 tahun yang lalu aku dilahirkan di Pati, 24 Desember 1994. Selama hampir 5 tahun aku tinggal di Semarang dan jauh dari keluarga. Selama 5 tahun itu pula banyak cerita dan pengalaman yang berharga buat hidupku. Orang Tua Saat aku berumur kurang lebih satu bulan ayah pergi meninggalkanku dan ibu untuk merantau ke negeri orang untuk mencari nafkah bagi keluarga kami. Selama beberapa waktu aku tidak tahu bagaimana sosok ayahku, hingga suatu saat ayahku pulang aku tidak mengenalinya. Bahkan aku menganggapnya seperti orang asing karena sekian lama aku tak melihatnya. Sejak kecil aku hidup bersama keluarga yang sederhana. Cinta kasih yang begitu besar aku dapatkan dari ayah, ibu, kakek, nenek dan semua keluargaku. Suatu saat ayah memutuskan untuk pulang dan tidak pergi merantau lagi. Ayah membuka usaha kuningan dengan membeli sepetak tanah dan membangun sebuah rumah sekaligus tempat usaha. Harapannya adalah ingin punya usaha sendiri dengan penghasilan yang lumayan, karena daerah kami dikenal sebagai pengrajin kuningan. Tetapi di tengah jalan usaha itu terpaksa tutup dan kami harus menjual rumah tanah milik kami. Ketika itu mendapatkan pekerjaan sangat sulit. Ayah sudah mencoba untuk mencari pekerjaan kesana kemari namun nihil. Hingga akhirnya ayah mencoba untuk kembali merantau, tetapi gagal. Keluarga kami mengalami pergumulan hebat. Di samping kebutuhan sehari-hari yang harus dipenuhi, ada kebutuhan sekolahku, juga kebutuhan adikku yang saat itu masih kecil. Sedangkan pemasukan hampir tidak ada. Berbagai usaha dicoba dan ayahku mendapat pekerjaan sebagai juru parkir di swalayan dekat rumah kami milik seorang temannya. Memang bukan pekerjaan yang menjanjikan waktu itu tetapi lumayan untuk menambah pemasukan keluarga kami. Setelah beberapa waktu bekerja ternyata penghasilan ayah belum mencukupi untuk kebutuhan keluarga kami. Hingga ibu memutuskan untuk berjualan makanan. Waktu itu ibu berjualan jus buah di rumah. Aku mencoba menambah penghasilan ibu dengan menawarkan kepada teman-teman sekolahku. Kala itu aku masih duduk di kelas 4 SD. Harga jus yang ditawarkan pun sangat murah yaitu 300 rupiah dan 500 rupiah. Setelah itu ibu mencoba berjualan pepes telur ikan. Setiap pulang sekolah aku membantu ibu untuk mengolah telur ikan yang masih mentah untuk dibuat pepes. Sore harinya dengan sepeda ibu menjajakan dagangannya berkeliling desa. Terkadang aku pun ikut berjualan dengan dibonceng oleh ibu. Banyak orang yang berkomentar negatif tentang dagangan ibu tetapi dengan ikhlas ibu tetap menjalaninya. Usaha ini tak bertahan lama karena bahan baku yang sulit didapatkan. Kemudian ibu mencoba usaha menerima pesanan makanan, dengan sepeda aku mengantarkan hasil pesanan ke tempat pemesan. Terbersit rasa capek dan sedih harus melihat kedua orang tuaku bekerja keras untuk keluarga kami. Sebagai anak aku mencoba membantu sebisaku untuk meringankan mereka. Ketika lulus SD aku sangat ingin masuk sekolah favorit di daerahku. Tetapi ada hal yang sedikit menghalangi yaitu masalah biaya. Orang tuaku sempat pesimis karena takut tidak bisa membiayai sekolahku. Tetapi aku ingin terus sekolah, aku optimis bisa menjadi salah satu murid di sekolah favorit itu. Dan Tuhan mengabulkan harapanku. Di sekolah ini aku meminta keringanan biaya SPP karena masih terlalu berat bagi orang tuaku untuk membayarnya. Selama kurang lebih 4 tahun ayah bekerja sebagai juru parkir, akhirnya ayahku mendapat kesempatan untuk kembali bekerja di negeri orang. Hal ini dilakukan ayah karena beliau ingin anak-anaknya bisa terus sekolah hingga perguruan tinggi dan mendapatkan pekerjaan. Sudah hampir 6 tahun ayah berada disana. Baru sekali ayah pulang menemui kami setelah 3 tahun ayah di sana. Selama satu bulan ayah pulang aku hanya bisa bertemu setiap akhir minggu karena waktu itu aku masih sekolah di Semarang. Rindu selama 3 tahun hanya bisa dibayar dengan intensitas pertemuan yang singkat. Terkadang aku merasa iri melihat teman-temanku yang bisa setiap hari bertemu dan memeluk orang tua mereka atau bahkan hanya sekedar mencium tangan mereka. Aku tak bisa sering melakukannya dan hanya bisa mencium tangan ibuku ketika aku pulang ke rumah. Aku pun hanya bisa sesekali mendengar suara ayahku lewat telepon tanpa bisa bertemu, memeluk dan mencium tangannya. Sekolah dan Kuliah Tinggal dan sekolah di Semarang sebenarnya bukan keinginanku, tetapi keinginan orang tuaku. Mereka ingin aku bisa berkembang menjadi orang yang lebih baik. Ingin rasanya menolak apa yang mereka mau, tetapi aku ingin membuat mereka bahagia. Sejak tinggal di Semarang banyak hal yang aku dapatkan. Aku belajar mandiri sebagai anak kos. Belajar mengatur keuangan, belajar menjaga diri, tahu tempat baru, bertemu banyak teman dan orang baru yang belum pernah kukenal. Tentunya aku belajar menjadi orang yang lebih dewasa. Sebagian masa remajaku, kuhabiskan untuk menuntut ilmu di Semarang. Kembali lagi itu semua kulakukan demi orang tua yang selalu mendukung dan mendoakanku. Ketika hampir lulus sekolah aku berniat untuk bekerja, untuk membantu orang tuaku. Tetapi niat itu musnah ketika aku melihat teman-temanku melanjutkan kuliah. Aku juga ingin kuliah seperti mereka tetapi aku tak tahu apakah aku bisa. Niat ingin kuliah aku utarakan kepada orang tuaku. Aku meyakinkan mereka bahwa aku akan lebih bersungguh-sungguh untuk kuliah supaya bisa mendapatkan pekerjaan yang aku inginkan. Awalnya aku ingin masuk perguruan tinggi negeri, tetapi tidak lolos seleksi. Lalu aku mendaftar di Akademi Farmasi Theresiana dan diterima. Di sinilah aku bertemu dan mengenal AAT Anak Anak Terang Perkenalan dengan AAT diawali ketika aku bersama lima temanku yaitu Wulan, Lensa, Dora, Naning dan Jenesia diberitahu oleh salah satu dosen kami (Pak Priyo) untuk bergabung dalam komunitas AAT menjadi relawan. Saat itu kami masih bertanya-tanya apa itu AAT. Mengapa kami yang dipilih dan apa yang nantinya akan kami lakukan. Minggu, 22 Sepetember 2013 kami hadir pada pertemuan relawan AAT Semarang di Deoholic Café. Kami disambut dengan begitu baik oleh teman-teman dari AAT termasuk Mami Lies, Bruder Konrad, CSA dan Mas Christ. Saat itu satu per satu dari kami relawan baru diminta untuk berbicara mengenai mengapa kami mau bergabung di AAT. Bukan hal mudah untuk bisa berbicara didepan orang lain, yang aku rasakan saat itu adalah

Berubah untuk Berbuah Read More »

Kerja Keras adalah Kekuatan Mama

Nama saya Yosita Lianawati, sering disapa Yosita. Saya anak pertama dari empat bersaudara. Saya memiliki dua adik yang masih sekolah SMA dan SMP, serta satu adik yang masih balita, menginjak usia 4 tahun. Saya berasal dari keluarga sederhana yang mempunyai banyak kekurangan, karena kebutuhan dan jumlah tanggungan yang banyak. Papa saya bekerja sebagai buruh dengan penghasilan yang sedikit, yang tidak cukup untuk membiayai kebutuhan kami setiap bulannya. Karena itu, mama saya membantu papa saya untuk mencari nafkah dengan menjadi pembantu rumah tangga. Saat ini, saya kuliah di STIKOM Yos Sudarso Purwokerto, jurusan SI (Sistem Informasi). Saya sudah menginjak semester 4. Saya bisa kuliah berkat perjuangan mama yang begitu besar agar saya terus bisa melanjutkan pendidikan saya. Melihat keadaan ekonomi keluarga yang sangat tidak mencukupi, saya merasa kasihan pada kedua orang tua sebab akan menambah beban mereka. Sempat saya berpikir untuk tidak melanjutkan sekolah, tetapi mama saya berkata, “Kamu harus mendapatkan pendidikan setiggi-tingginya. Jangan seperti mama. Dan buktikanlah kepada orang-orang yang telah memandang rendah kita bahwa kamu bisa menjadi orang yang berhasil.” Kata-kata itu tertanam dibenak saya sampai saat ini dan menjadi motivasi dalam hidup saya. Bagaimana Saya Bisa Kuliah? Setelah lulus SMA, saya bimbang. Apa yang akan saya lakukan setelah ini? Apakah saya harus bekerja? Ataukah kuliah? Saya terus bertanya-tanya pada diri saya sendiri. Kemudian mama saya berkata, “Kamu harus kuliah, bagaimanapun caranya”. Dengan semangat, mama dan saya mencari informasi tentang universitas yang bisa memberikan beasiswa dan keringanan biaya. Memang banyak universitas yang dapat memberikan keringanan, tetapi tetap saja biaya yang akan dikeluarkan untuk sisa keringanan sangat banyak. Akhirnya, mama saya sedikit kecewa dan bercerita pada Romo Paroki di Gereja saya. Puji Tuhan, romo tersebut memberikan rekomendasi perguruan tinggi untuk saya. Dengan bekal nilai yang baik, saya pun mendapatkan keringanan dan sedikit bantuan dari romo. Saya dan orangtua saya sangat bahagia. Saya sangat berterimakasih kepada Tuhan, karena telah mengabulkan doa saya dan mama saya. Tanpa tangan Tuhan, saat ini saya tidak bisa kuliah. Seiring berjalannya waktu, biaya kuliah semakin menjerat orangtua saya. Karena mereka tidak hanya membiayai saya saja, tetapi juga ketiga adik saya yang juga membutuhkan biaya untuk sekolah dan kehidupan sehari hari. Saya ikut kebingungan, akankah saya berhenti kuliah? Kerja Keras adalah Kekuatan Mama Suatu ketika, Romo Paroki mengenalkan saya pada AAT. Apa itu AAT? Mengapa romo mengenalkan saya pada AAT? Pertanyaan itu memenuhi kepala saya sebelum bertemu dengan romo. Setelah pertemuan dengan romo paroki, akhirnya saya tahu apa itu AAT dan mengapa romo mengenalkan saya pada AAT. AAT merupakan yayasan sosial yang membantu anak-anak yang kurang mampu di bidang pendidikan formal, membantu anak-anak yang mempunyai niat besar dalam dirinya untuk terus belajar dan melanjutkan pendidikannya. AAT memberikan beasiswa berupa biaya SPP untuk siswa SD, SMP, SMA, dan perguruan tinggi. Tidak hanya memberikan beasiswa, AAT juga memberikan perhatian serta kasih sayang pada mereka, sehingga, para anak asuh (penerima beasiswa) lebih bersemangat lagi untuk belajar dan menjadi anak yang memiliki kepedulian yang besar terhadap sesama. Oleh karena itulah romo mengenalkan saya pada AAT. Romo berharap, saya tetap bisa melanjutkan kuliah, meskipun saat itu romo dan mama sangat kesulitan dalam membiayai kuliah saya. Ketika rekoleksi AAT diadakan di Yogyakarta, saya bertemu dengan banyak orang yang sangat luar biasa. Saya merasa sangat bahagia saat itu. Sampai tiba saatnya saya diwawancarai oleh pengurus AAT. Saya diminta untuk menceritakan kondisi keluarga saya, motivasi saya untuk ke depan, dan motivasi saya untuk bergabung dalam AAT. Saya menjawab dengan semangat semua pertanyaan itu. Saya ikut bergabung dalam AAT, karena saya ingin tetap melanjutkan pendidikan dan ingin melakukan apa yang bisa saya lakukan untuk membantu anak-anak yang kurang mampu supaya bisa tetap melanjutkan pendidikannya. Saya tahu, saya bukan orang kaya yang bisa dengan mudah mengeluarkan uang. Saya tahu, saat ini saya tidak mungkin bisa membiayai sekolah mereka, karena saya sendiri dalam kekurangan. Namun, lewat AAT ini saya ingin sekali menyumbangkan tenaga dan pikiran saya demi mereka. Saya ingin memberikan apa yang telah diberikan orang-orang baik yang telah membantu saya selama ini. Akhirnya, tiba saatnya saya dipanggil oleh pengurus AAT. Saya diberitahu tanggung jawab apa saja yang harus saya emban jika menjadi bagian dari AAT, dan sekali lagi saya ditanya kesanggupan serta komitmen saya untuk menolong adik-adik yang kurang beruntung. Karena, jika saya diterima menjadi anak asuh nanti, saya juga harus menjadi staf administrasi AAT yang mengurus administrasi (kuitansi, tanda terima, dan fotokopi rapor siswa) dari sekolah-sekolah yang siswanya mendapatkan Beasiswa AAT. Setelah menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, saya diberitahu bahwa saya diterima menjadi anak asuh AAT. Saya sungguh bahagia. Saya mengucapkan syukur yang sebesar-besarnya kepada Tuhan, karena lewat tangan-Nya, saya bisa dibantu dan dikuatkan. Saya mengucapkan terima kasih dan tak sabar untuk memberitahu mama saya. Setelah memberitahu mama, suaranya yang sangat bersemangat, menandakan mama sangat bahagia. Sejak saat itu, saya berjanji akan memberikan kebahagiaan kepada mama dan keluarga saya. Terima kasih mama atas perjuangan yang tiada henti. Terima kasih telah membantu papa mencari nafkah. Terima kasih atas usaha kerasnya demi pendidikan saya. “Maka kebahagiaanmu adalah impian terbesarku, dan aku akan berusaha semaksimal mungkin untuk dapat menjadi orang yang berguna bagi sesama. Aku sayang mama.”   Yosita Lianawati* Staf Admin AAT Purwokerto * Yosita Lianawati adalah salah satu Anak Asuh AAT tingkat Perguruan Tinggi yang juga bertugas sebagai Staff Admin AAT Purwokerto. Merupakan mahasiswa STIKOM Yos Sudarso Purwokerto angkatan 2012.   [qrcode content=”https://aat.or.id/kerja-keras-adalah-kekuatan-mama” size=”175″]  

Kerja Keras adalah Kekuatan Mama Read More »

Miracle Happens

Delapan Tahun Lalu Nenek saya menginap di ICU sebuah rumah sakit di Jakarta karena kanker lambung yang dideritanya. Suatu malam, papa menelepon saya dari Jakarta dan meminta saya untuk segera pulang ke Jakarta untuk menemui nenek. “Emak mau ketemu kamu, Ka…” ucap papa lirih. Saya yang saat itu sedang menghadapi ujian kenaikan kelas 2 SMP di Singapura, langsung memberitahu ibu kost dan guru saya mengenai apa yang terjadi. Ternyata, guru saya langsung memberikan izin malam itu juga dan ibu kost segera mengurus transportasi untuk kepulangan saya ke Jakarta. Esok paginya saya langsung menuju Jakarta. Dan sesampainya di Bandara Soekarno-Hatta, saya segera menuju ke rumah sakit. Sampai di sana, saya melihat nenek sudah sedang dalam fase kritis dan tidak sadarkan diri. Keinginannya untuk “melihat” cucu kesayangannya pun tidak tersampaikan, karena akhirnya beliau meninggal keesokan harinya. 21 Januari 2014 Malam itu, tepat pukul 21.30, saya sedang menginap di rumah seorang teman dekat. Handphone saya berdering dan memperlihatkan nama teman papa di layar handphone. Dalam hati saya, “Ada apa ya? Kok malam-malam Om telepon?” Akhirnya saya angkat teleponnya dengan ragu-ragu. Dengan suara seperti tidak yakin, teman papa berkata, “Ka, papa kamu sakit. Dadanya sesak. Ini baru Om bawa ke IGD. Nanti Om kabarin lagi.” Telepon langsung ditutup. Dengan perasaan tidak karuan, saya menunggu kabar berikutnya dari teman papa. Teman papa kembali menelepon, “Ka, papa kamu ternyata kena serangan jantung. Sekarang mau dibawa ke ICCU. Mendingan kamu ke sini. Cari transportasi yang tercepat. Papa kamu sedang masa kritis.” Dengan keadaan setengah tidak percaya saya menutup telepon dan segera mencari transportasi tercepat dari Yogyakarta ke Jakarta. Saya merasa terbawa ke delapan tahun yang lalu. Tidak mau membayangkan hal yang buruk terjadi, saya segera berdoa dan memohon agar Tuhan menyelamatkan Papa. Miracle Happens Pagi itu, pukul 10.30, keadaan jalan yang macet dan banjir membuat perjalanan dari bandara ke rumah sakit memakan waktu hingga 3 jam. Saya yang sudah gugup sejak tadi, tidak sabar untuk segera bertemu dengan papa. Namun, satpam tidak memperbolehkan saya masuk ruangan ICCU. Saya harus menunggu hingga jam besuk dibuka, yakni pukul sebelas siang. Akhirnya, jam besuk dibuka. Saya melihat keadaan papa yang lemah terkulai di ranjang pasien dengan berbagai alat tertempel di dada, hidung, dan tangannya. Suara bip..bip.. yang konstan terdengar dari monitor di sebelahnya. Pemandangan ini merupakan hal yang sangat kontras dibanding papa yang biasanya selalu energik. Saat saya menjenguknya, papa sudah dalam keadaan sadar dan bisa sedikit berbicara. “Papa sayang kamu,” bisik papa yang hampir tidak terdengar suaranya. “Papa nyesel nggak bisa bahagiakan mama, kamu, dan adik-adik. Sampai nggak punya apa-apa sama sekali. Jojo mau ke Timezone, papa selalu menghindar. Mau beliin Jojo baju baru aja susahnya minta ampun!” Beliau pun meneteskan airmata, sampai saya pun tak kuasa menahan tangis. Saya memegang tangan papa sambil mengelus punggung tangannya seraya berkata, “Papa nggak boleh gitu. Lihat, sekarang dede sudah bisa sekolah, aku dan Elis sudah bisa kuliah dan kerja. Papa harus bangga. Jangan mikir yang enggak-enggak, Pa.” Ya, memang dulu hidup kami bisa dikatakan sangat berkecukupan. Apapun yang saya minta, pasti dituruti. Alhasil, saya tumbuh menjadi anak egois yang harus selalu mendapatkan apa yang saya mau. Saya selalu ingin menjadi yang terbaik dan memiliki hal-hal yang terbaik pula. Saya bangga memiliki barang-barang branded dan membuang uang dengan mudahnya untuk hal yang tidak penting. Itu dulu.. Sejak nenek sakit, kami sudah menjual berbagai aset untuk biaya pengobatan. Ditambah hutang-hutang yang besar jumlahnya, bisnis papa yang terus menurun, dan investasi saham yang sudah tidak ada nilainya, kami praktis tidak punya apa-apa. Menjalani tahun-tahun penuh kekecewaan dan penolakan diri sudah pernah saya alami. Sekarang saya sadar bahwa hal-hal materi seperti itu tidaklah penting. Dengan keadaan kami yang sekarang ini, saya masih mempertahankan sikap ingin menjadi yang terbaik. Namun, menjadi yang terbaik tidak saya peroleh dengan merengek-rengek meminta pada orang tua. Saya memperolehnya dengan jerih payah sendiri. Saya bisa membeli tas baru dengan hasil kerja sebagai student staff di kampus. Saya bisa memberi adik saya sedikit uang jajan dari hasil bekerja di sebuah Event Organizer. Saya bangga dan saya tidak menyesali apa yang terjadi. Karena saya sadar, bahwa ini adalah jalan Tuhan untuk membuat saya dan keluarga saya menjadi pribadi yang lebih baik. “Saya memiliki hidup yang selalu diberkati Tuhan. Mukjizat selalu terjadi di dalam hidup saya.” Saya tidak memiliki ijazah SMP, karena tidak menyelesaikan studi di Singapura, namun tetap dapat melanjutkan pendidikan ke SMA tanpa halangan. Saya terpaksa menunda kuliah setelah SMA dan harus bekerja, namun saya bisa mendapatkan pekerjaan di sebuah perusahaan oli dengan gaji di atas rata-rata. Saya masuk kuliah dengan sudah memiliki pengalaman kerja. Dan ketika tidak mampu membayar SPP saat kuliah, Tuhan memperkenalkan saya pada AAT. Baru-baru ini, papa saya terkena serangan jantung dan kami tidak punya apa-apa untuk membayar biaya rumah sakit. Namun, pertolongan datang bertubi-tubi dari orang-orang yang bahkan tidak saya kenal sebelumnya. Apa lagi yang perlu dikhawatirkan? Tak Kenal, Kami Sayang Melalui AAT, Tuhan membantu kami lewat tangan-tangan kecil orang-orang yang ada di sekitar kami yang bahkan tidak kami kenal. Bila peribahasa mengatakan, “Tak kenal maka tak sayang,” AAT akan berkata, “Tak kenal, kami sayang”. Sahabat AAT dengan ikhlas membantu kami yang tidak pernah mereka lihat apalagi kenal. Saya hanya bisa terkagum-kagum dengan semangat para Sahabat AAT. Mereka dengan besar hati bersedia turun tangan memberikan sebagian rejekinya untuk membantu para strangers ini. Berada di roda kehidupan yang selalu berputar, saya percaya bahwa apa yang saya alami dulu dan saat ini akan menjadi pelajaran yang berharga untuk saya kelak. Bukan menjadi orang yang selalu mengeluh, melainkan untuk selalu bersyukur. Bukan selalu khawatir akan masa depan, namun mempercayakan seluruhnya pada Tuhan. Kami telah merasakan jatuh ke dalam lubang dan ditolong oleh tangan-tangan orang tak dikenal. Sekarang, kami sudah keluar dari lubang itu. Suatu saat, kamilah yang akan menolong orang-orang yang terjatuh. Semua itu berkat bantuan para Sahabat AAT yang sudah memberi teladan pada kami tentang indahnya berbagi. Ketika kita tulus berbagi, maka keajaiban akan datang. Miracle happens. Semoga tulisan kecil ini bisa menjadi penyemangat dan pemberi harapan bagi kita semua. “Janganlah kamu kuatir tentang apapun juga, tetapi nyatakanlah

Miracle Happens Read More »

Amarah Jadi Amanah

“Seseorang yang tidak mendapat kepedulian dari orang pun, bisa memberi kepedulian kepada orang lain.” Nama saya Andika Fitri, biasa di panggil Andika. Sekarang saya berumur 19 tahun. Saya adalah seorang Mahasiswa di Universitas Katolik Widya Mandala Madiun, Fakultas Ekonomi, Jurusan Akuntansi. Saat ini saya masuk semester 4. Dulu, sewaktu orang tua masih bersama-sama, saya hanyalah anak seorang tukang becak yang tiap harinya mangkal di Manguharjo. Ibu bekerja serabutan. Ketika saya mempunyai 1 adik perempuan yang masih kecil, ibu tidak lagi bekerja. Sehingga kami hidup bergantung pada penghasilan bapak. Dengan hidup yang seperti itu, saya menjadi orang yang pendiam dan selalu mengalah atas apa yang dilakukan teman-teman kepada saya, karena saya orang yang cukup tahu diri tentang bagaimana kondisi hidup saya. Tak jarang juga ada teman yang bersimpati kepada saya. Ada yang memberi saya pakaian, beras, ada juga yang urunan dan memberi uang untuk membantu keluarga saya. Saya merasakan ada rasa kasihan dari teman terhadap kondisi keluarga saya. Saya Benci Keadaan Ini Dari SD sampai SMP, saya selalu mendapatkan bantuan. Hal itu karena ibu selalu berusaha mengajukan surat keterangan tidak mampu ke sekolah. Apa pun syarat yang diajukan oleh sekolah atau instansi pemberi bantuan, selalu diusahakan oleh ibu untuk memenuhinya. Itu semua ibu lakukan untuk mengurangi beban yang harus ditanggung setiap harinya. Sampai akhirnya bapak dan ibu saya bercerai. Bapak pergi ke Kalimantan untuk bekerja dan menikah lagi dengan orang perantauan di sana. Hal itu membuat saya kecewa, karena saya merasa bapak sudah tidak peduli lagi dengan keluarga yang ada di sini. Bapak juga tidak lagi memberi uang bulanan untuk kehidupan sehari-hari kami. Saya menjadi sedih ketika saya harus melihat ibu saya bekerja sendirian untuk menghidupi kami. Karena tidak tahan, saya pun ikut membantu ibu dengan mengumpulkan barang bekas, mengumpulkan bunga kamboja, menyusun bulu ayam, dan juga membantu mengambil air dari rumah tetangga. Kami memang dulu tidak mempunyai sumur timban sendiri untuk mencari air, sehingga kami setiap hari menimba air di rumah tetangga dan membayar biaya air setiap bulannya. Terkadang saya merasakan sakit ketika dimaki orang yang punya timban tersebut. Saya Tidak Dipedulikan Sampai akhirnya, ibu memutuskan untuk menikah lagi dengan bujangan yang sama sekali tidak saya kenal. Kejadian itu membuat saya sangat sedih, bahkan sangat kecewa, melebihi perasaan ketika mendengar bapak menikah lagi. Karena hal itu pula, saya pindah ke rumah nenek, orang tua dari bapak. Saya memutuskan untuk tinggal di rumah nenek bersama adik saya yang sudah menginjak kelas 1 SD. Waktu itu saya kelas 3 SMP. Benar-benar perasaan yang sulit untuk saya jelaskan ketika saya pertama kali tinggal di rumah nenek dan kakek. Meskipun rumah nenek lebih bagus, tetapi rasanya berbeda. Setiap hari, ketika di sekolah maupun di rumah, saya menjadi pribadi yang amat pendiam. Tetapi, Alhamdulillah saya tetap menjadi anak yang dibanggakan dalam urusan pendidikan. Sejak bapak dan ibu bercerai, timbul rasa kebencian. Terkadang saya merasakan sakitnya ketika menjadi anak yang tidak dipedulikan oleh orang tua. Banyak pertanyaan yang muncul dalam pikiran saya, “Mengapa harus bercerai? Apakah mereka sudah tidak peduli dengan anak-anaknya? Tidakkah mereka tahu bahwa itu membuat saya bersedih dan kecewa? Mengapa mereka hanya peduli dengan keinginan mereka sendiri? Mereka benar-benar sangat egois!” Kekecewaan itulah yang saya pikirkan waktu itu. Saya Ingin Berubah Saat pertama masuk sekolah SMA, saya ingin berubah. Saya tidak ingin menjadi anak yang dikasihani. Saya tidak ingin menunjukan rasa sedih dan pedih yang saya rasakan. Ingin menjadi orang pemberani yang tidak takut dengan siapa pun. Tetapi hal itu membuat saya memelihara kebencian yang telah tumbuh dalam diri saya. Saya semakin giat belajar dan ikut dalam organisasi besar, seperti OSIS dan Pramuka. Dengan demikian, banyak yang mengenal saya. Tetapi hal itu tidak lama. Saya kembali menjadi diri saya lagi ketika saya dikhianati teman saya. Semakin banyak pikiran yang buruk tentang orang-orang yang ada di dekat saya. Belum lagi saya merasakan tertekan berada di rumah nenek karena begitu kerasnya didikan mereka. Terkadang, ketika teringat semua kejadian yang saya alami, saya hanya bisa menangis dalam kamar tidur. Setelah saya menangis sampai dada saya terasa sakit, saya pun tidur untuk melupakan semuanya. Ketika saya masuk kuliah, saya senang sekali. Karena saya tahu keluarga saya amat sangat pas-pasan. Bahkan tidak pernah terpikirkan kata kuliah. Tetapi, ketika saya tinggal di rumah nenek dan kakek, saya tahu keinginan mereka yang amat besar agar saya bisa sekolah setinggi-tingginya, agar nantinya dapat kehidupan yang lebih baik dan dapat mengangkat derajat keluarga. Namun entah mengapa, saya melihat ada rasa beban yang amat berat dari raut wajah mereka ketika akan menguliahkan saya. Hal itu membuat saya sedih, sehingga saya meminta mereka untuk tidak memaksakan kehendak. “Biarkan saya langsung bekerja saja, Nek.” Begitulah yang saya katakan, tetapi mereka tetap bertekat ingin menguliahkan saya. Saya Harus Menyembunyikan Kesedihan Ini Saya pun mencoba mendaftar universitas negeri dengan cara ikut bidik misi karena alhamdulillah saya mendapat rekomendasi dari sekolah. Meskipun nenek dan kakek ingin saya kuliah di Madiun saja, tetapi saya ingin mencobanya. Jika tidak diterima berarti inilah takdir saya untuk kuliah di Madiun. Setelah menunggu, ternyata saya tidak diterima. Dan saya masuk ke Unika Widya Mandala Madiun. Saya juga masuk tanpa tes, melainkan dengan nilai. Saya pun ingin tetap menyembunyikan semua kesedihan yang saya alami selama ini dari teman-teman kuliah saya. Saya aktif hampir di semua UKM. Karena dengan cara menyibukkan diri, saya bisa melupakan semua kesedihan saya. Jika tidak bisa melupakan, setidaknya saya telah mengurangi waktu untuk memikirkannya. Yang teman saya tahu, saya adalah anak periang di kampus dan termasuk anak yang aktif di organisasi. Mereka tidak tahu bahwa di dalam hati saya menyimpan kesedihan yang mendalam. Sama seperti sebelumnya, saya juga dapat dibanggakan dalam urusan kuliah. Walaupun demikian, semakin banyak rasa kebencian yang saya pendam. Hal itu pun juga tidak bertahan lama. Di semester 2, saya kembali menjadi Andika yang pendiam lagi dan sedikit pemurung. Semakin sulit untuk menyembunyikan kepedihan yang saya rasakan dan emosi saya juga labil. AAT Mengajarkan Saya untuk Peduli Sampai akhirnya, saya mendapat rekomendasi beasiswa dari prodi. Dan ternyata beasiswa itu adalah Beasiswa Anak-Anak Terang (AAT). Awalnya saya ingin mundur dari beasiswa ini, karena untuk mengajukan saja, sangat

Amarah Jadi Amanah Read More »

Rekoleksi AAT 2014 : Good Attitude, Great Altitude

Misi Anak Anak Terang (Yayasan AAT Indonesia) disamping memberikan pelayanan beasiswa pendidikan formal bagi anak-anak asuh, adalah mendampingi anak-anak asuh dengan perhatian dan kasih sayang sehingga anak-anak asuh dapat menyelesaikan pendidikan formal dengan baik. Dalam kenyataannya, misi pendampingan yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari pelayanan beasiswa ternyata kurang mendapatkan perhatian dari kita semua, sehingga timbul begitu banyak persoalan-persoalan yang mengganggu proses belajar anak asuh yang akhirnya memberikan hasil belajar yang kurang baik. Program pendampingan dijalankan oleh AAT bertujuan untuk memotivasi anak asuh agar menjadi calon pemimpin masa depan yang memiliki karakter yang kuat dan memiliki kompetensi yang baik, sehingga mampu untuk terus meningkatkan prestasinya. Pengembangan karakter dan kompetensi bagi para penerima beasiswa AAT beserta relawan Pendamping Komunitas (PK) menjadi fokus utama dalam program ini agar mereka mampu menjadi future leaders yang dapat membawa Bangsa Indonesia ke arah yang lebih baik. Alumni dari program ini terus berkembang bersama AAT hingga sekarang. Mereka meniti karir di perusahaan-perusahaan ternama, sembari menyisihkan sebagian penghasilannya untuk menjadi donatur bagi adik-adik asuh di AAT. Pay it Forward! * * * Sehubungan dengan pentingnya pendampingan ini bagi keberhasilan belajar anak asuh tingkat perguruan tinggi, maka AAT menyelenggarakan Rekoleksi dengan tema “Good Attitude, Great Altitude” bagi Relawan dan Pendamping Komunitas (PK) AAT pada tanggal 12-13 April 2014 di Wisma Duta Wacana, Kaliurang, Yogyakarta. Tujuan akhir dari rekoleksi ini adalah membina dan mengembangkan kepribadian yang unggul dan mandiri untuk seluruh Relawan dan Pendamping Komunitas (PK) AAT. Para peserta Rekoleksi adalah penerima beasiswa AAT tingkat perguruan tinggi dan para relawan mahasiswa yang dalam sehari-hari bertugas sebagai staff administrasi AAT dan Pendamping Komunitas (PK). Mereka mengelola 6 Sekretariat Beasiswa AAT, 1.126 donatur, dan 2.672 anak asuh di seluruh Indonesia! Rekoleksi diikuti oleh sekitar 150 orang. Mereka berasal dari Sekretariat AAT di Yogyakarta, Semarang, Purwokerto, Madiun, Malang dan Pontianak. Biaya yang dikeluarkan untuk sebuah acara seperti ini sungguh tidak kecil. Oleh karena itu, kami mohon kepada para Sahabat AAT untuk berkenan memberikan donasi untuk penyelenggaraan Rekoleksi ini.   REKENING BANK Donasi penyelenggaraan REKOLEKSI 2014 ditransfer ke rekening :   BCA KCP Kusumanegara – Yogyakarta a.n. Mariani a/c. 846 500 8004 Untuk identifikasi, harap tambahkan angka 252 ke dalam nominal transfer saat melakukan penyetoran dana. Contoh : Jumlah donasi yang akan dikirim: Rp. 100.000,- Maka jumlah transfer: Rp 100.000 + 252 = Rp 100.252,- Berita : “REKOLEKSI” Kirimkan konfirmasi melalui email ke: beasiswa@anakanakterang.web.id   DOWNLOAD PROPOSAL Unduh proposal (.PDF) Rekoleksi AAT 2014 di http://goo.gl/2Kw2Em   KONTAK PANITIA   IKKA MARISSA ROBERTA KETUA PANITIA Mobile : 0813 2661 2838 Email : ikka.marissa@gmail.com FB : Ikka Marissa PIN BB : 2645c675   ALOYSIUS HANDY WIBOWO SIE. USAHA DANA Mobile : 0898 556 7699 Email : h4ndy_4ever@yahoo.com FB : Aloysius Handy PIN BB : 24effce9   [qrcode content=”https://aat.or.id/rekoleksi-aat-2014-good-attitude-great-altitude” size=”175″]  

Rekoleksi AAT 2014 : Good Attitude, Great Altitude Read More »

Penandatanganan MoU AAT dan AKIN

“Anak Asuh Perguruan Tinggi adalah bagian integral dari AAT. Keberadaannya di AAT bukan sekedar untuk mendapatkan dana atau bantuan uang kuliah dan yang lainnya. Dengan penuh semangat, mereka mengambil bagian dalam pelayanan AAT, terutama dalam bidang administrasi. Di masa depan, mereka diharapkan menjadi penerus karya AAT. Oleh karena itu, kiranya tidak berlebihan kalau anak-anak asuh yang saat ini berada di Perguruan Tinggi merupakan masa kini dan masa depan AAT “(Rm. Ag. Agus Widodo, Pr.) Dalam pelayanan Beasiswa AAT, para penerima beasiswa AAT tingkat perguruan tinggi adalah ujung tombak pelayanan. Bersama dengan para relawan mahasiswa lainnya, mereka bertugas sebagai Staff Administrasi Beasiswa AAT dan menjadi Pendamping Komunitas (PK) bagi 132 sekolah/komunitas. Mereka mengelola 6 Sekretariat Beasiswa AAT, 1.126 donatur, dan 2.672 anak asuh di seluruh Indonesia. Mereka berada di Sekretariat AAT di Yogyakarta, Semarang, Purwokerto, Madiun, Malang dan Pontianak Program Beasiswa Anak-Anak Terang tingkat Perguruan Tinggi ini dijalankan oleh AAT sejak tahun akademik 2011/2012, bertujuan untuk memotivasi anak asuh agar menjadi calon pemimpin masa depan yang memiliki karakter yang kuat dan memiliki kompetensi yang baik, sehingga mampu untuk terus meningkatkan prestasinya. Program Beasiswa Anak-Anak Terang tingkat Perguruan Tinggi telah meluluskan 4 orang. Alumni dari program ini terus berkembang bersama AAT hingga sekarang. Mereka meniti karir di perusahaan-perusahaan ternama dan menyisihkan sebagian penghasilannya untuk menjadi donatur bagi adik-adik asuh di AAT. Tahun Ajaran 2013/2014, AAT memiliki anak asuh Perguruan Tinggi sejumlah 36 orang yang tersebar di 7 Perguruan Tinggi di Yogyakarta, Semarang, Madiun dan Purwokerto. Alokasi dana beasiswa untuk Perguruan Tinggi pada tahun ini hanya sebesar Rp 233.290.000 atau sebesar 13,91%. Jumlah yang masih sangat kurang dibandingkan dengan kebutuhan Staff Administrasi untuk melayani ribuan donatur dan anak asuh. Untuk memberikan kesempatan kepada anak-anak yang tidak mampu namun memiliki kemampuan akademis yang baik untuk mengenyam pendidikan tinggi, AAT menjalin kerjasama dengan AKADEMI KIMIA INDUSTRI (AKIN) SANTO PAULUS SEMARANG. Perjanjian kerjasama ini ditandatangani oleh Hadi Santono (Ketua Yayasan AAT Indonesia) dan Herman Yoseph Sriyana, S.Pd., MT. (Direktur AKIN Santo Paulus Semarang) disaksikan oleh Christianus Widya Utomo (Sekretaris Yayasan AAT Indonesia) dan Drs. T.A. Bambang Irawan, MT. (Pembantu Direktur AKIN Santo Paulus Semarang). Pada kesempatan itu juga Romo A.G Luhur Prihadi, Pr. sebagai Pastor Kepala Paroki Katedral dan Vikaris Episkopalis Semarang berkenan memberikan kata sambutan pada acara tersebut.   Secara umum, isi MoU AAT dengan AKIN Santo Paulus adalah mengenai kerjasama pemberian beasiswa kepada mahasiswa AKIN Santo Paulus dan kerjasama pengelolaan Sekretariat Beasiswa AAT Semarang yang beralamat di SMK Kimia Industri Theresiana, Jalan Pleburan No. 12 Semarang. Sri Sutanti, salah satu Dosen AKIN Santo Paulus Semarang berpendapat, “MoU AAT dengan AKIN Santo Paulus merupakan kerjasama yang baik. Siswa jadi punya kesempatan yang sama untuk belajar. Harapannya ke depan, beasiswa ini bisa lanjut terus dan anak-anak bisa mempertahankan prestasinya”. Senada dengan Sri Sutanti, Br. Konrad, CSA, Ketua Yayasan Santo Paulus Semarang berpendapat, “Senang ya bisa bekerja sama dengan AAT. Kerjasama ini bisa membantu mahasiswa AKIN yang kebanyakan berasal dari kelas ekonomi menengah ke bawah. Selain itu MoU ini juga merupakan media promosi bagi AKIN untuk para mahasiswa baru. Ke depannya, diharapkan pelayanan AAT dan AKIN di bidang pendidikan bisa makin meningkat dan berkualitas”. Elisabeth Lies Endjang, Bendahara AAT mewakili para pengurus AAT pada kesempatan tersebut menyatakan, “Bagus sekali, kesempatan anak-anak untuk kuliah jadi banyak. Apalagi anak-anak di sini banyak yang latar belakangnya dari keluarga tidak mampu. Dari hal-hal kecil seperti ini, dengan memberi kesempatan pada anak-anak untuk belajar ke jenjang yang lebih tinggi, kita membantu negara untuk mengentaskan kemiskinan. Hal ini dilakukan dengan bantuan dari orang-orang yang mampu. Dengan membuat anak-anak ini mampu untuk menolong dirinya sendiri, maka di masa depan ia akan mampu untuk menolong negaranya. Selain itu anak juga diharapkan selalu bersyukur dengan mengoptimalkan (potensi) apa yang ada pada dirinya. Tuhan Maha Kuasa” Acara Penandatanganan MoU AAT dan AKIN Santo Paulus Semarang juga diisi dengan Sosialisasi Beasiswa AAT kepada beberapa Kepala Sekolah di Semarang. Aloysius Sudarno, Kepala Sekolah SMP Agustinus Semarang menyatakan, “Menurut saya bagus ya, adanya MoU ini amat sangat membantu mahasiswa kelas menengah ke bawah. Apalagi dari sekolah kami yang bisa dibilang sekolah pinggiran, untuk masuk ke perguruan tinggi akan sangat kesulitan biaya. Namun dengan masuk AKIN, anak-anak bisa lulus dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama lalu sudah bisa bekerja. Harapannya kerjasama ini bisa meluas dan tidak hanya di AKIN saja”. Penandatanganan MoU juga dihadiri oleh Donatur AAT. Emilda Handayani, salah seorang donatur AAT menyampaikan, “Saya sebenarnya baru mengenal AAT ya. Menurut saya MoU antara AKIN dan AAT ini bagus karena kampus bisa lebih tahu performa mahasiswa dan pengelolaan beasiswa secara administratif juga menjadi lebih mudah dan teratur. Harapan kami bahwa dana yang terkumpul oleh AAT ini bisa digunakan dengan lebih maksimal dan tepat pada sasaran”.     Diliput oleh : Hadi Santono Ikka Marissa Roberta   [qrcode content=”https://aat.or.id/penandatanganan-mou-aat-dan-akin” size=”175″]  

Penandatanganan MoU AAT dan AKIN Read More »