Gadis Pemetik Kamboja

HARI itu, 8 Desember 2013, adalah hari terakhir survei sekolah dan wawancara calon anak asuh Yayasan Anak-Anak Terang (AAT) Indonesia di sekolah-sekolah wilayah eks Keresidenan Madiun. Sekolah yang mendapatkan giliran terakhir untuk disurvei ini adalah SMPK Garuda Parang, Magetan. Banyak cerita yang membuat saya senang, sedih, terharu, kagum, bahkan sampai terheran-heran. Salah satu cerita yang membuat saya terharu dan kagum adalah cerita tentang salah satu siswi kelas VIII. Dia adalah salah satu siswi hebat yang membuat saya semakin bersyukur atas hidup ini. Wajahnya manis meskipun kulitnya terlihat gelap. Tubuhnya kecil dengan rambut panjang yang diikat rapi. Matanya lentik, bibir tipis, dan hidung yang agak mancung. Menurut saya, dia cukup cantik meskipun kulitnya hitam. “Namanya Ayu ya, Dek?” tanya saya memulai wawancara (nama disamarkan) “Iya, Mbak,” jawabnya dengan senyum yang terlihat tulus. “Ayu kelas berapa?” “Kelas delapan, Mbak,” balasnya dengan sangat sopan. Berbicara dengan calon anak asuh AAT yang sopan itu rasanya menyenangkan sekali. Rasanya tidak sabar ingin mendengarkan cerita-cerita mereka yang seru. “Ayu saudaranya berapa?” “Lima, Mbak?” “Lima?” saya sedikit kaget dan ingin bertanya lebih banyak lagi. “Yang nomor satu kemana, Dek?” saya mulai penasaran. “Sudah kerja, Mbak,” jawabnya pelan. “Terus yang nomor dua?” “Kerja juga, Mbak.” “Yang nomor tiga?” Dia diam dan mulai berkaca-kaca, saya pun menjadi semakin penasaran. Namun saya mencoba mengalihkan pembicaraan. “Kamu yang nomor empat ya Dek?” “Iya, Mbak,” jawabnya dengan mata yang masih berkaca-kaca. “Berarti kamu masih punya adik?” “Iya, Mbak, adik saya berumur satu setengah tahun.” “Kakakmu yang nomor tiga ke mana ya, Dek?” saya mengulangi pertanyaan yang belum terjawab tadi dengan lebih halus. “Kakak saya sudah meninggal, Mbak. Setahun yang lalu. Padahal dia adalah kakak saya yang paling saya sayangi. Hanya dia yang bisa mengerti saya. Saya sangat menyayanginya, Mbak.”   Airmatanya mulai tumpah. Saya mencoba menenangkannya. Setelah sudah sedikit tenang, saya mulai bertanya kembali.   “Kalau kakak boleh tahu, kakakmu meninggalnya kenapa?” “Kakak saya meninggalnya dilindas truk, Mbak.” “Deg..” Jantung saya rasanya berhenti berdetak, sesak, dan saya pun mulai menarik nafas dalam-dalam. “Semenjak ditinggal kakak, kehidupan saya langsung berubah, Mbak. Selama ini yang membiayai sekolah saya adalah kakak saya yang nomor tiga. Kakak-kakak saya yang lain kurang peduli pada saya. Setelah lulus SD, kakak saya yang nomor satu dan dua bekerja sendiri-sendiri dan kini sudah berumah tangga. Kakak saya yang nomor tigalah yang bekerja demi sekolah saya. Dan setelah kepergian kakak saya, kehidupan saya hancur, Mbak”.   Dia menangis kembali. Sebisa mungkin saya menahan air mata saya. Saya tidak mau menunjukkan kesedihan saya.   “Sabar ya, Dek. Janganlah merasa hancur. Kehidupanmu masih panjang. Masih banyak hal yang bisa kamu lakukan, masih banyak yang harus kamu perjuangkan. Kepergian kakakmu pasti ada hikmahnya untuk kamu. Dan Tuhan tahu kamu adalah perempuan yang kuat. Kamu pasti bisa mengahadapi semua ini”. “Iya, Mbak. Saya akan terus berjuang demi cita-cita saya dan demi cita-cita kakak saya”. “Apa cita-cita kakak kamu?” “Kakak saya ingin saya sekolah sampai SMA, Mbak. Karena itu dulu kakak saya berjuang mati-matian demi membiayai sekolah saya. Dan setelah kakak saya meninggal, saya ingin sekali mewujudkan cita-citanya. Tetapi saya tidak tahu bagaimana caranya agar saya bisa melanjutkan sekolah saya”. “Bagaimana dengan Bapakmu, Dek? Beliau kan masih bisa membiayai kamu” “Bapak saya hanya petani kecil, Mbak. Sawahnya cuma satu petak dan hasilnya hanya cukup untuk makan sehari-hari saja” “Bagaimana dengan ibu kamu?” “Ibu tidak bekerja. Di rumah mengurus adik saya” “Berarti hanya bapakmu yang mencari nafkah?” “Tidak, Mbak. Saya juga ikut membantu Bapak mencari nafkah” “Lho, kamu kerja? Kerja apa, Dek?” “Setiap pulang sekolah, saya mengumpulkan bunga Kamboja yang ada di kuburan” “Buat apa bunga Kambojanya?” “Buat dijual, Mbak. Biasanya saya sampai maghrib mengumpulkan bunga Kamboja. Sepulang dari mencari bunga Kamboja, saya mencari rumput untuk makan kambing nenek saya. Biasanya saya bawa senter. Malamnya, sekitar pukul sembilan, saya biasanya belajar sampai jam sebelas”   Saya tercekat dan langsung terdiam. Saya tidak bisa lagi berkata apa-apa. Sungguh, adik ini membuat saya kagum. Dengan usia yang masih terbilang remaja, ia harus mencari nafkah untuk membantu orang tuanya. Saya kira kisah seperti ini hanya ada dalam sinetron atau dalam acara televisi saja. Namun ternyata saya mendengar sendiri kisah itu dari siswi ini.   “Kamu tidak takut Dek di kuburan malam-malam? Nanti kalau kamu digigit setan gimana? Kalau ada yang loncat-loncat gimana?” lelucon saya untuk mencoba mencairkan suasana. “Tidak, Mbak. Demi cita-cita kakak saya, saya akan terus berjuang dan tidak akan menyerah” Saya pikir saya bisa sedikit menghiburnya dengan guyonan saya. Ternyata dia tetap berbicara dengan serius sambil mengusap air matanya.   “Biasanya sehari dapat seberapa bunga Kambojanya, Dek? Harganya berapa?” saya mulai melanjutkan pertanyaan saya. “Sehari dapat satu kresek kecil, Mbak. Kalau sedang musim berbunga seperti ini biasanya saya dapat lebih banyak. Sampai rumah bunga-bunga itu saya jemur dan saya kumpulkan sampai satu kilogram. Setelah itu saya jual dengan harga lima puluh ribu” “Wah, banyak dong Dek lima puluh ribu. Itu berapa hari sekali dapat lima puluh ribu?” “Sebulan sekali, Mbak. Itu pun kalau sudah terkumpul satu kilogram” “Haa ..! Sebulan?” Saya hanya tertegun keheranan. “Iya, Mbak. Dan uangnya saya berikan pada ibu untuk belanja sehari-hari” “Mengapa tidak kamu pakai untuk uang jajan kamu saja, Dek?” “Tidak, Mbak. Kasihan ibu. Ibu tidak bekerja dan bapak juga hanya bisa memberi uang sedikit” “Terus bagaimana dengan uang jajanmu?” “Saya jarang jajan. Kalaupun ingin jajan, saya akan mengambil sedikit uang dari hasil menjual bunga Kamboja. Kadang lima ratus kadang seribu” “Uang lima ratus memang cukup untuk jajan, Dek?” “Cukup kok Mbak. Untuk beli permen yang akan saya bagi dengan adik saya” “Baik sekali hatimu Dek. Mbak bangga sama kamu. Jangan pernah putus asa ya. Tuhan tidak akan membuat apa yang kamu perjuangkan menjadi sia-sia” “Iya, Mbak”   Cerita demi cerita saya dengarkan sendiri darinya. Bagaimana perjuangannya yang harus berjalan kaki kiloan meter setiap hari karena tidak punya kendaraan yang bisa dipakai, bagaimana perjuangannya yang setiap hari mengumpulkan bunga Kamboja yang hasilnya tak seberapa, bagaimana perjuangannya menghadapi kerasnya hidup, menahan kesedihan atas kepergian kakaknya yang sangat ia sayangi, menahan kekasaran bapaknya, dan menahan semua rasa sakit dalam hati dan tubuhnya. Saya sangat

Gadis Pemetik Kamboja Read More »

Bagaimana Saya Bisa Sekolah?

“Saya bertanggung jawab, tapi bagaimana caranya saya bisa sekolah?” Senin siang, saya memenuhi janji pada Kepala Sekolah SMP Bellarminus Semarang untuk mewawancarai beberapa anak yang minggu kemarin tidak hadir. Dari 6 orang anak, ada seorang anak yang tidak hadir lagi, bahkan tidak masuk sekolah. Saya sabar menunggu Pak Kepala Sekolah dan Guru BP yang berusaha muter-muter mencari jejak anak ini. Hingga terdengar suara, “Ayoook cepat masuk… sudah ditunggu sejak tadi …” kata Bapak Kepsek dengan agak keras (remaja ini ditemukan di pemakaman sedang memanjat pohon Kamboja untuk memetik bunga Kamboja). Di depan pintu muncullah anak lelaki dengan wajah merah merona penuh peluh, menenteng tas sekolah dan beberapa tas kresek hitam dipelukkannya. Agak takut ia berdiri di depanku. Tak kuasa aku melihat wajah takutnya, kukembangkan senyumku dan mempersilahkannya duduk. “Selamat siang nak… Namamu Satria ya?” (nama disamarkan) “Selamat siang juga Ibu…..bener” “Eh … ngomong-ngomong kamu kemana saja? Kemaren tidak hadir wawancara, juga hari ini tidak masuk sekolah” Dia diam. Lalu berkata, “Maaf Ibu, saya tadi berangkat sekolah kok. Tetapi tidak sampai sekolahan” (sambil krusak-krusek mempermainkan tas kresek hitamnya) Karena penasaran, saya pinjam tas kreseknya meski tadi tidak diperbolehkan. Rada berpikir konyol saya pun tertawa agak keras. Ternyata tas itu berisi bunga Kamboja. Karena tawa saya, andrenalin lelaki kecil itu tersulut. “Maaf Ibu.. Silahkan Ibu mengejek saya, saya tidak peduli. Karena bunga Kamboja ini adalah emas bagi saya…” (Padahal aku geli karena teringat waktu kecil. Dulu aku merasa lebih cantik bila aku merangkai bunga Kamboja dan memakaikannya di rambutku) Sambil emosi dia berkata, “Meski hari ini saya tidak sampai sekolahan karena ibu saya belum bisa melunasi uang SPP yang menunggak, namun saya tetap sekolah. Saya harus sekolah. Saya ingin pintar. Saya malu karena baju seragam saya sobek dan hanya satu-satunya itu yang saya punya. Kemarin dan hari ini saya harus mencari bunga Kamboja karena itulah sumber nafkah keluarga kami agar kami tetap bisa makan.” Ternyata, bunga Kamboja itu dikeringkan dan lima hari sekali disetor sebagai dasar membuat bedak berkualitas. Dia menghidupi dirinya sendiri, ibu, dan seorang nenek. Namun dengan apa dia bisa membayar uang SPP? Meski cita-citanya meletup-letup? Gleekk… Dadaku sesak karena haru. Anak seusianya yang lain masih bermain dan diberi uang saku berlebih. Tapi anak ini…   Elisabeth Lies Endjang Soerjawati Bendahara Yayasan AAT Indonesia.   [qrcode content=”https://aat.or.id/bagaimana-saya-bisa-sekolah” size=”175″]  

Bagaimana Saya Bisa Sekolah? Read More »

Perjuangan Mengenyam Pendidikan

Perjuangan Salah Satu Anak Bangsa yang Ingin Mengenyam Pendidikan Seorang remaja lelaki itu masuk kelas dengan wajah yang terlihat pucat pasi, kuyu, dan terlihat lemas. Semakin dia mendekat, kulihat peluh di wajahnya. Kemudian aku sapa dengan senyum, dia duduk di depanku dengan tertunduk pucat. “Selamat pagi Mas Boy, namamu Boy ya?” (nama disamarkan) “Selamat pagi Ibu, iya itu nama saya.” “Kamu kenapa Boy? kamu sakit?” Dia terdiam sambil mengerjap-ngerjapkan matanya, kemudian dia tertunduk lagi. Agak curiga dengan keadaannya, kemudian kupegang tangannya, dingin sekali. Keringat dingin membuat dia terlihat lemas. “Sudah biasa Ibu, setiap pagi begini,” jawabnya. “Lho kok setiap pagi? Memangnya kamu sakit?” “Tidak ibu,” jawabnya lirih. Karena penasaran, aku membuka biodata anak ini. Sambil membacanya dengan cermat, kuamati wajah anak ini. Eeh.. “Bruukk..” Calon penerima beasiswa ini jatuh pingsan. * * *  Kira-kira satu jam kemudian remaja lelaki itu kembali masuk, duduk di hadapanku dan berkata, “Maaf Ibu… saya tidak sengaja tadi kok terasa kepala saya berputar.” Saat dia pingsan aku mencari informasi tentang anak ini kepada gurunya. Dan ternyata, dia adalah anak ke 3 dari 6 bersaudara yang tinggal di sebuah desa di Karangjati. Agar dia tidak terlambat sampai di sekolah yaitu di SMK Kimia Industri, dia berjalan kaki dari rumah menuju jalan raya kira-kira 3 km. Setelah itu, ia mencari tumpangan truk yang menuju ke arah Semarang. Hanya itulah satu-satunya alternatif yang dipilihnya agar dia tidak terlambat, agar dia tidak seperti kedua kakaknya yang tidak pernah mengenyam bangku sekolah hingga hidupnya menjadi miskin. Tidak ada rupiah disakunya sebagai bekal untuk jajan. Padahal, jam sekolah hingga pukul 3 sore. “Terus kamu sarapan dan makan siang di sekolah?” tanyaku padanya. Dia terdiam, cukup lama. Kemudian ia berkata, “ Maaf Ibu, saya malu. Saya tidak pernah sarapan dan makan siang. Saya berangkat dari rumah jam 5 pagi, tentu mamak tidak bisa menyiapkan sarapan dan bahkan kami belum bisa menikmati sarapan sejak kami masih kecil.” “Orang tua saya tidak mampu untuk memberi uang saku pada saya. Paling ada Rp 1.000,- untuk naik bus bila saya pulang karena tidak ada truk dari sini menuju Karangjati. Kalau naik truk saya bisa gratis menuju rumah. Maaf Ibu, jangankan memberi uang saku, untuk sekolah pun mamak sudah melarang saya karena mamak tidak punya uang untuk bayar SPP” Anak ini sudah menunggak uang sekolah dari mulai dia masuk hingga saat saya wawancarai. Sambil lemas ia melanjutkan ceritanya, “Saya akan nekad ikut sekolah meskipun sampai sekolah saya main petak umpet bila melihat ada yang mau nagih SPP. Saya ingin hidup mapan meski saya dari keluarga yang morat-marit, Bu.” Setelah itu, aku pun pura-pura izin ke kamar kecil sebentar. Dan kemudian, aku menangis sesenggukan di kamar mandi. Betapa kuat nyali anak ini, ”Dia tidak ingin bodoh” Selesai wawancara, aku pun dan beberapa guru mengantarkan anak yang lemas ini ke rumahnya. Rumah yang jauh sekali dari sekolah. Ini adalah sepenggal cerita duka dari remaja berusia 15 tahun (semester besok remaja ini menempuh ujian SMK) Mari rekan-rekanku semua, jadilah donatur bagi pejuang-pejuang masa depan negeri kita melalui Yayasan Anak-anak Terang (AAT) Indonesia.   Elisabeth Lies Endjang Soerjawati Bendahara Yayasan AAT Indonesia   [qrcode content=”https://aat.or.id/perjuangan-mengenyam-pendidikan” size=”175″]  

Perjuangan Mengenyam Pendidikan Read More »

Kunjungan Relawan ke SMP Salomo

SMP Salomo 3 Pringsurat yang berada di desa Ngipik, Pringsurat, Temanggung, adalah sekolah Kristen yang perintisannya bersamaan dengan perintisan Gereja Isa Almasih Ngipik yaitu pada tahun 1975 tepatnya bulan Januari 1975. SMP Salomo 3 Pringsurat didirikan sebagai salah satu prasyarat pendirian Gereja Isa Almasih Ngipik yang dirintis oleh seorang dokter gigi yang bernama dr. Lukas Sebadja. Awalnya pada tahun 1974, dr. Lukas Sebadja menabrak seorang anak laki-laki di desa Pringsurat. Menghadapi korban yang nampaknya tidak tertolong, dr. Lukas Sebadja bernazar “Apabila anak tersebut hidup dan sembuh, maka dr. Lukas akan mendirikan gereja di tempat tersebut”. Dan ternyata doa serta nazar dr. Lukas Sebadja didengar Tuhan, anak tersebut sembuh dan hidup. Menyaksikan mukjizat Tuhan melalui kesembuhan anak tersebut. Akhirnya, di lokasi tersebut didirikan tempat persekutuan doa keluarga dan ada beberapa orang yang sudah menerima Tuhan Yesus sebagai juru selamat dalam hidupnya, termasuk di dalamnya keluarga anak yang ditabrak dr. Lukas Sebadja. Karena persekutuan semakin berkembang, maka pelayanan dibantu oleh para mahasiswa STT Abdiel. Oleh kuasa Tuhan Yesus akhirnya berdirilah pos PI di desa Pringsurat bertempat di rumah Pak Dul Sholeh dan di desa Nglarangan di rumah Bapak Christianus Ngasiman. Penanggung jawab pelayanan pada kedua pos PI tersebut adalah dr. Lukas Sebadja bersama Ibu Hanna Sebadja S.Th, istri beliau, dibantu oleh bapak Sugriwo seorang guru injil dan GKJ Pepanthan Pingit. Atas Hikmat dari Tuhan Yesus Kristus, dr. Lukas Sebadja berniat membeli lagi sebidang tanah yang berada tepat di samping tanah yang akan dipakai untuk pembangunan gereja. Tanah tersebut akan diperuntukkan bagi pembangunan Sekolah Menengah Pertama (SMP) sebagai wujud kepedulian umat Kristiani terhadap dunia pendidikan. Gereja ingin ikut ambil bagian mencerdaskan anak anak bangsa lewat jalur pendidikan. Kebetulan pada waktu itu di Kecamatan Pringsurat belum ada SMP yang akan diperuntukkan bagi keluarga kurang mampu. Gagasan dan rencana tersebut ternyata disambut baik oleh masyarakat dan pemerintah desa Ngipik. Akhirnya, pembangunan gereja pun diperbolehkan bersamaan dengan pembangunan gedung SMP Salomo 3 Pringsurat, Temanggung. Tahun 1975, berdirilah sekolah menengah pertama dengan nama SMP Salomo 3 Pringsurat yang disponsori oleh keluarga dr. Lukas Sebadja. Untuk memudahkan pengelolaannya, dr. Lukas Sebadja membentuk Yayasan Pendidikan Anugerah. Yayasan Pendidikan Anugerah diketuai oleh Ibu Sulaksono dan dibantu oleh beberapa orang pengurus, termasuk Bapak Stepanus Sumaryono juga masuk di dalam kepengurusan. Dinamakan SMP Salomo 3 karena di kota Semarang sudah ada Salomo 1 dan Salomo 2 yang berada di bawah naungan Yayasan Pendidikan Kranggan. Walaupun Yayasan yang menaungi berbeda, namun Salomo 1 dan Salomo 3 sama-sama didirikan oleh anak anak Tuhan yang berjemaat di Gereja Isa Almasih Pringgading, Semarang. Enam bulan setelah SMP Salomo 3 Pringsurat berdiri, maka Gereja Isa Almasih Ngipik juga berdiri dan didewasakan sebagai Jemaat Gereja Isa Almasih. Selain pendewasaan Gereja, Bapak Stepanus Sumaryono juga ditahbiskan sebagai pendeta di jajaran Sinode Gereja Isa Almasih, sekaligus menjadi Gembala Sidang di GIA Ngipik. Di SMP Salomo Pringsurat Temanggung ini kebanyakan muridnya beragama Islam. Kondisi ekonomi orang tua murid murid SMP Salomo sebagian besar berada di bawah garis besar kemiskinan. Rata-rata orang tua mereka bekerja sebagai buruh tani, buruh bangunan, pembantu rumah tangga, dan karyawan kayu lapis. Tingkat pendidikan orang tua mereka pun hanya lulusan sekolah dasar. Untuk gaji guru dan karyawan, SMP Salomo diperoleh dari Bantuan Operasional Sekolah, Yayasan Pendidikan Kranggan, dan sebagian partisipasi orang tua siswa. Pengalaman Kunjungan Hari Rabu, 6 November 2013, saya melakukan kunjungan ke SMP Salomo Pringsurat Temanggung. Saat itu, saya bersama teman saya, Edo. Kunjungan itu adalah kali pertama saya terlibat dalam kegiatan relawan Anak-Anak Terang (AAT). Kami berangkat pukul 07.15 pagi. Sampai di SMP Salomo, kami langsung menemui Ibu Vosa dan Ibu Jeki. Kami pun disambut dengan hangat. Setelah itu, kami langsung bersiap- siap mewawancarai penanggung jawab tentang seberapa banyak pengetahuan Penanggung Jawab (PJ) tentang AAT, sejauh mana PJ mengenal Anak Asuh (AA), sumber dana sekolah, dan lain-lain. Yang membuat saya tertarik di saat mewawancarai PJ ternyata saya mendengar kalau banyak kondisi dari calon AA yang memprihatinkan. Semisal ada anak yang keluar dari SMP Salomo lalu berjualan di daerah Semarang, tetapi karena dia tidak betah kerja, maka kembali lagi ke SMP Salomo. Ada juga yang ditinggal ayahnya meninggal tetapi dia tetap sekolah dan kesehariannya membantu ibunya. Ini yang membuat saya kagum dengan calon AA meskipun baru mendengar ceritanya saja melalui PJ SMP Salomo. Hari Minggu, 10 November 2013, saya dan lima relawan AAT lainnya yaitu Edo, Anisa, Dora, Setyoko, dan Galih berangkat ke SMP Salomo. Kita dari Semarang jam setengah delapan pagi dan sampai di sana jam sembilan pagi. Sesampainya di sana kami langsung dipersilahkan oleh bu Vosa dan bu Jeki di salah satu kelas dan kami pun langsung menyiapkan peralatan dan dokumen untuk wawancara anak. Dan saat acara dimulai, ini adalah kali pertama saya presentasi di AAT. Rasanya saya sangat senang berinteraksi dengan anak-anak. Presentasi saya berjalan dengan lancar. Tibalah saatnya untuk wawancara. Saya kebagian mewawancarai anak kelas IX. Yang menarik dari anak-anak yang saya wawancarai yaitu mereka adalah anak-anak yang penuh semangat walau mereka dari keluarga yang tidak mampu, tetapi semangat mereka untuk belajar sangatlah tinggi. Banyak pelajaran yang bisa saya ambil dari mereka, anak-anak dari SMP Salomo 3.   Ignatius Sindhu Wijaya Staff Admin AAT Semarang   [qrcode content=”https://aat.or.id/kunjungan-relawan-ke-smp-salomo” size=”175″]  

Kunjungan Relawan ke SMP Salomo Read More »

Terima Kasih, Karena Kalian Berharga

“Sebaik-baiknya orang, ia tidak akan berguna jika tidak memberikan sesuatu untuk sekitarnya…” Kata-kata dosen tadi di kelas sontak membuatku tersadar dari lamunanku saat perjalanan pulang setelah kuliah. Entah mengapa kata-kata itu selalu terniang dalam benakku. Fricilia Mawaria, panggil saja aku Fricil, mahasiswi Program Studi Manajemen Angkatan 2012 Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Aku mengenal Anak-Anak Terang (AAT) dari teman dekatku Islamiah (Iis) yang mengajakku ikut AAT. Ia mengetahui AAT saat LDPKM (Latian Dasar Pengembangan Kepribadian Mahasiswa) oleh Bapak Hadi Santono sebagai dosen pendamping saat itu. Sungguh pertama mendengarnya aku sangat tertarik, mengingat kehidupan ini tidak hanya melulu bekerja untuk diri sendiri tetapi juga untuk orang lain. Tidak tepat kapan waktu pertama menjadi relawan AAT, sekitar Oktober 2013, aku diajak untuk ikut rapat AAT bersama Iis. Kami berdua sangat ingin mengikuti tetapi saat itu kami tidak mengerti apa-apa. Untungnya Antik mau membimbing kami untuk mengenal AAT lebih dekat, terkadang kami juga suka piket di sekretariat ketika tidak sedang berkuliah. Pengalaman Kunjungan Pengalaman luar biasa saya ketika kunjungan ke sekolah untuk pertama kalinya di SMK St. Paulus di Sedayu, aku memperhatikan secara seksama bagaimana presentasi dimulai, lalu dilanjutkan dengan wawancara. Saat wawancara, aku begitu tersentuh dan berbicara dalam hatiku sendiri bagaimana bisa mereka selalu bisa tersenyum saat kondisi mereka seperti ini. Mereka bahkan tidak menuntut banyak hal untuk kehidupan yang mereka jalani saat ini. Bahkan, salah satu calon anak asuh AAT yang aku wawancarai mempunyai cita-cita tinggi. Ia ingin sekali masuk Perguruan Tinggi Negeri dan setelah itu menjadi pengusaha sukses. Kelak setelah sukses ia ingin membantu lebih banyak orang lagi untuk bisa bersekolah lebih layak dan tinggi, tidak seperti ia sekarang. Selang beberapa minggu, aku kembali ikut kunjungan sekolah di SMP Kanisius Gayam. Betapa lucu-lucunya mereka, aku bahkan seperti mengingat masa kecilku, tetapi aku tidak bisa membayangkan, ternyata di balik tubuh mungil mereka tersimpan banyak permasalahan hidup. Salah satu dari mereka ayahnya meninggal dan ibunya sebagai buruh cuci baju. Ibunya masih harus menghidupi 3 orang anak yang masih bersekolah semua. Sejenak terdiam dan masuk dalam lamunanku sebelum tidur, merefleksikan banyak hal yang terjadi setelah menjadi relawan AAT. Seakan aku disadarkan untuk selalu mengucap syukur atas segala yang diberikan-Nya. Dan di dalam diriku selalu ada semangat untuk terus menjadi relawan AAT. Meskipun yang aku berikan sama sekali tidak berarti, tetapi aku berterima kasih pada kalian anak asuh karena kalianlah aku bercermin dan terus ingin berbagi tenaga, pikiran, waktu, dan bahkan aku berharap suatu saat nanti bisa menjadi donatur. “Lahir di keluarga miskin/kaya bukanlah pilihan kita, tetapi untuk menjadi sukses adalah sebuah pilihan…” Kata-kata motivasi ini diberikan oleh seorang dosen dalam perkuliahan karena masa lalunya. Aku percaya, engkau dan aku juga sanggup menjalani kehidupan dan menjadi lebih baik bukan karena takdir kita lahir di keluarga miskin/kaya tetapi usaha kita yang mampu merubah kehidupan di masa depan.   Fricilia Mawaria Staff Admin AAT Yogyakarta   [qrcode content=”https://aat.or.id/terima-kasih-karena-kalian-berharga” size=”175″]  

Terima Kasih, Karena Kalian Berharga Read More »

Rapat Pengurus Pusat

Rapat pengurus pusat Anak-anak Terang (AAT) dilaksanakan 2 hari, yaitu pada tanggal 26 Oktober sampai tanggal 27 Oktober 2013. Rapat pengurus pusat pada hari pertama dimulai pada pukul 15.00. Rapat tersebut dihadiri oleh seluruh PK (Pendamping Komunitas) atau Staff Administrasi sekretariat Yogyakarta dan perwakilan PK atau Staff Administrasi dari sekretariat Semarang, Madiun, dan Malang. Dalam Rapat itu dibedakan antara rapat PK Yogyakarta dan rapat pengurus pusat. Memang tidak semua PK yang ditunjuk untuk menjadi pengurus pusat bisa datang, tetapi itu sudah mewakili semuanya. Dalam Rapat tersebut dijelaskan tentang tugas yang harus dikerjakan oleh setiap divisi dan pemilihan bagian untuk setiap PK. Beberapa PK juga bisa memilih sendiri mau masuk ke divisi mana, yang dirasa lebih mereka kuasai. Tetapi ada juga yang sudah ditentukan oleh Mbak Alma dan Mbak Chika untuk bertugas dalam divisi tertentu. Tidak lama rapat itu berlangsung karena hanya menjelaskan gambaran tugas-tugas dan memilih bagian untuk pengurus pusat. Rapat pun selesai dan akan dilanjutkan pada keesokan harinya, yaitu hari Minggu tanggal 27 Oktober 2013. Rapat pada hari Minggu dihadiri oleh perwakilan PK dari sekretariat Madiun, Malang, dan Semarang. Walaupun ada PK yang baru tiba di Yogyakarta pukul 07.00 dan rapat dimulai pukul 08.00 pagi, tidak menjadi penghalang bagi mereka untuk tetap bersemangat dan berkumpul antar sesama PK dari berbagai sekretariat. Rapat pengurus pusat tersebut diawali dengan pengenalan SIANAS (Sistem Informasi Anak Asuh) kepada PK baru yang belum begitu tahu tentang SIANAS. Saat itu, Mbak Alma yang bertugas menjelaskan apa itu SIANAS kepada PK baru dan lama agar lebih mengenal lagi tentang SIANAS. Pembagian Divisi Setelah pengenalan SIANAS selesai, mulailah penjelasan untuk pengurus pusat. Beberapa PK yang hari sebelumnya belum sempat datang dan belum mengetahui pembagian divisi atau staff pengurus pusat dijelaskan kembali oleh Mbak Alma dan Mbak Cika. Kemudian dimulai dengan memilih bagian divisi oleh para PK yang belum mendapatkan bagian. Setelah semuanya masuk dan mendapat bagian dalam divisi masing-masing, mulailah penjelasan mengenai masing-masing tugas yang harus dilakukan oleh para pengurus pusat. Penjelasan tentang divisi dilakukan oleh Mbak Alma, Mbak Cika, dan Mbak Lia sebagai pengurus pusat yang lama dan memang yang sudah senior di antara yang lain. Divisinya dibagi menjadi 8 bagian, yaitu Divisi Keuangan yang diisi oleh Agustina Awalia Riyanti, Mahdalena Salupra, Mikaella Maria Dicna Advenia, dan Ryan Frederick, Divisi Kesekretariatan yang diisi oleh Brigitta Tri Damayanti, Lucas Kristiawan, dan Dhika M. Putera, Divisi Admin Media yang diisi oleh Ryan Frederick dan Maria Elisabeth Roberta, divisi Jurnalistik yang diisi oleh Rike Kotikhah, Divisi Kreatif yang diisi oleh Dica Herra Vidianti, Divisi Operasional yang diisi oleh Aloysius Handy Wibowo dan Rosalina Desti Wulandari, Divisi Data Base/SIANAS yang diisi oleh Caroline Nadia Laksita Devy, serta Divisi Beasiswa Perguruan Tinggi yang diisi oleh Ikka Marissa. Sebelum dilakukan penjelasan, pengurus masing-masing divisi berkumpul menjadi satu. Mereka mulai dijelaskan tugas-tugas setiap divisi. Kemudian tugas tersebut dibagi lagi sesuai dengan kesepakatan dan kemampuan setiap anggota divisi. Sehingga dalam satu divisi dapat saling bekerja sama menyelesaikan setiap tugas yang harus dikerjakan. Setelah mengetahui tugas masing-masing, penjelasan diperdalam dengan praktik langsung. Dalam praktik ini memang tidak bisa lengkap dan hanya dengan contoh saja. Penjelasan secara praktik ini meliputi banyak hal, contohnya saja tugas untuk mengunggah foto di web AAT, mengirim data, memasukkan/menginput data ke SIANAS, meng-update penerimaan transfer dari donatur, dan masih ada yang lain lagi. Penjelasan ini memang lebih lama dari yang sebelumnya yaitu penjelasan tentang SIANAS, karena penjelasan ini lebih detail dan harus benar-benar dimengerti oleh masing-masing pengurus, mengingat tidak setiap saat mereka bisa mendapat penjelasan lebih detail karena pengurus datang dari berbagai kota. Hal terakhir yang dilakukan yaitu sedikit penjelasan tentang pengurus sekretariat cabang. Tidak banyak yang harus dijelaskan karena hal ini tidak sekompleks tugas pengurus pusat. Karena semua dirasa cukup dan sudah selesai, rapat pengurus pusat pun berakhir pada siang hari dan ditutup dengan makan siang bersama.   Mikaella Maria Dicna Advenia Staff Admin AAT Yogyakarta   [qrcode content=”https://aat.or.id/rapat-pengurus-pusat” size=”175″]  

Rapat Pengurus Pusat Read More »

Bertemu dengan Masa Lalu

Nama saya Nataliya Isma. Awal bergabung dengan Anak-Anak Terang (AAT), saya rasa itu adalah bisikan Roh Kudus. Tidak pernah terbersit dalam hidup saya untuk bisa berbagi dalam bidang pendidikan bersama Anak-Anak Terang. Nama AAT sangat berarti dalam hidup saya. Karena dengan bergabung dengan AAT, saya bisa membawa terang untuk mereka yang mengalami kegelapan terhadap dunia pendidikan khususnya. Berawal dari Iseng di Internet Saat itu saya iseng-iseng mencari beasiswa di internet. Beasiswa yang ingin saya “tembak” adalah beasiswa dari pemerintah atau lembaga-lembaga lain yang biasanya dimanfaatkan oleh sebagian mahasiswa untuk menambah uang sakunya. Selama ini saya bisa kuliah juga karena dana dari orang tua asuh di Komunitas Saint Egidio. Tujuan saya adalah meringankan beban orang tua asuh saya, kalau-kalau saya mendapat beasiswa dari luar. Siapa tahu dana kuliah saya bisa dialokasikan untuk adik-adik panti yang lain. Tidak sengaja saya menemukan website AAT, setelah saya pelajari, rupanya ini adalah komunitas yang bergerak di bidang pendidikan dengan memberikan beasiswa dan pendampingan. Saya merasa rindu bergabung dengan organisasi, karena di lingkungan kampus saya kegiatan sosial seperti ini sangat terbatas. Dalam website itu, di jelaskan bahwa kita bisa menjadi Anak Asuh (AA), Penanggung Jawab Komunitas (PJ) atau Pendamping Komunitas (PK) yang sering juga disebut sebagai Staff Admin. Saya berpikir, “Tidak apa-apalah menjadi relawan (PK), siapa tahu menambah relasi untuk masa depan nanti.“ Kemudian modal iseng juga saya SMS Pak Hadi Santono selaku Ketua Pengurus Harian Yayasan AAT Indonesia. “Selamat siang Pak, maaf menganggu. Nama saya Nataliya Isma dari Panti Asuhan Brayat Pinuji Boro. Saat ini saya kuliah di Multimedia Training Center (MMTC) Yogyakarta. Apakah bisa mahasiswa bergabung untuk menjadi relawan AAT ? Terima Kasih.“ Dalam SMS, saya sebutkan bahwa saya berasal dari Panti Asuhan Brayat Pinnuji Boro, karena memang sejak kecil saya sudah tinggal di Panti Asuhan. Hingga saat ini, setiap akhir pekan saya pulang ke panti. Selama berakhir pekan di panti, saya membantu suster untuk mengasuh adik-adik di Panti Asuhan. Pagi hari ketika saya bangun tidur, saya membuka pesan masuk di HP yang ternyata pesan dari Pak Hadi. Beliau menjawab, “Iya, saya tunggu di ruang Dekanat FTI UAJY Lantai 1 jam 2 nanti. Terima kasih.” Mata saya langsung bening dan saat itu juga langsung saya balas, “OKE Pak.. “ Universitas Atma Jaya Yogyakarta adalah kampus yang saya impikan. Tetapi sayangnya saya tidak bisa masuk kesana karena secara finansial terlalu mahal dan saya tidak sepintar Mbak Susan, kakak di panti saya yang mendapat beasiswa NOL RUPIAH selama 4 tahun kuliah di UAJY. Tetapi saya tetap bersyukur karena sekarang saya mendapat kesempatan kuliah di bidang penyiaran, khususnya radio dan televisi di MMTC. Dan saya sangat menikmati bidang ini. Didasari saat SMK saya sudah mengambil multimedia, jadi tidak terlalu susah untuk mengikuti beberapa mata kuliah yang ada. Itulah yang ada di pikiran saya saat pertama menginjak Kampus UAJY. Survey yang Memberi Pelajaran Hidup Pengalaman pertama saya survei adalah di sebuah sekolah pedesaan di sekitar Pegunungan Menoreh. Walaupun dari sebuah desa yang jarang air, letak geografisnya nempel di badan Pegunungan Menoreh dan mayoritas penduduknya adalah petani. Indah sekali pemandangan di sana. Saat itu saya bersama beberapa teman AAT, Mbak Alma, Mbak Chika, dan Fera, berangkat menuju Kulon Progo. Tepatnya di SD Kanisius Kenalan. Sekolah ini sangat unik. Murid-muridnya memiliki semangat belajar yang tinggi. Mereka rata-rata berjalan 2 sampai 3 km dengan berjalan kaki menuju sekolah. Suasana sekolah itu, seolah membawa saya pada masa lalu saya ketika saya belum masuk di panti asuhan dan asrama, dididik bersama suster-suster OSF. Wawancara PJ berlalu, dan tiba saatnya untuk wawancara anak asuh. Ada satu anak yang membuat saya terkejut dan tercengang. Dari data yang saya lihat dan saya perhatikan, sepertinya anak ini anak yang susah hidupnya. Rambutnya sedikit menggumpal agak merah, kulitnya hitam, tetapi badannya sedikit lebih besar dari saya. Bisa saya bilang anak ini dekil sekali. “Namanya siapa, dek ?” tanya saya. “Bernadeta Tari, mbak.. (bukan nama asli)” “Dipanggil Tari ya..” “Rumahnya masih gedek (sejenis anyaman yang terbuat dari bilah-bilah bambu yang dijadikan dinding rumah) dek?” tanya saya lagi. “Iya, mbak,” jawabnya lirih. “Lantainya masih tanah?” tanya saya kembali. “Iya, mbak..” “Kalau belajar jam berapa, dek?” “Tidak pernah belajar mbak” “Lho, kenapa?” “Setelah pulang sekolah, saya membantu Mbah, mbak” “Kalo sore-sore atau malam gitu?” Adik itu hanya diam. Saya pun diam sambil memikirkan pertanyaan selanjutnya. “Di rumah sudah ada lampu kan, dek?” “Belum, mbak” jawabnya pelan. “Hah? Terus menggunakan apa?” “Pakai sentir Mbak (sentir adalah botol yang diberi minyak tanah dan diberi sumbu)” Saya hanya diam. Air mata seakan ingin tumpah, tetapi tidak mungkin hal ini terjadi. Saya mencoba menarik nafas dan membuat hati ini sedikit tenang. Sekarang tahun 2013 masih ada rakyat Indonesia yang tidak punya lampu listrik sebagai alat penerangan. Saya shock, karena itu adalah masa lalu saya. Kembali ke Masa Lalu dan Refleksi Sebelum saya tinggal di panti asuhan bersama para suster OSF, rumah saya masih bambu, belum memakai listrik dan saya harus berjalan sekitar 2 km dari rumah menuju sekolah. Bisa dikategorikan keluarga saya adalah keluarga paling miskin di desa itu. Ejekan dari tetangga pun menjadi makanan yang biasa untuk kami. Kalau dari bapak, hal tersebut adalah hal yang biasa dan beliau tidak ambil pusing. Akan tetapi, untuk ibu saya, ejekan dari tetangga adalah sebuah beban hidup. Hal inilah yang memicu saya untuk membuktikan kepada tetangga-tetangga saya bahwa saya ingin membangun harga diri keluarga saya. Saya ingin membuktikan bahwa saya bisa kuliah, mempunyai pekerjaan yang mapan, dan mempunyai keluarga yang baik-baik. Itulah sebabnya mengapa sampai saat ini saya masih bertahan menjadi relawan AAT. Saya pernah merasakan punya tunggakan uang sekolah sampai tidak bisa mengikuti ujian. Saya pernah menyaksikan ibu saya berjuang menjual kelapa setiap pagi ke pasar, sedikit demi sedikit ditabung, demi membayar uang sekolah saya. Menjual ayam kesayangan saya demi membayar SPP. Saya pernah menjadi mereka dan hidup susah seperti mereka. Ya, luka di masa lalu yang membuat saya memiliki hati untuk berbagi. Tugas kampus, pekerjaan di tempat kerja, dan kegiatan lain pun terkadang menyita waktu saya sehingga tampaknya saya kurang bergerak di AAT. Saya pun manusia, terkadang merasa jenuh terhadap pekerjaan AAT. Tetapi dari

Bertemu dengan Masa Lalu Read More »

Horeee kumpul lagi…

Hari Minggu tanggal 1 Desember 2013, para relawan Anak-Anak Terang (AAT) Semarang berkumpul kembali. Kami berkumpul di Akademi Kimia Industri (AKIN) St. Paulus Semarang. Acara dimulai pukul 08.00 pagi dan dibuka dengan doa yang dipimpin oleh Kak Edo. Setelah itu, Kak Edo dan Kak Handy memberi penjelasan tentang tugas koordinator, PK (Pendamping Komunitas), sekretaris, dan bendahara. Kami semua pun bersiap-siap mengeluarkan laptop sambil mendengarkan penjelasan dari Kak Edo dan Kak Handy. Setelah penjelasan selesai, kami mengadakan evaluasi tentang survei dan wawancara calon anak asuh di sekolah-sekolah serta evaluasi kinerja PK. Lalu dilanjutkan dengan training SIANAS (Sistem Informasi Anak Asuh) dan penjelasan tentang pengiriman raport anak asuh. Kelanjutan beasiswa tiap kenaikan kelas juga dijelaskan oleh Kak Edo dan Kak Handy. Mas Christ, Bu Lies, dan Bruder Konrad, CSA., dengan setia mendampingi kami selama acara berlangsung. Kehadiran mereka di tengah-tengah kami selalu menjadi warna tersendiri untuk kami. Kami pun mulai sibuk dengan laptop dan tidak terasa waktu makan siang pun tiba. Akhirnya kami semua beristirahat setelah lama berkutik dengan laptop. Acara makan siang sudah selesai. Kami kembali ke ruang 302 untuk mengikuti acara selanjutnya. Tapi sebelum itu, Bu Lies memberikan nasehat kepada kami semua. Kami sangat berterima kasih pada beliau dan akan selalu mengingat serta menyimpan nasehat-nasehat Bu Lies. Acara selanjutnya adalah acara paling menarik, dimana para PK diberikan pelatihan jurnalistik oleh para pembicara dari “Rumah Media”. Dan kehadiran mereka pun menghadirkan kegembiraan bagi kami. Pembawaan mereka yang seringkali mengundang tawa, membuat kami semua terhibur. Mbak Ulin membuka acara dengan gaya bicaranya yang lucu. Mbak Ulin memperkenalkan teman-temannya dari “Rumah Media”. Selanjutnya giliran Bu Wesiati yang menjelaskan tentang apa itu jurnalistik. Beliau menceritakan pengalamannya selama terjun dalam dunia jurnalistik. Beliau berkata bahwa menulis sebuah buku itu rumit, karena selalu saja datang yang namanya komentar dan kritik. Namun bagi beliau tidak ada satupun karya yang sempurna. Sebagus apapun sebuah karya tidak akan lepas dari yang namanya komentar dan kritik. Beliau juga menceritakan proses beliau dalam menulis sebuah buku. Lalu dilanjutkan Mbak Maria dan Mas Billy menceritakan pengalamannya bergabung dengan AAT. Setelah pelatihan jurnalistik selesai, dilanjutkan oleh Pak Tis yang menceritakan pengalamannya di dunia jurnalistik. Beliau berprofesi sebagai wartawan. Dan beliau berpesan pada kami semua, “Jangan pernah patah semangat, karena apapun yang kita lakukan itu semua membutuhkan sebuah proses.” Acara pun selesai pukul 16.00 dan ditutup oleh doa yang dipimpin oleh Kak Edo. Banyak hal yang kita dapatkan dari kegiatan ini. Kebersamaan yang kami lewati semakin mendekatkan kami antara satu dengan yang lain. Menulis itu bukan hal yang menakutkan. Lewat tulisan bisa mengungkapkan perasaan kita bahkan kegelisahan kita. Ternyata memang benar bahwa buku adalah jendela dunia. Menulis itu seperti menyimpan sebuah file. Waktu kita membutuhkan sesuatu kita tinggal membukanya saja. Setiap karya dan seperti apapun karya kita pasti tidak akan lepas dari komentar dan kritik. Tetapi sebenarnya itulah yang kita butuhkan. Sebuah komentar adalah sebuah langkah untuk maju. Di mana komentar tersebut menuntun kita pada sebuah perbaikan. Kita juga mulai berpikir bagaimana kita bisa menjadikan karya kita lebih baik dari sebuah komentar dan kritik. Dalam menulis, kita harus belajar untuk fokus terhadap apa yang mau kita tulis. Fokus dengan apa yang kita gali, apa yang kita catat, dan pada apa yang kita sampaikan lewat tulisan kita. Itu yang namanya fokus. Jangan lupa sebagai langkah awal kita menulis berikan sebuah senyuman yang menandakan sebuah ketulusan dari hati kita. Karena dari ketulusan itulah akan kita dapatkan sebuah tulisan yang hidup. “Menulis adalah suatu cara untuk bicara, suatu cara untuk berkata, suatu cara untuk menyapa, suatu cara untuk menyentuh seseorang yang lain entah dimana. Cara itulah yang bermacam-macam dan disanalah harga kreatifitas ditimbang-timbang“  (Seno Gumira Ajidarma)   Agnes Lensa Staff Administrasi AAT Semarang   [qrcode content=”https://aat.or.id/horeee-kumpul-lagi” size=”175″]  

Horeee kumpul lagi… Read More »

So, What Colour Are You?

Anak Anak Terang (AAT), itulah nama yang setahun lalu terngiang dalam benak dan membuat saya penasaran. Beragam pertanyaan mulai mengusik saya. Mulai dari apa itu AAT? Apa saja kegiatan yang ada di AAT? Beruntunglah saya bertemu dengan Mas Christ yang bersedia menjelaskan tentang AAT. Beliau menjelaskan bahwa AAT adalah komunitas sosial yang konsen membantu anak-anak yang kurang mampu dalam hal finansial supaya dapat terus melanjutkan pendidikannya. Tidak ketinggalan beberapa buah stiker dan satu buah tas yang berlogo AAT dihadiahkan kepada saya di akhir pembicaraan. Tidak lupa juga meluncur kalimat ajakan, “Kalo ada waktu, yok melu gabung ngewangi AAT, kuwi ono website AAT ojo lali dibuka, ben luwih ngerti soal AAT” yang artinya, “Ayo gabung bantuin AAT, itu ada website AAT jangan lupa dibuka, supaya kamu lebih mengerti tentang AAT.” Dari situlah awal perkenalan saya dengan yayasan sosial ini. Seiring dengan berjalannya waktu, saya sering bertemu dengan teman-teman relawan AAT dari Semarang. Lambat laun, saya mulai sedikit mengerti aktivitas apa saja yang dilakukan para relawan dan tentu cara kerja para relawan dalam membantu AAT. Mulai dari cara pengajuan proposal, survei, hingga bagaimana cara input data. Saya jadi semakin tertarik untuk bergabung menjadi relawan di AAT. Namun, waktu seakan selalu jadi penghalang. Baru bulan Mei lalu, waktu mengijinkan saya bergabung menjadi relawan AAT. Saya masih ingat jelas pengalaman pertama survey ke SMP Bellarminus Semarang dengan sambutan teman-teman yang tidak terlupakan. Waktu saya datang, teman-teman relawan Semarang dengan sangat kompak berseru “akhirnya datang juga.” Sambutan yang cukup menyenangkan, mungkin saking lamanya mereka menunggu. Hari itu juga merupakan pengalaman pertama saya mewawancarai calon anak asuh AAT. Mungkin saya juga yang merasa paling berdosa waktu itu karena menolak banyak calon anak asuh. Tentang Yani Satu kisah dari salah satu anak yang waktu itu saya wawancarai yang membuat saya terharu, salut, serta bersyukur dengan keadaan saya sekarang ini. Yani namanya. Dia tinggal menumpang di rumah kakeknya di Semarang bersama ibu dan kedua adiknya. Ibunya tidak memiliki mata pencaharian yang tetap. Mulai buruh cuci harian hingga mengasuh anak tetangga, itupun jika ada yang meminta. Sedangkan ayahnya sudah pergi meninggalkan Yani sejak kecil, “saya tidak tahu dimana ayah sekarang,” jawabnya lirih ketika saya bertanya padanya.   Untuk hidup sehari-hari, Yani mengandalkan bantuan dari tantenya yang kebetulan tinggal tak jauh dari rumah kakeknya. Penghasilan ibunya tidaklah cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, ditambah lagi kakeknya yang sudah tua dan sering sakit. Uang sakunya tiap hari hanya 2 ribu rupiah, itupun juga mengandalkan pemberian dari tantenya, jumlah rupiah yang bagi sebagian orang nilainya tidak seberapa. Tak jarang dia juga membantu mengasuh anak tantenya untuk mendapatkan uang tambahan. Meski begitu, semangatnya untuk sekolah tetap membara, tumpahan sinar matahari yang terik ketika berjalan kaki pulang dan pergi tak pernah menyurutkan niatnya. Sungguh perjalanan hidup yang bagi saya sangat luar biasa dan sangat menginspirasi. Di akhir wawancara tak lupa saya menyelipkan kalimat, “semangat ya dik, kamu bisa!” Cat Lukis dan Warna Kehidupan Cerita Yani tadi menjadi refleksi tersendiri bagi saya, mengingatkan saya saat dikarantina selama satu minggu di lereng Merapi dalam acara latihan kepemimpinan setahun yang lalu. Di sana saya diajak untuk merasakan langsung dan berinteraksi dengan masyarakat sekitar, menjadi penambang pasir di sungai, membantu nenek tua berjualan di pasar, sampai mencari makan untuk kambing, dan membersihkan kandangnya. Pada saat akhir sesi ada satu pertanyaan menarik. Pertanyaan tersebut adalah, seperti apa dirimu jika digambarkan sebagai suatu benda dan mengapa. Ketika itu saya menggambarkan diri saya sebagai cat lukis. Mengapa? Filosofinya saya mengibaratkan setiap manusia punya warna tersendiri dalam dirinya, yang akan digoreskan dalam kanvas orang lain, dan tentunya bakal membekas menjadi kumpulan warna tersendiri bagi orang tersebut. Intinya, saya ingin menjadi orang yang memberi dan menggoreskan warna tersendiri dalam kehidupan seseorang, sehingga menjadi lebih berwarna. Berangkat dari refleksi di atas, saya berharap dengan bergabung di AAT bisa menjadi media saya untuk lebih banyak belajar tentang hidup dan tentunya memberi warna bagi kehidupan sesama. Inilah sepenggal kisah pengalaman saya selama bergabung dengan Yayasan AAT Indonesia (AAT). Seperti judul cerita di atas, satu pertanyaan yang akan saya ajukan kepada anda semua, “So, What Colour Are You?”   Polycarpus Estutomo Bani Pandhito Staff Admin AAT Semarang   [qrcode content=”https://aat.or.id/so-what-colour-are-you” size=”175″]  

So, What Colour Are You? Read More »

Hidupku Tertambat Bersama AAT

Suatu hari ketika kutelisik ke belakang, sesuatu yang kujalani adalah warisan kedua orang tuaku. Bila melihat anak tidak dapat melanjutkan sekolah maka hatiku serasa teriris. Aku dibesarkan bersama ke-5 saudara kandung dan beberapa saudara yang silih berganti dibawa ayah ke rumah saat mereka ingin melanjutkan kuliah. Prinsip orang tuaku adalah menuntut ilmu setinggi mungkin tanpa memandang usia. Meski orang tuaku tergolong pegawai kecil yang gajinya tidak seberapa, namun kami dinasehati tetap melanjutkan sekolah sebagai bekal hidup. Saudara-saudara maupun anak orang lain yang tinggal di rumah kami tidak dikenai biaya kost sepeserpun asal mereka dengan tekun belajar. Bundaku membantu ayah dengan berjualan kebutuhan sehari-hari, menerima jahitan, serta berjualan masakan. Beliau hanya sempat tidur beberapa jam saja setiap harinya. Sore hari ayah jualan kacang goreng serta jenis-jenis lain di Pasar Peterongan, dahulu disebut dengan Pasar Koplak, pasar yang buka pada sore dan malam hari. Pasar sore yang dahulu bersih dan asri bagi penjual dan pembelinya. Beliau mencari tambahan penghasilan demi uang sekolah dan kebutuhan hidup. Meski kelelahan dalam memenuhi segala kebutuhan anak-anaknya dan anak orang lain, ayah serta bundaku tidak mengeluh di hadapan kami. Yang mengherankan adalah, ayah tidak pernah putus membawa anak orang lain ke rumah supaya mereka bisa mengenyam pendidikan yang lebih baik. Kadang jengkel rasa hatiku melihat ini semua, sebab aku harus bekerja bertambah keras untuk membantu bundaku mencari tambahan uang guna memenuhi kebutuhan hidup. Aku anak perempuan tertua, berbadan kecil, hitam, jelek dan sakit-sakitan, masih harus jualan gorengan yang dibuat oleh bunda. Aku berjualan gorengan dari kampung ke kampung, juga disetor ke warung-warung. Jengkel, nangis, dan entah apa lagi saat itu yang kurasakan menerima dampak sikap orang tuaku yang menampung anak-anak orang lain. ”Capai tauu,” kata hati kecilku. “Apakah mereka tidak merasakan keluhan yang selalu kupendam selama ini ya?” batinku. Gaji Pertama dan Pengalaman Menjadi Orangtua Asuh Tahun demi tahun berlalu dan ayahku masih mengambil anak-anak asuh tanpa kelelahan maupun bosan. Hingga suatu hari saat aku mendapatkan gaji untuk pertama kalinya, aku mengambil alih beberapa orang anak tetangga yang sudah satu tahun tidak bisa sekolah. Sangat perih kurasakan saat melihat mereka bengong di depan rumah ketika teman seusianya berangkat sekolah. Kemudian aku berada dalam situasi “terkutuk” (menurutku saat itu) warisan orang tuaku yang membuatku menjadi “pecandu” untuk memberi beasiswa bagi anak-anak orang lain secara konvensional. Dalam memberi beasiswa, aku berinteraksi langsung dengan orang tua serta keluarga anak asuh. Aku ingin mendampingi anak-anak agar sekolah dengan benar. Namun ada yang kurang menyenangkan dengan cara ini. Seringkali uang sekolah yang aku berikan ke orang tua anak tidak dibayarkan hingga berbulan-bulan. Hal ini kuketahui saat ingin melihat raport mereka. Karena menunggak sampai saat pembagian raport, maka buku laporan hasil belajar tersebut tidak dapat diberikan kepada siswa. Memang tidak semua orang tua bersikap seperti itu, buktinya ada juga anak-anak yang dapat aku tanggung kuliahnya hingga jenjang S1 meski nafasku tersenggal-senggal. Namun tetaplah, sikap orang tua yang seenaknya cukup membuat hatiku jengkel, sedih, hingga pada akhirnya aku memutus kesempatan sekolah bagi mereka untuk kemudian berganti ke anak lain. Bergabung Bersama Anak Anak Terang Sampai pada suatu hari aku mendapatkan informasi tentang komunitas yang sesuai misiku. Komunitas Anak Anak Terang (AAT). Aku sadar meski aku bukan tergolong kaya, namun “canduku” untuk memberi kesempatan calon penerus bangsa agar mendapatkan pendidikan yang layak telah menjadi kesukaanku. Bukan karena ingin dipuji, namun berharap agar suatu saat bangsa di mana aku dilahirkan, dibesarkan, akan memiliki generasi muda yang dapat meneruskan perjuangan para pendahulunya menjadi negara maju dan bersih.   Saat aku menulis goresan hidup ini, aku diberi tugas Tuhan untuk menjadi salah satu pengurus harian komunitas Anak Anak Terang. Meski kutahu hanya secuil yang mampu kulakukan dibanding pengurus lain yang masih muda belia yang memiliki peran begitu besar atas berlangsungnya komunitas ini, para pengurus yang membanting tulang untuk orang lain, yang kehilangan banyak waktu untuk diri sendiri, pengurus yang mencurahkan pikiran dan kepandaiannya dalam mencari peluang mendapatkan donatur, aku hanya bisa memberi bekal kepada pemuda-pemudi relawan AAT untuk kehidupan mereka selanjutnya. Bahwa hidup mereka sangat berharga. Berharga bagi orang lain dan diri sendiri. Berharga bagi komunitas Anak Anak Terang yang saat ini membutuhkan tenaga muda mengurus adik-adik asuh, mendampingi adik-adik yang mendapatkan beasiswa sekolah dari jenjang SD hingga SMA/SMK. Kebahagiaanku bukan dengan emas permata. Kebahagiaanku adalah saat aku berkumpul dengan pemuda-pemudi relawan AAT yang semakin lama semakin memiliki kepribadian yang cerdas serta bertanggung jawab, mandiri dan tidak cengeng. Bersama mereka di Sekretariat Yogya, Purwokerto, Madiun, Semarang hingga Malang membuatku serasa menjadi lebih muda berpuluh tahun. Serasa aku menjadi ibu muda yang harus mengomel, memberi petuah, maupun tertawa bersama. Relawan-relawan yang menyandang status mahasiswa ini membuat hidupku penuh bunga. Aku bahagia bila para relawan dapat membawa diri serta mampu mengurus adik-adik yang menjadi tanggung jawab mereka di AAT. Menjadikan AAT sebagai komunitas beasiswa yang mampu mempertanggungjawabkan semua uang yang dipercayakan dari para donatur. Sekarang yang kuharapkan adalah semakin banyak insan yang berkenan menjadi donatur di AAT melalui www.anakanakterang.web.id , supaya semakin banyak anak yang mendapatkan kesempatan menuntut ilmu. Harapanku agar ada bibit-bibit relawan muda yang sudah mapan dan jujur untuk berkenan bergabung bersama AAT agar kelak dapat menggantikan kami sebagai pengurus di Yayasan AAT Indonesia. Berkenan bergabung bersama AAT akan membuat hidup lebih berharga, lebih bermakna, dan berkenan di hadapan Allah. Tetap bertahan dan bertambah besarlah Anak Anak Terang. Terima kasih atas kesempatan untuk dapat hidup bersama kalian. Salam   Elisabeth Lies Endjang Soerjawati Pengurus Harian Yayasan AAT Indonesia   [qrcode content=”https://aat.or.id/hidupku-tertambat-bersama-aat” size=”175″]  

Hidupku Tertambat Bersama AAT Read More »