Uncategorized

Ticking Clock

Cu diam fuisset cum, mea ex idque intellegebat, agam option timeam sit in. Eu quidam eruditi vix. Nemore utroque accusata no vis, usu id labore incorrupte. Ius ea debet deleniti accusamus. Usu quem case graeco et, id ceteros oporteat vivendum per. Meis graecis incorrupte ex pro, usu id altera saperet constituam.In alia iisque cum, tation putant ancillae qui ex. Eam id solum tollit feugait. Soluta qualisque eum eu, possit scaevola salutandi ex pro. Ius dolor malorum conclusionemque ut, cibo forensibus concludaturque id his. Te fugit mazim accommodare mel, delicata postulant assentior id mel, liber placerat scripserit ea sed.Mei no adhuc expetenda urbanitas. Populo equidem fabulas per id. At vix ridens dicunt. His minim cetero disputando ei, mea an maiorum adolescens vituperata. At mea nemore recusabo, usu mutat utinam id. At mei vocibus facilis invenire.Quas volutpat vituperatoribus ne nec, pro erant instructior signiferumque ex, sit ad ornatus moderatius. Ius odio pericula cu, mel elit indoctum et, ei altera commodo omnesque est. Cu qui nemore equidem assentior, ferri velit aliquam nam id. Ex mel quando scripserit, nam in similique adipiscing, inani interpretaris cu cum. Cum equidem persecuti te, ut natum semper tacimates vis. Stet referrentur interpretaris sea in, duo in ferri suavitate. Omittam assueverit scripserit qui ne, vel ei essent definiebas.

Ticking Clock Read More »

Hidupku Tertambat Bersama AAT

Suatu hari ketika kutelisik ke belakang, sesuatu yang kujalani adalah warisan kedua orang tuaku. Bila melihat anak tidak dapat melanjutkan sekolah maka hatiku serasa teriris. Aku dibesarkan bersama ke-5 saudara kandung dan beberapa saudara yang silih berganti dibawa ayah ke rumah saat mereka ingin melanjutkan kuliah. Prinsip orang tuaku adalah menuntut ilmu setinggi mungkin tanpa memandang usia. Meski orang tuaku tergolong pegawai kecil yang gajinya tidak seberapa, namun kami dinasehati tetap melanjutkan sekolah sebagai bekal hidup. Saudara-saudara maupun anak orang lain yang tinggal di rumah kami tidak dikenai biaya kost sepeserpun asal mereka dengan tekun belajar. Bundaku membantu ayah dengan berjualan kebutuhan sehari-hari, menerima jahitan, serta berjualan masakan. Beliau hanya sempat tidur beberapa jam saja setiap harinya. Sore hari ayah jualan kacang goreng serta jenis-jenis lain di Pasar Peterongan, dahulu disebut dengan Pasar Koplak, pasar yang buka pada sore dan malam hari. Pasar sore yang dahulu bersih dan asri bagi penjual dan pembelinya. Beliau mencari tambahan penghasilan demi uang sekolah dan kebutuhan hidup. Meski kelelahan dalam memenuhi segala kebutuhan anak-anaknya dan anak orang lain, ayah serta bundaku tidak mengeluh di hadapan kami. Yang mengherankan adalah, ayah tidak pernah putus membawa anak orang lain ke rumah supaya mereka bisa mengenyam pendidikan yang lebih baik. Kadang jengkel rasa hatiku melihat ini semua, sebab aku harus bekerja bertambah keras untuk membantu bundaku mencari tambahan uang guna memenuhi kebutuhan hidup. Aku anak perempuan tertua, berbadan kecil, hitam, jelek dan sakit-sakitan, masih harus jualan gorengan yang dibuat oleh bunda. Aku berjualan gorengan dari kampung ke kampung, juga disetor ke warung-warung. Jengkel, nangis, dan entah apa lagi saat itu yang kurasakan menerima dampak sikap orang tuaku yang menampung anak-anak orang lain. ”Capai tauu,” kata hati kecilku. “Apakah mereka tidak merasakan keluhan yang selalu kupendam selama ini ya?” batinku. Gaji Pertama dan Pengalaman Menjadi Orangtua Asuh Tahun demi tahun berlalu dan ayahku masih mengambil anak-anak asuh tanpa kelelahan maupun bosan. Hingga suatu hari saat aku mendapatkan gaji untuk pertama kalinya, aku mengambil alih beberapa orang anak tetangga yang sudah satu tahun tidak bisa sekolah. Sangat perih kurasakan saat melihat mereka bengong di depan rumah ketika teman seusianya berangkat sekolah. Kemudian aku berada dalam situasi “terkutuk” (menurutku saat itu) warisan orang tuaku yang membuatku menjadi “pecandu” untuk memberi beasiswa bagi anak-anak orang lain secara konvensional. Dalam memberi beasiswa, aku berinteraksi langsung dengan orang tua serta keluarga anak asuh. Aku ingin mendampingi anak-anak agar sekolah dengan benar. Namun ada yang kurang menyenangkan dengan cara ini. Seringkali uang sekolah yang aku berikan ke orang tua anak tidak dibayarkan hingga berbulan-bulan. Hal ini kuketahui saat ingin melihat raport mereka. Karena menunggak sampai saat pembagian raport, maka buku laporan hasil belajar tersebut tidak dapat diberikan kepada siswa. Memang tidak semua orang tua bersikap seperti itu, buktinya ada juga anak-anak yang dapat aku tanggung kuliahnya hingga jenjang S1 meski nafasku tersenggal-senggal. Namun tetaplah, sikap orang tua yang seenaknya cukup membuat hatiku jengkel, sedih, hingga pada akhirnya aku memutus kesempatan sekolah bagi mereka untuk kemudian berganti ke anak lain. Bergabung Bersama Anak Anak Terang Sampai pada suatu hari aku mendapatkan informasi tentang komunitas yang sesuai misiku. Komunitas Anak Anak Terang (AAT). Aku sadar meski aku bukan tergolong kaya, namun “canduku” untuk memberi kesempatan calon penerus bangsa agar mendapatkan pendidikan yang layak telah menjadi kesukaanku. Bukan karena ingin dipuji, namun berharap agar suatu saat bangsa di mana aku dilahirkan, dibesarkan, akan memiliki generasi muda yang dapat meneruskan perjuangan para pendahulunya menjadi negara maju dan bersih.   Saat aku menulis goresan hidup ini, aku diberi tugas Tuhan untuk menjadi salah satu pengurus harian komunitas Anak Anak Terang. Meski kutahu hanya secuil yang mampu kulakukan dibanding pengurus lain yang masih muda belia yang memiliki peran begitu besar atas berlangsungnya komunitas ini, para pengurus yang membanting tulang untuk orang lain, yang kehilangan banyak waktu untuk diri sendiri, pengurus yang mencurahkan pikiran dan kepandaiannya dalam mencari peluang mendapatkan donatur, aku hanya bisa memberi bekal kepada pemuda-pemudi relawan AAT untuk kehidupan mereka selanjutnya. Bahwa hidup mereka sangat berharga. Berharga bagi orang lain dan diri sendiri. Berharga bagi komunitas Anak Anak Terang yang saat ini membutuhkan tenaga muda mengurus adik-adik asuh, mendampingi adik-adik yang mendapatkan beasiswa sekolah dari jenjang SD hingga SMA/SMK. Kebahagiaanku bukan dengan emas permata. Kebahagiaanku adalah saat aku berkumpul dengan pemuda-pemudi relawan AAT yang semakin lama semakin memiliki kepribadian yang cerdas serta bertanggung jawab, mandiri dan tidak cengeng. Bersama mereka di Sekretariat Yogya, Purwokerto, Madiun, Semarang hingga Malang membuatku serasa menjadi lebih muda berpuluh tahun. Serasa aku menjadi ibu muda yang harus mengomel, memberi petuah, maupun tertawa bersama. Relawan-relawan yang menyandang status mahasiswa ini membuat hidupku penuh bunga. Aku bahagia bila para relawan dapat membawa diri serta mampu mengurus adik-adik yang menjadi tanggung jawab mereka di AAT. Menjadikan AAT sebagai komunitas beasiswa yang mampu mempertanggungjawabkan semua uang yang dipercayakan dari para donatur. Sekarang yang kuharapkan adalah semakin banyak insan yang berkenan menjadi donatur di AAT melalui www.anakanakterang.web.id , supaya semakin banyak anak yang mendapatkan kesempatan menuntut ilmu. Harapanku agar ada bibit-bibit relawan muda yang sudah mapan dan jujur untuk berkenan bergabung bersama AAT agar kelak dapat menggantikan kami sebagai pengurus di Yayasan AAT Indonesia. Berkenan bergabung bersama AAT akan membuat hidup lebih berharga, lebih bermakna, dan berkenan di hadapan Allah. Tetap bertahan dan bertambah besarlah Anak Anak Terang. Terima kasih atas kesempatan untuk dapat hidup bersama kalian. Salam   Elisabeth Lies Endjang Soerjawati Pengurus Harian Yayasan AAT Indonesia   [qrcode content=”https://aat.or.id/hidupku-tertambat-bersama-aat” size=”175″]  

Hidupku Tertambat Bersama AAT Read More »

Kasih Tuhan Terpancar Melalui AAT

“Janji Tuhan laksana matahari yang terbit di esok hari, tidak akan pernah terlambat, selalu tepat pada waktunya”, ungkapan inilah yang cocok untuk menggambarkan perjumpaan pertamaku dengan AAT. Perkenalkan, namaku Jochen Phoan, namun orang-orang lebih sering menyapaku dengan Yohan, aku bukanlah berasal dari keluarga yang berekonomi kaya, kedua orang tuaku juga telah bercerai semenjak aku masih sangat kecil sehingga aku hanya hidup berdua bersama dengan Bunda yang merawat dan mendidikku sedari kecil hingga saat ini. Penghasilan Bunda juga hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari dan sedikit disisihkan untuk menabung. Meski demikian Bunda bercita-cita agar bisa menyekolahkanku hingga perguruan tinggi, dan perguruan tinggi yang kupilih adalah Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Program Studi Teknik Industri. Dengan menguras seluruh tabungan Bunda, akupun bisa mengenyam bangku kuliah, meskipun kami hanya mampu membayar sebagian dari kewajiban administrasi yang menjadi kewajiban. Semenjak Semester 2 aku mulai mencoba mencari penghasilan tambahan sebagai seorang guru les privat. “Lumayanlah untuk mengurangi beban Bunda” ujarku dalam hati. Seiring berjalannya waktu aku juga mencoba mencari penghasilan tambahan lagi sebagai Asisten Dosen. Sering kali aku berangkat pagi untuk kuliah, mengajar dan menjadi guru les, hingga petang hari aku baru kembali, namun semuanya itu aku jalani dengan Ikhlas dan penuh syukur. Hingga tibalah waktunya aku menginjak semester terakhir dari masa kuliahku, namun aku masih memiliki tunggakan biaya kuliah yang cukup besar. “Tuhaaannn… aku tidak sanggup lagi” ujarku dalam hati. Segala perhitungan kami sudah mencapai titik buntu. Semua tabungan bahkan barang yang bisa kami jual pun sudah habis. Aku sudah tidak memiliki apapun untuk bisa membayar tunggakan uang kuliah. Dan di sinilah tangan Tuhan berkarya melalui Anak Anak Terang (AAT). Seperti petir di siang hari saat aku mendapat kabar dari adik kelasku (Fransiska Mulyani, salah satu Staff Admin AAT) bahwa salah satu dosenku, yaitu Bpk. Hadi Santono yang pada saat itu menjabat sebagai Wakil Dekan III Fakultas Teknologi Industri hendak bertemu dengan diriku secara pribadi. Pikiranku sudah khawatir, “Apakah beliau hendak menanyakan masalah tunggakan uang kuliahku ?” Pertanyaan ini sempat muncul dalam benakku, karena setiap semester memang kami selalu menghadap ke Kantor Keuangan UAJY untuk memohon keringanan pembayaran uang kuliah, dan ini sudah semester terakhir dalam masa studiku. Saat aku menghadap Bpk. Hadi Santono beliau menyodorkan secarik kertas yang berisikan jumlah tunggakan uang kuliahku yang belum terbayarkan. “Mampuslah aku kali ini !” ujarku dalam batin, kekhawatiranku makin menjadi pada saat itu. Kemudian maksud Bpk. Hadi menyodorkan kertas tersebut bukanlah untuk menagih hutang tunggakan uang kuliahku, tetapi justru untuk membantuku dalam melunasinya Aku kaget bukan main, hal ini benar-benar di luar dugaanku. Sungguh karya Tuhan telah bekerja pada diriku melalui AAT. Semenjak itu Bpk. Hadi Santono mulai mengenalkanku kepada AAT, mengenai kenapa ia membantu anak-anak yang kurang mampu dan bagaimana cara dan prosedurnya. Aku terkejut bukan main, ternyata dana yang dikumpulkan itu berasal dari banyak donatur, sehingga dana tersebut mampu digunakan untuk membantu anak-anak yang kurang mampu. Nominal uang yang tidak seberapa besarnya, bahkan lebih kecil dari harga sepotong pizza sekali pun, ternyata bisa membantu anak-anak dalam mewujudkan mimpinya. Satu pesan yang diamanatkan kepadaku oleh Bpk. Hadi Santono yaitu “Jadilah Anak-Anak Terang yang bukan hanya mampu menerangi diri sendiri, namun bisa membantu sesamanya”. Hal itu yang terus aku tanamkan dalam hatiku hingga saat ini. Meskipun aku baru saja mulai berkarir, sedikit demi sedikit, aku menyisihkan dan mengirimkan sebagian kecil dari gaji yang kuterima setiap bulan untuk membantu adik-adik asuh AAT lainnya. Nilai yang sangat kecil, terpaut jauh dengan bantuan yang pernah kuterima saat menjadi anak asuh AAT. Namun hanya itu yang saat ini aku sanggup karena akulah yang sekarang harus menanggung kehidupan Bunda. Semoga Tuhan selalu menyalakan Api Semangat Untuk Berbagi Kasih Kepada sesama dalam diriku melalui AAT dan hal lainnya. Amin.   Jochen Phoan, ST.*  *Jochen Phoan (YOHAN) adalah salah satu anak asuh AAT. Lulus Sarjana pada bulan Juni 2012 dari Program Studi Teknik Industri Fakultas Teknologi Industri Universitas Atma Jaya Yogyakarta dengan predikat Sangat Memuaskan. Sekarang bekerja sebagai staff Divisi Sales and Logistic di PT. Honda Prospect Motor, Jakarta   [qrcode content=”https://aat.or.id/kasih-tuhan-terpancar-melalui-aat” size=”175″]  

Kasih Tuhan Terpancar Melalui AAT Read More »

Letter from Patricia L. Henry

One of the highlights of my trip to Indonesia this time, was my meeting with Pak Hadi Santono and a group of volunteers from Anak Anak Terang in Jogjakarta. This amazing group of smart and energetic young people taught me how to support and care for the less fortunate by giving them a chance to go to good schools, hence a good shot in life. Their program is quite basic, but what makes it different and successful is their believe in the “POWER of SMALL” (donation), yet a HUGE network of caring volunteers–educators, sponsors, and students– providing physical and emotional support for the child. It is a village. With a little less than $10.00 a month, a little more than a cup of cappuccino in the US, we can send a child to school. 11 years ago, a group of caring Moms, decided to do something with the Jakarta’s street kids. Now it has blossomed into providing scholarships for 2048 some students, ranging from 1st grade to College, with hundreds of volunteers and donors, many are the products of this program themselves. I am inviting you to please get involved. The gift of education will provide a child with dignity that every person deserves to have. We can help stop the cycle of poverty now. My gratitude to Pak Hadi Santono, Pak Christ Widya, Ibu Lies Endjang for their hospitality and incredible dedication to the the group, and last but not least to Pak Nico Krisnanto who introduced me to this amazing group. Salam hangat. May God continue to bless you.   Patricia L. Henry Houston, Texas, USA   [qrcode content=”https://aat.or.id/letter-from-patricia-l-henry” size=”175″]  

Letter from Patricia L. Henry Read More »

Siswa SLB Yapenas : Aku Juga Bisa

Nama saya Wahyu Haryono, siswa SLB Yapenas, saya sedang melakukan kegiatan pembelajaran dengan menggunakan laptop. Saya adalah salah satu anak asuh dari AAT. Sekarang saya kelas XII. Berbagai macam kegiatan di SLB Yapenas, khususnya SMALB, 70% bersifat keterampilan dan 30% bersifat akademis. Belajar komputer sangat menyenangkan, walaupun kondisi saya tunarungu yang tidak bisa mendengar suara di sekitar dengan baik. Tapi saya senang belajar komputer. Temanku pernah juara I desain grafis tingkat kabupaten pada tahun 2012 ini. Saya juga pernah juara I lomba pantomim  Tingkat Kabupaten, dan juara II tingkat Provinsi DIY. Pembelajaran dengan menggunakan komputer sangat membantu pemahaman saya. Buat teman-teman mari belajar komputer seperti saya. Salam untuk AAT !    

Siswa SLB Yapenas : Aku Juga Bisa Read More »