Relawan

Kisah Relawan: Panti Rini Purworejo

TANGGAL 1 Juni 2013 saya, Kak Isma, Kak Desti, dan Kak Mega mendapat tugas kunjungan dan wawancara untuk sekolah yang mengajukan Beasiswa AAT di daerah Purworejo. Ada cukup banyak calon anak asuh dari 4 komunitas yang perlu kami wawancarai. Salah satunya adalah Panti Asuhan Panti Rini. Dan kebetulan kami berempat menginap panti asuhan tersebut. Kami tiba di sana saat hari sudah gelap, kurang lebih pukul 21.00. Kami dijemput oleh seorang Bruder di depan sebuah rumah sakit, kemudian kami pun diantarkan menuju Panti Rini. Setibanya di Panti Rini, kami disambut dengan hangat oleh senyum manis anak-anak yang tinggal di sana. Anak-anak tersebut dengan sengaja menunggu kedatangan kami, padahal seharusnya peraturan panti tidak memperbolehkan mereka tidur terlalu malam. Mereka mengerubungi kami berempat dan beberapa diantaranya menanyai nama kami masing-masing. Usia mereka cukup bervariasi. Ada beberapa anak yang masih duduk di SD, SMP, maupun SMA. Kami mengobrol dengan Suster Theresina sambil menunggu anak-anak menyiapkan makan malam, yaitu nasi goreng, telur dan timun. Saya bangga dengan anak-anak di panti tersebut, karena makanan yang saya santap malam itu adalah masakan mereka. Sambil menyantap makan malam, kami dan suster mengobrol hal-hal ringan seputar pengenalan AAT. Hari Wawancara Keesokan paginya sebelum memulai wawancara, kami menyempatkan diri untuk pergi berjalan-jalan. Lalu sekitar pukul 10.00 kami memulai wawancara, dimulai dengan SD, dilanjutkan SMP, lalu SMA. Pada hari itu kami berempat cukup mendapat banyak berkah makanan. Kami diberi kue-kue snack dari komunitas yang kami wawancarai, dan kembali kamu bagikan pada saat wawancara dengan calon anak asuh. Kami berpikir, jumlah kami hanya berempat dan jauh lebih baik bila makanan yang masih sisa kami berikan pada anak panti. Meski semuanya tidak mungkin terbagi namun setidaknya sebagian dari mereka merasakannya. Sewaktu wawancara siang hari itu, ada satu orang anak SMP yang memang kebetulan tinggal di Panti Rini. Dia menceritakan bahwa dia merasa rindu dan kecewa dengan keluarganya karena menaruhnya di sebuah panti. Anak itu juga mengatakan bahwa dia sering diejek oleh teman-temannya karena ia tinggal di panti. Anak itu menangis. Dan saya hanya bisa memberinya nasehat bahwa apa yang dia dapat dan miliki saat ini, itu adalah sesuatu yang terbaik yang Tuhan pilihkan. Dan setiap orang pasti memiliki jalan hidup yang berbeda. Hari sudah sore ketika kami selesai wawancara, namun masih ada 4 orang anak panti yang nanti malam baru akan kami wawancarai. Ketika kami semua baru masuk, anak-anak yang masih duduk di SD mengerubungi kami. Mereka mengatakan bahwa kami jangan pulang saat itu. Lalu saya bilang bahwa kami baru akan pulang nanti malam. Dan mereka bersorak gembira. Saya mendengar cerita dari beberapa anak yang membuat saya berpikir bahwa saya merasa lebih beruntung daripada mereka. Ada beberapa anak yang membuat saya cukup terkesan, namun saya lupa namanya. Dia anak yang berasal dari Papua. Orang tuanya mempunyai cukup banyak anak, sementara semuanya membutuhkan biaya untuk bertahan hidup juga pendidikan. Dia bercerita kalau seorang susterlah yang membawanya ke Panti Rini karena merasa iba dengan kehidupan keluarganya. Dia juga mengatakan kalau selama dia kecil sampai sekarang dia belum pernah dipeluk oleh siapapun termasuk oleh orang tuanya. Dia juga bilang dia ingin menjadi orang yang sukses di masa depan agar bisa membanggakan kedua orang tuanya. Di antara semua anak di panti tersebut yang seumuran dengannya, anak itulah yang memiliki gaya bicara seperti orang dewasa. Yang saya tahu anak tersebut pendiam. Dan ada satu anak lagi yang cukup menarik perhatian. Entah kenapa? Dia terkesan sangat tertutup juga pendiam, namun senyumnya sangat manis. Dia berasal dari Arab. Ada banyak rasa yang mereka miliki. Rasa kangen, sedih, sepi, kecewa, dan lain-lain. Meski mereka tidak secara jelas mengatakannya namun terlihat jelas dari pancaran sinar mata mereka. Meski hidup mereka di panti tersebut jauh lebih baik karena mereka bisa mendapatkan hal-hal yang lebih layak untuk dirinya namun ada sedikit ruang di hatinya yang masih kosong. Perhatian dan juga kasih sayang yang ada dalam sebuah keluarga, mereka belum sepenuhnya mendapatkannya. Ada juga anak yang merasa kecewa dengan hidupnya, merasa dia buruk dibanding dengan teman-temannya di sekolah karena dia tinggal di panti. Ada juga yang menyalahkan orang tuanya karena merasa ditelantarkan. Ketika saya sedang mencari suster Theresina, saya bertanya dengan salah seorang anak yang ternyata sedang menyembunyikan nasi kotak di sebuah lemari di kamarnya. Dia terkejut melihat saya. Dan saya hanya bisa tersenyum melihat kejadian itu. Lalu saya melihat anak-anak yang sedang berada di dapur. Ada yang sedang membersihkan telur, mencuci, membersihkan meja dapur dan sebagainya. Mereka semua dididik agar dapat hidup mandiri. Baru pertama kali saya menginap di sebuah panti, tapi itu sangat membuat saya senang. Sore hari, setelah kami menyelesaikan wawancara, kami pun memutuskan untuk bermain dengan mereka dan berfoto bersama namun tak lama hujan turun cukup deras. Jadi kami lanjutkan mengobrol. Kembali ke Jogja Dan malam harinya kami semua undur diri karena harus pulang kembali ke Jogja. Saya merasa cukup berat meninggalkan tempat itu. Karena saya merasa ada kebersamaan disana, mereka selalu melakukan sesuatu secara bergotong royong. Dan saya benar-benar bangga dengan mereka karena dengan umur mereka yang terpaut cukup jauh lebih muda dengan saya, mereka sudah bisa untuk hidup mandiri. Dan saya harap, senyum mereka semua akan menjadi lampu penerang di panti tersebut yang selalu terpancar baik siang maupun malam, yang tidak akan pernah padam. Dan semoga sedikit luka yang mereka miliki dan simpan di hati masing-masing dapat segera pulih. Juga mimpi yang menjadi angan-angan mereka semoga bukan hanya sekedar angan-angan. Semoga dengan adanya bantuan dari AAT akan membuat senyum mereka semakin terkembang dan membuat mereka dapat menggapai mimpinya.   Fera Tri Lestari Staff Admin AAT Jogja   [qrcode content=”https://aat.or.id/kisah-relawan-panti-rini-purworejo” size=”175″]    

Kisah Relawan: Panti Rini Purworejo Read More »

Kisah Relawan : SMP Pangudi Luhur Tuntang

SMP PANGUDI LUHUR (PL) Tuntang terletak di di Desa Tlogo, Kecamatan Tuntang, Kabupaten Semarang dari Salatiga lebih kurang 5 Km. Untuk menuju sekolah ini tidak sulit, hanya saja letaknya jauh dari wilayah kota Salatiga. Sepanjang perjalanan kami disuguhi oleh perkebunan karet dan buah-buahan Desa Tlogo. Kondisi sekolah saat kami kunjungi kebetulan habis direnovasi jadi terlihat bersih dan indah. Biaya renovasi ini diperoleh dari pemerintah kota Salatiga. Kepala sekolah dan guru guru di sana sangat ramah dan benar-benar perhatian pada kami.   Tidak hanya mengembangkan prestasi akademis, di bidang non-akademis SMP PL Tuntang menyediakan ekstra-kulikuler menjahit, olahraga, karawitan demi pengembangan bakat para siswa. Hasilnya juga memuaskan sebab antara tahun 2009-2010, SMP ini meraih juara dalam berbagai bidang di tingkat kota maupun tingkat propinsi. Latar Belakang Para Siswa Anak-anak yang bersekolah di SMP PL Tuntang kebanyakan tinggal bersama kakek & nenek. Mereka menuju ke sekolah dengan berjalan kaki melewati desa-desa dan perkebunan. Selain itu ada juga yang bersepeda. Para orangtua siswa bekerja di luar kota, itupun bekerja “kasar”. Ada yang bekerja sebagai kuli bangunan, PRT, penjaga toko, ataupun buruh pabrik konveksi rumahan. Beberapa ada yang tinggal bersama kakek dan neneknya sejak kecil. Pertemuan dengan orang tuanya hanya saat lebaran, itupun tidak lengkap kadang hanya ayahnya saja dan ibunya saja. Pengiriman uang sekolah juga tidak tentu sehingga perekonomian anak tersebut sangat pas-pasan dan kadang kurang. Kakek dan nenek yang sudah tua penghasilannya juga sedikit karena hanya bekerja sebagai buruh “mbiset” getah karet. Namun betapapun banyak keterbatasan, semangat anak-anak yang tinggal di Desa Tlogo sangat membuat saya “berkaca diri”. Meskipun dengan kondisi keluarga yang tidak “utuh” namun mereka mampu bersekolah dengan baik serta berprestasi. Uniknya lagi kakek dan nenek mereka kebanyakan tidak bisa membaca dan menulis. Akibatnya, saat membuat surat keterangan, sekolah perlu membantu membuatkannya. Bahkan beberapa guru datang langsung ke rumah anaknya hanya untuk mengajari kakek dan nenek dari anak tersebut untuk tanda tangan ala kadarnya. Saya juga salut dengan para guru karena mereka mau mencari anak-anak yang tidak sekolah yang hanya bekerja di kebun untuk disekolahkan. Untuk pembiaya anak-anak ini sekolah mencarikan bantuan melalui pengurus yayasan, pemerintah kota, dan betapa beruntungnya sekolah ini dapat bertemu dengan “Anak Anak Terang”. Kami sebagai penanggung jawab komunitas yang merupakan bagian dari Anak Anak Terang juga merasa beruntung dan sangat senang dapat membantu. Melalui Anak Anak Terang semoga pendidikan siswa-siswi di desa Tlogo tidak hanya sampai berhenti di sini. Foto lengkap survey, presentasi, dan wawancara calon anak asuh SMP PL Tuntang dapat dilihat melalui Galeri AAT.   Edo Prakosa Staff Admin AAT Semarang  [qrcode content=”https://aat.or.id/kisah-relawan-smp-pangudi-luhur-tuntang” size=”175″]  

Kisah Relawan : SMP Pangudi Luhur Tuntang Read More »

Kisah Relawan : SMP Theresiana Sumowono

TIM AAT SEMARANG mengunjungi SMP Theresiana Sumowono yang beralamat di Jalan Pahlawan No.18 Sumowono pada 2 Juni 2013. Nama Theresiana pasti sangatlah favorit untuk banyak orang, khususnya bagi masyarakat Semarang. Namun yang terjadi justru berbeda, meski sama-sama di bawah naungan Yayasan Bernadus, SMP Theresiana Sumowono justru merupakan sekolah yang menurut saya dan teman-teman kurang dari baik untuk sebuah sekolah. Hal ini karena letaknya yang kurang strategis, jauh dari tengah kota. Saat saya dan teman-teman berkunjung pun, kita tidak tahu di mana SMP Theresiana berada sebab tingginya rumput-rumput liar yang menghalangi akses menuju sekolah. Sesampainya di sana, kami kami mewawancarai kepala sekolah serta salah satu penanggung jawab. Wawancara Kepala Sekolah dan Penanggung Jawab adalah prosedur baku yang harus dilakukan sebelum kami melakukan wawancara dengan calon anak asuh. Tentang SMP Theresiana Sumowono Pada tahun ajaran 2013/2014 SMP Theresiana Sumowono mempunyai 12 guru dan karyawan serta 60 murid yang terdiri dari 18 murid kelas VII, 16 murid kelas VIII, serta 44 murid kelas IX. Tiap tahunnya SMP Theresiana mengalami penurunan jumlah murid. Dari yang sekitar 90 pada tahun 2011, lalu tiap tahun jumlah murid terus menurun. Penurunan ini diakibatkan kekalahan kompetisi dengan sekolah negeri yang membebaskan tidak membayar uang gedung kepada calon murid, sehingga orang tua lebih memilih menyekolahkan anaknya di sekolah tersebut. Fasilitas-fasilitas yang dimiliki oleh SMP Theresiana Sumowono memang kurang. Jumlah kelas yang dimiliki pun juga sedikit, yaitu hanya ada 5 kelas yang dapat digunakan untuk kegiatan belajar mengajar. Selain kelas yang sedikit, keterbatasan ruang guru yang kecil, jumlah komputer yang minim untuk kegiatan pembelajaran, tembok-tembok yang mulai retak, merupakan sedikit dari contoh kekuranglayakan fasilitas SMP Theresiana Sumowono. Pada tahun ajaran 2013/2014, SMP Theresiana Sumowono mengajukan 34 murid yang masih duduk di kelas VII dan kelas VIII. Kami Tim AAT segera mengenalkan Anak Anak Terang kepada murid-murid, mengajak mereka bernyanyi, dan mewawancarai satu per satu. Wawancara Rata-rata pekerjaan orang tua siswa adalah petani garapan. Sawah yang dikerjakan oleh mereka merupakan lahan milik TNI-AD yang disewakan pada masyarakat untuk digunakan sebagai tempat bercocok tanam. Banyak di antara para murid yang kami wawancarai memang keluarganya berasal dari desa. Untuk menuju ke sekolah mereka harus berjalan kaki cukup jauh, bahkan mereka menumpang mobil pick-up yang lewat sesuai dengan jurusan munuju sekolah. Ketidakmudahan transportasi ini kerap kali membuat ada yang terlambat ke sekolah. Tapi semangat untuk bersekolah, semangat mendapat ilmu, membuat mereka tidak mengurungkan niat meski apapun rintangan yang mereka hadapi. Para murid SMP Theresiana Sumowono ingin menggapai cita-cita yang mereka impikan. Setelah pulang sekolah pun terkadang siswa-siswi – didampingi oleh para guru –  mengajari adik-adik mereka yang berada di sekitar rumah, baik berhitung dan juga membaca. Selesai mewawancarai, kami memberikan sedikit snack untuk sarapan murid-murid. Meskipun tidak banyak tapi berharga sekali untuk mereka. Tak lupa juga ada Ibu Lies Endjang selaku pengurus AAT yang turut hadir memberikan motivasi-motivasi kepada para murid agar tetap semangat dengan apa yang mereka miliki sekarang. Sesudah beliau memberikan saran yang bermanfaaat, kita ajak untuk berfoto bersama sebagai kenang-kenangan sebelum pulang. Kenangan tentang semangat yang tetap menyala dalam segala keterbatasan yang mereka miliki. Setelah kunjungan kami melakukan pleno. SMP Theresiana Sumowono mendapatkan persetujuan untuk 18 anak asuh yang diterima AAT pada tahun ajaran ini.   Handy Wibowo Staff Admin AAT Semarang  [qrcode content=”https://aat.or.id/kisah-relawan-smp-theresiana-sumowono” size=”175″]  

Kisah Relawan : SMP Theresiana Sumowono Read More »

Kisah Relawan : Cepu Punya Cerita

PERJALANAN sore itu diawali dengan kecemasan kami akan tiket kereta ekonomi yang telah habis terjual. Padahal sudah jelas bahwa malam itu kami diwajibkan untuk tiba di Cepu karena Pak Michael (Kepala Sekolah SMK Katolik St. Yusuf) sudah menanti kedatangan kami. Pak Michael juga sudah mempersiapkan para muridnya untuk diwawancarai oleh team relawan AAT Semarang. Akhirnya kami memilih untuk tetap berangkat dengan Kereta Cepu Ekspress karena tak ada pilihan kereta lain. Kereta berangkat tepat pukul 17.05 WIB. Empat jam selama perjalanan kami tidak hanya duduk dan berdiam diri di atas kursi kereta api. Beberapa dari kami menghabiskan waktu dengan mengobrol tentang rencana yang akan kita kerjakan di Cepu. Ada pula yang sembari mengerjakan tugas kuliah karena kami pergi dengan membawa sejuta tugas layaknya mahasiswa pada umumnya. Singkat cerita setelah 4 jam berada di atas kereta api, kami berdelapan tiba juga di Stasiun Cepu dengan sambutan hangat oleh Bapak Michael. Selanjutnya kami diantar ke penginapan yang terletak tak jauh dari stasiun. Hanya 10 menit dengan menaiki becak. Bapak Michael adalah seorang Kepala Sekolah yang juga aktif membantu murid-muridnya yang kesulitan untuk membayar biaya sekolah. Hal ini dikarenakan beliau belum memiliki seorang putra sehingga sebagian dari rejekinya diberikan kepada para murid yang membutuhkan agar mereka dapat terus bersekolah. Presentasi dan Wawancara  Keesokan harinya kegiatan kami diawali dengan mewawancarai Penanggung Jawab dari SMK Katolik St. Yusuf, dilanjutkan dengan presentasi mengenai AAT kepada calon anak asuh. Alangkah terkejutnya kami bahwa hampir seluruh calon anak asuh yang hadir adalah lelaki. Hanya terlihat dua murid perempuan pagi itu. Banyak hal yang membuat hati kami tersentuh saat wawancara. Bagaimana tidak, kebanyakan dari mereka harus bekerja seorang diri agar dapat memiliki cukup rupiah sekedar untuk biaya makan sehari-hari. Jangankan membayar SPP, untuk membayar buku pelajaran saja mereka harus rela makan sehari satu atau kali supaya bisa menyisihkan sedikit uang guna melunasi buku. Jarak antara rumah siswa dengan sekolah sangat jauh. Ada yang mencapai 10 kilometer, padahal mereka berangkat sekolah hanya dengan bersepeda. Sedangkan yang jaraknya lebih dekat, harus berjalan kaki untuk sampai ke sekolah tersebut. Belum lagi saat banjir tiba dan sungai Bengawan meluap, mereka harus menaiki perahu terlebih dahulu lalu dilanjutkan berjalan kaki. Beberapa dari mereka ada yang hidupnya jauh dari orang tua. Mereka harus pintar-pintar mencari uang untuk biaya hidup dan biaya sekolah sebab sadar bahwa orang tua tak mempunyai cukup uang untuk kebutuhan tersebut. Namun dengan penghasilan yang sangat kecil, mereka masih tetap punya semangat yang besar untuk terus bersekolah demi cita-cita yang sangat indah : ingin membahagiakan orang tua dengan hasil yang akan mereka peroleh ketika dewasa kelak. Ternyata di balik sikap kekanak-kanakan yang terlihat di depan kami, sesungguhnya mereka memiliki jiwa berjuang yang sangat tinggi untuk tetap dapat melanjutkan sekolah. Apapun yang terjadi, mereka akan terus mengejar cita-cita itu. Setelah banyak berbincang dengan para murid dan guru, kami sempatkan diri untuk berfoto bersama dan berpamitan dengan Bapak Michael serta para guru sebelum melanjutkan perjalanan kembali menuju Stasiun Cepu. Dengan diantar beberapa guru menggunakan sepeda motor, 5 menit kemudian kami tiba di stasiun. Tepat pukul 12:25 kereta Cepu Ekspress kembali membawa kami pulang ke Semarang dengan selamat. Di atas kereta api menuju Semarang kami tak lagi hanya berdiam diri, karena harus melakukan pleno kecil mengenai wawancara yang telah dilakukan. Meski hanya perjalanan singkat, namun cukup memberikan pembelajaran bagi kami, bahwa akan ada hasil yang diperoleh ketika kita mau bekerja keras untuk mewujudkannya. Perjuangan anak-anak SMK Katolik St. Yusuf adalah salah satu perjuangan anak bangsa yang sangat nyata tentang kesesungguhan untuk dapat terus bersekolah. Mengapa kita yang telah memiliki berkat melimpah tidak membantu perjuangan mereka? Sejauh mana wujud syukur kita kepada Tuhan akan segala nikmat yang diberikan-Nya? 15 Juni 2013 Annisa Wulan Andadari Staff Admin AAT Semarang  [qrcode content=”https://aat.or.id/kisah-relawan-cepu-punya-cerita” size=”175″]  

Kisah Relawan : Cepu Punya Cerita Read More »

Sepaket Kisah Siswa SMA Bruderan

KUNJUNGAN PERDANA ke SMA Bruderan di Purworejo adalah misi pertama dari Anak Anak Terang (AAT) untuk saya dan teman-teman. SMA Bruderan bukanlah sekolah yang buruk jika dilihat dari fisik bangunan serta fasilitasnya. Dari pandangan pertama, dapat disimpulkan bahwa sekolah tersebut memiliki administrasi persekolahan yang teratur dan tersusun rapi. Namun tetaplah, bahwa di dunia tidak ada yang sempurna. SMA Bruderan Purworejo memiliki 460 murid. Terdiri dari 116 siswa kelas X, 150 siswa kelas XI, dan 194 siswa kelas XII. Dari tahun ke tahun jumlah siswa yang ingin mengenyam pendidikan di sana selalu berkurang. Hal ini disebabkan karena masyarakat Purworejo mempunyai mindset bahwa pendidikan di SMA Bruderan cukup mahal, serta tidak sesuai dengan kondisi keuangan para orang tua siswa yang rata- rata adalah kelas ekonomi prasejahtera. Selain itu, banyak pola pikir masyarakat yang lebih tertarik menyekolahkan anaknya di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Sebabnya, lulusan SMK siap kerja tanpa harus meneruskan ke perguruan tinggi. Ketika datang ke sekolah tersebut, langsung kami disambut oleh para siswa calon penerima beasiswa AAT yang sedari tadi duduk manis menunggu untuk diwawancarai. Wawancara kami dengan calon anak asuh adalah salah satu syarat pengajuan beasiswa AAT. Mereka berjumlah 12 orang anak. Anak-anak tersebut sudah melewati seleksi ketat dari sekolah guna membuktikan bahwa mereka masuk dalam kriteria siswa yang harus dibantu karena kesulitan ekonomi.   Awalnya kami mulai dengan pembukaan, yaitu perkenalan AAT. Sesi berikutnya adalah wawancara. Saya, Fera dan Dita segera mempersiapkan diri. Kami membagi tugas sama rata; setiap orang akan mendapatkan 4 orang anak untuk diwawancarai. Melihat anak-anak yang begitu baik dan manis yang sedang duduk di hadapan kami untuk menceritakan kehidupan mereka sehari-hari, membuat saya tak percaya bahwa ternyata di balik senyum manis, tersimpan banyak duka serta tekanan batin. Mereka menangis saat menceritakan keluarga, menceritakan tentang perjuangan untuk datang ke sekolah dengan berjalan kaki sejauh 5 km dari rumah, menceritakan bagaimana mereka terkadang tidak bisa makan sebab sudah tak lagi memiliki uang untuk membeli makanan, tentang orang tua mereka yang sebagian harus berhutang pada para tetangga demi makanan untuk dimakan pada hari itu. Dari 12 siswa SMA Bruderan Purworejo yang kami wawancarai, sebagian besar hanya memiliki orang tua tunggal. Salah satu dari mereka bernama Darmanto. Ia menceritakan kronologi tentang ayahnya yang meninggal. Ayah Darmanto gantung diri di sumur dekat rumahnya sepulang dari sawah. Cerita lain yang menyedihkan terdengar pula saat seorang anak bertutur bagaimana ayahnya yang ringan tangan sering melakukan kekerasan dalam rumah tangga. Baik kekerasan pada pada dirinya atau pada kakak-kakaknya. Ia sendiri adalah anak ke 12 dari 13 bersaudara. Ia bercerita bagaimana kaki kakaknya pernah ditusuk dengan garpu oleh ayah. Sekarang sang ayah telah mendapatkan teguran dari Tuhan sejak beberapa bulan lalu lewat penyakit stroke. Sang ayah tidak lagi dapat menjadi tumpuan keluarga. Kami bertanya,” Setelah sakit stroke, ayah tidak pernah memukul lagi?” ”Masih Kak. Kemarin saya habis dipukul pakai tangan kiri.” celetuknya polos.   BANYAK CERITA dari kehidupan anak-anak ini. Namun tanpa terasa, waktu sudah menunjukan pukul 13.00. Wawancara kami pun selesai. Sedikit waktu kosong selepas wawancara kami gunakan untuk bercerita layaknya kawan pada mereka. Baik tentang Facebook maupun media yang bisa kami gunakan agar tetap bisa berkomunikasi. Kami santap juga makanan yang disediakan sekolah. Senangnya kami bisa nyuapin mereka yang tentu saja disambut tawa malu layaknya anak yang sudah beranjak remaja. Makan bersama-sama dengan adik-adik menjadikan kami lebih akrab. Akhir dari cerita di SMA Bruderan adalah foto di aula dan area sekolah bersama anak-anak dan Pak Suhadi selaku Penanggung Jawab. Foto ini berguna sebagai kenangan, dokumentasi, sekaligus untuk laporan orang tua asuh. Itulah penutup perjalanan misi kami di SMA yang berada dalam satu lingkungan dengan Gereja Santa Perawan Maria Purworejo. Misi kami akhirnya selesai dengan meninggalkan banyak cerita dan pengalaman berharga tentang sepaket kisah hidup yang sangat luar biasa. Tentang cerminan semangat untuk tetap bersekolah dari anak-anak SMA Bruderan Purworejo meskipun dalam kondisi ekonomi dan keluarga yang penuh perjuangan.   Kamis, 15 November 2012 Yolanda Rosalina Lanur Staff ADMIN AAT (JOGJA)     [box type=”info”]Ini kisahku, mana kisahmu ? Tuliskan pengalaman yang dialami selama survey lalu kirimkan kisahmu via email ke beasiswa@anakanakterang.web.id. Dapatkan hadiah sebuah Flash Disk dari Pengurus AAT untuk setiap kisah yang dimuat di website AAT. Setiap orang boleh mengirimkan lebih dari satu kisah. Ayo menulis![/box]    [qrcode content=”https://aat.or.id/sepaket-kisah-siswa-sma-bruderan/” size=”175″]  

Sepaket Kisah Siswa SMA Bruderan Read More »