Kulakukan yang Terbaik untuk AAT
Saya, Yosefin Andita Putri, biasa dipanggil Yosi (di rumah) atau Yosefin (di luar rumah). Saya anak bungsu dari 2 bersaudara. Tinggal di sebuah kecamatan bernama Gombong. Saya tinggal bersama papah (bapak), emak (nenek), dan ooh (kakak). Mamah (ibu) sudah meninggal dunia karena tumor otak ketika saya berumur 1 tahun 3 bulan. Penyakitnya baru diketahui setelah melahirkan saya. Sehingga, dari kecil saya tidak pernah merasakan kasih sayang seorang mamah dan tidak tahu bagaimana wajah mamah. Saya hanya dapat mengingat dan melihat mamah dari foto-fotonya saja. Tidak Ada Kata Berhenti untuk Belajar Hidup kami sekeluarga jauh dari kata cukup. Gaji papah Rp. 700.000,- per bulan. Dari TK, saya tergolong anak yang kurang pandai dalam mengingat. Di SD, saya mulai bisa mengikuti pelajaran dengan baik. Di SMP, kemampuan belajar saya mulai meningkat, tetapi harus belajar mati-matian untuk mengejar ketertinggalan dari teman-teman. Di SMA, saya mulai benar-benar bisa mengikuti pelajaran. Kelas X saya mendapat peringkat ke-7, kelas XI saya mendapat peringkat ke-6, dan kelas XII saya mendapat peringkat ke-7 lagi. Nilai saya memang pas-pasan, tetapi saya tidak akan berhenti belajar. Itu semua juga berkat bantuan dari Gereja yang membiayai setengah dari uang sekolah saya sejak SD. Saya juga mendapat bantuan dari donatur di luar Gereja. Pertolongan Tuhan tidak pernah berhenti untuk saya. Saya aktif mengikuti kegiatan ekstrakurikuler di SMA. Saya senang membantu teman-teman, juga guru-guru yang membutuhkan bantun saya. Jiwa ingin menolong saya semakin tumbuh saat SMA. Saya Ingin Kuliah Saat ujian sekolah, saya begitu takut dan cemas. Hingga orang tua saya berusaha mengumpulkan uang lebih untuk membiayai les dan selalu berdoa khusus untuk saya. Pihak sekolah mengajukan saya untuk mengikuti wawancara beasiswa dari OKE Peduli Bangsa bagi anak-anak yang mau berkuliah. Tetapi, saya masih belum punya rencana untuk kuliah karena ketidakmampuan orang tua. Sementara itu, ooh bisa kuliah dengan bantuan saudara saya dan mendapat beasiswa setelah masuk kuliah. Menyadari hal itu, saya jadi ingin kuliah. Akhirnya, dengan rasa takut, saya tetap mengikuti wawancara beasiswa itu. Suatu hari, ada promosi dari kampus STIKOM Yos Sudarso. Sebelum itu, saya sudah disarankan oleh Romo Dimas Danang AW atau Romo Danang untuk kuliah di STIKOM. Saat mahasiswa STIKOM dan pendampingnya memberikan penjelasan, saya benar-benar tertarik masuk STIKOM. Meskipun saya tidak paham dan pandai dalam bidang Sistem Informasi, saya tidak ingin pendidikan saya berhenti di sini. Saya ingin kuliah. Saya ingin terus belajar. Sebelum pengumuman kelulusan SMA, saya memutuskan bekerja di toko aksesoris yang direkomendasikan oleh saudara yang bekerja di sana. Sembari menunggu pengumuman dan sambil mendaftar di STIKOM, saya berusaha mencari uang untuk uang tambahan saku dan biaya masuk STIKOM. Selama 4 bulan, saya bekerja di sana. Selama itu pula, saya bisa mengumpulkan uang 1 juta lebih dari gaji saya. Banyak pengalaman yang saya dapat selama 4 bulan bekerja. Salah satunya adalah pengalaman menghadapi teman kerja yang tidak suka atau iri atas kinerja dan penghasilan saya. Betapa senangnya emak dan papah. Ketika pengumuman kelulusan SMA, saya lulus dengan nilai yang cukup bagus. Meskipun hanya peringkat ke-8, tetapi saya tetap bersyukur. Setidaknya, saya sudah berusaha semaksimal mungkin. STIKOM Yos Sudarso adalah kampus yang akan membesarkan saya. Dengan dibiayai oleh Romo Danang (dari Gereja Santo Mikael Gombong) dan dari OKE Peduli Bangsa. Saya sangat bersyukur bisa kuliah, karena saya tidak menyangka bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi lagi. Mungkin, jika tidak mendapat beasiswa, saya tidak akan bisa kuliah sama sekali. Karena, orang tua saya benar-benar tidak mampu membiayai saya. Mengenal AAT Suatu ketika, Romo Danang mengajak saya, 3 teman, dan 1 kakak angkatan untuk menjadi staf administrasi AAT atau yang disebut juga sebagai Pendamping Komunitas (PK). “Nama komunitasnya adalah Anak-Anak Terang atau AAT. Jika kamu mau, besok ada pertemuan di Jogja,” kata Romo Danang waktu itu. Karena kita berempat kurang memahami apa itu AAT, Romo Danang pun datang ke STIKOM untuk memberikan penjelasan. Romo Danang juga memberitahu, jika ingin mendapat beasiswa dari AAT, kami harus ke Yogyakarta untuk wawancara dengan pengurus AAT, dengan syarat-syarat yang harus dipenuhi. Saya cemas dan takut. Apakah saya bisa mendapatkan beasiswa untuk membantu meringankan beban orang tua saya? Apakah saya bisa membagi waktu antara belajar dan bertugas di AAT nanti? Berbagai pertanyaan muncul dalam pikiran saya, hingga tanggal pemberangkatan ke Yogyakarta. Sampai disana, saya bertemu dengan teman-teman dari Yogyakarta, Semarang, dan Malang. Mereka semua adalah mahasiswa-mahasiswi. Saya berpikir, mereka bisa melakukan tugas-tugas sebagai staf administrasi, dari yang awalnya tidak tahu apa-apa, menjadi seperti sekarang ini. Jika mereka bisa, saya juga harus bisa. Dua hari di sana, saya mulai mengenal Pak Hadi Santono, yang merupakan ketua Yayasan AAT Indonesia dari Yogyakarta. Selain itu, saya juga mengenal Pak Christ Widya Utomo (Sekretaris AAT) dari Semarang, Mami Elisabeth Lies Endjang Soerjawati (Bendahara AAT), Suster, Romo, serta teman-teman relawan atau staf administrasi AAT yang sudah bergabung lebih dulu. Benar-benar suasana persaudaraan yang sangat erat. Yang menurut saya merupakan perwujudan dari visi AAT, yaitu sebagai komunitas yang peduli pada anak-anak yang kurang beruntung agar mendapatkan kesempatan pendidikan formal, dan perwujudan misinya, yaitu memberikan pelayanan dan pendampingan anak-anak asuh dengan perhatian dan kasih sayang. Sungguh mulia visi dan misi AAT. Saat wawancara, saya memilih untuk wawancara belakangan. Saya tidak yakin. Saya takut dan saya belum siap dengan pertanyaan wawancara. Sampai tiba saat wawancara, Pak Hadi didampingi Kak Ikka, bertanya seputar keluarga, teman, kuliah, dan kehidupan saya. Terakhir, saya ditanya tentang mamah saya. Tanpa sadar, saya mulai meneteskan air mata. Saya selalu teringat sosok mamah saya yang selalu saya rindukan. Saya juga diwawancarai oleh Romo Agus Widodo, Pr. dari Kentungan. Kulakukan yang Terbaik untuk AAT Pertanyaan demi pertanyaan saya jawab sesuai kondisi yang saya alami. Saat semua anak sudah sampai di wisma, saya dipanggil Pak Hadi, Pak Christ, Romo, dan pengurus AAT lainnya. Saya tidak tahu kenapa saya dipanggil. Ternyata saya diberitahu bahwa saya mendapat beasiswa dan saya juga dipilih menjadi koordinator Sekretariat AAT di Purwokerto. Puji Tuhan, terima kasih Tuhan. “Emak, papah, mamah… Yosi dapat beasiswa,” seru saya dalam hati. Sekarang, saya benar-benar senang dapat bergabung bersama AAT, karena misinya seperti misi pribadi saya. Saya sangat bersemangat menghidupkan komunitas Anak-Anak Terang di Purwokerto, meski tidak tahu
Kulakukan yang Terbaik untuk AAT Read More »