AAT, keluarga yang hebat yang pernah saya miliki. Saya dapat merasakan tiga rasa sekaligus. Pahit, asam, dan manis, seperti lemon tea. Kalian suka yang happy ending atau sad ending? Kalau pilih yang happy ending, maka yang pahit di depan, sedangkan manis di belakang. Tapi, jika suka yang sad ending, manisnya di depan, namun pahitnya di belakang.
Karena saya tidak suka yang sad ending, jadi saya ceritakan yang tidak menyenangkan dulu ya. Yang pahit-pahit dahulu, baru yang menyenangkan. Selamat menikmati.
Awal di AAT
Seperti kebanyakan orang, adaptasi adalah hal yang tersulit dilakukan, ketika kita berada di tempat yang benar-benar baru. Itulah yang saya rasakan ketika pertama bergabung di AAT.
Awalnya, saya merasa kesulitan beradaptasi dengan teman-teman baru. Terlebih di sekretariat Semarang, yang di dalamnya terdapat Mas Christ, Mami Lies, dan Bruder Konrad, CSA, yang terkenal galak dan suka memarahi relawan yang tidak aktif.
Hal ini jelas membuat saya pribadi merasa takut. Dengan beban sebagai relawan yang harus tiap bulan mengirimkan tanda bukti penerimaan beasiswa dan kuitansi ke donatur, serta mengirimkan tabel kebutuhan pada tim keuangan AAT. Selain itu, tiap semester harus mengirimkan raport, menerima proposal pengajuan beasiswa, dan melakukan wawancara calon anak asuh. Dan pasti harus mencari donatur juga.
Shock. Mungkin itu yang saya rasakan. Karena belum apa-apa, tugasnya sudah banyak sekali dan sepertinya berat. Pesimis juga menyelimuti hati saya. Apakah saya bisa melaksanakan tugas yang cukup banyak ini? Gelisah, tentulah. Karena pasti takut “dimarahi” oleh Mas Christ dan Mami Lies jika tugas tersebut tidak terlaksana dengan baik.
Beberapa bulan di AAT, saya ditunjuk untuk membantu sekretariat pusat di bagian pengelolaan SIANAS (Sistem Informasi Anak Asuh). Senang? Pastinya. Bisa bertemu dengan banyak teman lagi. Tapi, ternyata tugas yang dijalani tidak kalah beratnya, harus sering online di depan laptop atau komputer. Setiap saat harus siap untuk mengonfirmasi donatur yang baru masuk, melelang anak asuh yang sangat banyak, dan mengecek data anak asuh, apakah ada kesalahan atau tidak.
Pernah juga merasakan penat yang sangat mendalam. Saya merasakan dalam tim ini, sedikit sekali orang yang bekerja atau yang aktif bekerja. Terkadang, saya juga sebal dengan beberapa tingkah sesama relawan. Di saat saya masih bingung dan pusing, masih saja ada teman yang mengajak bercanda. Selalu ada yang usil. Namun, terkadang saya merindukan saat-saat kebersamaan itu.
Satu Kata yang Tepat, Pahami!
Setelah saya banyak berpikir di kamar mandi, akhirnya saya mulai memahami. Sebetulnya, yang diungkapkan oleh Mas Christ dan Mami Lies saat “memarahi” kami adalah sebuah saran. Supaya kita bisa lebih baik lagi. Namun, karena salah tanggap, saya mengiranya itu adalah luapan emosi semata. Setelah sering berbincang dengan Mas Christ dan Mami Lies, saya baru benar-benar menyadarinya. Mereka tidaklah galak seperti yang pernah diungkapkan para relawan senior Sekretariat Semarang.
Untuk tugas pengelolaan SIANAS, awalnya saya menganggapnya terlalu berat. Namun, setelah menjalaninya, beban itu terasa hilang. Tergantikan oleh rasa senang, karena melihat adik-adik yang memang membutuhkan bantuan, bisa mendapatkan donatur yang baik hati. Tidak bisa dipungkiri juga, hal itu berkat bantuan teman-teman yang sering share informasi AAT, baik lewat media sosial, email, dan sms. Terima kasih atas bantuan teman-teman, yang membuat semua anak asuh yang diterima semester ini, tahun ajaran 2013/2014, bisa mendapatkan orangtua asuh semua.
Saya senang bisa melihat orang lain juga senang. Saya tidak ingin, apa yang terjadi pada saya dan keluarga saya, terjadi juga pada orang lain. Dikucilkan di lingkungan sendiri, karena keluarga yang tidak mampu, tidak dianggap ada oleh teman, dan tidak dipercaya oleh orang lain.
Sering diremehkan, itu adalah hal yang paling biasa saya dapatkan, ketika saya kecil dan itu masih ada sampai sekarang. Ya, mungkin ini yang membuat saya malas kembali ke kota asal saya, Madiun. Dan salah satu cita-cita saya, pindah bersama keluarga saya dari Madiun, menuju tempat yang lebih baik lagi.
Berusaha menjadi orang yang dipercaya, itulah yang saya lakukan sekarang. Saya ingin, selama saya masuk AAT, saya dianggap “ada”. Saya ingin sesuatu yang lebih berwarna dan berasa di AAT, seperti lemon tea.
Mungkin inilah yang menjadi alasan, mengapa ketika saya diminta mengerjakan tugas, saya berusaha melaksanakannya, meski saat itu ada pekerjaan lain. Saya percaya, saya bisa membagi pikiran dan dapat menyelesaikan semua pekerjaan yang diberikan. Meskipun keteteran, tidak apa-apa, setidaknya saya sudah berusaha.
Terkadang, saya juga sering dinasehati atau istilahnya diwejangi sama Mas Bani. “Kamu harus pintar-pintar membagi waktu, karena ini tugas tim, Bar”. Itulah salah satu wejangan Mas Bani yang masih saya ingat sampai sekarang. Tapi, karena saya dasarnya keras kepala dan bandel, saya jarang mengikuti sarannya itu.
Manisnya Lemon Tea
Saat pahit sudah dirasakan, ditambah asamnya, sekarang giliran manisnya. Banyak cinta yang saya dapatkan di sini. Cinta ibu pada anaknya, yang ditunjukkan Mami Lies, cinta bapak pada anaknya, yang dilakukan oleh Pak Hadi, cinta kakak pada adiknya, seperti yang sering Mas Christ, Mbak Santi, Mas Bani, Mbak Nisa dan Mbak Alma. Cinta sesama teman, sering ditunjukkan oleh Mas Edo, Mas Billy, Mas Tyo, Mas Sindhu, Rike (harusnya saya panggil mbak), Mas Handy, dan teman-teman lainnya yang tidak mungkin saya tulis semua di sini.
Cinta kepada adik-adiknya, yang sering ditunjukkan para relawan, yang tidak mengenal siang ataupun malam, tetap berusaha untuk mendapatkan donatur dan berusaha agar adik-adiknya bisa terus melanjutkan pendidikannya. Masih banyak jenis cinta lainnya di AAT yang tidak dapat diungkapkan oleh kata-kata.
Berbagai pengalaman saya dapatkan. Dari pelatihan menulis yang diberikah oleh tim Rumah Media, pelatihan bagaimana menjadi pribadi yang lebih baik, dan bagaimana kita bisa percaya dengan kemampuan yang kita miliki. Bertemu orang-orang yang hebat pada bidangnya dan bisa berbagi pengalaman saat survei ataupun saat pengenalan AAT.
Mendapatkan teman yang baru, itulah yang saya sukai. Semakin banyak teman baru yang bergabung di AAT. Bisa berbagi satu sama lain, tanpa harus canggung. Tanpa harus melihat apakah kita berbeda ras, agama, dan umur. “Perbedaan tidak untuk dibandingkan, akan tetapi untuk disatukan”. Dan dengan AAT, semuanya terkumpul di sini. Yang tak kenal pun menjadi akrab, apalagi yang sudah kenal, tambah akrab lagi. Saya sangat senang menjadi bagian dari keluarga besar AAT.
Saya senang minum lemon tea. Jadi saya ibaratkan AAT seperti lemon tea, yang di dalamnya terdapat rasa pahit, asam, dan manis. Tercampur jadi satu, menghasilkan minuman yang menyegarkan dan menyenangkan, sehingga kita tidak akan pernah bosan meminumnya berulang kali.
I love you all. We are family.
Akbar Romadan Staf Admin AAT Semarang * Akbar Romadan adalah salah satu Anak Asuh AAT tingkat Perguruan Tinggi yang juga bertugas sebagai Staff Admin AAT Semarang. Merupakan mahasiswa Program Studi Teknik Kimia, Akademi Kimia Industri (AKIN) Santo Paulus Semarang, angkatan 2013. [qrcode content=”https://aat.or.id/aat-bagaikan-lemon-tea” size=”175″]