“Seseorang yang tidak mendapat kepedulian dari orang pun, bisa memberi kepedulian kepada orang lain.”
Nama saya Andika Fitri, biasa di panggil Andika. Sekarang saya berumur 19 tahun. Saya adalah seorang Mahasiswa di Universitas Katolik Widya Mandala Madiun, Fakultas Ekonomi, Jurusan Akuntansi. Saat ini saya masuk semester 4.
Dulu, sewaktu orang tua masih bersama-sama, saya hanyalah anak seorang tukang becak yang tiap harinya mangkal di Manguharjo. Ibu bekerja serabutan. Ketika saya mempunyai 1 adik perempuan yang masih kecil, ibu tidak lagi bekerja. Sehingga kami hidup bergantung pada penghasilan bapak. Dengan hidup yang seperti itu, saya menjadi orang yang pendiam dan selalu mengalah atas apa yang dilakukan teman-teman kepada saya, karena saya orang yang cukup tahu diri tentang bagaimana kondisi hidup saya. Tak jarang juga ada teman yang bersimpati kepada saya. Ada yang memberi saya pakaian, beras, ada juga yang urunan dan memberi uang untuk membantu keluarga saya. Saya merasakan ada rasa kasihan dari teman terhadap kondisi keluarga saya.
Saya Benci Keadaan Ini
Dari SD sampai SMP, saya selalu mendapatkan bantuan. Hal itu karena ibu selalu berusaha mengajukan surat keterangan tidak mampu ke sekolah. Apa pun syarat yang diajukan oleh sekolah atau instansi pemberi bantuan, selalu diusahakan oleh ibu untuk memenuhinya. Itu semua ibu lakukan untuk mengurangi beban yang harus ditanggung setiap harinya. Sampai akhirnya bapak dan ibu saya bercerai. Bapak pergi ke Kalimantan untuk bekerja dan menikah lagi dengan orang perantauan di sana. Hal itu membuat saya kecewa, karena saya merasa bapak sudah tidak peduli lagi dengan keluarga yang ada di sini. Bapak juga tidak lagi memberi uang bulanan untuk kehidupan sehari-hari kami.
Saya menjadi sedih ketika saya harus melihat ibu saya bekerja sendirian untuk menghidupi kami. Karena tidak tahan, saya pun ikut membantu ibu dengan mengumpulkan barang bekas, mengumpulkan bunga kamboja, menyusun bulu ayam, dan juga membantu mengambil air dari rumah tetangga. Kami memang dulu tidak mempunyai sumur timban sendiri untuk mencari air, sehingga kami setiap hari menimba air di rumah tetangga dan membayar biaya air setiap bulannya. Terkadang saya merasakan sakit ketika dimaki orang yang punya timban tersebut.
Saya Tidak Dipedulikan
Sampai akhirnya, ibu memutuskan untuk menikah lagi dengan bujangan yang sama sekali tidak saya kenal. Kejadian itu membuat saya sangat sedih, bahkan sangat kecewa, melebihi perasaan ketika mendengar bapak menikah lagi. Karena hal itu pula, saya pindah ke rumah nenek, orang tua dari bapak. Saya memutuskan untuk tinggal di rumah nenek bersama adik saya yang sudah menginjak kelas 1 SD. Waktu itu saya kelas 3 SMP.
Benar-benar perasaan yang sulit untuk saya jelaskan ketika saya pertama kali tinggal di rumah nenek dan kakek. Meskipun rumah nenek lebih bagus, tetapi rasanya berbeda. Setiap hari, ketika di sekolah maupun di rumah, saya menjadi pribadi yang amat pendiam. Tetapi, Alhamdulillah saya tetap menjadi anak yang dibanggakan dalam urusan pendidikan.
Sejak bapak dan ibu bercerai, timbul rasa kebencian. Terkadang saya merasakan sakitnya ketika menjadi anak yang tidak dipedulikan oleh orang tua. Banyak pertanyaan yang muncul dalam pikiran saya, “Mengapa harus bercerai? Apakah mereka sudah tidak peduli dengan anak-anaknya? Tidakkah mereka tahu bahwa itu membuat saya bersedih dan kecewa? Mengapa mereka hanya peduli dengan keinginan mereka sendiri? Mereka benar-benar sangat egois!” Kekecewaan itulah yang saya pikirkan waktu itu.
Saya Ingin Berubah
Saat pertama masuk sekolah SMA, saya ingin berubah. Saya tidak ingin menjadi anak yang dikasihani. Saya tidak ingin menunjukan rasa sedih dan pedih yang saya rasakan. Ingin menjadi orang pemberani yang tidak takut dengan siapa pun. Tetapi hal itu membuat saya memelihara kebencian yang telah tumbuh dalam diri saya.
Saya semakin giat belajar dan ikut dalam organisasi besar, seperti OSIS dan Pramuka. Dengan demikian, banyak yang mengenal saya. Tetapi hal itu tidak lama. Saya kembali menjadi diri saya lagi ketika saya dikhianati teman saya. Semakin banyak pikiran yang buruk tentang orang-orang yang ada di dekat saya. Belum lagi saya merasakan tertekan berada di rumah nenek karena begitu kerasnya didikan mereka. Terkadang, ketika teringat semua kejadian yang saya alami, saya hanya bisa menangis dalam kamar tidur. Setelah saya menangis sampai dada saya terasa sakit, saya pun tidur untuk melupakan semuanya.
Ketika saya masuk kuliah, saya senang sekali. Karena saya tahu keluarga saya amat sangat pas-pasan. Bahkan tidak pernah terpikirkan kata kuliah. Tetapi, ketika saya tinggal di rumah nenek dan kakek, saya tahu keinginan mereka yang amat besar agar saya bisa sekolah setinggi-tingginya, agar nantinya dapat kehidupan yang lebih baik dan dapat mengangkat derajat keluarga. Namun entah mengapa, saya melihat ada rasa beban yang amat berat dari raut wajah mereka ketika akan menguliahkan saya. Hal itu membuat saya sedih, sehingga saya meminta mereka untuk tidak memaksakan kehendak. “Biarkan saya langsung bekerja saja, Nek.” Begitulah yang saya katakan, tetapi mereka tetap bertekat ingin menguliahkan saya.
Saya Harus Menyembunyikan Kesedihan Ini
Saya pun mencoba mendaftar universitas negeri dengan cara ikut bidik misi karena alhamdulillah saya mendapat rekomendasi dari sekolah. Meskipun nenek dan kakek ingin saya kuliah di Madiun saja, tetapi saya ingin mencobanya. Jika tidak diterima berarti inilah takdir saya untuk kuliah di Madiun.
Setelah menunggu, ternyata saya tidak diterima. Dan saya masuk ke Unika Widya Mandala Madiun. Saya juga masuk tanpa tes, melainkan dengan nilai. Saya pun ingin tetap menyembunyikan semua kesedihan yang saya alami selama ini dari teman-teman kuliah saya. Saya aktif hampir di semua UKM. Karena dengan cara menyibukkan diri, saya bisa melupakan semua kesedihan saya. Jika tidak bisa melupakan, setidaknya saya telah mengurangi waktu untuk memikirkannya. Yang teman saya tahu, saya adalah anak periang di kampus dan termasuk anak yang aktif di organisasi. Mereka tidak tahu bahwa di dalam hati saya menyimpan kesedihan yang mendalam.
Sama seperti sebelumnya, saya juga dapat dibanggakan dalam urusan kuliah. Walaupun demikian, semakin banyak rasa kebencian yang saya pendam. Hal itu pun juga tidak bertahan lama. Di semester 2, saya kembali menjadi Andika yang pendiam lagi dan sedikit pemurung. Semakin sulit untuk menyembunyikan kepedihan yang saya rasakan dan emosi saya juga labil.
AAT Mengajarkan Saya untuk Peduli
Sampai akhirnya, saya mendapat rekomendasi beasiswa dari prodi. Dan ternyata beasiswa itu adalah Beasiswa Anak-Anak Terang (AAT). Awalnya saya ingin mundur dari beasiswa ini, karena untuk mengajukan saja, sangat banyak syarat dan formulir yang harus saya isi. Tetapi saya ingin mencobanya. Jika memang takdir saya, maka saya dapat menerima beasiswa ini. Dan ternyata saya masuk. Alhamdulillah, saya menjadi salah seorang dari 10 penerima beasiswa di kampus. Sebenarnya saya tidak menyangka bisa mendapatkan beasiswa itu.
Setelah saya mengenal AAT, awalnya biasa-biasa saja. Saya mendapatkan beasiswa dan diharuskan menjadi staf administrasi. Tetapi semakin lama, setelah saya survei ke sekolah-sekolah dan mewawancarai bermacam-macam calon anak asuh, saya mengerti. Sekarang saya tahu, inilah takdir saya. Allah memasukan saya ke AAT untuk membukakan mata saya, bahwa banyak sekali anak-anak yang merasakan penderitaan seperti saya, bahkan jauh di bawah saya. Saya semakin mengerti perasaan apa yang harus saya miliki saat ini, yaitu bersyukur. Bersyukur atas semua yang telah terjadi dalam hidup saya. Meskipun amat menyakitkan, tetapi itu semua adalah pelajaran yang besar dalam hidup saya. Saya tahu bagaimana rasanya menjadi orang yang amat miskin, menjadi korban perceraian orang tua, menjadi anak yang tertekan karena didikan. Karena saya pernah merasakan hal itu semua, saya tidak ingin adik-adik calon anak asuh merasakan hal yang sama. Hanya satu yang dapat membantu semuanya itu, yaitu kepedulian. Saya mempunyai rasa benci, karena saya tidak dipedulikan. Sehingga dengan rasa peduli ini, saya dapat mengobati semua perasaan yang menyakitkan bahkan rasa benci saya.
Sekarang saya mempunyai rasa kepedulian. Meskipun sedikit, tetapi lebih baik dari pada tidak pernah peduli dengan orang lain. Saya akan jaga rasa peduli ini dan saya rawat sehingga bisa tumbuh menjadi kepribadian saya. Sekarang saya masih berproses untuk menjadi pribadi yang lebih peduli lagi, meskipun terkadang masih merasa belum dipedulikan. Dari hal itu, saya mengerti, ternyata orang yang tidak mendapat kepedulian dari orang pun, bisa memberi kepedulian kepada orang lain. Terima kasih AAT, karena saya ditunjukkan bagaimana menumbuhkan rasa peduli pada orang lain.
Andika Fitri* Staff Admin AAT Madiun
* Andika Fitri adalah salah satu Anak Asuh AAT tingkat Perguruan Tinggi yang juga bertugas sebagai Staff Admin AAT Madiun. Merupakan mahasiswa Program Studi Akuntansi, UNIKA Widya Mandala Madiun, angkatan 2012.
[qrcode content=”https://aat.or.id/amarah-jadi-amanah” size=”175″]