“Saya bertanggung jawab, tapi bagaimana caranya saya bisa sekolah?”
Senin siang, saya memenuhi janji pada Kepala Sekolah SMP Bellarminus Semarang untuk mewawancarai beberapa anak yang minggu kemarin tidak hadir. Dari 6 orang anak, ada seorang anak yang tidak hadir lagi, bahkan tidak masuk sekolah.
Saya sabar menunggu Pak Kepala Sekolah dan Guru BP yang berusaha muter-muter mencari jejak anak ini. Hingga terdengar suara, “Ayoook cepat masuk… sudah ditunggu sejak tadi …” kata Bapak Kepsek dengan agak keras (remaja ini ditemukan di pemakaman sedang memanjat pohon Kamboja untuk memetik bunga Kamboja).
Di depan pintu muncullah anak lelaki dengan wajah merah merona penuh peluh, menenteng tas sekolah dan beberapa tas kresek hitam dipelukkannya. Agak takut ia berdiri di depanku. Tak kuasa aku melihat wajah takutnya, kukembangkan senyumku dan mempersilahkannya duduk.
“Selamat siang nak… Namamu Satria ya?” (nama disamarkan)
“Selamat siang juga Ibu…..bener”
“Eh … ngomong-ngomong kamu kemana saja? Kemaren tidak hadir wawancara, juga hari ini tidak masuk sekolah”
Dia diam. Lalu berkata, “Maaf Ibu, saya tadi berangkat sekolah kok. Tetapi tidak sampai sekolahan” (sambil krusak-krusek mempermainkan tas kresek hitamnya)
Karena penasaran, saya pinjam tas kreseknya meski tadi tidak diperbolehkan. Rada berpikir konyol saya pun tertawa agak keras. Ternyata tas itu berisi bunga Kamboja. Karena tawa saya, andrenalin lelaki kecil itu tersulut.
“Maaf Ibu.. Silahkan Ibu mengejek saya, saya tidak peduli. Karena bunga Kamboja ini adalah emas bagi saya…”
(Padahal aku geli karena teringat waktu kecil. Dulu aku merasa lebih cantik bila aku merangkai bunga Kamboja dan memakaikannya di rambutku)
Sambil emosi dia berkata, “Meski hari ini saya tidak sampai sekolahan karena ibu saya belum bisa melunasi uang SPP yang menunggak, namun saya tetap sekolah. Saya harus sekolah. Saya ingin pintar. Saya malu karena baju seragam saya sobek dan hanya satu-satunya itu yang saya punya. Kemarin dan hari ini saya harus mencari bunga Kamboja karena itulah sumber nafkah keluarga kami agar kami tetap bisa makan.”
Ternyata, bunga Kamboja itu dikeringkan dan lima hari sekali disetor sebagai dasar membuat bedak berkualitas. Dia menghidupi dirinya sendiri, ibu, dan seorang nenek. Namun dengan apa dia bisa membayar uang SPP? Meski cita-citanya meletup-letup? Gleekk… Dadaku sesak karena haru. Anak seusianya yang lain masih bermain dan diberi uang saku berlebih. Tapi anak ini…
Elisabeth Lies Endjang Soerjawati Bendahara Yayasan AAT Indonesia.
[qrcode content=”https://aat.or.id/bagaimana-saya-bisa-sekolah” size=”175″]