“Kemenangan adalah milik mereka yang tidak berhenti berjuang.”
Mungkin kalimat itulah yang bisa mewakili perasaan saya saat ini. Perasaan senang, lega, puas, dan perasaan lain yang menunjukkan keberhasilan suatu perjuangan.
Rabu, 8 Juli 2015, menjadi hari yang tidak akan pernah saya lupakan. Tidak pernah terpikirkan sebelumnya, saya bisa merasakan sidang skripsi. Dulu, bisa sekolah sampai SMK saja, saya sudah sangat bersyukur. Bisa merasakan lulus SMK saja, saya sudah sangat bahagia.
Hari itu, saya berangkat ke kampus lebih awal. Saya yang biasanya telat, berusaha berangkat lebih pagi di hari itu. Sebelum berangkat, semuanya saya persiapkan sebaik mungkin. Empat copy-an skripsi dan satu file presentasi sudah siap. Baju dan jas almamater yang disetrika rapi, sepatu yang dilap bersih, sampai jilbab yang disemprot sedikit minyak wangi. Hari itu, saya harus menampilkan yang terbaik.
Bisa merasakan sidang skripsi adalah hal yang luar biasa bagi saya. Jangankan sidang skripsi, kuliah saja menjadi hal yang tidak pernah saya sangka sebelumnya. Selama perjalanan, saya seolah diajak kembali pada peristiwa-peristiwa tujuh tahun silam tentang bagaimana perjuangan orang tua dan saya untuk bisa merasakan kebahagiaan hari ini.
Perjuangan Dimulai
Lahir dalam keluarga yang sangat sederhana memang bukan pilihan saya. Namun, hal itu tidak pernah saya sesali sedikit pun. Sebaliknya, saya sangat bersyukur karena keadaan tersebut membuat saya menjadi perempuan yang lebih kuat, tidak mudah mengeluh, dan tidak mudah menyerah. Sejak kecil, orang tua selalu mengajarkan sikap pantang menyerah pada saya. Ketika sudah memutuskan sebuah pilihan, kita harus memperjuangkannya sampai berhasil.
Semuanya telah orang tua tunjukkan ketika kami harus memperjuangkan hidup. Orang tua yang bekerja seadanya, membuat kami juga hidup seadanya, makan seadanya, dan tinggal di rumah seadanya. Untuk bisa makan sehari-hari, orang tua saya harus bekerja keras. Karena itulah, pendidikan saya pun hampir terkorbankan.
Dulu, saya hampir tidak melanjutkan sekolah ke SMK karena tidak memiliki biaya. Setelah kelulusan, saya menangis sejadi-jadinya di kamar karena takut tidak bisa melanjutkan sekolah. Melihat keinginan kuat saya untuk terus sekolah, membuat orang tua saya merasa iba dan berusaha keras mencarikan biaya. Bapak yang hanya sebagai tukang kebun dan Ibu yang hanya sebagai baby sitter berjuang mengumpulkan uang dan meminjam uang ke saudara agar saya tetap bisa sekolah. Sulitnya untuk bisa mengenyam pendidikan, membuat saya tidak malas belajar dan selalu mendapatkan prestasi yang baik di sekolah. Hingga lulus SMK, saya tetap mendapatkan nilai yang memuaskan.
Melihat teman-teman saya banyak yang mendaftar ke perguruan tinggi, membuat saya ingin merasakan hal yang sama. Namun, saya menyadari bagaimana kondisi keuangan keluarga kami saat itu. Sehingga saya tidak berani mengungkapkan keinginan saya pada orang tua.
Tapi, saya tidak bisa begitu saja mengubur keinginan untuk bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi. Saya memutar otak dan mencari cara agar bisa mewujudkan keinginan tersebut. Saya sempat berpikir untuk bekerja dulu ke luar negeri, menjadi TKI, agar bisa mendapatkan uang yang banyak untuk bisa kuliah. Namun, mendengar kontrak kerja yang cukup lama, saya membatalkannya. Dan akhirnya, saya memilih untuk bekerja di Jakarta.
Selama di Jakarta, saya bekerja menjadi penjaga kasir di sebuah warung makan kecil, tepatnya di daerah Jagakarsa, Jakarta Selatan. Di sana, saya mengumpulkan uang untuk bisa kuliah. Setelah 7 bulan bekerja, uang terkumpul Rp 2.700.000,00 dan saya siap pulang untuk kuliah. Namun, ternyata biaya pendaftaran untuk kuliah saat itu sekitar 4 juta. Saya sedih, ternyata uang saya tidak cukup. Mau meminta orang tua, rasanya tidak tega. Mereka sudah terlalu banyak berkorban untuk saya.
Lalu, seorang teman menyarankan untuk kuliah di Universitas Terbuka saja karena biayanya lebih murah. Namun, saya tetap bersikukuh untuk memilih Universitas Widya Mandala Madiun. Menurut teman yang sudah kuliah di sana, universitas tersebut merupakan universitas yang cukup bagus di Madiun. Akhirnya, dengan terpaksa saya bekerja lagi supaya uangnya bisa tercukupi.
Keep Fight
Kemudian, saya pun melamar kerja di sebuah pabrik seafood di Surabaya. Di sana, saya menjadi buruh pabrik dengan gaji Rp1.100.000,00 tiap bulannya. Dengan gaji pas-pasan itu, saya hanya bisa menyisihkan Rp200.000,00 tiap bulannya, karena saya harus membagi gaji tersebut untuk biaya makan sehari-hari dan biaya kos.
Setahun kemudian, saya pulang dengan membawa uang sekitar Rp2.400.000,00. Jika digabung dengan gaji saya tahun sebelumnya, uang tersebut sudah cukup untuk biaya pendaftaran. Saya tidak peduli dengan biaya semester selanjutnya. Yang terpenting saat itu adalah saya bisa kuliah dulu. Masalah biaya selanjutkan bisa dicari lagi, entah bagaimanapun caranya. Begitulah yang saya pikirkan saat itu.
Awal kuliah berjalan dengan lancar. Namun, memasuki semester dua saya mulai bingung dengan biaya kuliah. Saya kembali memutar otak supaya tetap bisa kuliah. Lalu, ibu pun mengantar saya untuk melamar kerja di warung makan di daerah Caruban. Di sana saya bisa bekerja paruh waktu, namun hanya di hari-hari tertentu saja. Gajinya memang tidak banyak, tapi setidaknya bisa meringankan beban orang tua yang harus ikut membiayai kuliah saya.
Demi bisa tetap kuliah, saya berusaha keras mencari biaya. Dari mulai bekerja paruh waktu, mengajukan beasiswa kurang mampu, mengisi les, sampai menjadi Liaison Organizer (LO) saat PORPROV JATIM telah saya lakukan. Bersyukur sekali pada saat semester tiga saya mendapatkan beasiswa kurang mampu selama satu semester. Semester lima dan enam saya mendapat beasiswa prestasi dan di semster tujuh sampai delapan mendapatkan beasiswa dari Yayasan Anak-Anak Terang.
Be a Special Person in a Special Place
Saya sangat bersyukur bisa kuliah di Unika Widya Mandala Madiun. Di universitas tersebut, saya mendapatkan banyak pengetahuan, pengalaman, dan kesempatan untuk mengembangkan diri. Selama kuliah, saya tidak hanya belajar untuk mendapatkan ilmu, tapi juga belajar bagaimana mengaplikasikan ilmu tersebut dalam kehidupan kita. Sama seperti semboyan Unika Widya Mandala Madiun yang berbunyi, “Non scholae sed vitae discimus” yang berarti kita belajar bukan hanya untuk ilmu tapi juga untuk kehidupan. Di sana, kita tidak hanya belajar teori saja, tapi juga belajar bagaimana menjadi seorang yang humanis, yang memperjuangkan terwujudnya pergaulan hidup yang lebih baik, yang mengabdi untuk kepentingan sesama.
Selain itu, di sana saya juga mendapat kesempatan untuk mengembangkan diri. Saya bisa merasakan pengalaman menjadi Ketua Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ), bisa merasakan menjadi Wakil Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), bisa ikut banyak kegiatan kampus yang positif. Dan di sana juga, tempat saya pertama mengenal Yayasan Anak-Anak Terang (AAT) Indonesia, yayasan yang sudah memberi saya beasiswa dan juga memberi saya banyak kesempatan untuk menemukan dan mengembangkan potensi saya yang terpendam, yaitu potensi dalam bidang jurnalistik.
Sebelum mengenal AAT, untuk menulis satu paragraf saja saya memerlukan waktu berjam-jam. Saya merasa benar-benar tidak punya kemampuan di bidang ini, meskipun jurusan saya Bahasa Indonesia. Saat itu, saya lebih memiliki kemampuan untuk berbicara di depan umum. Namun, setelah “dipaksa” menulis di AAT, kemampuan saya mulai terasah. Bahkan, saya tidak hanya diminta untuk menulis, tapi juga menyunting tulisan para relawan lain. Awalnya saya tidak yakin, namun saya terus belajar hingga tidak terasa sudah puluhan cerita yang sudah saya edit. Berkat kemampuan editing yang cukup baik, saya sampai mendapatkan job mengedit beberapa naskah buku yang honornya bisa untuk biaya keperluan kuliah dan untuk uang saku. Bahkan, saya tidak hanya mendapatkan honor, tapi juga mendapatkan buku-buku tentang penyuntingan dan ilmu editing langsung dari ahlinya. Terima kasih untuk Pak Anang YB yang sudah membantu dan dengan sabar mengajari saya.
Berkat AAT, saya tidak hanya bisa tetap kuliah dan bisa sidang skripsi seperti sekarang, tapi juga bisa mengembangkan diri, mendapatkan pengalaman yang sangat berharga, dan tentunya saya mendapatkan ribuan saudara baru. Di AAT, saya merasa menjadi seseorang yang istimewa di tempat yang istimewa.
Karena memiliki keluarga baru di AAT, Keberhasilan saya sidang skripsi menjadi kebahagiaan banyak orang. Selesai sidang, banyak sekali ucapan selamat dari sahabat-sahabat AAT. Dari pengurus, pendamping, donatur, para relawan, mereka ikut merayakan keberhasilan saya. Kebahagiaan saya menjadi berlipat ganda. Terima kasih semuanya. Berkat sahabat AAT semua, saya bisa merasakan kebahagiaan ini. Keberhasilan saya saat ini, tidak terlepas dari dukungan dan bantuan para pengurus, pendamping, donatur, teman-teman relawan, dan sahabat AAT lainnya. Terima kasih Pak Christ, KakCan Santi Widya, Pak Marcel, Om Adhi, Om Incon, Tante Nia, Om Ferry, Bruder Konrad, CSA., Om Mele, Pak Greg, Bu Lies, Pak Hadi, Tante Fransisca, Bruder Konrad, CSA., Bruder Neri, Bruder Yakobus, Tiara, Emmy, Intan, Andika, Vena, NuCan Dea, Mbak Yohana, NuCan Ica, dan semua yang sudah mendukung dan membantu saya. Terima kasih keluarga besar AAT.
Memang, perjuangan saya belum berakhir. Setelah ini, tantangan lebih berat menanti. Sudah saatnya saya menapaki dunia baru yang membutuhkan perjuangan yang lebih besar. Namun, saya tidak akan pernah menyerah. Saya akan terus berjuang hingga kesuksesan berada di genggaman.
Rike Kotikhah, relawan AAT Sekretariat Madiun
[qrcode content=”https://aat.or.id/be-a-special-person-in-a-special-place” size=”175″]