Back to School: Saatnya Menjadi Penolong Diam-diam untuk Anak-anak Kurang Mampu

Awal tahun ajaran baru identik dengan suasana penuh semangat. Anak-anak berangkat ke sekolah dengan seragam rapi, sepatu baru, serta perlengkapan belajar yang lengkap. Namun, di balik keceriaan itu, ada ribuan anak di Indonesia yang menghadapi kenyataan berbeda: seragam yang sudah pudar, buku tulis yang belum terbeli, bahkan ancaman putus sekolah karena kesulitan membayar biaya pendidikan. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), angka putus sekolah di Indonesia pada tahun 2024 masih mencapai 3,48% untuk jenjang SD hingga SMA. Angka ini bukan sekadar statistik; setiap persennya merepresentasikan ribuan anak yang kehilangan kesempatan untuk meraih masa depan lebih baik.Bagi mereka, “back to school” bukan sekadar memulai tahun ajaran baru, melainkan perjuangan agar tetap bisa duduk di bangku sekolah. Di sinilah kita dapat menjadi penolong diam-diam. Melalui donasi yang nilainya mungkin setara dengan biaya makan siang atau secangkir kopi, seorang anak bisa melanjutkan pendidikan tanpa dihantui rasa cemas. Donasi tersebut dapat diwujudkan dalam bentuk pembayaran SPP, perlengkapan sekolah, atau biaya transportasi harian. Seperti yang pernah disampaikan oleh Ki Hajar Dewantara, “Setiap orang menjadi guru, setiap rumah menjadi sekolah.” Kita semua memiliki peran dalam memastikan anak-anak tidak kehilangan hak dasarnya untuk belajar. Donasi bukan hanya tentang memberi, melainkan tentang menjaga harapan tetap hidup. Mungkin kita tidak bisa hadir di kelas untuk mengajar, tetapi kita bisa memastikan anak-anak tetap punya kesempatan untuk belajar.Karena setiap anak berhak memulai tahun ajaran baru dengan semangat, bukan dengan rasa cemas. Mari menjadi penolong diam-diam bagi masa depan mereka. Referensi :

Back to School: Saatnya Menjadi Penolong Diam-diam untuk Anak-anak Kurang Mampu Read More »

Kisah dibalik Calon Anak Asuh yang ada di Madiun

Pendidikan sering kali hanya dipahami sebagai hasil ujian, nilai rapor, atau peringkat kelas. Namun, di balik angka-angka tersebut, tersembunyi kisah nyata perjuangan anak-anak yang terus belajar, bermimpi, dan bertahan di tengah keterbatasan. Pada awal tahun 2025, kami melakukan perjalanan ke berbagai sekolah untuk bertemu calon anak asuh AAT. Antara bulan Februari hingga Maret 2025, tim kami berkeliling ke sejumlah sekolah dan titik kegiatan anak asuh di Madiun, Ngawi, Ponorogo, Magetan, dan Cepu. Tujuan utama kunjungan ini adalah untuk mengenal lebih dekat kondisi calon anak asuh yang akan bergabung dalam program AAT tidak hanya melalui data administrasi, tetapi dengan mendengarkan langsung kisah dan aspirasi mereka. Sekretariat Madiun menjadi salah satu lokasi penting. Di sinilah kami bisa melihat secara nyata bahwa semangat untuk belajar tidak ditentukan oleh kelengkapan fasilitas, tetapi oleh kemauan dan harapan yang terus dijaga. Kunjungan diadakan pada siang hari yang cerah. Kami disambut hangat oleh para pendamping dan sejumlah calon anak asuh yang telah berkumpul sejak pagi. Sekretariat yang sederhana menjadi tempat pertemuan penuh makna. Tidak ada kemewahan, tetapi suasana hangat dan semangat sangat terasa. Kami mewawancarai beberapa anak, satu per satu. Cerita mereka sederhana namun kuat. Ada yang harus membantu orang tua sejak subuh, lalu berangkat ke sekolah. Ada yang tinggal bersama kakek-nenek karena orang tua merantau mencari nafkah. Beberapa lainnya bekerja ringan sepulang sekolah untuk meringankan beban keluarga. Salah satu kisah yang membuat kami terdiam sejenak datang dari beberapa anak SMP yang kini tinggal di panti asuhan karena situasi keluarga yang tidak memungkinkan. Ia tidak banyak bicara soal masa lalu, lebih memilih bercerita tentang cita-citanya. Sebagian besar dari mereka tetap aktif di sekolah, bahkan meraih prestasi di bidang akademik maupun non-akademik. Mereka juga terlibat dalam kegiatan organisasi, lomba, hingga kegiatan sosial di lingkungan sekitar. Dalam kondisi yang terbatas, mereka justru menunjukkan kedewasaan dan kepedulian yang luar biasa. Yang mengesankan, anak-anak ini tidak menjadikan kesulitan sebagai alasan untuk berhenti. Justru dari cerita-cerita itulah kami melihat kekuatan sebenarnya sebuah tekad untuk tetap melangkah, meski jalannya tidak mudah. Dari perjalanan ini, kami belajar bahwa semangat belajar bukan sekadar hasil motivasi dari luar, tetapi datang dari dalam diri anak-anak itu sendiri. Mereka bukan hanya menghadapi tantangan hidup, tapi juga membangun harapan di atasnya. Pendidikan bagi mereka bukan sekadar kewajiban, melainkan jembatan menuju masa depan yang lebih baik. Mereka sadar, mimpi tidak bisa menunggu keadaan menjadi ideal. Maka mereka memilih untuk bergerak dengan apa yang mereka miliki, sebisanya, sekuatnya. Kisah para calon anak asuh di Sekretariat Madiun membuka mata kami bahwa potensi besar sering tersembunyi di balik kesederhanaan. Mereka bukan hanya penerima manfaat, tetapi calon pemimpin, penggerak, dan agen perubahan masa depan. Tugas kita bukan hanya mengagumi, tetapi juga membuka lebih banyak ruang agar mereka bisa tumbuh dan berkembang. Karena dengan sedikit dorongan, mereka bisa melangkah jauh melebihi apa yang mungkin kita bayangkan. Setiap anak punya cerita. Setiap perjuangan layak untuk didengar. Bagaimana dengan kamu? Pernahkah kamu bertemu dengan anak-anak yang mengajarkan arti ketekunan dan harapan lewat kisah hidup mereka? Yuk, bagikan ceritamu. Cerita yang tampak sederhana bisa menjadi inspirasi luar biasa bagi orang lain. Mari kita bersama-sama jadi bagian dari gerakan yang melihat lebih dalam, berjalan lebih dekat, dan mendukung mereka yang sering tak terlihat. Karena perubahan besar, sering kali dimulai dari hati yang peduli.

Kisah dibalik Calon Anak Asuh yang ada di Madiun Read More »

Keunikan Anak Asuh di SD Yos Sudarso CIbunut, Kab Kuningan

SD Yos Sudarso CIbunut merupakan salah satu sekolah yang bekerja sama dengan Yayasan AAT Indonesia, khususnya berada dalam lingkup Sekretariat Bandung. Selama kunjungan dan wawancara, penulis menemukan hal unik dan fakta menarik pada anak asuh. Sewaktu Yayasan AAT Indonesia membuka kesempatan untuk pengajuan calon anak asuh baru, pihak Yayasan melalui BPT Sekre perlu melakukan validasi data dengan mengunjungi sekolah dan mewawancarai calon anak asuh. SD Yos Sudarso Cibunut merupakan 1 dari 93 sekolah aktif yang bekerjasama dengan Yayasan, tidak melewatkan kesempatan ini. Pihak sekolah melalui PJ Sekolah mengajukan sejumlah calon anak asuh baru. SD Yos Sudarso Cibunut terletak di dusun CIbunut, desa Cirukem, Kec. Garawangi, Kab. Kuningan, Jawa Barat. Jika hendak menuju ke SD Yos Sudarso Cibunut dari terminal Kab Kuningan memerlukan waktu kurang lebih sekitar 30 menit. Sekolah tersebut berada di dataran tinggi, sehingga menurut penulis suasananya nyaman dan sejuk. Penulis berkesempatan untuk mengunjungi sekolah tersebut secara langsung pada tanggal 14 Mei 2024. Beberapa hal unik ditemukan saat wawancara berlangsung. Berbeda dengan kebanyakan anak – anak pada umumnya yang menyukai makanan olahan seperti burger, pizza atau makanan cepat saji lainnya, anak – anak disana lebih menyukai sayuran. Bukan karena mereka tidak mengenal atau asing dengan jenis makanan tersebut, tetapi mereka tumbuh di lingkungan yang memperkenalkan nilai kesederhaan dan kesehatan sejak dini. Selain itu mereka juga terbiasa hidup tanpa gadget. Disaat anak lain sedari kecil sudah memegang dan memainkan game di hp, anak – anak disana masih sering bermain seperti sepak bola, kejar – kerjaran dan permainan dengan aktivitas fisik lainnya. Ini membuat anak – anak memliki fisik yang lebih baik dan tidak mudah sakit. Hal unik lain yang penulis temui adalah terdapat kepercayaan lokal yang masih terjaga hingga sekarang, yang dikenal dengan nama Sunda Wiwitaan. Kepercayaan tersebut sebuah ajaran spiritual yang mengajarkan harmoni antara manusia, alam dan Sang Hyang Kersa (Sang Pencipta). Sunda Wiwitan dipercaya sudah ada sebelum agama lain disebarkan di tanah Jawa Barat. Secara formal Sunda Wiwitan dan kepercayaan lokal lainnya diakui melalui Putusan MK Nomor 97/PUU-XIV/2016 dan dilanjutkan dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 118 Tahun 2017 tentang Blangko Kartu Keluarga, Register dan Kutipan Akta Pencatatan Sipil dan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 471.14/10666/Dukcapil tentang Penerbitan Kartu Keluarga Bagi Penghayat Kepercayaan Tuhan Yang Maha Esa. Sehingga bagi mereka yang menganut Sunda Wiwitan atau kepercayaan lokal lainnya, pada KK dicantumkan Kepercayaan Tuhan YME. Sejalan dengan hal ini, pada sistem kami, SIANAS, juga terdapat peyesuaian. Selain 6 agama yang diakui secara resmi, kami juga menambahkan Kepercayaan Lainnya pada saat pengisian data anak asuh. Pengalaman yang sungguh berharga bisa mengunjungi SD Yos Sudarso Cibunut. Ini bisa jadi pengingat untuk penulis maupun para pembaca untuk sering mengkonsumsi sayuran dan mulai mengurangi makan yang berbasis olahan pabrik atau cepat saji. Selain itu, perlu perbanyak aktivitas fisik juga, agar tubuh terjaga dengan baik serta tak lupa bahwa ternyata Indonesia sangat kaya akan budaya. Kepercayaan lokal yang belum pernah penulis temui, dapat penulis temui saat kunjungan ini. Semoga dengan banyak keberagaman ini, Indonesia tetap satu dan saling menghargai satu sama lain. Bagaimana pembaca, asik bukan pembahasan kali ini? Semoga dikesempatan lain, penulis bisa becerita banyak hal tentang keunikan anak asuh di daerah lainnya. Mengingat kunjungan ke daerah lain pasti membutuhkan biaya untuk transportasi dan akomodasi, oleh karena itu kami akan sangat terbantu jika para pembaca, ada yang bersedia menyisihkan min Rp10.000/bulan untuk Donasi Operasional Yayasan AAT Indonesia. Jangan lupa tinggalkan jempol dan komen serta bagikan pengalamanmu saat mengkunjungi tempat yang baru, sehingga kamu bisa menemukan hal unik disana!! Terima kasih. Penulis – Akbar R

Keunikan Anak Asuh di SD Yos Sudarso CIbunut, Kab Kuningan Read More »

Meski Terbatas, Kami Bisa

Halo! Kami mau cerita sedikit soal pengalaman selama proses wawancara anak-anak asuh di Sekretariat AAT Purwokerto tahun ini. Buat kami, ini bukan sekadar rutinitas tahunan, tapi momen yang sangat berkesan yang membuka mata kami tentang semangat, perjuangan, dan harapan luar biasa dari anak-anak di berbagai penjuru. Saat ini, Sekretariat AAT Purwokerto menaungi 14 sekolah aktif yang tersebar di wilayah Sidareja, Cilacap, Gandrungmangu, Jeruklegi, Kawunganten, Wonosobo, Gombong, Kebumen, Pemalang, dan Purworejo. Tahun ini, semua sekolah berhasil mengajukan calon anak asuh tepat waktu. Sebelum data calon diserahkan ke donatur untuk dipertimbangkan, teman-teman BPT bersama para relawan turun langsung ke lapangan untuk mewawancarai anak-anak satu per satu. Di sekolah-sekolah seperti SD Pius Sidareja, SMP Pius Sidareja, SMK Yos Sudarso Sidareja, SMA Yos Sudarso Cilacap, SD Maria Immaculata, SMP Maria Immaculata Cilacap, SMP Yos Sudarso Gandrungmangu, SMP Yos Sudarso Jeruklegi, dan SMP Yos Sudarso Kawunganten, kami bertemu banyak anak dari keluarga sederhana. Orang tua mereka bekerja sebagai nelayan, buruh, petani, pedagang kecil, atau pekerja harian lepas. Meski penghasilan keluarga sering kali tidak menentu, semangat anak-anak di sekolah-sekolah ini luar biasa. Banyak yang tetap datang ke sekolah dengan tekun, membawa harapan besar untuk masa depan. SMP Bhakti Mulia Wonosobo terletak di daerah pegunungan, dengan akses ke sekolah yang cukup menantang. Sebagian besar orang tua bekerja sebagai petani kebun, buruh tani, atau pedagang kecil. Meski begitu, mereka tetap berusaha memberikan yang terbaik bagi pendidikan anak-anaknya. Sementara di SMA Pangudi Luhur Santo Lukas Pemalang, kami bertemu anak-anak dari keluarga pelaut dan nelayan di pesisir utara hidup dalam ketidakpastian, tapi tetap penuh harapan. Di SMA Bruderan Purworejo dan SMA Pius Gombong, banyak anak asuh berasal dari Indonesia Timur yang merantau ke Jawa demi pendidikan. Mereka hidup jauh dari keluarga, dengan kondisi yang sangat sederhana, tapi tetap mandiri dan gigih. Di SMP Pius Bakti Utama Kebumen, kami juga mendengar cerita anak-anak yang tetap setia sekolah, meski setiap hari membantu orang tua lebih dulu di rumah. Yang membuat kami makin kagum, mereka bukan hanya semangat belajar, tapi juga punya berbagai prestasi, baik akademik maupun non-akademik. Ada yang jago di bidang olahraga, aktif dalam kegiatan seni seperti paduan suara dan tari daerah, dan ada juga yang antusias ikut lomba-lomba di tingkat sekolah maupun kabupaten. Meski banyak yang tidak memiliki fasilitas belajar lengkap di rumah, mereka tetap tampil percaya diri dan menunjukkan kemampuan terbaik. Semua dilakukan dengan tulus dan semangat tinggi bukan untuk mengejar pujian, tapi karena mereka benar-benar mencintai proses belajar dan tumbuh. Prestasi mereka jadi bukti bahwa potensi luar biasa bisa lahir dari tempat-tempat yang sederhana, selama diberi ruang dan kesempatan. Dari seluruh proses ini, kami belajar banyak. Anak-anak ini menunjukkan bahwa keterbatasan ekonomi bukanlah penghalang untuk bermimpi. Mereka mengajarkan kami arti ketulusan dalam berjuang, dan bahwa harapan bisa tumbuh dari hal-hal kecil yang mungkin sering kita abaikan. Beasiswa AAT bagi mereka bukan cuma soal bantuan pendidikan, tapi cahaya harapan yang menumbuhkan keberanian untuk melangkah, berkembang, dan mengubah masa depan mereka sendiri. Kalau teman-teman membaca ini dan punya cerita serupa, yuk, berbagi juga. Siapa tahu, kisah kalian bisa jadi inspirasi bagi lebih banyak orang untuk percaya bahwa harapan selalu ada meski dalam keterbatasan. Penulis, Leonie & Ryo

Meski Terbatas, Kami Bisa Read More »

Di balik Senyuman: Potret Kehidupan Anak Asuh dan Pejuang Mimpi

Anak-anak ?harusnya terlihat ceria ketika berangkat ke sekolah sambil membawa bekal uang jajan dan pelukan hangat orang tuanya. Namun, di balik tiap senyuman yang berusaha mereka munculkan, ada kisah peperangan, kehilangan dan harapan. Di sudut yang lain, anak-anak ini adalah “sekadar” anak-anak asuh di bawah naungan komunitas Sekretariat Malang. Namun, bagi mereka, anak-anak ini adalah pejuang kecil yang ?sedang ?berusaha menjemput harapan dan mimpi. Melalui tulisan ini, kami ingin berbagi kisah-kisah mereka kisah yang mengajari kami untuk selalu bersyukur atas nikmat kesehatan dan berani membuktikan cinta dalam berbagai cara yang sederhana. Sekretariat Malang menaungi 13 komunitas anak-anak SD dan SMP dari berbagai daerah di Malang, Madura, Jember, Lumajang, dan Banyuwangi. Selama kegiatan yang berlangsung sejak awal tahun ini, kami berkesempatan mengenal beberapa dari mereka secara lebih dekat. Beberapa tinggal bersama keluarga, sebagian hidup di panti asuhan, dan lainnya tumbuh dalam situasi keluarga yang tidak utuh. Meski begitu, semangat dan senyuman mereka tetap membara mereka hadir dalam setiap kegiatan dengan antusias, seolah menyimpan semesta harapan dalam hati mereka yang muda. Kami bertemu Maulana Ilham Kholilulloh seorang anak SMP kelas 8 dari SMPK Santo Yusup Bangkalan. Ilham hanya tinggal bersama ayahnya yang bekerja sebagai penjaga sekolah, setelah ibunya menghilang tanpa kabar. Sebagai anak tunggal, Ilham hidup sederhana di mes sekolah. Dia berangkat sekolah tanpa uang jajan, tapi selalu muncul dengan senyuman tulus dan semangat untuk belajar yang luar biasa. Di SMPK Santo Lukas Lumajang, beberapa anak asuh tinggal di panti asuhan seperti Regina Pacis dan Taman Karya. Sebagian besar dari mereka berasal dari keluarga petani dan pekebun dengan penghasilan yang tidak menentu. Banyak di antara mereka yang memiliki saudara lebih dari satu, saling membantu di tengah keterbatasan. Salah satu yang menonjol adalah Faustina, siswa kelas 7 yang berhasil jadi juara 1 di kelas di semester 1 dan 2. Di tengah semua kekurangan, dia bisa tetap menunjukkan prestasi yang gemilang. Ada juga cerita dari anak-anak yang tinggal di luar panti. Jeskia Jihan, yang berasal dari keluarga broken home, kini tinggal bersama neneknya. Awalnya, dia pendiam, tapi pelan-pelan mulai terbuka saat diajak diskusi dengan orang disekitarnya. Septia Sinta, yang punya latar belakang serupa, juga diasuh oleh neneknya. Meskipun mereka tidak punya keluarga utuh, semangat mereka untuk ikut dalam kegiatan dan menjalin hubungan sosial tetap ada. Di sisi lain, Gregorius harus menghadapi kenyataan pahit, yaitu ayahnya yang menderita pembengkakan jantung. Tapi Gregorius tidak ingin ketinggalan dalam kegiatan belajarnya. Dia datang dengan semangat, seolah mengajarkan kita semua bahwa semangat itu tidak tergantung pada keadaan. Dari pertemuan-pertemuan singkat ini, kami mendapat banyak pelajaran. Anak-anak ini mengingatkan kami bahwa harapan itu tumbuh bukan dari hal mewah, tapi dari keberanian untuk terus melangkah. Mereka tidak minta dikasihani, yang mereka butuh hanya pengertian dan ruang untuk maju. Setiap tawa dan cerita mereka jadi semangat buat kami dan harapannya juga buat kita semua agar terus peduli dan hadir. “Di balik senyuman” bukan sekadar kalimat puitis, tapi itu yang kami lihat langsung. Senyuman anak-anak ini mungkin menyimpan duka, tapi juga menunjukkan harapan yang kuat. Mereka itu pejuang mimpi yang memang layak dapat dukungan, perhatian, dan kepercayaan. Kalau kamu juga punya cerita yang sama atau pernah berjumpa anak-anak dengan semangat seperti ini, kami sangat ingin mendengarnya. Ayo kita berbagi, karena kadang satu cerita bisa mengubah cara pandang seseorang dan mungkin, bisa mengubah hidup seseorang di luar sana. Penulis, Renza & Welly

Di balik Senyuman: Potret Kehidupan Anak Asuh dan Pejuang Mimpi Read More »

Asa dari Negeri

oleh Lala Nisa Meraih cita-cita dengan bersekolah kadang hanya sekedar impian untuk anak-anak dari luar Jawa karena merasakan terbatasnya fasilitas pendidikan dan pendukungnya. Bahkan, untuk menuju sekolah saja harus berjuang berpuluh-puluh kilometer dengan kaki mungil melewati sungai, hutan, dan jalanan terjal. Setiap langkahnya merupakan saksi perjuangan mereka yang menghadapi realitas keras bahwa pendidikan yang layak bukanlah hak yang mudah untuk didapatkan. Terkadang, langkah menuju sekolah terasa berat dan melelahkan sehingga membuat anak-anak memilih untuk beraktivitas lain dengan membantu orang tuanya, seperti berkebun di ladang yang terhampar luas di bawah teriknya matahari ataupun bekerja di perkebunan sawit, memikul beban tanggung jawab yang seharusnya belum menjadi bagian dari pundak kecil mereka. Pilihan ini bukanlah tanpa alasan, keterbatasan ekonomi seringkali memaksa mereka untuk mengesampingkan impian pendidikan demi kelangsungan hidup keluarga.  Cerita tersebut bukan hanya dongeng semata, tetapi realitas pahit ini didengar langsung oleh penulis sekaligus pewawancara yang saat itu melakukan wawancara calon anak asuh baru di SMK Kristen Gergaji. Banyak anak yang datang dari daerah luar Jawa seperti Flores, Papua, ataupun Kalimantan. Dengan dibantu program gereja, mereka memutuskan untuk jauh dari orang tua serta keluarga untuk dapat merasakan kesempatan pendidikan yang lebih mendukung masa depannya serta hidup bersama di asrama ataupun panti asuhan. Keterbatasan bahasa ataupun biaya tidak membuat anak-anak menyerah justru menjadi motivasi mereka untuk lebih semangat mengikuti pembelajaran di kelas, meskipun kadang juga tidak bisa mengikuti beberapa kegiatan sekolah karena terkendala biaya.  Cerita dan pengalaman anak-anak tersebut memiliki kesan yang mendalam untuk penulis betapa besar mimpi anak-anak di masa depan mimpi yang sesungguhnya adalah masa depan bangsa ini, salah satunya ketika anak tersebut bercerita bagaimana besarnya perbedaan di rumah dan di asrama. Ketika di rumah, dia harus jalan kaki bersama teman-temannya tanpa alas kaki melewati hutan lebih dari sepuluh kilometer untuk sampai sekolah. Setelah sampai di Semarang, dia bisa menggunakan transportasi bus, belajar rutin bersama dengan teman-teman dan kakak kelas saat di asrama, belajar bahasa agar lebih bisa menyesuaikan saat berkomunikasi dengan teman ataupun mengikuti pelajaran. Sedihnya, mereka jarang bisa berkomunikasi dengan orang tua karena tidak memiliki smartphone ataupun kendala sinyal. Kegiatan mereka lebih banyak dihabiskan di asrama karena seluruh kegiatan telah terjadwal. Bahkan, setelah menyelesaikan pendidikan SMK banyak mimpi dan harapan dari anak-anak tersebut, ada yang ingin melanjutkan kuliah ataupun kembali ke daerah asal.  Lebih pilu lagi, saat kami mengetahui  kenyataan pahit yang dihadapi oleh keluarga-keluarga ini. Para orang tua, dengan peluh dan kerja keras tak kenal lelah,bekerja keras di ladang sawit. Namun, ironisnya, jerih payah mereka seringkali hanya dihargai dengan upah yang sangat minim. Upah tersebut bahkan tidak cukup untuk sekadar memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarga di kampung halaman, sehingga mereka merasa tidak berdaya untuk memberikan uang saku kepada anak-anak yang sedang berjuang menempuh pendidikan di perantauan.  Terpisahkan oleh jarak beribu-ribu kilometer tanpa adanya alat komunikasi yang memadai membuat mereka semakin sulit untuk berinteraksi. Dulu, mungkin ada obrolan hangat setiap hari, cerita tentang hari yang berlalu, atau sekadar obrolan tentang keseharian mereka. Kini, semua itu hanyalah kenangan. Anak-anak yang sedang berjuang keras di perantauan ini tak henti-hentinya merindukan kampung halaman, hangatnya pelukan keluarga, dan kehadiran orang tua mereka. Sebuah obrolan singkat kini terasa seperti kemewahan. Mungkin bagi sebagian besar dari kita, sekolah merupakan hal yang mudah untuk didapatkan dan kita tinggal menunjuk ingin bersekolah di mana. Namun, sudahkah kita memanfaatkan kesempatan yang ada dengan tepat? Setelah membaca ini, semoga teman-teman pembaca menjadi lebih terarah dalam membuat keputusan besar ya

Asa dari Negeri Read More »

Menemui Asa di Pelosok Magelang: Kisah Anak-Anak Penuh Semangat

Oleh : Ixa, BPT AAT Sekretariat Yogyakarta  Selasa pagi, di daerah Plemburan, aku berkumpul bersama teman-teman relawan sebelum berangkat ke beberapa sekolah di Magelang, tepatnya di daerah Sumber dan Srumbung. Tujuan perjalanan kami adalah melakukan wawancara dengan beberapa anak dari sekolah-sekolah yang akan kami datangi, untuk diseleksi dalam program pemberian beasiswa oleh Yayasan Anak-Anak Terang. Sekolah pertama yang kami kunjungi adalah SD Kanisius Blongkeng. Suasana perjalanan kami sungguh menyenangkan, terlebih ketika kami tiba di sana. Kami disambut hangat oleh para guru dan diterima dengan ceria oleh anak-anak di sekolah itu. Di sekolah tersebut, kami mewawancarai 10 anak. Mereka tampak gembira dan sungguh menyejukkan hati. Salah satu anak yang menurutku sangat menarik adalah Adam. Dengan latar belakang keluarga yang membutuhkan bantuan, Adam menunjukkan semangat belajar yang tinggi dan sikap yang riang dalam mengikuti kegiatan sekolah. Ia begitu girang dan energik, bahkan ketika bertemu dengan kami yang jauh lebih tua. Sosok Adam menjadi poin berharga sekaligus sumber motivasi bagi kami para relawan. Sekolah berikutnya adalah SMP PL Srumbung, yang letaknya tepat di samping SD Kanisius Blongkeng. Sekolah ini hanya dipisahkan oleh sebuah tembok. Saat kami masuk, terlihat hanya sedikit siswa yang menempati bangku sekolah tersebut. Entah mengapa, ada perasaan tenang namun juga mengiris hati melihat kondisi ini. Di sana, aku mewawancarai seorang siswi bernama Nadia Aorora. Ia tidak banyak bercerita—maklum, sebagai anak SMP, egonya mulai tumbuh. Namun dari sedikit yang ia sampaikan, kisahnya begitu jujur dan menyentuh. Ia bahkan sempat terisak ketika menceritakan keadaan keluarganya. Meski demikian, Nadia adalah siswa yang cakap dalam belajar dan mudah bergaul. Hal ini menumbuhkan dorongan dalam diriku untuk membantunya. Tapi tentu saja, dia bukan satu-satunya yang membutuhkan; siswa-siswa lain pun memerlukan dorongan dan dukungan untuk bisa meraih cita-citanya, terutama dalam kondisi yang tidak selalu mendukung. Selanjutnya, kami melanjutkan perjalanan menggunakan kendaraan menuju SD Kanisius Sumber. Anak-anak yang kami wawancarai di sana sebagian besar adalah siswa kelas 1 dan 2 SD. Mereka begitu polos, ceria, dan penuh semangat. Kami juga banyak berbincang dengan para guru yang menyambut kami dengan sangat hangat. Anak-anak itu unik—ketika diwawancarai, mereka tampak malu-malu dan enggan menjawab. Namun jawaban mereka jujur dan apa adanya. Banyak dari mereka menggunakan angkutan sekolah untuk berangkat dan pulang, bahkan ada pula yang berjalan kaki. Hal ini menunjukkan semangat dan dedikasi mereka terhadap pendidikan. Tujuan terakhir kami adalah SMP Sumber, yang terletak tidak jauh dari SD Sumber—bahkan hanya di sebelahnya. Kami tiba saat kegiatan sekolah telah usai, dan hanya menyisakan anak-anak yang akan diwawancarai. Mereka terlihat pendiam, entah karena malu, takut, atau karena teman-temannya sudah pulang. Namun saat aku mulai melontarkan pertanyaan dan pernyataan yang memantik minat mereka, mereka mulai terbuka dan bercerita dengan penuh semangat. Banyak dari mereka menempuh jarak jauh untuk bersekolah, namun tidak menganggap hal itu sebagai beban—suatu hal yang sangat membanggakan. Anak-anak ini juga berbakat dalam kegiatan non-akademik seperti voli dan tari. Sayangnya, perhatian terhadap akademik mereka masih kurang. Di sisi lain, ada pula siswa yang sangat tekun dalam pelajaran, tetapi tetap aktif mengikuti kegiatan di luar sekolah. Perjalanan ini bukan sekadar kunjungan—ia adalah perjumpaan dengan semangat, harapan, dan ketulusan yang tumbuh di tengah keterbatasan. Anak-anak yang kami temui bukan hanya calon penerima beasiswa, tetapi juga cerminan dari masa depan yang pantas untuk diperjuangkan. Melalui tawa polos, cerita jujur, dan semangat belajar mereka, kami diingatkan bahwa pendidikan bukan hanya tentang fasilitas, tapi tentang keyakinan bahwa setiap anak berhak bermimpi dan pantas untuk dibantu mewujudkannya. Kami pulang bukan dengan tangan kosong, tapi dengan hati yang penuh—penuh harapan, dan dorongan untuk terus menjadi bagian dari cerita perubahan ini.

Menemui Asa di Pelosok Magelang: Kisah Anak-Anak Penuh Semangat Read More »

Kita, Cita, dan Cerita : Perjalanan Wawancara dengan Anak-Anak SD Santa Maria, SMK Kristen 1, dan SMK Kristen 2 Magelang

Oleh : Elsa Amelia Lase, Relawan AAT Sekretariat Yogyakarta Benar kata orang, terkadang kita dapat belajar banyak hal saat melihat dunia dari kacamata yang berbeda. Tak kusangka aku mendapat kesempatan itu, menjadi salah satu orang yang diberikan kesempatan untuk mencoba kacamata mereka, siswa-siswi yang berbagi cerita dibalik tawa malu-malu dan jawaban polos yang mereka lontarkan, tersimpan impian besar yang tak kalah kuat dari siapa pun di luar sana. Ini kisahku, satu hari bersama anak-anak calon penerima beasiswa, satu hari yang mengubah cara pandangku tentang hidup. Pada kesempatan pertamaku, aku dan tim mengunjungi SD Santa Maria Magelang, sesampainya disana kami mendapat sambutan yang sangat hangat dari pihak sekolah. Suasana di SD Santa Maria ini pun sangat menenangkan hati sehingga perjalanan jauh yang kami tempuh pun seketika sirna ketika menginjakkan kaki di sekolah ini. Disini, aku bertemu dengan seorang gadis kecil cantik yang masih duduk di bangku SD, lucunya sejak awal dia sudah antusias memilih untuk diwawancarai olehku. Marsha merupakan anak yang sangat aktif serta memiliki bakat dan hobi di bidang non-akademik seperti bernyanyi dan menari. Marsha juga bercerita bahwa nantinya Marsha ingin sekali menjadi seorang penyanyi dan menyalurkan suara indahnya itu suatu hari. Dibalik jawaban polos dan lembut yang dilontarkan Marsha, dia ingin sekali dapat bersekolah setinggi mungkin dan membanggakan orangtuanya. Dari Marsha, aku dapat melihat semangat serta ketulusan dalam belajar dan meraih cita-citanya. Pada kesempatan kedua, aku dan tim mengunjungi SMK Kristen 2 Magelang. Sekolah yang juga telah menjadi tempat bagi AAT membantu Anak-anak yang memiliki cita-cita besar. Pihak Sekolah bercerita bahwa beberapa lulusan yang dibantu oleh AAT kini telah mampu meraih dunia pendidikan serta cita-cita yang cukup membanggakan bahkan ada yang kini dapat bekerja di mancanegara. Pelajar di sekolah ini didominasi oleh pelajar laki-laki dikarenakan berkaitan dengan jurusan teknik dan juga mesin. Wawancara berlangsung dengan sangat lancar, kami dapat berkomunikasi selayaknya bercerita dengan teman seumuran. Di sekolah ini, aku bertemu dengan Pelajar yang dalam kondisi kurang sehat pun masih menyempatkan dirinya untuk bertemu dan berbagi dengan kami. Dia adalah Pandu, Siswa SMK yang masih duduk di kelas 10. Pandu benar-benar memberikan kacamata yang berbeda buatku melalui kisahnya. Pandu kini tidak lagi tinggal seatap lagi dengan kedua orangtuanya, dia hanya tinggal bersama kakak yang bekerja untuk melanjutkan kehidupannya. Pandu merupakan sosok yang gigih dan menyukai dunia otomotif, ketika aku bertanya tentang harapan yang dia miliki, dia menjawab bahwa dia ingin nantinya setelah lulus, dia sangat ingin segera menemukan pekerjaan yang dapat membangun kembali kehidupannya, dan dia juga sangat ingin pendidikannya dapat terus berjalan untuk menjadi bekal bagi masa depannya kelak. Melalui kacamata Pandu, aku belajar bahwa keluhan seharusnya dijadikan sebuah harapan, rintangan akan selalu berada di depan namun hidup terus berjalan, yang harus dilakukan adalah mencari cara untuk terus bertahan. Setelah perjalanan hebat dari sekolah-sekolah sebelumnya, perjalanan terakhir kami pada hari itu adalah SMK Kristen 1 Magelang. Di sekolah ini, pelajar dominannya adalah perempuan. Sekolah ini identik dengan dunia bisnis, perkantoran serta akuntansi. Disini, aku bertemu dengan 2 pelajar yang sangat komunikatif. Aku dan tim tak hanya berkesempatan untuk mengobrol dengan pelajarnya saja, melainkan juga dapat berkomunikasi dengan orangtua mereka yang dihadirkan oleh sekolah dengan sigapnya. Aku bertemu Asyifa, siswi kelas 10 yang berkecimpung di jurusan akuntansi. Setelah mengobrol dengan Asyifa dan ibunya, Asyifa memiliki kekurangan dalam perekonomiannya. Orangtua Asyifa kini bekerja sebagai buruh bangunan dan pekerja serabutan untuk menghidupi keluarganya. Asyifa juga bercerita bahwa kakaknya kini juga sedang sakit dan harus menjalani perawatan. Dibalik kesulitan yang dia alami, Asyifa berharap sekali agar pendidikannya dapat terus berlanjut agar mampu membantu membangun kehidupan yang lebih baik untuk keluarganya. Aku melihat ketulusan serta harapan dari Asyifa yang tak patah semangat, begitu juga dengan orangtuanya yang selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk kehidupan anak-anaknya. Selain kisah Asyifa yang cukup menyentuh hati, aku juga bertemu dengan Hesti. Siswi yang duduk di kelas 10 jurusan Manajemen Perkantoran ini sangat lucu dan aktif. Hesti juga memiliki cerita yang cukup mirip dengan Asyifa. Hesti menjawab dengan ceria namun tersirat harapan besar terkait pendidikannya. Kondisi ekonomi yang kini kurang mendukung juga menjadi hal yang menjadi beban pikiran untuk Hesti dan orangtuanya. Kini orangtua Hesti bekerja serabutan, mencari nafkah untuk Hesti, Kakak dan adiknya. Aku berharap semoga Asyifa, Hesti dan anak-anak lainnya yang memiliki semangat tinggi dalam hidupnya dapat selalu menemukan jalan yang dapat mewujudkan cita-cita dan harapan mereka. Melalui pertemuan singkat namun bermakna dengan Marsha, Pandu, Asyifa, Hesti, dan anak-anak lainnya, aku belajar bahwa semangat untuk bertahan dan bermimpi tak pernah pudar meski hidup tak selalu mudah. Mereka hadir dengan ketulusan, harapan, dan kekuatan yang sering kali luput dari pandangan mata dunia. Di balik tawa dan cerita mereka, tersimpan perjuangan yang tak semua anak seusia mereka harus jalani. Tapi mereka tetap memilih untuk melangkah maju, menggenggam cita-cita meski dengan tangan yang belum sepenuhnya kuat. Aku hanya bisa berharap—semoga semakin banyak tangan yang tergerak, mata yang terbuka, dan hati yang tergerak untuk ikut hadir dalam perjalanan mereka. Karena sesungguhnya, satu kesempatan kecil yang diberikan hari ini, bisa menjadi awal dari perubahan besar untuk masa depan mereka esok.

Kita, Cita, dan Cerita : Perjalanan Wawancara dengan Anak-Anak SD Santa Maria, SMK Kristen 1, dan SMK Kristen 2 Magelang Read More »

Jangan Salah Sasaran! Ini Cara Berdonasi yang Benar di Era Digital

Di era digital ini, berdonasi menjadi semakin mudah dan praktis. Hanya dengan beberapa klik di ponsel atau komputer, kita bisa menyalurkan bantuan kepada mereka yang membutuhkan. Namun, kemudahan ini juga membawa tantangan tersendiri. Dengan banyaknya platform dan organisasi yang menawarkan donasi online, kita perlu berhati-hati agar bantuan kita benar-benar sampai ke tangan yang tepat. Pentingnya Donasi Tepat Sasaran Donasi yang tepat sasaran bukan hanya tentang memberikan uang, tetapi juga tentang memberikan dampak positif yang berkelanjutan. Ketika donasi kita tepat sasaran, kita memastikan bahwa bantuan tersebut digunakan secara efektif dan efisien untuk membantu mereka yang benar-benar membutuhkan. Sebaliknya, donasi yang salah sasaran bisa saja tidak memberikan dampak yang signifikan, bahkan bisa disalahgunakan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Cara Berdonasi yang Benar di Era Digital Berikut adalah beberapa langkah yang bisa kita lakukan untuk berdonasi dengan benar di era digital: Riset Organisasi atau Lembaga Donasi Periksa Legalitas dan Transparansi Pilih Platform Donasi yang Terpercaya Perhatikan Tujuan dan Sasaran Donasi Pantau dan Evaluasi Tips Tambahan Dengan mengikuti langkah-langkah di atas, kita bisa berdonasi dengan lebih aman, tepat sasaran, dan memberikan dampak positif yang maksimal bagi mereka yang membutuhkan. Reminder: Donasi untuk anak asuh di Yayasan Anak-Anak Terang Indonesia dibuka tanggal 10 Juli hingga 30 September 2025.  Penulis : Fael

Jangan Salah Sasaran! Ini Cara Berdonasi yang Benar di Era Digital Read More »

Perjalanan Wawancara: Menyusuri SD Kanisius Beji, Bandungan, dan Pulutan

Oleh : Aloysius Felix Santoso, Relawan AAT Sekretariat Yogyakarta Pagi itu, aku berangkat dari Babarsari tepat pukul 07.00. Perjalanan ini terasa begitu spesial karena aku memiliki misi penting: mewawancarai beberapa anak di tiga sekolah dasar Kanisius yang berbeda. Tujuan pertama kami adalah SD Kanisius Beji. Sesampainya di SD Kanisius Beji, kami disambut dengan ramah oleh para guru dan siswa. Suasana sekolah yang hangat membuat rasa lelah perjalanan seolah menguap begitu saja. Aku mulai mewawancarai beberapa siswa, salah satunya Angel, seorang anak kelas 3 yang ceria. Ia bercerita tentang kesukaannya terhadap pelajaran Bahasa Indonesia dan betapa ia mengidolakan Pak Budi, gurunya yang selalu mengajar dengan cara yang seru. Ia juga berbagi cerita tentang sahabatnya, Orni, dan bagaimana ia merasa sedih jika tidak diajak bermain. Aku melihat semangat dan kepolosan anak-anak di sini, yang membuat pengalaman ini semakin berarti. Setelah selesai di SD Kanisius Beji, kami melanjutkan perjalanan ke SD Kanisius Bandungan. Perjalanan ini cukup menguras tenaga, tetapi rasa antusiasme tetap terjaga. Sesampainya di sekolah, aku kembali bertemu anak-anak yang luar biasa. Salah satu anak yang kutemui adalah Dewa. Ia bercerita tentang kebiasaannya berangkat sekolah diantar ibu dengan sepeda, serta bagaimana ia sering terlambat karena perjalanan yang cukup jauh. Meski begitu, ia tetap semangat belajar, terutama untuk mata pelajaran TIK yang diajarkan oleh Bu Cia. Ia juga berbagi impiannya menjadi seorang guru. Aku tersenyum mendengar cerita-cerita mereka, menyadari betapa besar impian anak-anak ini meskipun mereka menghadapi banyak tantangan. Destinasi terakhir kami adalah SD Kanisius Pulutan. Meski sudah mulai merasa lelah, semangatku kembali membara saat bertemu dengan anak-anak di sana. Salah satu anak yang kutemui adalah Tyas, seorang siswi kelas 2 yang bercita-cita menjadi koki. Ia bercerita dengan penuh semangat tentang kegemarannya belajar Matematika dan Informatika, serta bagaimana ia selalu membantu ibunya di rumah dengan menyapu dan mengepel. Selain itu, aku juga berbincang dengan Nindi, yang suka membawa buku ke mana pun ia pergi. Ia mengaku bahwa ia senang belajar dan bercita-cita menjadi koki, mengikuti ketertarikannya dalam dunia memasak. Setelah selesai mewawancarai anak-anak di SD Kanisius Pulutan, aku merasa perjalanan ini bukan sekadar tugas, melainkan sebuah pengalaman yang membuka mata. Setiap anak yang kutemui memiliki kisah dan impian mereka masing-masing. Ada yang ingin menjadi guru, dokter, koki, hingga polisi wanita. Meskipun mereka menghadapi berbagai tantangan dalam kehidupan sehari-hari, semangat dan harapan mereka tetap menyala. Aku pulang dengan hati yang penuh. Perjalanan ini mengajarkanku banyak hal—tentang tekad, perjuangan, dan betapa pentingnya memberi dukungan kepada mereka yang membutuhkan. Anak-anak ini memiliki impian besar, dan aku berharap mereka dapat menggapainya suatu hari nanti.

Perjalanan Wawancara: Menyusuri SD Kanisius Beji, Bandungan, dan Pulutan Read More »