“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain.”
Hadits Rasulullah SAW itulah yang selalu membuat saya semangat untuk terus berbuat baik pada sesama. Begitu pun ketika memutuskan untuk bergabung menjadi relawan AAT, tepat pada tanggal 25 Agustus tahun lalu. Saat itulah saya memutuskan untuk mencurahkan tenaga dan pikiran saya untuk yayasan yang peduli pendidikan di Indonesia itu.
Tidak terasa, dua tahun sudah saya menjadi bagian dari keluarga besar AAT. Ya, keluarga besar dengan semangat kepedulian yang tinggi. Begitu banyak pengalaman, ilmu, dan pelajaran-pelajaran berharga yang saya dapatkan. Tak ubahnya sebuah keluarga, saya mendapatkan curahan kasih dan perhatian dari saudara-saudara di AAT. Mereka selalu menawarkan tangan ketika saya membutuhkan pertolongan dan menawarkan bahu ketika sedang kesusahan.
Padahal, niat pertama saya ketika bergabung bersama AAT adalah untuk menyumbangkan tenaga dan pikiran saya untuk membantu anak-anak yang kurang mampu. Karena saya tahu, saya adalah bagian dari mereka. Saya pernah merasakan apa yang mereka rasakan. Susahnya membayar uang sekolah, susahnya membeli buku-buku pelajaran, bahkan sampai susahnya membeli jajan ketika bel istirahat berbunyi. Saat di mana anak-anak bersorak untuk segera mengisi perut setelah mengikuti pelajaran. Memang, saya belum bisa membantu mereka secara finansial. Karena saat ini pun, saya masih dalam perjuangan. Berjuang untuk terus bisa mengenyam pendidikan. Namun, dengan segala kekurangan saya, saya masih ingin memberi manfaat bagi mereka. Melalui AAT, saya bisa berbagi sedikit tenaga dan pikiran saya untuk membantu pengelolaan beasiswa yang diberikan pada anak-anak sekolah dari tingkat SD, SMP, sampai SMA/SMK. Rasa syukur selalu saya ucapkan ketika tangan saya masih dibolehkan untuk membantu sesama.
Lebih bersyukur lagi ketika saya mendapatkan kesempatan untuk bertemu langsung dengan anak asuh maupun calon anak asuh ketika survei dan wawancara. Survei dan wawancara langsung adalah salah satu prosedur penerimaan beasiswa AAT. Hal itu supaya donasi AAT tidak salah sasaran dan anak yang dibantu benar-benar anak yang membutuhkan.
AAT tidak pernah membedakan dalam membantu. Agama apapun, suku apapun, daerah manapun, jika memang membutuhkan pasti dibantu. Semua itu menginspirasi saya untuk terus peduli tanpa membeda-bedakan. Relawan, pengurus, maupun donatur AAT pun juga berasal dari berbagai agama, suku, dan daerah. Bahkan donaturnya juga ada yang berasal dari luar Indonesia. Semua bahu-membahu menyelamatkan pendidikan di Indonesia. Sungguh, saya bersyukur menjadi bagian dari mereka. Mereka telah mengajarkan kepada saya tentang kekuatan berbagi dan peduli.
Sesungguhnya, semangat berbagi dan peduli sudah ditanamkan dalam diri saya sejak kecil. Kedua orang tua sayalah yang dengan sabar menanam dan merawat benih kepedulian dalam diri saya. Sejak saya kecil, orang tua saya selalu mengajarkan saya untuk mau berbagi, sekalipun kami dalam kekurangan. “Sekecil apapun rezeki, harus disisihkan untuk sesama.”
Awalnya saya kesal. “Kita saja dalam kesusahan, kenapa masih harus berbagi?” pertanyaan dalam hati ini tidak pernah mendapatkan jawaban dari orang tua saya. Selama bertahun-tahun mereka mengajarkan kepada saya untuk terus berbagi. Bukan dengan kalimat-kalimat motivasi maupun kata-kata mutiara, namun dengan tindakan langsung tanpa memberitahu apa maksudnya. Dari mulai berbagi makanan, beras, air minum, pakaian, bahkan uang satu-satunya pun akan mereka berikan jika orang lain memang lebih membutuhkan. Semua itu mereka lakukan, mereka ajarkan kepada saya, sampai saat ini.
Hingga suatu hari, tepat di tanggal 12 Juli 2014, saya menyaksikan sendiri. Seorang perempuan yang hanya bekerja sebagai pembantu rumah tangga dengan gaji sekitar Rp 400.000,00 per bulan, menyerahkan sebagian uangnya untuk empat orang nenek-nenek. Perempuan itu menyerahkan uang Rp 100.000,00 kepada salah satu nenek dan meminta nenek itu untuk membaginya dengan tiga nenek yang lain. Semua terjadi di depan mata saya. Saya melihat langsung sebuah pelajaran yang sangat berharga. Meskipun hidupnya berkekurangan, perempuan itu tidak pernah lelah untuk berbagi. Baginya, untuk bisa berbagi, tidak harus menunggu kaya dahulu. Sekarang, saat ini juga, kita bisa melakukannya. Dan saat itu, saya hanya bisa tersenyum bangga disela tetesan airmata. Karena perempuan itu adalah ibu saya. Perempuan yang selama ini mengajarkan saya untuk berbagi dan peduli. Mengajarkan saya untuk selalu menawarkan tangan untuk membantu sesama. Hingga saya pun menemukan jawaban atas kegundahan hati saya.
“Hidup kita memang selayaknya untuk orang lain. Tangan kita, kaki kita, semua Tuhan ciptakan untuk menolong sesama. Menjadi manfaat, menjadi berkat, adalah kunci bahagia kita.”
Rike Kotikhah* Relawan AAT Sekretariat Madiun
*Rike Kotikhah adalah mahasiswa Universitas Katolik Widya Mandala Madiun angkatan 2011. Merupakan relawan AAT sekaligus salah satu anak asuh AAT tingkat perguruan tinggi.
[qrcode content=”https://aat.or.id/key-of-life” size=”175″]