Pagi menjelang siang, sekitar pukul 09.45 WIB, kami berempat para Pendamping Komunitas Anak-Anak Terang (PK AAT) Semarang mengunjungi SMP Yoannes XXIII. Saya, Johanes, Pieter, dan Lukas sampai di tujuan sekitar pukul 10.00 WIB. Di sana kami disambut oleh Bapak Rochadi selaku Penanggung Jawab (PJ) di SMP Yoannes XIII. Kami pun langsung menuju ke tempat kelas untuk melakukan presentasi mengenai AAT kepada calon anak asuh. Waktu itu, saya yang mempresentasikan mengenai AAT dibantu oleh Pieter sebagai moderator. Saat saya mempresentasikan mengenai AAT, calon anak asuh itu duduk dengan manis sambil mendengarkan dan berusaha memahami betul apa itu AAT.
Cerita tentang Salah Satu Calon Anak Asuh
Setelah selesai presentasi, kami segera mewawancarai para calon anak asuh. Dan saya mendapati salah satu calon anak asuh yang menurut saya memang pantas untuk dibantu. Anak tersebut menceritakan semua kondisi keluarganya. Keluarganya numpang di rumah teman ayahnya. Ayahnya sudah tidak bekerja karena sakit, sedangkan ibunya bekerja sebagai buruh (mencuci pakaian dan menyetrika). Ternyata ayahnya mengalami penyakit gagal ginjal yang tiap minggunya harus cuci darah sebanyak dua kali. Padahal ibunya hanya memiliki penghasilan kurang dari Rp 500.000,-. Ditambah lagi, dia dan adiknya masih sekolah dan harus membayar uang sekolah. Dia merupakan anak ke 2 dari 3 bersaudara. Kakaknya sudah tamat kuliah dan yang membiayai adalah pak dhenya. Sedangkan dia dengan adiknya dibiayai ibunya.
Setiap kali berangkat ke sekolah, dia diberi uang saku Rp 5.000,- di mana yang Rp 4.000,- untuk ongkos transportasi dan Rp 1.000,- untuk jajan. Dia mengerti kondisi keuangan keluarganya bisa dibilang sangat rendah, sehingga di sekolah dia tidak makan sama sekali. Jika dia merasa lapar, dia hanya beli air minum gelas untuk mengenyangkan perutnya. Ketika saya menanyakan kenapa tidak membawa bekal saja, anak itu menjawab tidak karena dia tidak mau merepotkan ibunya. Apalagi kalau masak sendiri, dia bisa telat masuk sekolah. Dia sadar bahwa ibunya juga harus mengurusi ayahnya yang sedang sakit. Saya pernah menanyakan bagaimana ibunya bisa membayar biaya rumah sakit kalau ayahnya mau cuci darah. Dia pun menjawab kalau ibunya meminjam uang ke tetangga-tetangga. Tiap satu kali cuci darah, ibunya harus mengeluarkan uang sekitar kurang lebih Rp 600.000,-
Pernah dua kali ia belum bayar SPP ketika kelas VII dan saat ini juga belum bayar SPP bulan November. Meskipun begitu, dia memiliki cita-cita yang tinggi yaitu ingin menjadi pemain basket internasional karena dia suka sekali bermain basket. Selain itu, ia juga pernah mendapatkan suatu penghargaan berupa sertifikat bela diri karena dia sudah sampai di sabuk orange.
Rapat Pleno
Setelah selesai wawancara semua anak, kami mengadakan rapat pleno, di mana teman-teman saya menceritakan apa saja informasi yang didapatkan pada waktu wawancara tadi. Saya mendengarkan cerita dari pengalaman teman saya saat mewawancarai calon anak tersebut. Ada yang menceritakan tentang perilaku orang tuanya yang marah-marah karena agama. Saya pun heran mengapa karena masalah agama mereka selalu bertengkar? Padahal sebelum menikah pasti mereka setuju tentang perbedaan agama yang mereka anut.
Saya pun menanyakan ke teman saya yang menceritakan cerita tersebut, ”Lah trus bagaimana dengan anak ini? Dia mengikuti agama ayahnya apa ibunya? Dan kenapa ayahnya dan ibunya sering bertengkar cuma gara-gara agama?”
“Ya agama anak itu ikut dengan ibunya. Tidak hanya soal agama, mereka juga sering bertengkar karena masalah ekonomi,” jawab temanku itu.
Setelah itu temen saya yang lain menceritakan hasil wawancaranya tentang salah satu anak yang nakalnya bukan main. Padahal kondisi keluarganya juga tidak terlalu mewah. Ayahnya bekerja sebagai tukang tambal ban dan ibunya sebagai ibu rumah tangga. Kadang-kadang ia juga sering tidak masuk sekolah dan main ke warnet, tetapi orangtuanya tidak tahu kalau anak itu kadang-kadang tidak masuk sekolah. Namun anak ini pernah mendapat prestasi yaitu juara 3 lomba sepak bola di UNDIP pada saat masih di SD. Saya pun bilang kepada penanggung jawabnya kalau seandainya anak ini mendapatkan beasiswa dari AAT, anak ini harus berubah menjadi baik dan tidak akan bolos lagi. Jika kelakuannya masih seperti itu, beasiswanya nanti bisa dicabut.
Ada juga cerita tentang orang tua calon anak asuh yang sering bertengkar karena ibunya sering berbohong. Namun sayangnya bukan saya yang mewawancarai melainkan teman saya. Saya hanya mendengar sekilas mengenai anak tersebut kalau ayahnya itu bekerja sebagai tukang pembuat saluran air minum dan ibunya sebagai ibu rumah tangga. Kadang-kadang ibunya jualan nasi pecel. Ayahnya bekerja jika ada panggilan, sedangkan kalau tidak ada panggilan ayahnya tidak bekerja. Dia anak ke-4 dari 4 bersaudara, kakak pertama sudah bekerja, kakak ke-2 masih kuliah, dan yang ke-3 masih sekolah kelas 3 SMK. Dia memiliki prestasi yaitu mendapat peringkat 1 dan juara lomba pendidikan. Ia memiliki hobi berenang dan memiliki cita-cita menjadi seorang pastur.
Dari cerita-cerita anak asuh tersebut, banyak yang mempunyai kesamaan dengan kondisi keluarga saya. Sehingga setiap saya mendengarkan cerita tentang anak-anak tersebut, saya langsung ingat akan kenangan pahit yang pernah saya alami. Orang tua saya yang sering bertengkar gara-gara masalah ekonomi dan ayah saya yang dulu juga pernah menderita penyakit. Namun, kenangan-kenangan itu membuat saya bertekad untuk bisa mengubah kondisi keluarga saya agar lebih baik lagi.
Metodius Billy Sentosa Staff Admin AAT Semarang [qrcode content=”https://aat.or.id/kunjungan-ke-smp-yoannes-xxiii” size=”175″]