Oleh : Nadia Gracia
Berkembang di Yayasan AAT Indonesia
Tahun 2014, saya pertama kali mengetahui tentang Yayasan AATIndonesia melalui akun facebook salah
seorang pastur. Membuka web Yayasan AAT Indonesia dan melihat cerita-cerita anak asuh membuat saya merasa sedih sekaligus bersyukur atas apa yang saya miliki dan tergugah untuk mengambil beberapa anak asuh untuk dibantu. Saat itu, dengan uang jajan yang terbatas, saya hanya bisa membantu membiayai 2 anak asuh dari ribuan yang ingin saya selamatkan. Akhirnya, saya mengambil dua anak asuh itu untuk saya biayai pendidikannya sambil saya berdoa agar suatu saat saya diberi kesempatan untuk membantu ratusan anak lainnya.
Tahun 2015 awal adalah tahun pertama saya bergabung dengan Yayasan AAT Indonesia, berawal dari tugas fakultas untuk membantu sebuah komunitas, pada saat tugas berakhir saya akhirnya memutuskan untuk tidak membantu komunitas ini sebatas tugas saja, melainkan sungguh melayani dan berkomitmen dengan mendaftarkan diri untuk menjadi relawan di Yayasan AAT Indonesia sekretariat Bandung. Puji Tuhan semua relawan yang lain dan para pendamping mau dengan sabar mengajari saya mengenai banyak hal. Tak hanya mengenai tugas sebagai relawan, tetapi juga mengenai nilai-nilai dalam kehidupan. Saya banyak bertemu dengan orang hebat yang mau meluangkan waktunya dan peduli pada pendidikan untuk anak-anak kurang mampu.
Saya dipercaya oleh para pendamping dan koordinator relawan untuk menjadi penanggung jawab komunitas SDK Paulus 3 Bandung. Saya melakukan wawancara, survei, dan mengurus administrasi bulanan untuk beasiswa dengan melakukan upload kwitansi dan tanda terima setiap bulannya, dan raport anak asuh di akhir semester sebagai bentuk pertanggungjawaban dari donasi yang telah diberikan oleh donatur. Saya menjalani tugas itu dengan sepenuh hati dan bahagia, saya benar-benar merasakan dampak besar dari berbuat sedikit kebaikan, tak jarang saya dan teman-teman relawan didoakan oleh para guru dan kepala sekolah yang sekolahnya dibantu AAT.
Pada pertengahan tahun 2015, doa saya terjawab, saya ditawari untuk menjadi tim public relation pusat, dimana divisi ini bertugas untuk mengenalkan Yayasan AAT Indonesia ke banyak orang dengan harapan ada orang yang terketuk hatinya untuk menjadi donatur. Tanpa pikir panjang, saya menerima tawaran itu. Saya tidak punya basic apapun sebagai tim public relation, lagi-lagi saya diajari oleh para pendamping dan teman-teman divisi public relation yang lain. Puji Tuhan, dengan niat yang besar, di pertengahan tahun 2016 saya dipercaya untuk menjadi kepala divisi Public Relation Yayasan AAT Indonesia. Saya sangat bersyukur bisa berada di tim public relation ini, saya senang ketika ada donatur baru yang terketuk hatinya, karena artinya, akan ada minimal satu anak yang terselamatkan lagi. Saya mungkin tidak memiliki uang untuk menyelamatkan banyak anak asuh, saya hanya memiliki niat untuk membantu, dengan segala keterbatasan, saya berusaha mengetuk hati donatur agar banyak anak yang akhirnya bisa terselamatkan.
Saya teringat kata-kata dari salah seorang pendamping, “Banyak orang yang bisa, tapi tidak mau. Saya mungkin tidak semahir orang, tapi dengan segala kerendahan hati saya, saya memiliki niat untuk melayani.” Hal inilah yang saya jadikan prinsip dalam melayani. Semua yang saya lakukan berawal dari keterbatasan, hanya ada niat yang besar untuk bisa menyelamatkan ratusan anak asuh yang terancam putus sekolah. Saya percaya bahwa hal kecil apapun yang kita lakukan, percayalah bahwa akan ada dampak besar dalam hidup orang-orang yang kita layani.
Belajar Bersyukur lewat AAT
Hari itu, 10 Juni 2015 adalah tugas perdana saya sebagai seorang Pendamping Komunitas (PK). Saya melakukan wawancara calon anak asuh di SDK Paulus III, Bandung. Awalnya tentu ini bukan hal yang mudah, karena ini adalah pengalaman pertama saya melakukan wawancara kepada anak SD. Saya merasa sangat gugup bagaimana caranya bisa berhadapan dengan anak kecil, apakah pertanyaan saya bisa dimengerti ? Ini adalah pengalaman pertama saya untuk terjun langsung melihat dan mengenal calon anak asuh, tidak hanya membaca cerita mereka lewat web. Saya takut saya tak sekuat mereka, saya takut menangis di depan mereka ketika mendengar cerita mereka.
Namun, seiring berjalannya waktu, melihat senyuman mereka menyadarkan saya, bahwa mereka menganggap saya sebagai seorang teman dan mereka tidak ingin saya “mengasihani” mereka, karena sesungguhnya mereka “bahagia”. Saya pun berusaha memposisikan diri menjadi teman mereka. Mendengarkan cerita keseharian mereka. Mereka yang awalnya nampak canggung pun mulai bercerita dengan lancar.
Kisah-kisah mereka sungguh luar biasa bagi saya. Ada diantara mereka yang hanya diberi uang jajan 2000 untuk makan, saat saya tanya, “2000 kamu belikan apa dik kalau gak dikasih bekal?” dia bilang, “beli kue aja kak, kan lumayan kenyang”. Ah, saya merasa tertampar, betapa masih hangat di benak saya, saat itu saya baru saja mengeluh karena merasa uang jajan yang diberikan orangtua saya tidak cukup untuk memuaskan saya. Sedangkan mereka dapat bersyukur di tengah keterbatasan mereka.
Ada diantara mereka yang rumahnya sangat jauh, bahkan harus berangkat pukul 5 pagi untuk sampai di sekolah. Sedangkan saat itu, saya masih kerapkali mengeluh ketika dapat jadwal kuliah pagi padahal jarak kampus dan tempat kos saya hanya beberapa ratus meter.
Ada diantara mereka yang orangtuanya bekerja sampai tengah malam atau bahkan tidak pulang berbulan-bulan untuk bekerja kerasa membiayai kehidupan mereka. Di tengah keterbatasan mereka, mereka memiliki semangat yang tinggi untuk tetap bersekolah. Berharap mereka bisa memutar roda kehidupan keluarga mereka menjadi lebih baik.
Berada di tengah mereka membuat saya menyadari betapa beruntungnya saya. Memiliki keluarga yang memberi support dan kasih sayang untuk saya, mampu mencukupi kebutuhan saya. Artinya, saya harus bisa berbuat lebih dari yang ingin mereka lakukan bagi keluarga dan orang-orang disekitarnya.
Bagi saya, mereka tidak perlu kita “kasihani” karena mereka memiliki semangat untuk tetap bahagia dengan cara mereka. Yang perlu kita lakukan adalah membantu mereka, agar semangat mereka tidak padam. Salah satunya adalah dengan membantu biaya pendidikan mereka yang merupakan harapan mereka untuk memeroleh masa depan yang lebih baik.
Terimakasih Anak-Anak Terangku, tetap semangat selalu dalam menghadapi keterbatasan ini. “Miracle is another name for hardwork”.
Terimakasih Yayasan AAT Indonesia untuk pengalaman yang sangat berharga hari ini.
*Nadia Gracia, adalah mahasiswi Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha. Koordinator Divisi Public Relation (Purel) AAT, Relawan AAT Sekretariat Bandung