PAGI ITU, 15 November 2014 sekitar pukul 7.30, saya dan teman-teman menuju tempat survei, yaitu SD Kanisius Ngawen Wonosari. Sebenarnya pagi itu badan saya kurang bersahabat. Tetapi, saya tetap bersemangat dalam melaksanakan tugas untuk survei dan wawancara calon anak asuh AAT meskipun sesekali saya mengeluh, “Duh, jauhnya Wonosari”.
Mengendarai motor selama 30 menit membuat saya merasa mengantuk karena badan yang tidak enak. Setelah pertigaan, kami pun belok ke arah kanan. Di sana terlihat tanjakan tinggi dan tajam. Mata yang tadinya mengantuk pun mendadak terang benderang karena kami sadar perjalanan akan sangat ekstrim dengan jalan yang berliku-liku. Sebelumnya, saya belum pernah melalui jalan seekstrim itu.
Setelah melalui pegunungan kapur, kami pun bertanya kepada warga sekitar apakah betul jalan tersebut adalah jalan menuju sekolah yang akan kami survei. Ternyata benar. Ketika kami belok ke arah kanan, akhirnya kami sampai di sekolah.
Padahal sebelumnya, saya merasa tidak yakin akan sampai ke sekolah. Hal itu karena waktu kami sampai di pertigaan sebelum sekolah, kami tidak melihat tanda-tanda kehidupan (maksudnya tidak melihat rumah-rumah). Setelah berjalan lagi, kami menemukan beberapa rumah di bukit kapur dan kami pun bertanya lagi dengan warga yang ada disekitaran situ dan jawabannya sama, “Benar, masih naik lagi, Mbak?”
Kami hampir menyerah. Tapi akhirnya kami menemukan sekolah yang kami tuju juga. Luar biasa perjalanan yang kami tempuh.
Sesampainya di SD Kanisius Wonosari, kami disambut dengan pertunjukan drumband yang dimainkan oleh siswa-siswa SD Kanisius Wonosari. Kami merasa terharu dan bahagia atas penyambutan yang luar biasa itu. Rasa lelah pun seketika menghilang ketika melihat anak-anak memainkan drumband dengan lincah dan penuh bersemangat.
Wawancara
Waktu wawancara pun tiba. Saya mendapatkan jatah 2 siswa untuk diwawancarai. Yang pertama, saya mewawancarai Nabila. Nabila adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Ayahnya sehari-hari bekerja mencari burung dan hasil penjualannya burung itu untuk membeli kebutuhan makan serta susu untuk kedua adiknya yang kembar. Namun, pada musim hujan seperti ini ayahnya sulit sekali menangkap burung.
Saya melihat kembali rapor Nabila. Nilainya di atas rata-rata. Saya mulai bertanya kepada Nabila.
“Nabila rangking berapa?”
“Rangking 3, Mbak.” Jawabnya singkat.
Saya membalas lagi, “Rangking 3 dari berapa siswa?”
“Dari 3, Mbak.”
Saya terkejut dengan jawabannya, Nabila rangking 3 dari 3 siswa? Bagaimana ceritanya? Lalu, berapa siswa total keseluruhan siswa di sekolah ini jika kelas tiganya hanya 3 anak? Sebelum semuanya terjawab, saya pun melanjutkan wawancara dengan siswa lainnya.
Namanya Lilo, nama yang lucu. Dia terlihat polos ketika saya mewawancarainya. Lilo menceritakan pekerjaan ayahnya sebagai buruh tani.
Setelah itu saya bertanya kepada Lilo, “Lilo berangkat sekolah jam berapa? Diantar bapak nggak?”
“Berangkat jam 6 pagi dari rumah, Mbak. Lilo berangkat sendiri,” jawabnya.
Setelah mendengar jawaban Lilo saya terdiam sesaat dan bertanya kembali, “Lilo naik sepeda?”
“Jalan kaki, Mbak.”
Luar biasa sekali perjuangan Lilo. Diumurnya yang masih kecil, ia harus melewati gunung berkapur, jalan menanjak, dan jalan menurun demi bisa sekolah.
Saya bertanya kembali kepada Lilo, “Lilo rumahnya jauh ya? Berapa lama sampai sekolahan?”
“Sampai di sekolah setengah tujuh lebih, Mbak.”
Saya begitu salut dengan semangat yang tinggi dan luar biasa dari seorang anak laki-laki yang mempunyai cita-cita sebagai guru ini. Mungkin orang lain di luar sana tidak mendapatkan pengalaman yang saya dapat ini. Ini adalah pelajaran yang sangat berharga untuk saya.
Ternyata, masih ada orang di bawah saya yang lebih kesusahan. Semua ini membuat saya semakin bersyukur dengan apa yang saya miliki saat ini. Meskipun dalam kekurangan, saya lebih beruntung dibandingkan adik-adik di sana.
Setelah selesai wawancara, saya dan teman-teman berkumpul di tempat yang sudah disediakan oleh sekolah tersebut. Saya melihat-lihat apa yang terletak di ruangan itu. Saya membaca total murid dari kelas I hingga kelas VI SD Kanisius Wonosari ternyata berjumlah 35 anak. Kelas III-nya hanya 3 anak saja.
Saya tak henti-henti terpaku oleh keadaan yang ada. Sungguh jelas di depan mata dan sungguh jelas cerita kehidupan yang terjadi, bukan drama, bukan acting ataupun skenario. Ini benar-benar nyata.
Perjalanan Pulang
Survei dan wawancara pun selesai. Kami bergegas untuk kembali ke Yogyakarta. Tiba-tiba seorang guru menghampiri kami.
“Mbak! Apabila turun ke bawah tolong bonceng tiga murid saya, ya. Rumahnya di bawah gunung berkapur.”
Setiap harinya, tiga murid tersebut bergantung kepada salah satu guru yang memberikan tumpangan karena rumah mereka sangat jauh di lereng gunung.
Pada saat membonceng dua siswa, saya bertanya pada salah satu dari mereka yang bernama Wanda.
“Wanda kalau berangkat jam berapa?”
“Tadi saya menunggu Bu Guru jam enam, tapi Bu Guru datangnya jam tujuh lebih.” kata-kata itu di ucapkan dalam bahasa jawa.
Kemudian saya bertanya lagi, “Wanda kalau Bu Guru tidak menjemput bagaimana sekolahnya?”
“Ya nggak sekolah, Mbak. Jalannya jauh.”
Sungguh mulia sekali Guru itu. Demi siswanya, beliau rela menjemput mereka. Bagi saya ini adalah cerita yang tak bisa saya lupakan. Saya jadi lebih bersemangat lagi untuk menjalankan pendidikan yang saya tempuh dan kegiatan organisasi di Yayasan AAT Indonesia, serta lainnya. Mungkin bagi orang lain ini hanya sekedar cerita semata, namun bagi saya ini adalah pelajaran yang berharga dan tak pernah ternilai harganya.
Elisabeth Putri Krismawati Relawan AAT Sekretariat Yogyakarta. [qrcode content=”https://aat.or.id/survei-dan-wawancara-sd-kanisius-ngawen” size=”175″]