AAT Madiun

Key of Life

“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain.”  Hadits Rasulullah SAW itulah yang selalu membuat saya semangat untuk terus berbuat baik pada sesama. Begitu pun ketika memutuskan untuk bergabung menjadi relawan AAT, tepat pada tanggal 25 Agustus tahun lalu. Saat itulah saya memutuskan untuk mencurahkan tenaga dan pikiran saya untuk yayasan yang peduli pendidikan di Indonesia itu. Tidak terasa, dua tahun sudah saya menjadi bagian dari keluarga besar AAT. Ya, keluarga besar dengan semangat kepedulian yang tinggi. Begitu banyak pengalaman, ilmu, dan pelajaran-pelajaran berharga yang saya dapatkan. Tak ubahnya sebuah keluarga, saya mendapatkan curahan kasih dan perhatian dari saudara-saudara di AAT. Mereka selalu menawarkan tangan ketika saya membutuhkan pertolongan dan menawarkan bahu ketika sedang kesusahan. Padahal, niat pertama saya ketika bergabung bersama AAT adalah untuk menyumbangkan tenaga dan pikiran saya untuk membantu anak-anak yang kurang mampu. Karena saya tahu, saya adalah bagian dari mereka. Saya pernah merasakan apa yang mereka rasakan. Susahnya membayar uang sekolah, susahnya membeli buku-buku pelajaran, bahkan sampai susahnya membeli jajan ketika bel istirahat berbunyi. Saat di mana anak-anak bersorak untuk segera mengisi perut setelah mengikuti pelajaran. Memang, saya belum bisa membantu mereka secara finansial. Karena saat ini pun, saya masih dalam perjuangan. Berjuang untuk terus bisa mengenyam pendidikan. Namun, dengan segala kekurangan saya, saya masih ingin memberi manfaat bagi mereka. Melalui AAT, saya bisa berbagi sedikit tenaga dan pikiran saya untuk membantu pengelolaan beasiswa yang diberikan pada anak-anak sekolah dari tingkat SD, SMP, sampai SMA/SMK. Rasa syukur selalu saya ucapkan ketika tangan saya masih dibolehkan untuk membantu sesama. Lebih bersyukur lagi ketika saya mendapatkan kesempatan untuk bertemu langsung dengan anak asuh maupun calon anak asuh ketika survei dan wawancara. Survei dan wawancara langsung adalah salah satu prosedur penerimaan beasiswa AAT. Hal itu supaya donasi AAT tidak salah sasaran dan anak yang dibantu benar-benar anak yang membutuhkan.   AAT tidak pernah membedakan dalam membantu. Agama apapun, suku apapun, daerah manapun, jika memang membutuhkan pasti dibantu. Semua itu menginspirasi saya untuk terus peduli tanpa membeda-bedakan. Relawan, pengurus, maupun donatur AAT pun juga berasal dari berbagai agama, suku, dan daerah. Bahkan donaturnya juga ada yang berasal dari luar Indonesia. Semua bahu-membahu menyelamatkan pendidikan di Indonesia. Sungguh, saya bersyukur menjadi bagian dari mereka. Mereka telah mengajarkan kepada saya tentang kekuatan berbagi dan peduli. Sesungguhnya, semangat berbagi dan peduli sudah ditanamkan dalam diri saya sejak kecil. Kedua orang tua sayalah yang dengan sabar menanam dan merawat benih kepedulian dalam diri saya. Sejak saya kecil, orang tua saya selalu mengajarkan saya untuk mau berbagi, sekalipun kami dalam kekurangan. “Sekecil apapun rezeki, harus disisihkan untuk sesama.” Awalnya saya kesal. “Kita saja dalam kesusahan, kenapa masih harus berbagi?” pertanyaan dalam hati ini tidak pernah mendapatkan jawaban dari orang tua saya. Selama bertahun-tahun mereka mengajarkan kepada saya untuk terus berbagi. Bukan dengan kalimat-kalimat motivasi maupun kata-kata mutiara, namun dengan tindakan langsung tanpa memberitahu apa maksudnya. Dari mulai berbagi makanan, beras, air minum, pakaian, bahkan uang satu-satunya pun akan mereka berikan jika orang lain memang lebih membutuhkan. Semua itu mereka lakukan, mereka ajarkan kepada saya, sampai saat ini. Hingga suatu hari, tepat di tanggal 12 Juli 2014, saya menyaksikan sendiri. Seorang perempuan yang hanya bekerja sebagai pembantu rumah tangga dengan gaji sekitar Rp 400.000,00 per bulan, menyerahkan sebagian uangnya untuk empat orang nenek-nenek. Perempuan itu menyerahkan uang Rp 100.000,00 kepada salah satu nenek dan meminta nenek itu untuk membaginya dengan tiga nenek yang lain. Semua terjadi di depan mata saya. Saya melihat langsung sebuah pelajaran yang sangat berharga. Meskipun hidupnya berkekurangan, perempuan itu tidak pernah lelah untuk berbagi. Baginya, untuk bisa berbagi, tidak harus menunggu kaya dahulu. Sekarang, saat ini juga, kita bisa melakukannya. Dan saat itu, saya hanya bisa tersenyum bangga disela tetesan airmata. Karena perempuan itu adalah ibu saya. Perempuan yang selama ini mengajarkan saya untuk berbagi dan peduli. Mengajarkan saya untuk selalu menawarkan tangan untuk membantu sesama. Hingga saya pun menemukan jawaban atas kegundahan hati saya. “Hidup kita memang selayaknya untuk orang lain. Tangan kita, kaki kita, semua Tuhan ciptakan untuk menolong sesama. Menjadi manfaat, menjadi berkat, adalah kunci bahagia kita.”   Rike Kotikhah* Relawan AAT Sekretariat Madiun  *Rike Kotikhah adalah mahasiswa Universitas Katolik Widya Mandala Madiun angkatan 2011. Merupakan relawan AAT sekaligus salah satu anak asuh AAT tingkat perguruan tinggi.   [qrcode content=”https://aat.or.id/key-of-life” size=”175″]  

Key of Life Read More »

Akhirnya Mimpi Saya menjadi Nyata

NAMA SAYA Tiara Riszky Ananda, kelahiran Madiun 17 Maret 1993. Saya merupakan salah satu anak asuh Perguruan Tinggi AAT dari Universitas Katolik Widya Mandala Madiun yang baru saja lulus dan diwisuda. Saya bergabung dengan AAT dan dibantu para bapak/ibu donatur AAT sejak 24 Agustus 2013. Saat itu saya sedang belajar di Prodi Akuntansi Fakultas Ekonomi semester V. Sejak 24 Agustus 2013, saya juga dipercayai untuk menjadi Koordinator AAT Madiun selama satu periode, yaitu pada tahun 2013-2014. Bersama dengan teman-teman pendamping komunitas sekretariat AAT Madiun, kami mengelola sekretariat AAT Madiun dengan ratusan anak asuh yang tersebar di sekolah/komunitas Se-Eks Karesidenan Madiun. Dalam mengelola beasiswa, kami juga didampingi para pendamping rohani, yaitu Br. Yakobus CSA, Br. Alex CSA, dan Br. Neri CSA, serta Bapak Bernadus Widodo M.Pd. selaku penanggungjawab sekretariat AAT Madiun. Kemudian, pada tanggal 21 September 2014, saat Rapat Pengurus Yayasan AAT Indonesia, saya dipercayai kembali untuk menjadi Koordinator Nasional Relawan AAT untuk tahun ajaran 2014-2015. Mimpi saya untuk menyelesaikan pendidikan S1 Akuntansi sebelum waktunya, yaitu dengan 3,5 tahun adalah mimpi saya sejak awal masuk perkuliahan. Saya ingin segera meringankan beban kedua orang tua saya dan segera bekerja. Untuk mencapai keinginan saya itu, setiap semesternya saya berusaha untuk mendapatkan IPK di atas 3,00. Dengan begitu, saya bisa mengambil mata kuliah di atas tingkatan saya. Tidak hanya hardskill saja yang saya tekuni, tetapi di Widya Mandala Madiun saya juga belajar untuk melatih softskill saya. Dan pada 28 Februari 2015, doa saya terjawab. Saya berhasil menyelesaikan kuliah S1 saya dengan masa studi 3,5 tahun dan berhasil menyandang gelar Sarjana Ekonomi. Terimakasih kepada para sahabat AAT yang telah membantu biaya kuliah saya. Berkat bantuan dari Bapak/Ibu Donatur AAT, saya bisa melanjutkan dan menyelesaikan kuliah saya sebelum waktunya. Terima kasih untuk dukungan semangat dan doa yang telah diberikan para sahabat AAT. Terimakasih untuk pendampingan yang diberikan kepada saya selama ini. Terima kasih atas pengalaman dan kesempatan yang luar biasa yang telah diberikan kepada saya untuk menjadi salah satu Anak Asuh AAT, menjadi Pendamping Komunitas, menjadi Koordinator AAT Madiun, menjadi Koordinator Nasional Relawan AAT, dan menjadi bagian dari keluarga besar AAT. Untuk kedepannya, saya ingin menyisihkan sebagian penghasilan saya untuk membantu adik-adik asuh di AAT, sesuai dengan visi Beasiswa PT dari AAT, yaitu Pay it Forward! Harapan saya, makin banyak anak-anak SD, SMP, SMA/SMK, dan mahasiswa yang dapat dibantu oleh AAT. Untuk 46 Anak Asuh AAT tingkat perguruan tinggi yang lainnya, tetap semangat untuk menyelesaikan kuliah, ya. Kejar semua cita-cita yang kalian inginkan dan yakinlah semua akan bisa tercapai dengan kerja keras dan doa tentunya. Tangan Tuhan tidak akan bekerja jika tangan manusia tidak bekerja. Just do it and do your best! Terima kasih AAT.   Tiara Riszky Ananda Koordinator Relawan AAT Nasional   [qrcode content=”https://aat.or.id/akhirnya-mimpi-saya-menjadi-nyata” size=”175″]  

Akhirnya Mimpi Saya menjadi Nyata Read More »

Bersyukur Menjadi Bagian dari AAT

NAMA SAYA YENI PUSPITASARI. Saya biasanya akrab dipanggil Yeni. Saya lahir di kota Nganjuk, Jawa Timur pada tanggal 13 September 1993. Saya anak pertama dari dua bersaudara. Adik saya perempuan. Jarak usia kami terpaut cukup jauh, yakni 9 tahun. Orang tua saya bekerja sebagai buruh pabrik di Sidoarjo. Sejak kecil, saya diasuh dan dibesarkan oleh nenek di kota Madiun. Orang tua saya harus pergi karena pekerjaan. Saya diasuh oleh nenek, karena kedua orang tua harus bekerja dan saat itu tidak mampu membayar babysitter untuk mengasuh saya. Alhasil, saya diasuh dan dibesarkan di desa bersama nenek hingga sekarang ini. Adik saya tinggal bersama orang tua di Sidoarjo, sedangkan saya memilih untuk tetap tinggal di Madiun bersama nenek, karena nenek tinggal di rumah sendirian. Tidak sampai hati rasanya jika harus meninggalkan seorang nenek yang sudah merawat saya sejak kecil tinggal di rumah seorang diri. Masa Sekolah Memasuki usia sekolah, mulanya saya bersekolah di TK Dharma Wanita Ngadirejo. Saat itu saya baru berusia 5 tahun. Namun, nenek sudah memasukkan saya ke sekolah. Lalu, saya bersekolah di SDN Ngadirejo 02. Kebetulan TK dan SD berada dalam satu lokasi yang sama dan lokasi sekolah tidak terlalu jauh dengan tempat tinggal saya, kira-kira 15 menit jika ditempuh dengan jalan kaki. Kemudian, saya bersekolah di SMPN 1 Wonoasri. Jarak sekolah dengan rumah saya lumayan jauh, sekitar 5 km. Saat diumumkan kelulusan SMP dan dinyatakan lulus, saya mulai bimbang akan kemanakah saya melanjutkan sekolah. Saya benar-benar bingung antara SMA atau SMK. Saya berpikir, jika sekolah di SMA berarti harus kuliah, sedangkan biaya kuliah sangatlah mahal. Akhirnya, saya mendaftarkan diri ke sekolah swasta, yaitu SMK PGRI Wonoasri dan mengambil jurusan Akuntansi. Sekolah tersebut terletak di tengah kota Caruban. Jarak sekolah dan tempat tinggal saya sekitar 11 km. Untunglah saat itu saya ada teman untuk berangkat dan pulang sekolah, sehingga bisa sedikit meringankan biaya untuk membeli bensin. Seminggu sekali, kami bergantian untuk mengisi bensin. Waktu sekolah dulu, saya bersama sahabat saya pernah berjualan kacang bawang. Tiap pulang sekolah kami membuat kacang bawang dan besoknya kami titipkan ke warung-warung. Selain itu, saya juga berjualan pulsa untuk tambahan uang saku, karena jika mengandalkan uang saku dari orang tua sangatlah tidak cukup. Kelas XI saatnya melakukan Pendidikan Sistem Ganda (PSG). Saya bersama ketiga teman mencari tempat untuk melakukan praktek. Hingga akhirnya, kami berempat diterima PSG di PLN Madiun selama 2 bulan. Dalam waktu 2 bulan saya mendapatkan banyak sekali pengalaman, dari mengarsipan data, entri data tusbung, melayani pelanggan, dll. Masa SMA pun segera berakhir. Sambil menunggu ijazah keluar, saya mencoba melamar pekerjaan di sebuah toko pusat oleh-oleh yang berada di kawasan Madiun. Saya diterima di sana dan kontrak awal selama 3 bulan. Awalnya, saya merasa tidak sanggup bekerja selama 10 jam per hari, tapi saya berusaha memberi semangat pada diri saya bahwa saya pasti bisa. Satu bulan saya bekerja, ayah saya menyuruh saya untuk melanjutkan pendidikan lagi. Akhirnya, saya menyetujuinya dan ayah mengusahakan untuk mencarikan biaya pendaftaran. Saya pun konsultasi dengan guru BK SMK. Menurut beliau, kampus Widya Mandala (WIMA) Madiun adalah kampus yang cukup baik. Akhirnya, saya memutuskan untuk mendaftarkan diri di kampus UNIKA Widya Mandala Madiun dan mengambil program studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Kedua orangtua saya awalnya tidak setuju kalau saya kuliah di situ. Mereka ingin saya kuliah di perguruan tinggi lain yang ada di Madiun, tetapi saya tetap ingin kuliah di WIMA Madiun. Awal Mengenal AAT Jalan Tuhan memang indah. Jika saat itu saya ikut saran orangtua untuk kuliah di universitas lain, mungkin sekarang saya tidak akan mengenal AAT. Saya baru sadar mengapa saat itu saya bersikeras ingin kuliah di Wima, yaitu karena Tuhan punya rencana yang indah buat saya. Hingga akhirnya, saya bisa mengenal yayasan yang begitu hebat, Yayasan AAT Indonesia. Pagi itu, tanggal 26 Agustus 2013 adalah hari di mana saya pertama kali mengenal Anak-anak Terang (AAT). Awalnya, saya ke kampus hanya untuk mengerjakan tugas, tetapi mendengar bahwa ada sosialisasi beasiswa AAT, saya dan teman saya Mbak Rike tertarik untuk mengikuti sosialisasi mengenal beasiswa AAT. Sebelumnya, saya sudah mendengar ada pengajuan beasiswa dan mahasiswa yang lolos seleksi beasiswa tersebut akan menjadi staf administrasi dan tugasnya adalah mengurus beasiswa untuk anak SD, SMP, dan SMA. Saya tidak mengajukan beasiswa AAT, karena pada saat itu saya sudah mendapat beasiswa Bantuan Belajar Mahasiswa (BBM). Beberapa teman mengatakan bahwa tidak hanya yang penerima beasiswa AAT saja yang bisa mengurus beasiswa untuk SD, SMP, dan SMA, tetapi yang tidak menerima beasiswa AAT pun boleh membantu. Mendengar hal seperti itu saya tertarik untuk ikut bergabung menjadi relawan AAT. Saat memasuki ruangan tersebut, saya berkenalan dengan Mbak Chika dan Mbak Alma yang saat itu menjadi koordinator nasional. Saat Mbak Chika menanyakan apakah sudah membuka situs web AAT, saya jawab belum. Karena saat itu yang saya tahu beasiswa AAT memberikan beasiswa kepada SD, SMP, SMA, dan perguruan tinggi. Saya belum melangkah lebih jauh sampai membuka website-nya AAT. Setelah Mbak Alma, Mbak Chika, Pak Christ, dan Pak Hadi menjelaskan kepada semua audience yang hadir, saya baru paham apa itu Beasiswa AAT. Dari penjelasan mereka dan dari tanya jawab, saya semakin yakin untuk ikut bergabung menjadi relawan AAT, karena kegiatan di AAT sangat positif. Bersyukur Menjadi Bagian dari AAT Setelah resmi bergabung bersama AAT, saya mulai mendapatkan teman-teman baru yang awalnya belum saya kenal. Mereka semua baik dan kami saling bekerja sama, saling membantu, dan saling memberikan semangat. Menjadi staf administrasi AAT, saya belajar bagaimana input data anak asuh di SIANAS (Sistem informasi Anak Asuh), bagaimana mengirim bukti transfer dan kuitansi setiap bulannya kepada donatur, dan bagaimana mengirim rapor anak asuh untuk donatur.   Saat survei, saya mendapatkan pengalaman yang luar biasa. Pengalaman ini tidak pernah saya dapatkan sebelumnya. Ketika wawancara, saya mendengar cerita langsung dari calon anak asuh. Saya merasa sangat bersyukur atas kehidupan saya. Saya sadar, ternyata banyak sekali adik-adik di luar sana yang tidak seberuntung saya. Cerita dan perjuangan mereka semakin membuat saya bersyukur dan bersemangat untuk meraih cita-cita saya, untuk terus membantu sesama, dan terus melakukan yang terbaik untuk orang-orang disekeliling saya dan tentunya untuk AAT. Menjadi Anak Asuh AAT Tahun ajaran

Bersyukur Menjadi Bagian dari AAT Read More »

AAT Membawa Terang dalam Hidupku

SATU SETENGAH TAHUN aku berkecimpung di AAT. Berkat beasiswa AAT inilah aku bisa kuliah sampai sekarang. AAT yang telah membiayai kuliahku dari semester 3 kemarin. Dulu, sebelum aku dibiayai AAT, orang tuaku harus menggadaikan cengkeh dan menjual anak sapi yang didapat setelah bertahun-tahun memelihara induknya dari saudaraku. Dan sekarang, aku bersyukur sekali kuliahku sudah dibiayai AAT. Berkat AAT, beban ekonomi yang ditanggung oleh orangtuaku sudah tidak seberat dulu. Terkadang, orang tuaku menjual kayu atau pinjam ke saudara untuk biaya hidup sehari-hari, karena ibuku sudah tidak bekerja lagi. Sekarang, ibu hanya mengurusi sawah dan ladang bersama bapak, serta cari daun cengkeh dan rempah–rempah untuk dijual. Selama 1,5 tahun juga, aku ditunjuk sebagai bendahara AAT sekretariat Madiun. Jujur, tidaklah mudah menjadi seorang bendahara yang harus mengurusi uang. Bahkan, kalau sampai salah hitung, aku bisa pusing yang akhirnya terlambat untuk mengirim laporan ke pusat. Tapi semuanya kulakukan, karena tugas sebagai bendahara tidak seberat pengorbanan dari para pengurus yang rela meluangkan waktunya untuk AAT. Selain sebagai bendahara, aku juga sebagai salah satu tim public relations. Di sini aku banyak belajar mengenal orang yang tak dikenal, yang akhirnya menjadi kenal. Di tim ini aku bertugas posting di fanpage AAT sesuai jadwal masing-masing. Ketika melihat data anak asuh di SIANAS (Sistem Informasi Anak asuh) angkanya berkurang, saya merasa sangat senang, karena ada yang membantu mereka. Mereka dapat melanjutkan sekolahnya berkat para donatur yang baik hati. Rasa malas untuk posting terkadang datang menghinggap. Tapi perasaan itu segera hilang ketika ingat perjuangan para pengurus yang rela meluangkan waktu untuk posting setiap hari demi mencari donatur untuk adik-adik yang membutuhkan. Berkat AAT juga aku merasa lebih bersyukur. Saat rapat public relations 2014 lalu, sebelum pulang, aku, Mbak Rike, dan Mbak Tiara yang diantar oleh Om Adhi dan Pak Greg mampir ke Panti Asuhan Cacat Ganda Semarang. Di situlah seolah aku merasakan tamparan atas kurang syukurku selama ini yang selalu memandang ke atas. Rasa trenyuh, sedih, terharu, bercampur aduk menjadi satu. Di sana aku melihat banyak anak-anak yang dengan kondisi berkekurangan. Mereka tidak bisa melakukan aktivitasnya sendiri layaknya orang-orang normal pada umumnya. Mereka harus dibantu oleh para perawat. Sedangkan aku? Aku masih bisa melakukan semuanya sendiri. Aku membayangkan, bagaimana jika aku menjadi mereka? Apa aku bisa seperti sekarang ini? Semua itu membuat aku sangat merasa bersyukur atas pemberian Tuhan selama ini. Aku masih beruntung dibandingkan dengan mereka. Karena Tuhan masih memberikan indra yang lengkap untukku. Dulu, di awal menerima beasiswa AAT, jujur aku pernah berpikir untuk keluar atau mengundurkan diri. Kenapa? Karena aku takut. Aku bingung, karena saat itu langsung ditunjuk sebagai salah satu Pendamping Komunitas (PK) di SDK dan SMPK Santo Yusuf Madiun. Kenapa harus aku yang duluan? Apa aku bisa? Berhari-hari aku memikirkan hal itu. Aku tidak punya teman yang kenal saat pertama kali penerimaan beasiswa. Bahkan, sama Andika yang satu kelas saja aku tidak begitu akrab. Apalagi sama yang lainnya. Tapi akhirnya semua aku jalani saja. Ternyata, tidak seberat yang aku pikirkan. Sungguh pilihan yang bodoh kalau aku dulu benar-benar keluar dari AAT hanya karena hal sepele. Kemungkinan besar, tidak akan pernah ada yang berubah dalam hidupku. Bahkan, bisa jadi aku tidak akan operasi sampai aku tua. Dan di AAT, apa yang aku dapatkan? Banyak sekali. Pengalaman yang begitu berharga yang tidak aku dapatkan di luar AAT. Berawal dari “penculikan” tak terduga di Kaliurang bulan April kemarin yang membuat aku berani operasi, sampai pada perubahan-perubahan hidup yang saya alami sampai sekarang. Sesaat, aku jadi jera gara-gara operasi tahap dua. Tapi aku berpikir lagi, “Aku sudah melewati dua tahap, sayang sekali kalau aku harus berhenti sampai di sini. Aku harus melanjutkan operasi sampai terapi.” Dan akhirnya, aku memutuskan untuk operasi tahap ketiga. Bahkan, kalau ada tahap-tahap selanjutnya akan aku lakukan sampai hasil terbaik. Dulu, aku tidak sampai berpikir sampai sejauh ini. Semua itu berkat AAT. Bagiku, AAT adalah keluarga besar. Keluarga yang memberikan cinta dan kasih sayang yang luar biasa. Meskipun kami berasal dari berbagai agama, daerah, suku dan ras, namun aku benar-benar menemukan cinta yang begitu besar di AAT. Sebuah organisasi yang berhasil membuat diriku berubah. Di AAT juga aku bisa mengenal banyak orang. Banyak teman dari Purwokerto, Yogyakarta, Semarang, Bandung, Malang, Padang, dan Pontianak. Aku juga bersyukur, karena di AAT inilah aku bisa mengenal para pengurus dan sebagian donatur yang bergabung di AAT. Semuanya membuatku lebih bersemangat. Mereka adalah inspirasiku. Aku telah banyak belajar dari mereka. Begitu banyak pelajaran hidup yang bisa aku dapatkan di AAT. Terima kasih untuk semuanya. Terima kasih untuk donatur baik hati yang telah bersedia membayai kuliahku. Aku akan berusaha semaksimal mungkin untuk tidak mengecewakan beliau yang telah membiayai kuliahku. Semoga suatu saat ini aku bisa bertemu dengan beliau.Dan terimakasih juga untuk Pak Hadi, Pak Christ, Kak Can Santi Widya, Pak Marcel, Mami Can Lies Endjang, Om Adhi, Pak Greg, Bruder, dan semuanya atas pelajaran yang sangat berharga. Semuanya membuat perubahan dalam hidupku, sehingga menjadikan Emy yang sekarang. Yang sedikit demi sedikit mulai bermetamorfosis. Semua itu berkat orang-orang hebat yang aku kenal di AAT. Semua hal yang ada di AAT begitu memberi arti dalam hidupku. Memberi warna dalam setiap langkahku. AAT-lah pembawa terang dalam hidupku.   Emy Prihatin* Relawan AAT Sekretariat Madiun *Emy merupakan mahasiswa Program Studi Akuntansi Universitas Katolik Widya Mandala Madiun angkatan 2012. Emy adalah salah satu anak asuh AAT tingkat perguruan tinggi yang ditunujuk sebagai bendahara AAT sekretariat Madiun.   [qrcode content=”https://aat.or.id/aat-membawa-terang-dalam-hidupku” size=”175″]  

AAT Membawa Terang dalam Hidupku Read More »

Bersyukur dalam Kesederhanaan

Saya Fitri Astutik. Saya lahir di Madiun, 22 Juli 1994. Biasanya saya dipanggil dengan sebutan Fitri. Saya anak ketiga dari tiga bersaudara. Kedua kakak saya perempuan. Kakak pertama bernama Suprihatin dan kakak kedua bernama Sumiati. Kedua kakak saya sudah menikah, tetapi kakak yang kedua telah bercerai. Sejak kecil, saya tinggal di Madiun, tepatnya di Desa Sidorejo RT.15 Rw. 02 Jln. Semeru, Kecamatan Wungu, Kabupaten Madiun. Walaupun saya berbeda agama dengan orang tua saya, tapi hubungan saya dengan orang tua tetap baik. Uang saku saya setiap harinya Rp 10.000. Uang tersebut saya gunakan untuk membeli bensin dan sisanya untuk di rumah. Tetapi, kadang uang saku saya Rp 7.000, yang hanya cukup untuk membeli bensin. Pada saat liburan kelulusan sekolah, saya bekerja di pasar besar Kota Madiun. Tepatnya di toko “Sari Warna”, yaitu toko yang menjual pakaian dan kain dengan gaji Rp 300.000. Gaji tersebut untuk membeli kebutuhan saya seperti baju dan lain-lainya. Saya bersyukur sekali pada Tuhan. Apapun yang saya butuhkan, Tuhan selalu mencukupinya walaupun saya harus melewati berbagai rintangan dahulu. Saya harus kuat, karena semua adalah rencana Tuhan yang pasti indah pada waktunya Bersepeda Onthel  Supardi adalah bapak saya. Saat ini, bapak berusia 55 tahun. Bapak seorang muslim. Beliau bekerja di Pabrik Gula “Kanigoro” Madiun di bagian conto. Tugas bapak adalah mengangkut tebu yang akan dibawa ke pabrik. Dengan sepeda onthel kesayangannya, bapak penuh semangat mengangkut tebu-tebu itu. Meskipun jaraknya hingga 15 km, tiada sedikit pun kata menyerah baginya. Saya begitu terharu dengan perjuangan bapak. Hingga saya pun bertekad untuk terus melakukan yang terbaik dan tidak ingin sedikitpun mengecewakannya. Penghasilan bapak di pabrik Rp 30.000 per hari, tapi kerjanya tidak menentu. Selain bekerja di pabrik, bapak juga bekerja sebagai buruh bersih-bersih di rumah orang dengan penghasilan Rp 40.000. Itupun juga kalau ada orang yang menyuruh. Jika dijumlahkan semua, penghasilan bapak sekitar Rp 900.000 per bulan. Bulan ini, bapak sudah mulai pensiun. Dan pastinya, keadaan ekonomi keluarga semakin memburuk. Namun, bapak tidak menyerah. Untuk tetap bisa menopang ekonomi keluarga, bapak tetap bekerja sebagai buruh kebun maupun buruh rumah tangga. Ibu Berhenti Bekerja Nama ibu saya Martoyah. Beliau seorang buruh pengupas tebu. Tetapi itu bukan pekerjaan tetap. Beliau bekerja di musim-musim tertentu saja. Sudah 3 bulan ini ibu tidak lagi bekerja sebagai buruh pengupas tebu. Hal itu karena sudah tidak ada panggilan kerja dari pabrik. Akhirnya, ibu menganggur. Sama seperti bapak, ibu juga berusia 55 tahun. Tidak tahan menganggur, akhirnya ibu bekerja sebagai buruh tani dengan penghasilan Rp 17.000 sehari. Uang tersebut untuk membantu kebutuhan makan 5 anggota keluarga kami. Penghasilan bapak dan ibu yang tidak menentu digunakan untuk membayar listrik, biaya kuliah, biaya air PDAM, serta untuk biaya kebutuhan sehari-hari. Sebisa mungkin, orang tua saya mencarikan uang untuk anak-anaknya. Orang tua saya tidak mau kalau anaknya kesusahan. Namun, di satu sisi saya juga kasihan pada orang tua yang bekerja setiap hari tanpa mengenal lelah. Rasanya ingin sekali segera lulus dan membantu ekonomi keluarga. Mengenal AAT Pada saat itu, di papan pengumuman Program Studi Manajemen, saya melihat ada pengumuman tentang sosialisasi suatu beasiswa. Saya tidak tahu beasiswa apa yang akan disosialisasikan. Lalu, saya pun datang dan berkumpul di auditorium Unika Widya Mandala Madiun untuk mendengarkan sosialisasi beasiswa tersebut. Ternyata, beasiswa itu adalah beasiswa dari AAT. Sosialisasi disampaikan oleh Bapak Bernardus Widodo selaku Wakil Rektor III. Beliau menjelaskan bagaimana cara pengajuan dan persyaratan beasiswa AAT. Akhirnya, saya mendaftarkan diri untuk mendapatkan Beasiswa AAT tersebut. Saat wawancara, saya merasa takut dan cemas. Apa yang akan ditanyakan oleh bruder yang mewawancarai saya nanti? Rasa penasaran menyelimuti pikiran saya. Bersyukur dalam Kesederhanaan Setelah cukup lama diwawancarai, akhirnya rangkaian proses seleksi sudah terpenuhi. Mulai wawancara, sampai diumumkan yang menerima beasiswa AAT. Dari sekitar 50 anak yang mendaftar, terpilihlah 10 mahasiswa yang diterima. Dan saya adalah salah satu yang beruntung mendapatkannya. Seketika itu, saya bersyukur pada Tuhan. Tuhan telah membuktikan bahwa semua memang indah pada waktunya. Ketika itu, saya dan keluarga kebingungan untuk memperoleh uang untuk biaya kuliah semester 3. Puji Tuhan, dari Beasiswa AAT ini saya bisa membiayai kuliah saya. Tanpa rencana Tuhan melalui Beasiswa AAT ini, mungkin saya tidak dapat membiayai kuliah dan kebingungan mencari dana. Sebagai penerima Beasiswa AAT, saya juga diberi beberapa tanggung jawab. Salah satu tanggung jawab tersebut adalah melakukan  survei dan wawancara di sekolah-sekolah. Kegiatan ini adalah pengalaman pertama saya. Awalnya saya merasa takut, karena belum pernah mewawancarai anak SMA, SMP, dan SD. Dari beberapa anak yang saya wawancarai, saya mulai tahu berbagai kondisi keluarga calon anak asuh. Meskipun dalam kekurangan, mereka tidak patah semangat untuk meraih pendidikannya. Waktu wawancara di daerah Ponorogo, ada salah satu anak SMP yang rumahnya jauh dari sekolah. Dia berjalan kaki dari rumah ke sekolah yang jaraknya antara 6 sampai 7 km. Kondisi keluarganya serba terbatas. Tetapi mereka tetap bersemangat belajar dan meraih cita-cita mereka. Itu yang membuat saya bersemangat membantu mereka yang membutuhkan. Saya ingin lebih peduli dengan sesama. Melalui AAT, saya mendapatkan banyak pembelajaran hidup. Saya menjadi semakin bersyukur dalam kesederhanaan hidup. Berkat AAT pula, kini saya tahu bagaimana berorganisasi dan bagaimana bertanggung jawab dalam mengemban tugas. Terima kasih AAT. Terima kasih sudah membantu dalam pembiayaan kuliah saya dan memberikan saya limpahan pengalaman yang membuat saya semakin kuat dan semakin banyak bersyukur. “Semoga, AAT lebih maju dalam membantu pendidikan anak-anak kurang mampu. Agar lebih banyak lagi senyum-senyum yang terkembang di wajah mereka, putra-putri penerus bangsa.”   Fitri Astutik Staf Admin AAT Madiun   *Fitri Astutik adalah salah satu Anak Asuh AAT tingkat Perguruan Tinggi yang juga bertugas sebagai Staff Admin AAT Madiun. Merupakan mahasiswa Program Studi Manajemen, Universitas Katolik Widya Mandala Madiun, angkatan 2012.   [qrcode content=”https://aat.or.id/bersyukur-dalam-kesederhanaan” size=”175″]  

Bersyukur dalam Kesederhanaan Read More »