AAT Madiun

Kampus Tak Sekedar Tempat Kuliah

Nama saya Retno Agustin. Usia saya sekarang ini menginjak 22 tahun. Saat ini, saya kuliah di Unika Widya Mandala Madiun atau WIMA Madiun, mengambil jurusan Bimbingan dan Konseling. Di rumah, saya tinggal bersama kedua orang tua saya dan satu kakak perempuan yang sekarang juga menempuh pendidikan S1. Waktu itu, di tahun 2010, saya lulus SMK Jurusan Akuntansi. Namun, saya tidak langsung bisa melanjutkan ke perguruan tinggi karena biaya yang terbatas dan kakak saya juga harus membayar kuliah. Akhirnya, saya mencoba bekerja menjadi SPG di salah satu pusat perbelanjaan selama 1 tahun. Hingga tahun 2011, saya memutuskan untuk masuk ke Unika Widya Mandala Madiun. Awalnya, saya berminat untuk kuliah di jurusan seni atau olahraga, karena hal tersebut merupakan kegemaran saya. Namun, saat itu saya baru saja mengalami kecelakaan dan retak kaki, sehingga saya mengurungkan niat untuk mengambil jurusan olahraga. Apalagi di daerah Madiun, jurusan seni juga tidak ada. Saat itu, saya berpikir untuk tidak mau melanjutkan kuliah di luar kota, mengingat saya tidak pernah jauh dari keluarga. Akhirnya, WIMA menjadi pilihan saya. Banyak Hal yang Bisa Saya Lakukan di Kampus Dari awal saya masuk Unika Widya Mandala Madiun, saya mulai bersemangat mengikuti perkuliahan karena kuliah hanya beberapa jam sehari, tidak seperti saat di SMK. Yang paling membuat saya senang adalah karena di kampus WIMA ini banyak Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) yang bisa saya ikuti. Jadi saya kuliah tidak hanya untuk mendapat pendidikan, tapi juga untuk mengembangkan hobi serta bakat saya. Saat awal masuk kuliah, saya mengikuti banyak UKM, yaitu UKM Voli, UKM Karate, dan UKM Palawa (Pecinta Alam). Semua olahraga tersebut sudah saya sukai sejak masuk SMP. Namun, saya belum pernah mendapatkan penghargaan apapun dari olahraga tersebut. Meskipun begitu, saya tetap bangga pada diri saya. Selain mengikuti UKM, saya juga dipercaya sebagai Sekretaris Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) dan koordinator kelas atau ketua kelas. “Banyak hal yang bisa saya lakukan, yang tidak semua wanita bisa lakukan.” Saya Harus Punya Target Saya bisa membuat aksesoris seperti bros dan perhiasan yang kadang saya jual ke teman-teman saya. Saya belajar membuatnya secara otodidak, baik dari televisi maupun internet. Saya berpikir, sebenarnya banyak hal yang bisa saya kembangkan. Namun, saya merasa orang tua saya tidak mengetahui apa yang saya lakukan. Jadi mereka cenderung cuek dengan potensi-potensi yang saya miliki. Bahkan, kadang mereka melarang hal-hal yang saya sukai. Menurut mereka, semua hanya membuang-buang waktu. Namun, saya tidak mudah menyerah. Ketika saya menginjak semester 3, keuangan keluarga kami mengalami masalah. Sebenarnya, ketika saya akan lulus dari SMK, kami sudah mulai punya masalah itu. Dari keluarga yang cukup mampu, hingga kami harus menjual apa saja untuk menutupi hutang. Sampai saat saya kuliah, masalah tersebut belum bisa teratasi. Sampai akhirnya, motor yang saya gunakan untuk kuliah juga terjual. Sampai saat saya kuliah harus bergantian dengan kakak, walaupun jadwal dan tempat berbeda. Dan saat itu hampir saja saya ingin berhenti kuliah agar saya bisa membantu orang tua. Namun, orang tua melarang. Apapun yang terjadi, mereka akan berjuang agar saya bisa menjadi sarjana. Di situlah saya mempunyai target agar saya bisa lulus, insya Allah dalam waktu tidak lebih dari 4 tahun. Dan sampai saat ini alhamdulillah kuliah saya lancar. Hingga saya bisa mengambil mata kuliah semester atas, karena IPK saya 3. Memang, dalam kuliah saya pernah malas-malasan dan kadang tidak masuk. Namun, saya punya target yang harus saya capai agar saya bisa segera lulus dan bisa menjadi konselor yang bisa membantu banyak orang dan juga bisa membantu ekonomi keluarga saya. Selama ini saya merasa belum bisa memberikan apapun kepada orang tua saya dan belum bisa membanggakan kedua orang tua saya. Namun, suatu saat nanti, saya yakin bisa membantu dan membahagiakan orang tua saya. AAT dan Kegiatannya   Alhamdulillah, semester 4 lalu saya mendapat beasiswa AAT. Awal menerima beasiwa AAT, saya sangat bersyukur alhamdulilah, karena dengan adanya beasiswa ini benar benar membantu kuliah saya. Kegiatan sebagai penerima beasiswa juga menyenangkan. Ketika ada kegiatan mewawancarai anak asuh itulah yang sangat menyenangkan. Kita jadi tahu kehidupan anak-anak yang kurang mampu, banyak dari mereka yang kehidupannya benar-benar kurang. Namun, masih tetap ada canda tawa dari mereka yang membuat beban dihati mereka terasa berkurang. Hal tersebut membuat saya menjadi sadar bahwa di luar sana masih ada banyak orang yang hidupnya lebih susah dari pada saya. Itu pegalaman saya ketika wawancara anak asuh. Kalau pengalaman ketika bersama teman-teman penerima beasiswa lainya juga tidak kalah menyenangkan. Awal menerima beasiswa, saya tidak kenal dengan teman- teman penerima beasiswa lainnya meskipun kami satu kampus. Setelah kenal dan tahu karakter masing-masing, ternyata mereka teman yang baik dan kadang juga suka bercanda. Namun, kadang kalau harus rapat bersama banyak yang tidak datang. Itulah hal yang kurang menyenangkan. Ya, memang bisa dimaklumi karena jadwal kuliah kami tidak sama karena beda jurusan. Selama menjadi anak asuh AAT, kami bukan hanya santai sesudah menerima beasiswa, tapi kami juga harus bisa membagi waktu antara kuliah dan bekerja. Bekerja di sini maksudnya adalah mengolah data tentang anak asuh serta wawancara kepada calon anak asuh tingkat sekolah, baik SD, SMP, maupun SMA/SMK. Selain itu, kami juga harus selalu menjaga agar nilai kami tidak sampai turun, supaya tidak mengecewakan donatur yang sudah membantu membiayai kuliah kami selama ini. Itu bukanlah sebuah beban, hal tersebut malah membuat saya semakin semangat untuk kuliah dan segera lulus. Supaya saya kelak juga bisa membantu anak-anak lain yang kurang mampu. Saya sangat berterima kasih kepada Yayasan AAT Indonesia yang sudah membantu saya selama ini. Tidak lupa, saya ucapkan terima kasih kepada donatur yang sudah mau membantu membiayai kuliah saya selama ini. Meskipun saya tidak pernah tahu siapa anda, saya mengucapkan banyak terima kasih. Saya tidak ingin mengecewakan anda. Dan semoga anda selalu diberi kesehatan. Aamiin.   Retno Agustin Staf Admin AAT Madiun   *Retno Agustin adalah salah satu Anak Asuh AAT tingkat Perguruan Tinggi yang juga bertugas sebagai Staff Admin AAT Madiun. Merupakan mahasiswa Program Studi Bimbingan dan Konseling, Universitas Katolik Widya Mandala Madiun, angkatan 2011.   [qrcode content=”https://aat.or.id/kampus-tak-sekedar-tempat-kuliah” size=”175″]  

Kampus Tak Sekedar Tempat Kuliah Read More »

Amarah Jadi Amanah

“Seseorang yang tidak mendapat kepedulian dari orang pun, bisa memberi kepedulian kepada orang lain.” Nama saya Andika Fitri, biasa di panggil Andika. Sekarang saya berumur 19 tahun. Saya adalah seorang Mahasiswa di Universitas Katolik Widya Mandala Madiun, Fakultas Ekonomi, Jurusan Akuntansi. Saat ini saya masuk semester 4. Dulu, sewaktu orang tua masih bersama-sama, saya hanyalah anak seorang tukang becak yang tiap harinya mangkal di Manguharjo. Ibu bekerja serabutan. Ketika saya mempunyai 1 adik perempuan yang masih kecil, ibu tidak lagi bekerja. Sehingga kami hidup bergantung pada penghasilan bapak. Dengan hidup yang seperti itu, saya menjadi orang yang pendiam dan selalu mengalah atas apa yang dilakukan teman-teman kepada saya, karena saya orang yang cukup tahu diri tentang bagaimana kondisi hidup saya. Tak jarang juga ada teman yang bersimpati kepada saya. Ada yang memberi saya pakaian, beras, ada juga yang urunan dan memberi uang untuk membantu keluarga saya. Saya merasakan ada rasa kasihan dari teman terhadap kondisi keluarga saya. Saya Benci Keadaan Ini Dari SD sampai SMP, saya selalu mendapatkan bantuan. Hal itu karena ibu selalu berusaha mengajukan surat keterangan tidak mampu ke sekolah. Apa pun syarat yang diajukan oleh sekolah atau instansi pemberi bantuan, selalu diusahakan oleh ibu untuk memenuhinya. Itu semua ibu lakukan untuk mengurangi beban yang harus ditanggung setiap harinya. Sampai akhirnya bapak dan ibu saya bercerai. Bapak pergi ke Kalimantan untuk bekerja dan menikah lagi dengan orang perantauan di sana. Hal itu membuat saya kecewa, karena saya merasa bapak sudah tidak peduli lagi dengan keluarga yang ada di sini. Bapak juga tidak lagi memberi uang bulanan untuk kehidupan sehari-hari kami. Saya menjadi sedih ketika saya harus melihat ibu saya bekerja sendirian untuk menghidupi kami. Karena tidak tahan, saya pun ikut membantu ibu dengan mengumpulkan barang bekas, mengumpulkan bunga kamboja, menyusun bulu ayam, dan juga membantu mengambil air dari rumah tetangga. Kami memang dulu tidak mempunyai sumur timban sendiri untuk mencari air, sehingga kami setiap hari menimba air di rumah tetangga dan membayar biaya air setiap bulannya. Terkadang saya merasakan sakit ketika dimaki orang yang punya timban tersebut. Saya Tidak Dipedulikan Sampai akhirnya, ibu memutuskan untuk menikah lagi dengan bujangan yang sama sekali tidak saya kenal. Kejadian itu membuat saya sangat sedih, bahkan sangat kecewa, melebihi perasaan ketika mendengar bapak menikah lagi. Karena hal itu pula, saya pindah ke rumah nenek, orang tua dari bapak. Saya memutuskan untuk tinggal di rumah nenek bersama adik saya yang sudah menginjak kelas 1 SD. Waktu itu saya kelas 3 SMP. Benar-benar perasaan yang sulit untuk saya jelaskan ketika saya pertama kali tinggal di rumah nenek dan kakek. Meskipun rumah nenek lebih bagus, tetapi rasanya berbeda. Setiap hari, ketika di sekolah maupun di rumah, saya menjadi pribadi yang amat pendiam. Tetapi, Alhamdulillah saya tetap menjadi anak yang dibanggakan dalam urusan pendidikan. Sejak bapak dan ibu bercerai, timbul rasa kebencian. Terkadang saya merasakan sakitnya ketika menjadi anak yang tidak dipedulikan oleh orang tua. Banyak pertanyaan yang muncul dalam pikiran saya, “Mengapa harus bercerai? Apakah mereka sudah tidak peduli dengan anak-anaknya? Tidakkah mereka tahu bahwa itu membuat saya bersedih dan kecewa? Mengapa mereka hanya peduli dengan keinginan mereka sendiri? Mereka benar-benar sangat egois!” Kekecewaan itulah yang saya pikirkan waktu itu. Saya Ingin Berubah Saat pertama masuk sekolah SMA, saya ingin berubah. Saya tidak ingin menjadi anak yang dikasihani. Saya tidak ingin menunjukan rasa sedih dan pedih yang saya rasakan. Ingin menjadi orang pemberani yang tidak takut dengan siapa pun. Tetapi hal itu membuat saya memelihara kebencian yang telah tumbuh dalam diri saya. Saya semakin giat belajar dan ikut dalam organisasi besar, seperti OSIS dan Pramuka. Dengan demikian, banyak yang mengenal saya. Tetapi hal itu tidak lama. Saya kembali menjadi diri saya lagi ketika saya dikhianati teman saya. Semakin banyak pikiran yang buruk tentang orang-orang yang ada di dekat saya. Belum lagi saya merasakan tertekan berada di rumah nenek karena begitu kerasnya didikan mereka. Terkadang, ketika teringat semua kejadian yang saya alami, saya hanya bisa menangis dalam kamar tidur. Setelah saya menangis sampai dada saya terasa sakit, saya pun tidur untuk melupakan semuanya. Ketika saya masuk kuliah, saya senang sekali. Karena saya tahu keluarga saya amat sangat pas-pasan. Bahkan tidak pernah terpikirkan kata kuliah. Tetapi, ketika saya tinggal di rumah nenek dan kakek, saya tahu keinginan mereka yang amat besar agar saya bisa sekolah setinggi-tingginya, agar nantinya dapat kehidupan yang lebih baik dan dapat mengangkat derajat keluarga. Namun entah mengapa, saya melihat ada rasa beban yang amat berat dari raut wajah mereka ketika akan menguliahkan saya. Hal itu membuat saya sedih, sehingga saya meminta mereka untuk tidak memaksakan kehendak. “Biarkan saya langsung bekerja saja, Nek.” Begitulah yang saya katakan, tetapi mereka tetap bertekat ingin menguliahkan saya. Saya Harus Menyembunyikan Kesedihan Ini Saya pun mencoba mendaftar universitas negeri dengan cara ikut bidik misi karena alhamdulillah saya mendapat rekomendasi dari sekolah. Meskipun nenek dan kakek ingin saya kuliah di Madiun saja, tetapi saya ingin mencobanya. Jika tidak diterima berarti inilah takdir saya untuk kuliah di Madiun. Setelah menunggu, ternyata saya tidak diterima. Dan saya masuk ke Unika Widya Mandala Madiun. Saya juga masuk tanpa tes, melainkan dengan nilai. Saya pun ingin tetap menyembunyikan semua kesedihan yang saya alami selama ini dari teman-teman kuliah saya. Saya aktif hampir di semua UKM. Karena dengan cara menyibukkan diri, saya bisa melupakan semua kesedihan saya. Jika tidak bisa melupakan, setidaknya saya telah mengurangi waktu untuk memikirkannya. Yang teman saya tahu, saya adalah anak periang di kampus dan termasuk anak yang aktif di organisasi. Mereka tidak tahu bahwa di dalam hati saya menyimpan kesedihan yang mendalam. Sama seperti sebelumnya, saya juga dapat dibanggakan dalam urusan kuliah. Walaupun demikian, semakin banyak rasa kebencian yang saya pendam. Hal itu pun juga tidak bertahan lama. Di semester 2, saya kembali menjadi Andika yang pendiam lagi dan sedikit pemurung. Semakin sulit untuk menyembunyikan kepedihan yang saya rasakan dan emosi saya juga labil. AAT Mengajarkan Saya untuk Peduli Sampai akhirnya, saya mendapat rekomendasi beasiswa dari prodi. Dan ternyata beasiswa itu adalah Beasiswa Anak-Anak Terang (AAT). Awalnya saya ingin mundur dari beasiswa ini, karena untuk mengajukan saja, sangat

Amarah Jadi Amanah Read More »

Nothing is Impossible

“Don’t ever let someone tell you that you can’t do something. Not, even me your father. You got a dream, you gotta protect it. When people can’t do something themselves, they’re gonna tell you that you can’t do it. You want something, GO, GET IT, PERIOD!!  (Will Smith, The Pursuit of Happiness). Pesan Will Smith untuk anaknya dalam film itu tidak jauh berbeda dengan pesan bapak saya sebelum meninggal. Bedanya hanya versi bahasanya saja. Kata-kata itulah yang selalu membuat saya semangat untuk meraih cita-cita dan percaya bahwa segala sesuatu itu mungkin dan pasti akan indah pada waktunya. * * * Nama saya Novhy, lengkapnya Marsellina Novhy Bria, mahasiswa jurusan Sastra Inggris semester 6, UNIKA Widya Mandala Madiun. Saya anak ke 3 dari 4 bersaudara. Lahir tanggal 11 November 1990 dan menghabiskan masa kecil di Baun, sebuah desa yang berjarak 20 km dari kota Kupang, Ibukota Provinsi Nusa Tenggara Timur. Bapak dan mama, panggilan saya untuk orang tua saya, bekerja sebagai petani. Tetapi, cita-cita mereka untuk menyekolahkan anak-anaknya sampai ke jenjang perguruan tinggi membuat kami selalu bersemangat untuk memberi yang terbaik. Untuk mereka, orang tua kami, melalui prestasi kami di sekolah. Semuanya berjalan dengan lancar dan baik-baik saja sampai kelas 3 SMP. Hingga menjelang UAN, bapak yang merupakan tulang punggung keluarga dan juga motivator saya meninggal dunia karena sakit. Saya merasa jauh dari cita-cita dan berpikir bahwa kuliah itu hanyalah sebuah mimpi yang tidak akan pernah bisa diraih. Tapi saya bersyukur karena mempunyai mama dan kakak yang luar biasa yang selalu membuat saya bersemangat dan termotivasi untuk melakukan hal-hal yang berguna untuk mencapai cita-cita yang saya inginkan. Setelah bapak meninggal, saya memutuskan untuk melanjutkan sekolah ke SMA Negeri 2 Kupang yang merupakan salah satu sekolah favorit saat itu. Masa SMA inilah masa di mana saya belajar menjadi pribadi yang lebih tekun, kuat, dan sabar dalam menghadapi apapun. Tahun 2008, setelah lulus SMA, saya memutuskan untuk ke Surabaya. Niat ke Surabaya bukan untuk kuliah tapi bekerja, karena yang ada dalam pikiran saya, “Saya tidak mungkin bisa kuliah, terlalu mahal.” Sejak tahun 2008-2011, saya memilih tinggal dan bekerja di Madiun, karena kota ini lebih nyaman dan tidak rumit. Selama bekerja inilah, sedikit demi sedikit, saya mengumpulkan uang untuk kuliah. Hingga akhirnya tahun 2011, nama saya pun tercatat sebagai mahasiswa Sastra Inggris di UNIKA Widya Mandala Madiun. Bangga, bahagia, dan tidak percaya karena untuk mendapat status mahasiswa, jalan yang saya lewati sangat sulit. Saya semakin percaya bahwa semua mungkin terjadi. Nothing is impossible. Awal kuliah, semua urusan administrasi masih lancar-lancar saja. Tetapi, memasuki semester ke 2, semuanya terasa lebih sulit. Karena tidak ingin menjadi beban kakak yang selama ini menjadi tulang punggung keluarga, saya pun mencoba untuk mencari beasiswa. Semester 3, saya mendapat beasiswa prestasi. Tetapi hanya untuk satu semester saja. Saat itu juga saya memutuskan untuk bekerja menjadi guru les privat anak SD dan SMP. Dan juga sebagai asisten pengajar di KUMON, salah satu tempat kursus Bahasa Inggris di Madiun. Awal Perkenalan dengan AAT Akhir semester 4 sebelum liburan akhir semester, kami calon anak asuh yang dipilih prodi di hubungi untuk mengikuti pengenalan beasiswa Anak-Anak Terang (AAT) oleh Bapak Bernardus Widodo, Wakil Rektor 3. Setelah itu, kami diminta untuk melengkapi semua persyaratan dan mengikuti seleksi wawancara bersama bruder-bruder CSA. Saat itu, saya diwawancara oleh Bruder Aleks, CSA. Banyak pertanyaan dan motivasi yang diberikan oleh Bruder dan beliau berpesan, “Nov, banyak doa ya. Ingat pulang Novena. Kita tidak pernah tahu rencana Tuhan. Siapa tahu kamu juga terpilih dapat beasiswa ini.” Saya pun mengikuti pesan Bruder dan doa saya terkabul, karena saya salah satu dari 10 penerima beasiswa Anak-Anak Terang. Bersyukur dan bersyukur. Berkat Tuhan memang luar biasa. Akhirnya, saya benar-benar bisa membuat mama dan kakak tersenyum. Anak-Anak Terang   Setelah menjadi Anak Asuh AAT, secara otomatis kami pun menjadi staff administrasi atau Pendamping Komunitas (PK) untuk sekolah-sekolah sekaresidenan Madiun yang bekerja sama dengan Yayasan AAT Indonesia. Banyak hal luar biasa yang saya dapat selama bergabung dalam AAT ini. Dari perjalanan survei dan wawancara bersama calon anak asuh, sampai pengalaman mengurus pengiriman tanda bukti penerimaan beasiswa AAT, kwitansi, dan pengiriman raport anak asuh AAT. Satu hal yang pasti, saya menjadi orang yang sangat bersyukur. Karena bisa dibilang kesulitan hidup yang saya alami tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan adik-adik yang saya wawancara. Saya belajar banyak hal dari mereka. Semangat untuk belajar, kuat dalam menghadapi tantangan, selalu tersenyum, dan selalu berpikir positif. Saat ini, walaupun harus membagi waktu antara kuliah, kerja, kegiatan kampus dan AAT, tapi saya berjanji untuk selalu memberikan yang terbaik untuk AAT. Cerita ini saya persembahkan untuk donatur yang telah membantu saya membiayai kuliah. Siapapun beliau, saya percaya Tuhan ada dalam dirinya. Suatu saat nanti, saya pasti akan melakukan hal yang sama seperti yang beliau lakukan saat ini. Untuk AAT dan untuk adik-adik asuh nantinya. Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini. Begitu pun dengan apa yang saya cita-citakan untuk AAT. Terima kasih AAT. Terima kasih Pak Hadi Santono, Pak Christ Widya, Br. Konrad, CSA, Br. Aleks, CSA, Br. Yakobus, CSA, Om Adhi, dan orang-orang baik lainnya yang tidak bisa saya sebut satu persatu. Salah satu anugerah Tuhan yang terindah dalam hidup saya adalah menjadi anggota keluarga besar Anak-Anak Terang.   Marsellina Novhy Bria Staff Admin AAT Madiun. * Marsellina Novhy Bria adalah salah satu Anak Asuh AAT tingkat Perguruan Tinggi yang juga bertugas sebagai Staff Admin AAT Madiun. Merupakan mahasiswa Program Studi Sastra Inggris, UNIKA Widya Mandala Madiun, angkatan 2011.   [qrcode content=”https://aat.or.id/nothing-is-impossible” size=”175″]  

Nothing is Impossible Read More »

Meskipun Berbeda tetapi Saya Bisa

“Kekurangan tidak menjadi penghalang bagiku untuk mewujudkan impian..” Saya Berbeda Nama saya Emy Prihatin, lahir di Pacitan, 31 Agustus 1994. Tempat tinggal saya di RT 01, RW 01, Dusun Krajan, Desa Wonokarto, Kecamatan Ngadirojo, Kabupaten Pacitan. Saya adalah anak tunggal yang terlahir dari keluarga yang sederhana. Saya sangat bersyukur karena keluarga sangat menyayangi saya meskipun kondisi saya yang seperti ini. Ya, saya berbeda dengan anak lainnya. Ayah saya adalah seorang petani dan ibu saya bekerja sebagai pembantu rumah tangga untuk membantu membiayai biaya hidup kami sehari-hari. Saya menimba ilmu sejak umur lima tahun. Berawal dari Taman Kanak-Kanak Dharma Wanita selama satu tahun, kemudian dilanjutkan ke SD Negeri Wonokarto I pada tahun 2000 dengan uang saku 300 sampai 500 rupiah waktu itu. Masa-masa TK dan SD bisa dibilang masa perkenalan bagi saya. Saya pun sangat minder dengan kondisi saya yang tidak seperti anak lainnya. Ketika SD sampai SMP saya sering sakit-sakitan. Sampai akhirnya waktu SMA sakit-sakitan itupun hilang. Operasi? Dulu, ketika saya masih kecil, saya sempat mau dioperasi bibir sumbing. Namun gagal karena saya demam dan menangis. Itu kata kedua orang tua saya. Kejadian tersebut waktu saya masih sangat kecil, sehingga saya tidak bisa mengingatnya. Saya teringat ketika kelas VI SD, ketika itu wali kelas memanggil di ruangan kelas, tetapi teman-teman saya sudah keluar. Saya tinggal sendiri di ruangan itu bersama dengan wali kelas. Saya pun sempat berpikir mengapa saya dipanggil? Apa mau dihukum? Saya salah apa? Pertanyaan-pertanyaan itu mengganggu pikiran saya. Guru pun langsung memulai pembicaraan tanpa basa basi. “Kamu kan sudah mau ke SMP, apa kamu nggak mau operasi?” tanya guru. Saya terdiam tidak menjawab. “Apa kamu nggak malu waktu SMP nanti kalau kamu nggak operasi?” tanya guru kembali. Saya masih terdiam. Seketika saya langsung pucat dan tubuh saya mendadak dingin. Saya hanya bisa menjawab “iya” dengan semua pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan guru saya waktu itu. Tetapi, meskipun saya menjawab iya, saya tetap tidak operasi karena perasaan takut yang menyelimuti. Setelah kejadian itu, di tahun 2006 saya pun alhamdulillah lulus dengan hasil yang cukup memuaskan. Saya Berbeda tetapi Saya Bisa Dengan hasil nilai yang saya dapatkan, saya memutuskan untuk mendaftarkan diri ke SMP Negeri 2 Ngadirojo hingga akhirnya diterima dan masuk ke kelas VII A. Di SMP ini saya masih sakit-sakitan. Dengan seragam baru putih-biru, saya mulai mendapatkan teman baru. Kegiatan belajar pun dimulai dengan suasana baru. Saya mulai beradaptasi dengan hal-hal yang baru pula. Di kelas VIII, saya mulai mengikuti kegiatan ekstra kurikuler seperti PMR dan KIR (Karya Ilmiah Remaja). Selain itu, saya juga mengikuti kursus komputer di luar sekolah. Ketika kelas VIII saya hampir tertabrak sepeda motor setelah terjatuh dengan lutut luka. Menginjak kelas IX saya mulai fokus untuk belajar dalam menghadapi UAN. Akhirnya pada tahun 2009, saya lulus dengan hasil yang memuaskan. Meski tidak mendapat juara 1, namun masih bersyukur mendapatkan juara 3. Setelah lulus dari SMP saya melanjutkan sekolah di SMA Negeri 2 Ngadirojo. Saya sangat menyukai tantangan, sehingga mulai kelas X saya aktif mengikuti ekstra kurikuler Saka Bhayangkara dan Pramuka sebagai junior. Di dalam ekstra kurikuler ini saya belajar bagaimana menjadi seorang yang disiplin dan memiliki mental yang kuat. Dan alhamdulillah di SMA saya sudah tidak sakit-sakitan lagi. Dan pada tahun 2010 saya naik ke kelas XI dengan mengambil jurusan IPA. Setelah satu tahun mengikuti ekstra kurikuler Saka Bhayangkara dan Pramuka, akhirnya saya menjadi seorang senior yang akan mengajar adik kelas yang baru. Di dalam organisasi ini, saya dipercaya untuk menjadi seorang bendahara. Meskipun tidak mudah untuk menjadi seorang bendahara, tetapi saya berusaha sebaik mungkin bagaimana untuk mengelola kas yang masuk dan kas yang keluar. Dan di tahun yang sama saya terpilih menjadi anggota OSIS sebagai seksi kreativitas. Saya sangat senang, karena impian untuk menjadi anggota OSIS bisa terwujud. Kegiatan OSIS, Pramuka, dan Saka Bhayangkara pun semakin padat. Saya harus bisa membagi waktu sebaik mungkin untuk belajar mata pelajaran yang diajarkan di sekolah. Di pertengahan kelas XI, saya pun dipercayai oleh guru untuk mewakili olimpiade FISIKA tingkat SMA. Meskipun sempat merasa kecewa ketika mendapatkan hasil yang tidak memuaskan, tetapi saya tetap bersyukur. Dalam rangka memperingati hari ulang tahun sekolah saya juga mencoba untuk mengikuti lomba KIR di sekolah dan bisa mendapatkan hasil yang cukup memuaskan. Lagi-lagi Pertanyaan yang Sama Suatu ketika, saya bersama teman pergi ke kantin untuk sekedar beli makanan kecil. Dan sepulangnya dari kantin, tiba-tiba saya dipanggil oleh kepala sekolah untuk ke ruangannya. Dalam otak saya berfikir ada apa gerangan sampai dipanggil oleh kepala sekolah? Sebelum saya berhenti berfikir, kepala sekolah pun langsung menyapa dengan ramah dan dengan senyumnya yang khas. Tanpa basa basi beliau pun bertanya, “Sebelumnya maaf ya, Em. Kenapa kamu tidak mencoba untuk operasi?” Suaranya sangat pelan, mungkin takut saya tersinggung. Dan “deg..” Lagi-lagi pertanyaan itu. Jantungku serasa berhenti sejenak. Saya pun langsung menjawab dengan singkat “Tidak, Pak”. Kepala sekolah menyambung, “Kenapa? Apa kamu takut?” jelasnya. “Bukan masalah takut nggaknya, Pak. Memang saya nggak mau operasi. Saya sudah sangat bersyukur dengan apa yang diberikan Allah untuk saya. Masih banyak orang yang lebih menderita dari saya. Saya tidak mau mengubah nikmat yang sudah Tuhan berikan kepada saya. Ini memang sudah takdirnya, Pak.” Lalu Kepala sekolah saya menyambung dengan sangat lembut dan penuh pengertian, “Ya kalau kamu operasi, itu bukan mengubah nikmat Tuhan, tetapi hanya memperbaiki saja supaya menjadi lebih baik. Ibarat baju yang kotor dicuci biar bersih. Bukan mengubah nikmat Tuhan,” jelasnya. Saya hanya diam. Memang saya tahu itu bukan mengubah nikmat Tuhan, tetapi tidak tahu mengapa hati kecil saya mengatakan “TIDAK!!” Ketika itu saya tetap bersikeras untuk tidak operasi meskipun kepala sekolah tetap meyakinkan saya. Dan pada akhirnya beliau menjabat tangan saya seraya berkata, “Iya nggak apa-apa. Saya salut sama kamu. Tetap semangat ya.” Saya mencoba untuk tersenyum, menahan air mata yang ingin tumpah. Saya segera permisi untuk kembali ke kelas. Bahkan, entah mengapa sampai sekarang hati kecil saya tetap berkata tidak untuk operasi, meski selalu ada tawaran untuk operasi dari berbagai pihak. Pernah saya menangis semalaman meratapi hidup saya. Sampai menyalahkan Tuhan kerena putus asa. Saya tahu itu salah. Tak seharusnya menyalahkan Tuhan. Itu adalah hal yang terbodoh yang

Meskipun Berbeda tetapi Saya Bisa Read More »

Bantuan Komputer untuk SMK Santo Yusuf Mejayan Madiun

Minggu, 5 Januari 2014, Yayasan Anak-Anak Terang (AAT) Indonesia memberikan bantuan 4 unit komputer dan 1 unit printer untuk SMK Santo Yusuf Mejayan Madiun. Komputer dan printer tersebut dibawa dari Semarang oleh Om Adhi, salah satu relawan AAT dari Semarang. Bantuan komputer diberikan oleh AAT karena kondisi komputer di SMK Santo Yusuf Mejayan sudah sangat memprihatinkan. Dari 5 komputer yang ada, hanya satu yang berfungsi dengan baik. Itu pun processornya masih Pentium III. Kondisi komputer yang ada saat ini menghambat proses pengajaran komputer di sekolah. Komputer yang disumbangkan adalah komputer yang bertipe Nettop (Netbook Desktop) dengan processor Dual Core AMD E350, RAM DDR3 4GB, Harddisk 320 GB, dan dengan monitor LED 16 AOC sebanyak 4 unit. Komputer ini bisa dibilang komputer canggih dengan kinerja desain grafis platform netbook. Meskipun canggih, komputer ini tidak boros listrik dan lebih ringkas karena bentuknya yang simpel. Karena pertimbangan itulah AAT memilih mini PC tersebut. Selain itu, AAT juga menyumbangkan 1 photo printer inkjet. Printer tersebut mampu mencetak dengan kecepatan hingga 4,8 ppm. Diharapkan, untuk kedepannya siswa dapat memanfaatkan komputer dan printer itu dengan semaksimal mungkin. Sebelum menuju ke Sekolah, Om Adhi singgah ke Universitas Katolik Widya Mandala Madiun untuk menemui teman lamanya yaitu Pak Anton. Pak Anton merupakan salah satu dosen Fakultas Psikologi di Universitas Widya Mandala Madiun. Dan ternyata sebelumnya, Om Adhi sudah pernah ke kampus, namun sudah bertahun-tahun lamanya, yaitu sekitar 13 tahun yang lalu. Setelah sedikit ngobrol dengan Pak Anton dan beberapa Pendamping Komunitas (PK) Madiun, Om Adhi berangkat ke sekolah SMK Santo Yusuf Mejayan dengan ditemani 3 PK yaitu Tiara, Rike, dan Novi Bria, serta 1 dosen Universitas Katolik Widya Mandala Madiun yaitu Pak Anton. Sesampainya di SMK Santo Yusuf Mejayan, Om Adhi dan kawan-kawan disambut oleh Pak Joko, Kepala Sekolah SMK Santo Yusuf Mejayan. Pak Joko hanya ditemani satu karyawan karena waktu itu hari Minggu. Mereka pun dipersilahkan masuk ke kantor. Setelah menyampaikan maksud kedatangan kami dan serah terima bantuan komputer dan printer, Pak Joko mengucapkan banyak terima kasih. Menurut Pak Joko, bantuan komputer dan printer itu sangat membantu dalam kegiatan pengajaran komputer di SMK Santo Yusuf Mejayan. Bantuan komputer seperti itu tidak hanya diberikan pada satu sekolah saja. Di tahun 2014 ini, AAT akan melanjutkan program bantuan komputer ini untuk sekolah yang benar-benar membutuhkan. Harapannya, dengan adanya komputer-komputer itu pengajaran komputer di sekolah tidak akan terhambat. Dan siswa dapat mengembangkan kreatifitasnya melalui bantuan komputer itu.   Rike Kotikhah Staff Admin AAT Madiun   [qrcode content=”https://aat.or.id/wawancara-dan-survei-smp-kanisius-raden-patah” size=”175″]  

Bantuan Komputer untuk SMK Santo Yusuf Mejayan Madiun Read More »