Emy Prihatin

AAT Membawa Terang dalam Hidupku

SATU SETENGAH TAHUN aku berkecimpung di AAT. Berkat beasiswa AAT inilah aku bisa kuliah sampai sekarang. AAT yang telah membiayai kuliahku dari semester 3 kemarin. Dulu, sebelum aku dibiayai AAT, orang tuaku harus menggadaikan cengkeh dan menjual anak sapi yang didapat setelah bertahun-tahun memelihara induknya dari saudaraku. Dan sekarang, aku bersyukur sekali kuliahku sudah dibiayai AAT. Berkat AAT, beban ekonomi yang ditanggung oleh orangtuaku sudah tidak seberat dulu. Terkadang, orang tuaku menjual kayu atau pinjam ke saudara untuk biaya hidup sehari-hari, karena ibuku sudah tidak bekerja lagi. Sekarang, ibu hanya mengurusi sawah dan ladang bersama bapak, serta cari daun cengkeh dan rempah–rempah untuk dijual. Selama 1,5 tahun juga, aku ditunjuk sebagai bendahara AAT sekretariat Madiun. Jujur, tidaklah mudah menjadi seorang bendahara yang harus mengurusi uang. Bahkan, kalau sampai salah hitung, aku bisa pusing yang akhirnya terlambat untuk mengirim laporan ke pusat. Tapi semuanya kulakukan, karena tugas sebagai bendahara tidak seberat pengorbanan dari para pengurus yang rela meluangkan waktunya untuk AAT. Selain sebagai bendahara, aku juga sebagai salah satu tim public relations. Di sini aku banyak belajar mengenal orang yang tak dikenal, yang akhirnya menjadi kenal. Di tim ini aku bertugas posting di fanpage AAT sesuai jadwal masing-masing. Ketika melihat data anak asuh di SIANAS (Sistem Informasi Anak asuh) angkanya berkurang, saya merasa sangat senang, karena ada yang membantu mereka. Mereka dapat melanjutkan sekolahnya berkat para donatur yang baik hati. Rasa malas untuk posting terkadang datang menghinggap. Tapi perasaan itu segera hilang ketika ingat perjuangan para pengurus yang rela meluangkan waktu untuk posting setiap hari demi mencari donatur untuk adik-adik yang membutuhkan. Berkat AAT juga aku merasa lebih bersyukur. Saat rapat public relations 2014 lalu, sebelum pulang, aku, Mbak Rike, dan Mbak Tiara yang diantar oleh Om Adhi dan Pak Greg mampir ke Panti Asuhan Cacat Ganda Semarang. Di situlah seolah aku merasakan tamparan atas kurang syukurku selama ini yang selalu memandang ke atas. Rasa trenyuh, sedih, terharu, bercampur aduk menjadi satu. Di sana aku melihat banyak anak-anak yang dengan kondisi berkekurangan. Mereka tidak bisa melakukan aktivitasnya sendiri layaknya orang-orang normal pada umumnya. Mereka harus dibantu oleh para perawat. Sedangkan aku? Aku masih bisa melakukan semuanya sendiri. Aku membayangkan, bagaimana jika aku menjadi mereka? Apa aku bisa seperti sekarang ini? Semua itu membuat aku sangat merasa bersyukur atas pemberian Tuhan selama ini. Aku masih beruntung dibandingkan dengan mereka. Karena Tuhan masih memberikan indra yang lengkap untukku. Dulu, di awal menerima beasiswa AAT, jujur aku pernah berpikir untuk keluar atau mengundurkan diri. Kenapa? Karena aku takut. Aku bingung, karena saat itu langsung ditunjuk sebagai salah satu Pendamping Komunitas (PK) di SDK dan SMPK Santo Yusuf Madiun. Kenapa harus aku yang duluan? Apa aku bisa? Berhari-hari aku memikirkan hal itu. Aku tidak punya teman yang kenal saat pertama kali penerimaan beasiswa. Bahkan, sama Andika yang satu kelas saja aku tidak begitu akrab. Apalagi sama yang lainnya. Tapi akhirnya semua aku jalani saja. Ternyata, tidak seberat yang aku pikirkan. Sungguh pilihan yang bodoh kalau aku dulu benar-benar keluar dari AAT hanya karena hal sepele. Kemungkinan besar, tidak akan pernah ada yang berubah dalam hidupku. Bahkan, bisa jadi aku tidak akan operasi sampai aku tua. Dan di AAT, apa yang aku dapatkan? Banyak sekali. Pengalaman yang begitu berharga yang tidak aku dapatkan di luar AAT. Berawal dari “penculikan” tak terduga di Kaliurang bulan April kemarin yang membuat aku berani operasi, sampai pada perubahan-perubahan hidup yang saya alami sampai sekarang. Sesaat, aku jadi jera gara-gara operasi tahap dua. Tapi aku berpikir lagi, “Aku sudah melewati dua tahap, sayang sekali kalau aku harus berhenti sampai di sini. Aku harus melanjutkan operasi sampai terapi.” Dan akhirnya, aku memutuskan untuk operasi tahap ketiga. Bahkan, kalau ada tahap-tahap selanjutnya akan aku lakukan sampai hasil terbaik. Dulu, aku tidak sampai berpikir sampai sejauh ini. Semua itu berkat AAT. Bagiku, AAT adalah keluarga besar. Keluarga yang memberikan cinta dan kasih sayang yang luar biasa. Meskipun kami berasal dari berbagai agama, daerah, suku dan ras, namun aku benar-benar menemukan cinta yang begitu besar di AAT. Sebuah organisasi yang berhasil membuat diriku berubah. Di AAT juga aku bisa mengenal banyak orang. Banyak teman dari Purwokerto, Yogyakarta, Semarang, Bandung, Malang, Padang, dan Pontianak. Aku juga bersyukur, karena di AAT inilah aku bisa mengenal para pengurus dan sebagian donatur yang bergabung di AAT. Semuanya membuatku lebih bersemangat. Mereka adalah inspirasiku. Aku telah banyak belajar dari mereka. Begitu banyak pelajaran hidup yang bisa aku dapatkan di AAT. Terima kasih untuk semuanya. Terima kasih untuk donatur baik hati yang telah bersedia membayai kuliahku. Aku akan berusaha semaksimal mungkin untuk tidak mengecewakan beliau yang telah membiayai kuliahku. Semoga suatu saat ini aku bisa bertemu dengan beliau.Dan terimakasih juga untuk Pak Hadi, Pak Christ, Kak Can Santi Widya, Pak Marcel, Mami Can Lies Endjang, Om Adhi, Pak Greg, Bruder, dan semuanya atas pelajaran yang sangat berharga. Semuanya membuat perubahan dalam hidupku, sehingga menjadikan Emy yang sekarang. Yang sedikit demi sedikit mulai bermetamorfosis. Semua itu berkat orang-orang hebat yang aku kenal di AAT. Semua hal yang ada di AAT begitu memberi arti dalam hidupku. Memberi warna dalam setiap langkahku. AAT-lah pembawa terang dalam hidupku.   Emy Prihatin* Relawan AAT Sekretariat Madiun *Emy merupakan mahasiswa Program Studi Akuntansi Universitas Katolik Widya Mandala Madiun angkatan 2012. Emy adalah salah satu anak asuh AAT tingkat perguruan tinggi yang ditunujuk sebagai bendahara AAT sekretariat Madiun.   [qrcode content=”https://aat.or.id/aat-membawa-terang-dalam-hidupku” size=”175″]  

AAT Membawa Terang dalam Hidupku Read More »

Meskipun Berbeda tetapi Saya Bisa

“Kekurangan tidak menjadi penghalang bagiku untuk mewujudkan impian..” Saya Berbeda Nama saya Emy Prihatin, lahir di Pacitan, 31 Agustus 1994. Tempat tinggal saya di RT 01, RW 01, Dusun Krajan, Desa Wonokarto, Kecamatan Ngadirojo, Kabupaten Pacitan. Saya adalah anak tunggal yang terlahir dari keluarga yang sederhana. Saya sangat bersyukur karena keluarga sangat menyayangi saya meskipun kondisi saya yang seperti ini. Ya, saya berbeda dengan anak lainnya. Ayah saya adalah seorang petani dan ibu saya bekerja sebagai pembantu rumah tangga untuk membantu membiayai biaya hidup kami sehari-hari. Saya menimba ilmu sejak umur lima tahun. Berawal dari Taman Kanak-Kanak Dharma Wanita selama satu tahun, kemudian dilanjutkan ke SD Negeri Wonokarto I pada tahun 2000 dengan uang saku 300 sampai 500 rupiah waktu itu. Masa-masa TK dan SD bisa dibilang masa perkenalan bagi saya. Saya pun sangat minder dengan kondisi saya yang tidak seperti anak lainnya. Ketika SD sampai SMP saya sering sakit-sakitan. Sampai akhirnya waktu SMA sakit-sakitan itupun hilang. Operasi? Dulu, ketika saya masih kecil, saya sempat mau dioperasi bibir sumbing. Namun gagal karena saya demam dan menangis. Itu kata kedua orang tua saya. Kejadian tersebut waktu saya masih sangat kecil, sehingga saya tidak bisa mengingatnya. Saya teringat ketika kelas VI SD, ketika itu wali kelas memanggil di ruangan kelas, tetapi teman-teman saya sudah keluar. Saya tinggal sendiri di ruangan itu bersama dengan wali kelas. Saya pun sempat berpikir mengapa saya dipanggil? Apa mau dihukum? Saya salah apa? Pertanyaan-pertanyaan itu mengganggu pikiran saya. Guru pun langsung memulai pembicaraan tanpa basa basi. “Kamu kan sudah mau ke SMP, apa kamu nggak mau operasi?” tanya guru. Saya terdiam tidak menjawab. “Apa kamu nggak malu waktu SMP nanti kalau kamu nggak operasi?” tanya guru kembali. Saya masih terdiam. Seketika saya langsung pucat dan tubuh saya mendadak dingin. Saya hanya bisa menjawab “iya” dengan semua pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan guru saya waktu itu. Tetapi, meskipun saya menjawab iya, saya tetap tidak operasi karena perasaan takut yang menyelimuti. Setelah kejadian itu, di tahun 2006 saya pun alhamdulillah lulus dengan hasil yang cukup memuaskan. Saya Berbeda tetapi Saya Bisa Dengan hasil nilai yang saya dapatkan, saya memutuskan untuk mendaftarkan diri ke SMP Negeri 2 Ngadirojo hingga akhirnya diterima dan masuk ke kelas VII A. Di SMP ini saya masih sakit-sakitan. Dengan seragam baru putih-biru, saya mulai mendapatkan teman baru. Kegiatan belajar pun dimulai dengan suasana baru. Saya mulai beradaptasi dengan hal-hal yang baru pula. Di kelas VIII, saya mulai mengikuti kegiatan ekstra kurikuler seperti PMR dan KIR (Karya Ilmiah Remaja). Selain itu, saya juga mengikuti kursus komputer di luar sekolah. Ketika kelas VIII saya hampir tertabrak sepeda motor setelah terjatuh dengan lutut luka. Menginjak kelas IX saya mulai fokus untuk belajar dalam menghadapi UAN. Akhirnya pada tahun 2009, saya lulus dengan hasil yang memuaskan. Meski tidak mendapat juara 1, namun masih bersyukur mendapatkan juara 3. Setelah lulus dari SMP saya melanjutkan sekolah di SMA Negeri 2 Ngadirojo. Saya sangat menyukai tantangan, sehingga mulai kelas X saya aktif mengikuti ekstra kurikuler Saka Bhayangkara dan Pramuka sebagai junior. Di dalam ekstra kurikuler ini saya belajar bagaimana menjadi seorang yang disiplin dan memiliki mental yang kuat. Dan alhamdulillah di SMA saya sudah tidak sakit-sakitan lagi. Dan pada tahun 2010 saya naik ke kelas XI dengan mengambil jurusan IPA. Setelah satu tahun mengikuti ekstra kurikuler Saka Bhayangkara dan Pramuka, akhirnya saya menjadi seorang senior yang akan mengajar adik kelas yang baru. Di dalam organisasi ini, saya dipercaya untuk menjadi seorang bendahara. Meskipun tidak mudah untuk menjadi seorang bendahara, tetapi saya berusaha sebaik mungkin bagaimana untuk mengelola kas yang masuk dan kas yang keluar. Dan di tahun yang sama saya terpilih menjadi anggota OSIS sebagai seksi kreativitas. Saya sangat senang, karena impian untuk menjadi anggota OSIS bisa terwujud. Kegiatan OSIS, Pramuka, dan Saka Bhayangkara pun semakin padat. Saya harus bisa membagi waktu sebaik mungkin untuk belajar mata pelajaran yang diajarkan di sekolah. Di pertengahan kelas XI, saya pun dipercayai oleh guru untuk mewakili olimpiade FISIKA tingkat SMA. Meskipun sempat merasa kecewa ketika mendapatkan hasil yang tidak memuaskan, tetapi saya tetap bersyukur. Dalam rangka memperingati hari ulang tahun sekolah saya juga mencoba untuk mengikuti lomba KIR di sekolah dan bisa mendapatkan hasil yang cukup memuaskan. Lagi-lagi Pertanyaan yang Sama Suatu ketika, saya bersama teman pergi ke kantin untuk sekedar beli makanan kecil. Dan sepulangnya dari kantin, tiba-tiba saya dipanggil oleh kepala sekolah untuk ke ruangannya. Dalam otak saya berfikir ada apa gerangan sampai dipanggil oleh kepala sekolah? Sebelum saya berhenti berfikir, kepala sekolah pun langsung menyapa dengan ramah dan dengan senyumnya yang khas. Tanpa basa basi beliau pun bertanya, “Sebelumnya maaf ya, Em. Kenapa kamu tidak mencoba untuk operasi?” Suaranya sangat pelan, mungkin takut saya tersinggung. Dan “deg..” Lagi-lagi pertanyaan itu. Jantungku serasa berhenti sejenak. Saya pun langsung menjawab dengan singkat “Tidak, Pak”. Kepala sekolah menyambung, “Kenapa? Apa kamu takut?” jelasnya. “Bukan masalah takut nggaknya, Pak. Memang saya nggak mau operasi. Saya sudah sangat bersyukur dengan apa yang diberikan Allah untuk saya. Masih banyak orang yang lebih menderita dari saya. Saya tidak mau mengubah nikmat yang sudah Tuhan berikan kepada saya. Ini memang sudah takdirnya, Pak.” Lalu Kepala sekolah saya menyambung dengan sangat lembut dan penuh pengertian, “Ya kalau kamu operasi, itu bukan mengubah nikmat Tuhan, tetapi hanya memperbaiki saja supaya menjadi lebih baik. Ibarat baju yang kotor dicuci biar bersih. Bukan mengubah nikmat Tuhan,” jelasnya. Saya hanya diam. Memang saya tahu itu bukan mengubah nikmat Tuhan, tetapi tidak tahu mengapa hati kecil saya mengatakan “TIDAK!!” Ketika itu saya tetap bersikeras untuk tidak operasi meskipun kepala sekolah tetap meyakinkan saya. Dan pada akhirnya beliau menjabat tangan saya seraya berkata, “Iya nggak apa-apa. Saya salut sama kamu. Tetap semangat ya.” Saya mencoba untuk tersenyum, menahan air mata yang ingin tumpah. Saya segera permisi untuk kembali ke kelas. Bahkan, entah mengapa sampai sekarang hati kecil saya tetap berkata tidak untuk operasi, meski selalu ada tawaran untuk operasi dari berbagai pihak. Pernah saya menangis semalaman meratapi hidup saya. Sampai menyalahkan Tuhan kerena putus asa. Saya tahu itu salah. Tak seharusnya menyalahkan Tuhan. Itu adalah hal yang terbodoh yang

Meskipun Berbeda tetapi Saya Bisa Read More »