Februari 2014

Saya Berubah Berkat AAT

“Tidak ada kata terlambat untuk berubah menjadi lebih baik.”  PERKENALKAN, Saya Edo Prakosa, relawan Yayasan Anak-Anak Terang (AAT) Indonesia Sekretariat Semarang. Saya seorang muslim, lahir di Semarang tanggal 29 Maret 1994. Saat ini, saya kuliah di AKIN (Akademi Kimia Industri) St. Paulus Semarang, Semester IV. Di AKIN, saya dipercaya sebagai ketua BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa), dan di AAT ini, saya sebagai Koordinator Sekretariat AAT Semarang. Kedua orang tua saya merupakan pekerja keras. Tiap pagi jam 4, ayah sudah bangun untuk pergi ke pasar. Beliau di pasar bekerja menata dan menjaga kendaraan, baik roda dua maupun roda empat agar tampak rapi dan terhindar dari pencurian sampai jam 7 pagi. Sore harinya, sekitar jam 3, beliau ke ruko untuk menjaga keamanan di sana sampai jam 5. Ya, penjaga keamanan yang tidak pernah memakai seragam. Ibu saya bekerja berjualan nasi dan minuman di depan ruko dengan gerobak bersama tetangga saya. Pekerjaan dibagi dua, Ibu bagian memasak dan menyiapkan yang lainnya, sedangkan tetangga saya yang berjualan. Nantinya, keuntungan tiap hari akan dibagi dua. Saya lahir di sebuah keluarga yang istimewa. Sekilas tampak dari kondisi keluarga yang harmonis dan sangat tercukupi. Namun, hal itu kadang tidak selalu benar. Kebiasaan buruk ayah saya dari muda sampai sekarang masih belum bisa dihilangkan. Karena memang ayah saya sejak kecil lahir dan hidup di lingkungan yang keras. Ayah kadang pulang dalam keadaan sempoyongan. Hal itulah yang memicu seringnya terjadi cekcok dalam keluarga saya. Berusaha sekuat tenaga untuk menyadarkan ayah, sudah saya lakukan. Tetapi masih tetap sama, tidak ada perubahan. Meskipun begitu, itu semua tetap saya hadapi dengan sabar dan kuat. Walau sebenarnya dalam hati ingin berteriak sekeras-kerasnya, karena tidak tahan melihat keadaan keluarga saya yang seperti itu. Saya Berubah Berkat AAT Semasa SMP dan SMK, saya dikenal sebagai sosok yang pendiam dan cuek. tapi kadang suka membuat teman-teman tertawa. Bahkan, saking cueknya, beberapa teman saya mengira bahwa saya seorang anak yang sombong. Padahal bagi yang sudah mengenal saya, hal itu sangat jauh berbeda. Semasa sekolah, saya belum aktif berorganisasi. Namun saya dikenal anak yang rajin dan cukup pintar. Itu kata teman-teman saya. Sebelum lulus SMK, saya sudah diterima kerja di Pabrik Cat asli Indonesia yaitu PT. Propan Raya ICC Tangerang. Saya hanya bekerja selama setahun karena ada desakan dari orang tua yang belum bisa melepas saya untuk bekerja. Akhirnya saya memutuskan untuk kuliah di AKIN St. Paulus Semarang, karena di sana banyak beasiswa prestasi yang ditawarkan dan lulusannya juga tidak kalah dengan PTN lainnya. Di AKIN St. Paulus inilah saya mulai berubah 180 derajat. Sebelum bertemu AAT, saya masih pendiam, dingin, malu tampil di depan umum, dan parahnya gaptek media sosial (buat akun facebook saja baru bulan Agustus 2012). Bulan Juni 2013 merupakan “pandangan pertama” saya dengan AAT. AAT yang multikultur yang tanpa membeda-bedakan agama, membuat saya tanpa berpikir panjang langsung mengikuti kegiatan AAT tiap akhir pekan. Hal itu berkat ajakan teman saya, Handy. Kegiatan-kegiatan di AAT seperti survei di sekolah-sekolah untuk mewawancarai calon anak asuh, yang nantinya anak tersebut akan mendapat beasiswa untuk pembayaran SPP. Kesan pertama bergabung di AAT, saya sangat senang sekali karena bisa jalan-jalan sambil berkegiatan sosial. Namun di tengah perjalanan kadang terdapat kesulitan. Meskipun begitu, AAT telah memberi saya banyak manfaat. Karena AAT yang membuat saya berani berbicara di depan umum, berani diberi tanggung jawab, dan berani menjadi pemimpin. Bimbingan, arahan, dan nasehat yang keras dari para pengurus AAT yang membuat saya seperti sekarang ini. Banyak hal yang saya dapat selama bergabung dengan AAT. Dari perubahan sikap, pengendalian emosi, pembagian waktu yang efektif, pola pikir yang lebih dewasa, dan yang terutama selalu memegang komitmen dan bertanggung jawab. Relawan AAT tidak sekedar relawan. Kami para relawan dilatih untuk menjadi seorang yang mandiri dan kelak akan menjadi bagian dari pemimpin negeri ini. Sebenarnya bukan relawan, melainkan pekerja. Pekerja sosial ! Karena selain membantu anak-anak yang kurang mampu dengan waktu dan tenaga yang dimiliki, di AAT diajarkan juga untuk memiliki target. Tentu saja target memenuhi kuota donatur bagi para anak asuh. Pengalaman Bersama AAT   Bulan Agustus dan Januari merupakan bulan tersibuk bagi semua jajaran AAT baik pengurus maupun relawan. Kenapa? Karena pada bulan tersebut terjadi suatu peristiwa paling heboh dan ramai yaitu “lelang anak”. Ingin tahu seperti apa? Ikuti saja terus kegiatan AAT melalui web AAT di www.anakanakterang.web.id ataupun sosial media AAT, bisa FB grup (Anak Anak Terang), Fanpage (Anak Anak Terang), atau Twitter @beasiswaaat. Di bulan-bulan itu para relawan dan pengurus bekerja sama mencari ratusan donatur yang nantinya akan membiayai SPP anak asuh, baik lewat jejaring sosial maupun lewat jaringan lain seperti teman kerja, teman kuliah, dan orang-orang terdekat lainnya. Jaringan AAT sangat luas, sehingga kami selalu mendapatkan banyak pertolongan dari orang-orang yang tergerak hatinya untuk membantu. Banyak tantangan dan kegiatan selama menjadi relawan AAT khususnya. Dimulai dari mengatur kegiatan survei, pencarian dana, input data anak asuh, mencari donatur, mengirim raport anak asuh, dan masih banyak lagi. Belum lagi secara tidak langsung mendapatkan ilmu public speaking, jurnalistik, dan sosial media. Seru dan menegangkan tentunya. Saya di lingkungan AAT merasa sedang masuk dalam labirin, di mana kadang kita menemukan jalan berlika-liku, buntu, dan akhirnya menemukan jalan keluar yang lain lagi. Sungguh tantangan yang luar biasa. Saya percaya setelah menguasai lika-liku labirin ini, banyak hal yang akan saya peroleh untuk bekal menjadi manusia bagi manusia lainnya, yaitu manusia yang peduli akan sekitarnya, manusia yang meyakini bahwa apa yang kita beri ke orang lain pasti juga nantinya akan kembali ke diri kita sendiri. Terima Kasih Mas Christ Widya, Mami Elisabeth Lies Endjang, Br. Conradus, CSA, yang sudah menjadi sosok penting dalam perjalanan hidup saya sekarang, nanti, dan selamanya.   Edo Prakosa* Staff Admin AAT Semarang * Edo Prakosa adalah salah satu Anak Asuh AAT tingkat Perguruan Tinggi yang juga bertugas sebagai Koordinator Sekretariat AAT Semarang. Merupakan mahasiswa Akademi Kimia Industri (AKIN) St. Paulus Semarang angkatan 2012.   [qrcode content=”https://aat.or.id/saya-berubah-berkat-aat” size=”175″]  

Saya Berubah Berkat AAT Read More »

Meskipun Berbeda tetapi Saya Bisa

“Kekurangan tidak menjadi penghalang bagiku untuk mewujudkan impian..” Saya Berbeda Nama saya Emy Prihatin, lahir di Pacitan, 31 Agustus 1994. Tempat tinggal saya di RT 01, RW 01, Dusun Krajan, Desa Wonokarto, Kecamatan Ngadirojo, Kabupaten Pacitan. Saya adalah anak tunggal yang terlahir dari keluarga yang sederhana. Saya sangat bersyukur karena keluarga sangat menyayangi saya meskipun kondisi saya yang seperti ini. Ya, saya berbeda dengan anak lainnya. Ayah saya adalah seorang petani dan ibu saya bekerja sebagai pembantu rumah tangga untuk membantu membiayai biaya hidup kami sehari-hari. Saya menimba ilmu sejak umur lima tahun. Berawal dari Taman Kanak-Kanak Dharma Wanita selama satu tahun, kemudian dilanjutkan ke SD Negeri Wonokarto I pada tahun 2000 dengan uang saku 300 sampai 500 rupiah waktu itu. Masa-masa TK dan SD bisa dibilang masa perkenalan bagi saya. Saya pun sangat minder dengan kondisi saya yang tidak seperti anak lainnya. Ketika SD sampai SMP saya sering sakit-sakitan. Sampai akhirnya waktu SMA sakit-sakitan itupun hilang. Operasi? Dulu, ketika saya masih kecil, saya sempat mau dioperasi bibir sumbing. Namun gagal karena saya demam dan menangis. Itu kata kedua orang tua saya. Kejadian tersebut waktu saya masih sangat kecil, sehingga saya tidak bisa mengingatnya. Saya teringat ketika kelas VI SD, ketika itu wali kelas memanggil di ruangan kelas, tetapi teman-teman saya sudah keluar. Saya tinggal sendiri di ruangan itu bersama dengan wali kelas. Saya pun sempat berpikir mengapa saya dipanggil? Apa mau dihukum? Saya salah apa? Pertanyaan-pertanyaan itu mengganggu pikiran saya. Guru pun langsung memulai pembicaraan tanpa basa basi. “Kamu kan sudah mau ke SMP, apa kamu nggak mau operasi?” tanya guru. Saya terdiam tidak menjawab. “Apa kamu nggak malu waktu SMP nanti kalau kamu nggak operasi?” tanya guru kembali. Saya masih terdiam. Seketika saya langsung pucat dan tubuh saya mendadak dingin. Saya hanya bisa menjawab “iya” dengan semua pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan guru saya waktu itu. Tetapi, meskipun saya menjawab iya, saya tetap tidak operasi karena perasaan takut yang menyelimuti. Setelah kejadian itu, di tahun 2006 saya pun alhamdulillah lulus dengan hasil yang cukup memuaskan. Saya Berbeda tetapi Saya Bisa Dengan hasil nilai yang saya dapatkan, saya memutuskan untuk mendaftarkan diri ke SMP Negeri 2 Ngadirojo hingga akhirnya diterima dan masuk ke kelas VII A. Di SMP ini saya masih sakit-sakitan. Dengan seragam baru putih-biru, saya mulai mendapatkan teman baru. Kegiatan belajar pun dimulai dengan suasana baru. Saya mulai beradaptasi dengan hal-hal yang baru pula. Di kelas VIII, saya mulai mengikuti kegiatan ekstra kurikuler seperti PMR dan KIR (Karya Ilmiah Remaja). Selain itu, saya juga mengikuti kursus komputer di luar sekolah. Ketika kelas VIII saya hampir tertabrak sepeda motor setelah terjatuh dengan lutut luka. Menginjak kelas IX saya mulai fokus untuk belajar dalam menghadapi UAN. Akhirnya pada tahun 2009, saya lulus dengan hasil yang memuaskan. Meski tidak mendapat juara 1, namun masih bersyukur mendapatkan juara 3. Setelah lulus dari SMP saya melanjutkan sekolah di SMA Negeri 2 Ngadirojo. Saya sangat menyukai tantangan, sehingga mulai kelas X saya aktif mengikuti ekstra kurikuler Saka Bhayangkara dan Pramuka sebagai junior. Di dalam ekstra kurikuler ini saya belajar bagaimana menjadi seorang yang disiplin dan memiliki mental yang kuat. Dan alhamdulillah di SMA saya sudah tidak sakit-sakitan lagi. Dan pada tahun 2010 saya naik ke kelas XI dengan mengambil jurusan IPA. Setelah satu tahun mengikuti ekstra kurikuler Saka Bhayangkara dan Pramuka, akhirnya saya menjadi seorang senior yang akan mengajar adik kelas yang baru. Di dalam organisasi ini, saya dipercaya untuk menjadi seorang bendahara. Meskipun tidak mudah untuk menjadi seorang bendahara, tetapi saya berusaha sebaik mungkin bagaimana untuk mengelola kas yang masuk dan kas yang keluar. Dan di tahun yang sama saya terpilih menjadi anggota OSIS sebagai seksi kreativitas. Saya sangat senang, karena impian untuk menjadi anggota OSIS bisa terwujud. Kegiatan OSIS, Pramuka, dan Saka Bhayangkara pun semakin padat. Saya harus bisa membagi waktu sebaik mungkin untuk belajar mata pelajaran yang diajarkan di sekolah. Di pertengahan kelas XI, saya pun dipercayai oleh guru untuk mewakili olimpiade FISIKA tingkat SMA. Meskipun sempat merasa kecewa ketika mendapatkan hasil yang tidak memuaskan, tetapi saya tetap bersyukur. Dalam rangka memperingati hari ulang tahun sekolah saya juga mencoba untuk mengikuti lomba KIR di sekolah dan bisa mendapatkan hasil yang cukup memuaskan. Lagi-lagi Pertanyaan yang Sama Suatu ketika, saya bersama teman pergi ke kantin untuk sekedar beli makanan kecil. Dan sepulangnya dari kantin, tiba-tiba saya dipanggil oleh kepala sekolah untuk ke ruangannya. Dalam otak saya berfikir ada apa gerangan sampai dipanggil oleh kepala sekolah? Sebelum saya berhenti berfikir, kepala sekolah pun langsung menyapa dengan ramah dan dengan senyumnya yang khas. Tanpa basa basi beliau pun bertanya, “Sebelumnya maaf ya, Em. Kenapa kamu tidak mencoba untuk operasi?” Suaranya sangat pelan, mungkin takut saya tersinggung. Dan “deg..” Lagi-lagi pertanyaan itu. Jantungku serasa berhenti sejenak. Saya pun langsung menjawab dengan singkat “Tidak, Pak”. Kepala sekolah menyambung, “Kenapa? Apa kamu takut?” jelasnya. “Bukan masalah takut nggaknya, Pak. Memang saya nggak mau operasi. Saya sudah sangat bersyukur dengan apa yang diberikan Allah untuk saya. Masih banyak orang yang lebih menderita dari saya. Saya tidak mau mengubah nikmat yang sudah Tuhan berikan kepada saya. Ini memang sudah takdirnya, Pak.” Lalu Kepala sekolah saya menyambung dengan sangat lembut dan penuh pengertian, “Ya kalau kamu operasi, itu bukan mengubah nikmat Tuhan, tetapi hanya memperbaiki saja supaya menjadi lebih baik. Ibarat baju yang kotor dicuci biar bersih. Bukan mengubah nikmat Tuhan,” jelasnya. Saya hanya diam. Memang saya tahu itu bukan mengubah nikmat Tuhan, tetapi tidak tahu mengapa hati kecil saya mengatakan “TIDAK!!” Ketika itu saya tetap bersikeras untuk tidak operasi meskipun kepala sekolah tetap meyakinkan saya. Dan pada akhirnya beliau menjabat tangan saya seraya berkata, “Iya nggak apa-apa. Saya salut sama kamu. Tetap semangat ya.” Saya mencoba untuk tersenyum, menahan air mata yang ingin tumpah. Saya segera permisi untuk kembali ke kelas. Bahkan, entah mengapa sampai sekarang hati kecil saya tetap berkata tidak untuk operasi, meski selalu ada tawaran untuk operasi dari berbagai pihak. Pernah saya menangis semalaman meratapi hidup saya. Sampai menyalahkan Tuhan kerena putus asa. Saya tahu itu salah. Tak seharusnya menyalahkan Tuhan. Itu adalah hal yang terbodoh yang

Meskipun Berbeda tetapi Saya Bisa Read More »