Maret 2015

It is Simple, It is so Beautifull

“Dengan kasih Tuhan, AAT peduli akan pendidikan anak-anak yang tidak mampu.” Sebaris kalimat itu tidak bisa dihilangkan dalam pikiran saya dan membuat saya hingga saat ini bertahan bersama AAT. Menjadi relawan sekaligus penerima beasiswa AAT adalah hal yang luar biasa untuk saya. Saya bangga menjadi bagian dari Anak-anak Terang. Perkenalkan, nama saya Tanti Kusumawati. Saya adalah seorang mahasiswi di Universitas Atma Jaya Yogyakarta Fakultas Ekonomi dan saya adalah bagian dari karya pelayanan Anak-Anak Terang. Perasaan haru selalu menyelimuti hati saya. Tidak jarang, setiap hari setetes air mata selalu menyelimuti wajah yang penuh pengharapan ini. Merasakan betapa bahagia mengenal dan menjadi bagian Anak-Anak Terang. Dengan AAT, saya bisa belajar banyak hal. Saya menjadi lebih sadar bahwa belajar itu bukan hanya dengan orang tua, bukan hanya dengan orang yang banyak gelar dinamanya, dan bukan hanya dengan motivator handal. Tiga Rantai Yang Tidak Terputuskan It is simple, it is so beautifull … Hanya di AAT hal seperti itu akan didapat. Kita belajar bersama orang yang usianya jauh di bawah kita. Kita belajar bersama orang yang usianya sama dengan kita dan kita belajar bersama orang yang usianya jauh di atas kita. Ini adalah tiga rantai yang tak terputuskan di AAT, rantai khas AAT. Mengapa? Belajar bersama orang yang usianya jauh di bawah kita, kadang membuat saya malu dan membuat saya kagum. Hal itu saya dapatkan saat kami, para relawan AAT datang ke sekolah-sekolah untuk melakukan survei dan wawancara anak asuh. Saat itu posisi kami adalah sebagai tokoh yang luar biasa untuk anak-anak SD, SMP, SMA/SMK, karena setahu mereka kami adalah pahlawan untuk mereka dan keluarganya (menurut cerita dari calon anak asuh). Tapi, saat wawancara berlangsung, saya merasa menjadi orang yang paling berdosa. Saat wawancara calon anak asuh, ada seorang anak asuh yang bercerita bahwa ia membawa uang saku Rp12.000,00. Untuk transportasi pulang pergi ke sekolah Rp10.000,00 dan harus berangkat setengah 6 pagi dari rumah untuk naik bus dan harus oper untuk bisa sampai ke sekolahan. Dan saat saya bertanya, dia hanya menjawab, “Bisa sekolah sudah luar biasa, Mbak. Tidak usah menuntut yang lain-lain yang penting setelah lulus nanti saya bisa kerja dan membantu orang tua.” Status dia saat itu adalah murid yang mendapatkan peringkat 1 di SMK Putra Nusantara Magelang. Saat itu saya hanya bisa diam, kagum mendengarnya, dan mata sudah mulai berkaca-kaca teringat kejadian semalam ketika menghubungi ibu untuk minta kenaikan uang saku dan mengeluh karena jalan kaki untuk pergi ke kampus. Yang jarak kos ke kampus hanya 17 menit jika di tempuh dengan jalan kaki. Dalam hati saya, “Oh Tuhan, maafkan saya…” Saya merasa sangat berdosa pada ibu. Saya mendapatkan pelajaran dari orang yang seusia ketika berinterkasi dengan teman-teman sesama anak asuh perguruan tinggi dan teman-teman relawan AAT. Kita memiliki kesibukan yang sama, yaitu sebagai mahasiswa dan sebagai relawan di AAT. Saya kagum ketika melihat seorang relawan yang tidak mendapatkan imbalan apapun di AAT dapat bekerja dengan penuh cinta dan pengorbanan. Tak jarang, mereka harus hujan-hujanan untuk pergi survei ke sekolah-sekolah, mengerjakan tugas-tugas AAT di sela kesibukannya sebagai seorang mahasiswa, menjalankan kewajibannya sebagai Pendamping Komunitas (PK) AAT di sela jam istirahat mereka, dan mempromosikan AAT ke sana ke mari supaya banyak donatur, serta menyisihkan uang saku untuk mengurangi biaya operasional AAT. Ya. Orang-orang hebat dapat saya kenal di sini. Meskipun kadang merasa lelah, tetapi relawan yang bukan anak asuh membangkitkan semangat saya. Yang seperti ini yang kadang membuat saya malu. Mereka yang tidak mendapatkan apa-apa saja bisa seperti ini, kenapa saya yang mendapatkan bantuan biaya kuliah dari AAT justru tidak bisa seperti mereka? Di AAT saya juga belajar bersama orang yang usianya jauh di atas kita. Untuk hal di sini saya mendapatkan pelajaran karena keberadaan donatur yang rela dan senang hati membantu kami, anak asuh AAT untuk tetap bisa sekolah. Walaupun donatur memiliki kesibukan dan kebutuhan hidup, tetapi tetap bisa membantu kami yang mungkin tidak beliau kenal. Bekerja pagi hingga malam menyisihkan uangnya untuk didonasikan ke Anak-anak Terang, supaya anak asuh AAT bisa tetap sekolah. Begitupun dengan semua pengurus yayasan AAT Indonesia yang luar biasa, yang membimbing kita para relawan, memberikan perhatian kepada kami anak asuh dengan rela mengorbankan waktu disela kesibukannya belajar dan bekerja hingga mengorbankan biaya untuk membuat kami senang. Mereka juga memberikan arahan serta memberikan motivasi yang membangun untuk kami para relawan Anak-anak Terang. Terima kasih adik, teman, romo, suster, bapak dan ibu yang menjadi bagian karya pelayanan Anak-Anak Terang yang telah membuat saya menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Saya bangga mengenal dan ada bersama kalian.   Tanti Kusumawati* Koordinator AAT Sekretariat Yogyakarta *Tanti merupakan mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Tanti adalah salah satu anak asuh AAT yang juga menjadi koordinator AAT Sekretariat Yogyakarta.   [qrcode content=”https://aat.or.id/its-simple-its-so-beautifull” size=”175″]  

It is Simple, It is so Beautifull Read More »

Akhirnya Mimpi Saya menjadi Nyata

NAMA SAYA Tiara Riszky Ananda, kelahiran Madiun 17 Maret 1993. Saya merupakan salah satu anak asuh Perguruan Tinggi AAT dari Universitas Katolik Widya Mandala Madiun yang baru saja lulus dan diwisuda. Saya bergabung dengan AAT dan dibantu para bapak/ibu donatur AAT sejak 24 Agustus 2013. Saat itu saya sedang belajar di Prodi Akuntansi Fakultas Ekonomi semester V. Sejak 24 Agustus 2013, saya juga dipercayai untuk menjadi Koordinator AAT Madiun selama satu periode, yaitu pada tahun 2013-2014. Bersama dengan teman-teman pendamping komunitas sekretariat AAT Madiun, kami mengelola sekretariat AAT Madiun dengan ratusan anak asuh yang tersebar di sekolah/komunitas Se-Eks Karesidenan Madiun. Dalam mengelola beasiswa, kami juga didampingi para pendamping rohani, yaitu Br. Yakobus CSA, Br. Alex CSA, dan Br. Neri CSA, serta Bapak Bernadus Widodo M.Pd. selaku penanggungjawab sekretariat AAT Madiun. Kemudian, pada tanggal 21 September 2014, saat Rapat Pengurus Yayasan AAT Indonesia, saya dipercayai kembali untuk menjadi Koordinator Nasional Relawan AAT untuk tahun ajaran 2014-2015. Mimpi saya untuk menyelesaikan pendidikan S1 Akuntansi sebelum waktunya, yaitu dengan 3,5 tahun adalah mimpi saya sejak awal masuk perkuliahan. Saya ingin segera meringankan beban kedua orang tua saya dan segera bekerja. Untuk mencapai keinginan saya itu, setiap semesternya saya berusaha untuk mendapatkan IPK di atas 3,00. Dengan begitu, saya bisa mengambil mata kuliah di atas tingkatan saya. Tidak hanya hardskill saja yang saya tekuni, tetapi di Widya Mandala Madiun saya juga belajar untuk melatih softskill saya. Dan pada 28 Februari 2015, doa saya terjawab. Saya berhasil menyelesaikan kuliah S1 saya dengan masa studi 3,5 tahun dan berhasil menyandang gelar Sarjana Ekonomi. Terimakasih kepada para sahabat AAT yang telah membantu biaya kuliah saya. Berkat bantuan dari Bapak/Ibu Donatur AAT, saya bisa melanjutkan dan menyelesaikan kuliah saya sebelum waktunya. Terima kasih untuk dukungan semangat dan doa yang telah diberikan para sahabat AAT. Terimakasih untuk pendampingan yang diberikan kepada saya selama ini. Terima kasih atas pengalaman dan kesempatan yang luar biasa yang telah diberikan kepada saya untuk menjadi salah satu Anak Asuh AAT, menjadi Pendamping Komunitas, menjadi Koordinator AAT Madiun, menjadi Koordinator Nasional Relawan AAT, dan menjadi bagian dari keluarga besar AAT. Untuk kedepannya, saya ingin menyisihkan sebagian penghasilan saya untuk membantu adik-adik asuh di AAT, sesuai dengan visi Beasiswa PT dari AAT, yaitu Pay it Forward! Harapan saya, makin banyak anak-anak SD, SMP, SMA/SMK, dan mahasiswa yang dapat dibantu oleh AAT. Untuk 46 Anak Asuh AAT tingkat perguruan tinggi yang lainnya, tetap semangat untuk menyelesaikan kuliah, ya. Kejar semua cita-cita yang kalian inginkan dan yakinlah semua akan bisa tercapai dengan kerja keras dan doa tentunya. Tangan Tuhan tidak akan bekerja jika tangan manusia tidak bekerja. Just do it and do your best! Terima kasih AAT.   Tiara Riszky Ananda Koordinator Relawan AAT Nasional   [qrcode content=”https://aat.or.id/akhirnya-mimpi-saya-menjadi-nyata” size=”175″]  

Akhirnya Mimpi Saya menjadi Nyata Read More »

Bersyukur Menjadi Bagian dari AAT

NAMA SAYA YENI PUSPITASARI. Saya biasanya akrab dipanggil Yeni. Saya lahir di kota Nganjuk, Jawa Timur pada tanggal 13 September 1993. Saya anak pertama dari dua bersaudara. Adik saya perempuan. Jarak usia kami terpaut cukup jauh, yakni 9 tahun. Orang tua saya bekerja sebagai buruh pabrik di Sidoarjo. Sejak kecil, saya diasuh dan dibesarkan oleh nenek di kota Madiun. Orang tua saya harus pergi karena pekerjaan. Saya diasuh oleh nenek, karena kedua orang tua harus bekerja dan saat itu tidak mampu membayar babysitter untuk mengasuh saya. Alhasil, saya diasuh dan dibesarkan di desa bersama nenek hingga sekarang ini. Adik saya tinggal bersama orang tua di Sidoarjo, sedangkan saya memilih untuk tetap tinggal di Madiun bersama nenek, karena nenek tinggal di rumah sendirian. Tidak sampai hati rasanya jika harus meninggalkan seorang nenek yang sudah merawat saya sejak kecil tinggal di rumah seorang diri. Masa Sekolah Memasuki usia sekolah, mulanya saya bersekolah di TK Dharma Wanita Ngadirejo. Saat itu saya baru berusia 5 tahun. Namun, nenek sudah memasukkan saya ke sekolah. Lalu, saya bersekolah di SDN Ngadirejo 02. Kebetulan TK dan SD berada dalam satu lokasi yang sama dan lokasi sekolah tidak terlalu jauh dengan tempat tinggal saya, kira-kira 15 menit jika ditempuh dengan jalan kaki. Kemudian, saya bersekolah di SMPN 1 Wonoasri. Jarak sekolah dengan rumah saya lumayan jauh, sekitar 5 km. Saat diumumkan kelulusan SMP dan dinyatakan lulus, saya mulai bimbang akan kemanakah saya melanjutkan sekolah. Saya benar-benar bingung antara SMA atau SMK. Saya berpikir, jika sekolah di SMA berarti harus kuliah, sedangkan biaya kuliah sangatlah mahal. Akhirnya, saya mendaftarkan diri ke sekolah swasta, yaitu SMK PGRI Wonoasri dan mengambil jurusan Akuntansi. Sekolah tersebut terletak di tengah kota Caruban. Jarak sekolah dan tempat tinggal saya sekitar 11 km. Untunglah saat itu saya ada teman untuk berangkat dan pulang sekolah, sehingga bisa sedikit meringankan biaya untuk membeli bensin. Seminggu sekali, kami bergantian untuk mengisi bensin. Waktu sekolah dulu, saya bersama sahabat saya pernah berjualan kacang bawang. Tiap pulang sekolah kami membuat kacang bawang dan besoknya kami titipkan ke warung-warung. Selain itu, saya juga berjualan pulsa untuk tambahan uang saku, karena jika mengandalkan uang saku dari orang tua sangatlah tidak cukup. Kelas XI saatnya melakukan Pendidikan Sistem Ganda (PSG). Saya bersama ketiga teman mencari tempat untuk melakukan praktek. Hingga akhirnya, kami berempat diterima PSG di PLN Madiun selama 2 bulan. Dalam waktu 2 bulan saya mendapatkan banyak sekali pengalaman, dari mengarsipan data, entri data tusbung, melayani pelanggan, dll. Masa SMA pun segera berakhir. Sambil menunggu ijazah keluar, saya mencoba melamar pekerjaan di sebuah toko pusat oleh-oleh yang berada di kawasan Madiun. Saya diterima di sana dan kontrak awal selama 3 bulan. Awalnya, saya merasa tidak sanggup bekerja selama 10 jam per hari, tapi saya berusaha memberi semangat pada diri saya bahwa saya pasti bisa. Satu bulan saya bekerja, ayah saya menyuruh saya untuk melanjutkan pendidikan lagi. Akhirnya, saya menyetujuinya dan ayah mengusahakan untuk mencarikan biaya pendaftaran. Saya pun konsultasi dengan guru BK SMK. Menurut beliau, kampus Widya Mandala (WIMA) Madiun adalah kampus yang cukup baik. Akhirnya, saya memutuskan untuk mendaftarkan diri di kampus UNIKA Widya Mandala Madiun dan mengambil program studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Kedua orangtua saya awalnya tidak setuju kalau saya kuliah di situ. Mereka ingin saya kuliah di perguruan tinggi lain yang ada di Madiun, tetapi saya tetap ingin kuliah di WIMA Madiun. Awal Mengenal AAT Jalan Tuhan memang indah. Jika saat itu saya ikut saran orangtua untuk kuliah di universitas lain, mungkin sekarang saya tidak akan mengenal AAT. Saya baru sadar mengapa saat itu saya bersikeras ingin kuliah di Wima, yaitu karena Tuhan punya rencana yang indah buat saya. Hingga akhirnya, saya bisa mengenal yayasan yang begitu hebat, Yayasan AAT Indonesia. Pagi itu, tanggal 26 Agustus 2013 adalah hari di mana saya pertama kali mengenal Anak-anak Terang (AAT). Awalnya, saya ke kampus hanya untuk mengerjakan tugas, tetapi mendengar bahwa ada sosialisasi beasiswa AAT, saya dan teman saya Mbak Rike tertarik untuk mengikuti sosialisasi mengenal beasiswa AAT. Sebelumnya, saya sudah mendengar ada pengajuan beasiswa dan mahasiswa yang lolos seleksi beasiswa tersebut akan menjadi staf administrasi dan tugasnya adalah mengurus beasiswa untuk anak SD, SMP, dan SMA. Saya tidak mengajukan beasiswa AAT, karena pada saat itu saya sudah mendapat beasiswa Bantuan Belajar Mahasiswa (BBM). Beberapa teman mengatakan bahwa tidak hanya yang penerima beasiswa AAT saja yang bisa mengurus beasiswa untuk SD, SMP, dan SMA, tetapi yang tidak menerima beasiswa AAT pun boleh membantu. Mendengar hal seperti itu saya tertarik untuk ikut bergabung menjadi relawan AAT. Saat memasuki ruangan tersebut, saya berkenalan dengan Mbak Chika dan Mbak Alma yang saat itu menjadi koordinator nasional. Saat Mbak Chika menanyakan apakah sudah membuka situs web AAT, saya jawab belum. Karena saat itu yang saya tahu beasiswa AAT memberikan beasiswa kepada SD, SMP, SMA, dan perguruan tinggi. Saya belum melangkah lebih jauh sampai membuka website-nya AAT. Setelah Mbak Alma, Mbak Chika, Pak Christ, dan Pak Hadi menjelaskan kepada semua audience yang hadir, saya baru paham apa itu Beasiswa AAT. Dari penjelasan mereka dan dari tanya jawab, saya semakin yakin untuk ikut bergabung menjadi relawan AAT, karena kegiatan di AAT sangat positif. Bersyukur Menjadi Bagian dari AAT Setelah resmi bergabung bersama AAT, saya mulai mendapatkan teman-teman baru yang awalnya belum saya kenal. Mereka semua baik dan kami saling bekerja sama, saling membantu, dan saling memberikan semangat. Menjadi staf administrasi AAT, saya belajar bagaimana input data anak asuh di SIANAS (Sistem informasi Anak Asuh), bagaimana mengirim bukti transfer dan kuitansi setiap bulannya kepada donatur, dan bagaimana mengirim rapor anak asuh untuk donatur.   Saat survei, saya mendapatkan pengalaman yang luar biasa. Pengalaman ini tidak pernah saya dapatkan sebelumnya. Ketika wawancara, saya mendengar cerita langsung dari calon anak asuh. Saya merasa sangat bersyukur atas kehidupan saya. Saya sadar, ternyata banyak sekali adik-adik di luar sana yang tidak seberuntung saya. Cerita dan perjuangan mereka semakin membuat saya bersyukur dan bersemangat untuk meraih cita-cita saya, untuk terus membantu sesama, dan terus melakukan yang terbaik untuk orang-orang disekeliling saya dan tentunya untuk AAT. Menjadi Anak Asuh AAT Tahun ajaran

Bersyukur Menjadi Bagian dari AAT Read More »

AAT Membawa Terang dalam Hidupku

SATU SETENGAH TAHUN aku berkecimpung di AAT. Berkat beasiswa AAT inilah aku bisa kuliah sampai sekarang. AAT yang telah membiayai kuliahku dari semester 3 kemarin. Dulu, sebelum aku dibiayai AAT, orang tuaku harus menggadaikan cengkeh dan menjual anak sapi yang didapat setelah bertahun-tahun memelihara induknya dari saudaraku. Dan sekarang, aku bersyukur sekali kuliahku sudah dibiayai AAT. Berkat AAT, beban ekonomi yang ditanggung oleh orangtuaku sudah tidak seberat dulu. Terkadang, orang tuaku menjual kayu atau pinjam ke saudara untuk biaya hidup sehari-hari, karena ibuku sudah tidak bekerja lagi. Sekarang, ibu hanya mengurusi sawah dan ladang bersama bapak, serta cari daun cengkeh dan rempah–rempah untuk dijual. Selama 1,5 tahun juga, aku ditunjuk sebagai bendahara AAT sekretariat Madiun. Jujur, tidaklah mudah menjadi seorang bendahara yang harus mengurusi uang. Bahkan, kalau sampai salah hitung, aku bisa pusing yang akhirnya terlambat untuk mengirim laporan ke pusat. Tapi semuanya kulakukan, karena tugas sebagai bendahara tidak seberat pengorbanan dari para pengurus yang rela meluangkan waktunya untuk AAT. Selain sebagai bendahara, aku juga sebagai salah satu tim public relations. Di sini aku banyak belajar mengenal orang yang tak dikenal, yang akhirnya menjadi kenal. Di tim ini aku bertugas posting di fanpage AAT sesuai jadwal masing-masing. Ketika melihat data anak asuh di SIANAS (Sistem Informasi Anak asuh) angkanya berkurang, saya merasa sangat senang, karena ada yang membantu mereka. Mereka dapat melanjutkan sekolahnya berkat para donatur yang baik hati. Rasa malas untuk posting terkadang datang menghinggap. Tapi perasaan itu segera hilang ketika ingat perjuangan para pengurus yang rela meluangkan waktu untuk posting setiap hari demi mencari donatur untuk adik-adik yang membutuhkan. Berkat AAT juga aku merasa lebih bersyukur. Saat rapat public relations 2014 lalu, sebelum pulang, aku, Mbak Rike, dan Mbak Tiara yang diantar oleh Om Adhi dan Pak Greg mampir ke Panti Asuhan Cacat Ganda Semarang. Di situlah seolah aku merasakan tamparan atas kurang syukurku selama ini yang selalu memandang ke atas. Rasa trenyuh, sedih, terharu, bercampur aduk menjadi satu. Di sana aku melihat banyak anak-anak yang dengan kondisi berkekurangan. Mereka tidak bisa melakukan aktivitasnya sendiri layaknya orang-orang normal pada umumnya. Mereka harus dibantu oleh para perawat. Sedangkan aku? Aku masih bisa melakukan semuanya sendiri. Aku membayangkan, bagaimana jika aku menjadi mereka? Apa aku bisa seperti sekarang ini? Semua itu membuat aku sangat merasa bersyukur atas pemberian Tuhan selama ini. Aku masih beruntung dibandingkan dengan mereka. Karena Tuhan masih memberikan indra yang lengkap untukku. Dulu, di awal menerima beasiswa AAT, jujur aku pernah berpikir untuk keluar atau mengundurkan diri. Kenapa? Karena aku takut. Aku bingung, karena saat itu langsung ditunjuk sebagai salah satu Pendamping Komunitas (PK) di SDK dan SMPK Santo Yusuf Madiun. Kenapa harus aku yang duluan? Apa aku bisa? Berhari-hari aku memikirkan hal itu. Aku tidak punya teman yang kenal saat pertama kali penerimaan beasiswa. Bahkan, sama Andika yang satu kelas saja aku tidak begitu akrab. Apalagi sama yang lainnya. Tapi akhirnya semua aku jalani saja. Ternyata, tidak seberat yang aku pikirkan. Sungguh pilihan yang bodoh kalau aku dulu benar-benar keluar dari AAT hanya karena hal sepele. Kemungkinan besar, tidak akan pernah ada yang berubah dalam hidupku. Bahkan, bisa jadi aku tidak akan operasi sampai aku tua. Dan di AAT, apa yang aku dapatkan? Banyak sekali. Pengalaman yang begitu berharga yang tidak aku dapatkan di luar AAT. Berawal dari “penculikan” tak terduga di Kaliurang bulan April kemarin yang membuat aku berani operasi, sampai pada perubahan-perubahan hidup yang saya alami sampai sekarang. Sesaat, aku jadi jera gara-gara operasi tahap dua. Tapi aku berpikir lagi, “Aku sudah melewati dua tahap, sayang sekali kalau aku harus berhenti sampai di sini. Aku harus melanjutkan operasi sampai terapi.” Dan akhirnya, aku memutuskan untuk operasi tahap ketiga. Bahkan, kalau ada tahap-tahap selanjutnya akan aku lakukan sampai hasil terbaik. Dulu, aku tidak sampai berpikir sampai sejauh ini. Semua itu berkat AAT. Bagiku, AAT adalah keluarga besar. Keluarga yang memberikan cinta dan kasih sayang yang luar biasa. Meskipun kami berasal dari berbagai agama, daerah, suku dan ras, namun aku benar-benar menemukan cinta yang begitu besar di AAT. Sebuah organisasi yang berhasil membuat diriku berubah. Di AAT juga aku bisa mengenal banyak orang. Banyak teman dari Purwokerto, Yogyakarta, Semarang, Bandung, Malang, Padang, dan Pontianak. Aku juga bersyukur, karena di AAT inilah aku bisa mengenal para pengurus dan sebagian donatur yang bergabung di AAT. Semuanya membuatku lebih bersemangat. Mereka adalah inspirasiku. Aku telah banyak belajar dari mereka. Begitu banyak pelajaran hidup yang bisa aku dapatkan di AAT. Terima kasih untuk semuanya. Terima kasih untuk donatur baik hati yang telah bersedia membayai kuliahku. Aku akan berusaha semaksimal mungkin untuk tidak mengecewakan beliau yang telah membiayai kuliahku. Semoga suatu saat ini aku bisa bertemu dengan beliau.Dan terimakasih juga untuk Pak Hadi, Pak Christ, Kak Can Santi Widya, Pak Marcel, Mami Can Lies Endjang, Om Adhi, Pak Greg, Bruder, dan semuanya atas pelajaran yang sangat berharga. Semuanya membuat perubahan dalam hidupku, sehingga menjadikan Emy yang sekarang. Yang sedikit demi sedikit mulai bermetamorfosis. Semua itu berkat orang-orang hebat yang aku kenal di AAT. Semua hal yang ada di AAT begitu memberi arti dalam hidupku. Memberi warna dalam setiap langkahku. AAT-lah pembawa terang dalam hidupku.   Emy Prihatin* Relawan AAT Sekretariat Madiun *Emy merupakan mahasiswa Program Studi Akuntansi Universitas Katolik Widya Mandala Madiun angkatan 2012. Emy adalah salah satu anak asuh AAT tingkat perguruan tinggi yang ditunujuk sebagai bendahara AAT sekretariat Madiun.   [qrcode content=”https://aat.or.id/aat-membawa-terang-dalam-hidupku” size=”175″]  

AAT Membawa Terang dalam Hidupku Read More »

Gerakan Kecil Bermakna Besar

PERKENALKAN nama saya Anggun Septin Kartika Wulan, biasa dipanggil Anggun. Saya tinggal bersama kedua orang tua, satu adik laki-laki dan satu nenek yang sedang sakit stroke di Giwangan Yogyakarta. Saat ini saya sedang menempuh pendidikan S1 di Program Studi Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Atma Jaya Yogyakarta dan telah memasuki semester VI. Saya mengenal Anak-Anak Terang (AAT) dari seorang teman. Waktu itu dia memberi tahu mengenai beasiswa kuliah dari AAT yang telah bekerja sama dengan Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Mengetahui hal itu, saya kemudian mencari tahu apa itu beasiswa AAT dan persyaratan-persyaratan untuk mengajukan beasiswa. Pada saat itu sedang liburan semester IV dan akan memasuki semester V. Singkat cerita, pengajuan beasiswa saya diterima walau sebenarnya saya belum begitu paham mengenai AAT itu sendiri. Awalnya saya mengira AAT itu hanya sekedar memberikan beasiswa saja tanpa ada hubungan lain setelahnya. Tapi ternyata saya salah. Di AAT, semua orang yang telah bergabung juga ikut terlibat dalam mengembangkan AAT atau bisa disebut setiap orang adalah roda bagi AAT. Awalnya terasa berat menjadi pengurus baru. Ya, mungkin karena belum terbiasa dengan sistem dan lingkungannya. Tugas wajib yang harus saya lakukan adalah piket, mengurus rapor anak asuh AAT tingkat sekolah, mengunggah dan mengirim kuitansi serta tanda terima beasiswa dari sekolah-sekolah yang telah dibantu oleh AAT. Suatu ketika, saya ikut survei mengunjungi anak-anak calon penerima beasiswa. Sekolahnya terletak di atas pegunungan di Purworejo. Beberapa kali kendaraan kami tidak kuat naik jalanan yang menanjak. Setelah melalui perjalanan yang panjang dan melelahkan, kami akhirnya sampai di sekolah yang dituju. Sekolah itu cukup kecil, sebuah SMP yang hanya terdiri atas tiga ruang kelas. Saya mengobrol dengan anak-anak tersebut. Dari mereka, saya mengetahui ternyata saya tidak ada apa-apanya dengan mereka dalam semangat belajar. Kebanyakan dari anak-anak tersebut harus berjalan kaki kurang lebih 2 kilometer untuk sampai di sekolah. Keadaan rumah mereka pun juga masih banyak yang beralaskan tanah dan dengan dinding kayu atau anyaman bambu. Bahkan, ada juga yang belum tersambung dengan jaringan listrik. Namun, tidak ada kesedihan dan rasa malas di wajah mereka untuk terus belajar. Saya menjadi malu karena kadang merasa berat melakukan tugas di AAT. Melalui mereka saya menjadi mengerti dan lebih bersemangat bergabung dengan AAT. Di AAT saya mendapatkan keluarga baru dan pengalaman baru. Tidak hanya cerita dari anak-anak tersebut, namun juga para pengurus yang rela mencurahkan pikiran, tenaga, materi dan hati mereka untuk anak-anak melalui AAT. Mereka semua mengajarkan pada saya untuk terus peduli pada sesama. Mereka juga mengajarkan untuk terus berbuat baik. Sekecil apapun tugas kita, harus dilakukan sebaik mungkin. Karena, setiap gerakan kecil kita di AAT sangat berarti besar untuk mereka, sang penerus bangsa. Terima kasih AAT.   Anggun Septin Kartika Wulan Relawan AAT Sekretariat Yogyakarta   Mahasiswa Program Studi Arsitektur Fakultas Teknik UAJY, Anak Asuh AAT Tingkat Perguruan Tinggi   [qrcode content=”https://aat.or.id/gerakan-kecil-bermakna-besar” size=”175″]  

Gerakan Kecil Bermakna Besar Read More »

Survei dan Wawancara SD Kanisius Ngawen

PAGI ITU, 15 November 2014 sekitar pukul 7.30, saya dan teman-teman menuju tempat survei, yaitu SD Kanisius Ngawen Wonosari. Sebenarnya pagi itu badan saya kurang bersahabat. Tetapi, saya tetap bersemangat dalam melaksanakan tugas untuk survei dan wawancara calon anak asuh AAT meskipun sesekali saya mengeluh, “Duh, jauhnya Wonosari”. Mengendarai motor selama 30 menit membuat saya merasa mengantuk karena badan yang tidak enak. Setelah pertigaan, kami pun belok ke arah kanan. Di sana terlihat tanjakan tinggi dan tajam. Mata yang tadinya mengantuk pun mendadak terang benderang karena kami sadar perjalanan akan sangat ekstrim dengan jalan yang berliku-liku. Sebelumnya, saya belum pernah melalui jalan seekstrim itu. Setelah melalui pegunungan kapur, kami pun bertanya kepada warga sekitar apakah betul jalan tersebut adalah jalan menuju sekolah yang akan kami survei. Ternyata benar. Ketika kami belok ke arah kanan, akhirnya kami sampai di sekolah. Padahal sebelumnya, saya merasa tidak yakin akan sampai ke sekolah. Hal itu karena waktu kami sampai di pertigaan sebelum sekolah, kami tidak melihat tanda-tanda kehidupan (maksudnya tidak melihat rumah-rumah). Setelah berjalan lagi, kami menemukan beberapa rumah di bukit kapur dan kami pun bertanya lagi dengan warga yang ada disekitaran situ dan jawabannya sama, “Benar, masih naik lagi, Mbak?” Kami hampir menyerah. Tapi akhirnya kami menemukan sekolah yang kami tuju juga. Luar biasa perjalanan yang kami tempuh.   Sesampainya di SD Kanisius Wonosari, kami disambut dengan pertunjukan drumband yang dimainkan oleh siswa-siswa SD Kanisius Wonosari. Kami merasa terharu dan bahagia atas penyambutan yang luar biasa itu. Rasa lelah pun seketika menghilang ketika melihat anak-anak memainkan drumband dengan lincah dan penuh bersemangat. Wawancara Waktu wawancara pun tiba. Saya mendapatkan jatah 2 siswa untuk diwawancarai. Yang pertama, saya mewawancarai Nabila. Nabila adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Ayahnya sehari-hari bekerja mencari burung dan hasil penjualannya burung itu untuk membeli kebutuhan makan serta susu untuk kedua adiknya yang kembar. Namun, pada musim hujan seperti ini ayahnya sulit sekali menangkap burung. Saya melihat kembali rapor Nabila. Nilainya di atas rata-rata. Saya mulai bertanya kepada Nabila. “Nabila rangking berapa?” “Rangking 3, Mbak.” Jawabnya singkat. Saya membalas lagi, “Rangking 3 dari berapa siswa?” “Dari 3, Mbak.” Saya terkejut dengan jawabannya, Nabila rangking 3 dari 3 siswa? Bagaimana ceritanya? Lalu, berapa siswa total keseluruhan siswa di sekolah ini jika kelas tiganya hanya 3 anak? Sebelum semuanya terjawab, saya pun melanjutkan wawancara dengan siswa lainnya. Namanya Lilo, nama yang lucu. Dia terlihat polos ketika saya mewawancarainya. Lilo menceritakan pekerjaan ayahnya sebagai buruh tani. Setelah itu saya bertanya kepada Lilo, “Lilo berangkat sekolah jam berapa? Diantar bapak nggak?” “Berangkat jam 6 pagi dari rumah, Mbak. Lilo berangkat sendiri,” jawabnya. Setelah mendengar jawaban Lilo saya terdiam sesaat dan bertanya kembali, “Lilo naik sepeda?” “Jalan kaki, Mbak.” Luar biasa sekali perjuangan Lilo. Diumurnya yang masih kecil, ia harus melewati gunung berkapur, jalan menanjak, dan jalan menurun demi bisa sekolah. Saya bertanya kembali kepada Lilo, “Lilo rumahnya jauh ya? Berapa lama sampai sekolahan?” “Sampai di sekolah setengah tujuh lebih, Mbak.” Saya begitu salut dengan semangat yang tinggi dan luar biasa dari seorang anak laki-laki yang mempunyai cita-cita sebagai guru ini. Mungkin orang lain di luar sana tidak mendapatkan pengalaman yang saya dapat ini. Ini adalah pelajaran yang sangat berharga untuk saya. Ternyata, masih ada orang di bawah saya yang lebih kesusahan. Semua ini membuat saya semakin bersyukur dengan apa yang saya miliki saat ini. Meskipun dalam kekurangan, saya lebih beruntung dibandingkan adik-adik di sana. Setelah selesai wawancara, saya dan teman-teman berkumpul di tempat yang sudah disediakan oleh sekolah tersebut. Saya melihat-lihat apa yang terletak di ruangan itu. Saya membaca total murid dari kelas I hingga kelas VI SD Kanisius Wonosari ternyata berjumlah 35 anak. Kelas III-nya hanya 3 anak saja. Saya tak henti-henti terpaku oleh keadaan yang ada. Sungguh jelas di depan mata dan sungguh jelas cerita kehidupan yang terjadi, bukan drama, bukan acting ataupun skenario. Ini benar-benar nyata. Perjalanan Pulang Survei dan wawancara pun selesai. Kami bergegas untuk kembali ke Yogyakarta. Tiba-tiba seorang guru menghampiri kami. “Mbak! Apabila turun ke bawah tolong bonceng tiga murid saya, ya. Rumahnya di bawah gunung berkapur.” Setiap harinya, tiga murid tersebut bergantung kepada salah satu guru yang memberikan tumpangan karena rumah mereka sangat jauh di lereng gunung. Pada saat membonceng dua siswa, saya bertanya pada salah satu dari mereka yang bernama Wanda. “Wanda kalau berangkat jam berapa?” “Tadi saya menunggu Bu Guru jam enam, tapi Bu Guru datangnya jam tujuh lebih.” kata-kata itu di ucapkan dalam bahasa jawa. Kemudian saya bertanya lagi, “Wanda kalau Bu Guru tidak menjemput bagaimana sekolahnya?” “Ya nggak sekolah, Mbak. Jalannya jauh.” Sungguh mulia sekali Guru itu. Demi siswanya, beliau rela menjemput mereka. Bagi saya ini adalah cerita yang tak bisa saya lupakan. Saya jadi lebih bersemangat lagi untuk menjalankan pendidikan yang saya tempuh dan kegiatan organisasi di Yayasan AAT Indonesia, serta lainnya. Mungkin bagi orang lain ini hanya sekedar cerita semata, namun bagi saya ini adalah pelajaran yang berharga dan tak pernah ternilai harganya.   Elisabeth Putri Krismawati Relawan AAT Sekretariat Yogyakarta.   [qrcode content=”https://aat.or.id/survei-dan-wawancara-sd-kanisius-ngawen” size=”175″]      

Survei dan Wawancara SD Kanisius Ngawen Read More »