MENJADI seorang mahasiswi bukanlah satu-satunya impianku pada beberapa tahun yang lalu. Mungkin bagi sebagian besar anak di luar sana, melanjutkan pendidikan seusai lulus SMA adalah hal yang mudah dan wajar karena orang tua mereka mampu untuk membiayainya. Namun, kesadaran bahwa hanya terlahir dari keluarga yang sangat sederhana, terlebih keadaan orang tua yang masing-masing sudah memiliki keluarga sendiri. Perceraian mereka, membuat semangatku menciut untuk melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi. Mustahil untuk dapat menikmati bangku kuliah bersama teman-teman yang lain. Sehingga aku lebih memilih bekerja menjadi seorang Research and Development (R&D) di sebuah Perusahaan Food and Beverage di Kota Tangerang selama kurang lebih 1 tahun.
Hingga akhirnya terjadi percakapan singkatku bersama Bruder Konrad, CSA, Ketua Yayasan Santo Paulus. Aku kenal beliau semenjak kelas 1 SMK saat menghadiri acara MOS di Gua Maria Kerep Ambarawa. Ketika itu kusampaikan keinginanku bahwa aku sangat ingin melanjutkan kuliah dan tanpa kuduga sebelumnya ternyata Bruder memberikanku tawaran untuk berkuliah di Akademi Kimia Industri (AKIN) Santo Paulus Semarang. Kukira Bruder hanya bercanda saat menyampaikan hal tersebut. Namun ternyata tawaran itu serius. Entah apa yang kurasakan saat itu. Senang karena diberi kesempatan untuk kuliah, namun juga bingung, siapa yang akan membantu perekonomian keluarga jika aku kuliah. Dengan sedikit mendengarkan hati kecil dan sedikit keegoisanku, aku mengambil kesempatan yang diberikan oleh Bruder Konrad, CSA walau terjadi pro dan kontra di dalam keluarga besarku.
Kebingungan lainnya muncul lagi setelah aku mulai menjadi seorang mahasiswi. Meskipun mendapat bantuan beasiswa pada semester pertama, namun kuliah juga memerlukan biaya untuk mencukupi segala kebutuhan kuliah lainnya. Contohnya seperti untuk fotocopy, membeli alat tulis, dan lain-lain. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, aku bekerja di sebuah Event Organizer. Meski berpenghasilan tak seberapa, namun lumayan daripada tidak memiliki masukan sama sekali. Tidak cukup sampai di situ, kebingungan lainnya muncul lagi karena uang yang kuperoleh tidak dapat mencukupi biaya kuliahku.
Dan memang benar, Tuhan tidak pernah tidur. Kembali lagi Bruder Konrad, CSA memberikanku kesempatan emas yang sangat berharga bagiku. Bersama teman sekelasku, Handy, aku menemui Bruder yang kemudian dijelaskan tentang Anak Anak Terang (AAT). Kami diminta untuk menjadi relawan AAT untuk Sekretariat Semarang. Lalu kami dijelaskan lebih lanjut tentang AAT oleh Mas Christianus Widya Utomo (Mas Christ). Ternyata memang menyenangkan bisa bergabung dan mengenal AAT, apalagi terlibat di dalamnya dan menjadi salah seorang relawan yang bisa menyumbangkan tenaga serta waktu. Di sini juga aku bisa belajar banyak hal. Belajar segala hal yang tidak bisa dijelaskan oleh teori saja. Belajar tentang bersyukur, singkat namun sangat sulit untuk dipahami.
Sebelum mengenal AAT, aku selalu merasa bahwa nasibku sangat buruk jika dibandingkan dengan teman-teman sebayaku. Terlahir dari keluarga sederhana, orang tua yang bercerai sejak aku kecil, tinggal jauh dari orang tua, sangat banyak yang menjadikanku alasan bahwa hidup ini sangatlah tidak adil. Namun setelah aku mengenal AAT, bagaikan ditampar langsung oleh Tuhan. Ternyata aku masih lebih beruntung. Hingga saat ini aku masih bisa merasakan kenikmatan-kenikmatan yang selama ini tidak kusadari. Sangat berbeda jika kehidupanku dibandingkan dengan kehidupan para Anak Asuh di AAT. Setidaknya aku harus lebih bersyukur bahwa selama ini aku masih bisa bersekolah tanpa harus lelah bekerja menjadi tukang penjual majalah dan tanpa harus lelah bekerja di stasiun seperti yang dialami oleh anak-anak asuh AAT. Setidaknya aku harus lebih bersyukur bahwa aku masih bisa makan 3 kali sehari, tanpa harus lelah bekerja sepulang sekolah demi sesuap nasi untuk menyambung hidup. Lebih bersyukur bahwa setidaknya aku masih bisa tidur di atas kasur yang empuk jika dibandingkan dengan mereka yang tidur beralaskan koran. Lebih bersyukur bahwa bisa berjalan untuk berangkat ke sekolah hanya sejauh 500 meter, jika dibandingkan dengan mereka yang berjalan sejauh puluhan kilometer tanpa mengenakan alas kaki.
Banyak hal yang diajarkan secara tidak langsung oleh anak-anak asuh AAT. Seperti menemukan keluarga baru di sana. Memiliki “Mami” yang tak pernah lelah untuk memberikan wejangan, memberikan cubitan-cubitan tentang menyikapi arus hidup. Memiliki kakak-kakak yang selalu mendorong semangat untuk melayani sesama, yang selalu berteriak-teriak agar aku memiliki rasa tanggung jawab. Memiliki penasihat-penasihat yang sangat luar biasa dalam membentuk moral serta mentalku yang kurasa masih sangat lemah. Terlebih aku diberi kesempatan untuk menjadi salah satu anak asuh penerima beasiswa AAT untuk Perguruan Tinggi. Sungguh mukjizat yang sangat nyata terjadi bagi kehidupanku semenjak mengenal AAT. Meskipun keluarga baruku ini kadang terlihat sangat “galak” dan sering memberikan “tekanan”, namun itu semua ada maksudnya. Aku yakin bahwa suatu saat apapun yang telah mereka ajarkan kepadaku akan berguna di dunia luar nanti. Omelan-omelan dan wejangan dari Mami Can (Ibu Elisabeth Lies Endjang), marahan-marahan dari mas Christ, sentilan-sentilan dari kak Can (Mbak Santi Widya), dan aturan-aturan serta ketegasan dari Bruder Konrad, CSA, suatu saat nanti pasti akan sangat kurindukan meski saat ini sudah sangat lelah mendengar teriakan-teriakan dari mereka. Namun apalah jadinya diriku yang saat ini, jika 19 September 2012 yang lalu aku tidak mengenal AAT.
Sekarang tidak ada lagi Nisa yang patah semangat. Tidak ada lagi Nisa yang selalu mengeluh tentang hidup. Tidak ada lagi Nisa yang lembek untuk menghadapi dunia luar. Tidak ada lagi keluh kesah pada Tuhan, dan tidak ada lagi alasan bagiku untuk tidak bersyukur. Apalagi yang masih harus Tuhan beri untuk kita? Udara tersedia gratis bagi kita, rezeki pun selalu ada celah untuk kita terima. Semua disediakan-Nya secara gratis untuk kita. Hanya sejauh mana kita mampu memandang itu semua sebagai sebuah anugerah dari Tuhan. Semua yang terjadi di dalam hidup kita sesungguhnya adalah sebuah anugerah. Kita bahagia, senang, gembira, sedih, berduka, musibah, sakit, semua adalah anugerah dari Tuhan. Apapun yang terjadi dalam kita bukan suatu kebetulan. Tidak perlu menunggu sempurna untuk mengucapkan syukur kepada Tuhan.
Sekali lagi, terimakasih yang sebesar-besarnya khususnya untuk Bruder Konrad, CSA (Bruder Agustinus Samsari) yang telah banyak berjasa dalam mengubah kehidupan dan kepribadianku. Pertolongan Tuhan datang melalui Bruder Konrad, CSA dan seluruh Tim AAT. Terima kasih, semoga AAT bisa semakin membawa Terang bagi sesama dan semakin berkembang demi kecerdasan anak bangsa. Amin.
Annisa Wulan Andadari Staff Admin AAT Semarang [qrcode content=”https://aat.or.id/belajar-bersyukur-bersama-aat” size=”175″]