Nama saya Nataliya Isma. Awal bergabung dengan Anak-Anak Terang (AAT), saya rasa itu adalah bisikan Roh Kudus. Tidak pernah terbersit dalam hidup saya untuk bisa berbagi dalam bidang pendidikan bersama Anak-Anak Terang. Nama AAT sangat berarti dalam hidup saya. Karena dengan bergabung dengan AAT, saya bisa membawa terang untuk mereka yang mengalami kegelapan terhadap dunia pendidikan khususnya.
Berawal dari Iseng di Internet
Saat itu saya iseng-iseng mencari beasiswa di internet. Beasiswa yang ingin saya “tembak” adalah beasiswa dari pemerintah atau lembaga-lembaga lain yang biasanya dimanfaatkan oleh sebagian mahasiswa untuk menambah uang sakunya. Selama ini saya bisa kuliah juga karena dana dari orang tua asuh di Komunitas Saint Egidio. Tujuan saya adalah meringankan beban orang tua asuh saya, kalau-kalau saya mendapat beasiswa dari luar. Siapa tahu dana kuliah saya bisa dialokasikan untuk adik-adik panti yang lain.
Tidak sengaja saya menemukan website AAT, setelah saya pelajari, rupanya ini adalah komunitas yang bergerak di bidang pendidikan dengan memberikan beasiswa dan pendampingan. Saya merasa rindu bergabung dengan organisasi, karena di lingkungan kampus saya kegiatan sosial seperti ini sangat terbatas. Dalam website itu, di jelaskan bahwa kita bisa menjadi Anak Asuh (AA), Penanggung Jawab Komunitas (PJ) atau Pendamping Komunitas (PK) yang sering juga disebut sebagai Staff Admin. Saya berpikir, “Tidak apa-apalah menjadi relawan (PK), siapa tahu menambah relasi untuk masa depan nanti.“
Kemudian modal iseng juga saya SMS Pak Hadi Santono selaku Ketua Pengurus Harian Yayasan AAT Indonesia.
“Selamat siang Pak, maaf menganggu. Nama saya Nataliya Isma dari Panti Asuhan Brayat Pinuji Boro. Saat ini saya kuliah di Multimedia Training Center (MMTC) Yogyakarta. Apakah bisa mahasiswa bergabung untuk menjadi relawan AAT ? Terima Kasih.“
Dalam SMS, saya sebutkan bahwa saya berasal dari Panti Asuhan Brayat Pinnuji Boro, karena memang sejak kecil saya sudah tinggal di Panti Asuhan. Hingga saat ini, setiap akhir pekan saya pulang ke panti. Selama berakhir pekan di panti, saya membantu suster untuk mengasuh adik-adik di Panti Asuhan.
Pagi hari ketika saya bangun tidur, saya membuka pesan masuk di HP yang ternyata pesan dari Pak Hadi. Beliau menjawab, “Iya, saya tunggu di ruang Dekanat FTI UAJY Lantai 1 jam 2 nanti. Terima kasih.” Mata saya langsung bening dan saat itu juga langsung saya balas, “OKE Pak.. “
Universitas Atma Jaya Yogyakarta adalah kampus yang saya impikan. Tetapi sayangnya saya tidak bisa masuk kesana karena secara finansial terlalu mahal dan saya tidak sepintar Mbak Susan, kakak di panti saya yang mendapat beasiswa NOL RUPIAH selama 4 tahun kuliah di UAJY. Tetapi saya tetap bersyukur karena sekarang saya mendapat kesempatan kuliah di bidang penyiaran, khususnya radio dan televisi di MMTC. Dan saya sangat menikmati bidang ini. Didasari saat SMK saya sudah mengambil multimedia, jadi tidak terlalu susah untuk mengikuti beberapa mata kuliah yang ada. Itulah yang ada di pikiran saya saat pertama menginjak Kampus UAJY.
Survey yang Memberi Pelajaran Hidup
Pengalaman pertama saya survei adalah di sebuah sekolah pedesaan di sekitar Pegunungan Menoreh. Walaupun dari sebuah desa yang jarang air, letak geografisnya nempel di badan Pegunungan Menoreh dan mayoritas penduduknya adalah petani. Indah sekali pemandangan di sana.
Saat itu saya bersama beberapa teman AAT, Mbak Alma, Mbak Chika, dan Fera, berangkat menuju Kulon Progo. Tepatnya di SD Kanisius Kenalan. Sekolah ini sangat unik. Murid-muridnya memiliki semangat belajar yang tinggi. Mereka rata-rata berjalan 2 sampai 3 km dengan berjalan kaki menuju sekolah. Suasana sekolah itu, seolah membawa saya pada masa lalu saya ketika saya belum masuk di panti asuhan dan asrama, dididik bersama suster-suster OSF.
Wawancara PJ berlalu, dan tiba saatnya untuk wawancara anak asuh. Ada satu anak yang membuat saya terkejut dan tercengang. Dari data yang saya lihat dan saya perhatikan, sepertinya anak ini anak yang susah hidupnya. Rambutnya sedikit menggumpal agak merah, kulitnya hitam, tetapi badannya sedikit lebih besar dari saya. Bisa saya bilang anak ini dekil sekali.
“Namanya siapa, dek ?” tanya saya.
“Bernadeta Tari, mbak.. (bukan nama asli)”
“Dipanggil Tari ya..”
“Rumahnya masih gedek (sejenis anyaman yang terbuat dari bilah-bilah bambu yang dijadikan dinding rumah) dek?” tanya saya lagi.
“Iya, mbak,” jawabnya lirih.
“Lantainya masih tanah?” tanya saya kembali.
“Iya, mbak..”
“Kalau belajar jam berapa, dek?”
“Tidak pernah belajar mbak”
“Lho, kenapa?”
“Setelah pulang sekolah, saya membantu Mbah, mbak”
“Kalo sore-sore atau malam gitu?”
Adik itu hanya diam. Saya pun diam sambil memikirkan pertanyaan selanjutnya.
“Di rumah sudah ada lampu kan, dek?”
“Belum, mbak” jawabnya pelan.
“Hah? Terus menggunakan apa?”
“Pakai sentir Mbak (sentir adalah botol yang diberi minyak tanah dan diberi sumbu)”
Saya hanya diam. Air mata seakan ingin tumpah, tetapi tidak mungkin hal ini terjadi. Saya mencoba menarik nafas dan membuat hati ini sedikit tenang. Sekarang tahun 2013 masih ada rakyat Indonesia yang tidak punya lampu listrik sebagai alat penerangan. Saya shock, karena itu adalah masa lalu saya.
Kembali ke Masa Lalu dan Refleksi
Sebelum saya tinggal di panti asuhan bersama para suster OSF, rumah saya masih bambu, belum memakai listrik dan saya harus berjalan sekitar 2 km dari rumah menuju sekolah. Bisa dikategorikan keluarga saya adalah keluarga paling miskin di desa itu. Ejekan dari tetangga pun menjadi makanan yang biasa untuk kami. Kalau dari bapak, hal tersebut adalah hal yang biasa dan beliau tidak ambil pusing. Akan tetapi, untuk ibu saya, ejekan dari tetangga adalah sebuah beban hidup. Hal inilah yang memicu saya untuk membuktikan kepada tetangga-tetangga saya bahwa saya ingin membangun harga diri keluarga saya. Saya ingin membuktikan bahwa saya bisa kuliah, mempunyai pekerjaan yang mapan, dan mempunyai keluarga yang baik-baik.
Itulah sebabnya mengapa sampai saat ini saya masih bertahan menjadi relawan AAT. Saya pernah merasakan punya tunggakan uang sekolah sampai tidak bisa mengikuti ujian. Saya pernah menyaksikan ibu saya berjuang menjual kelapa setiap pagi ke pasar, sedikit demi sedikit ditabung, demi membayar uang sekolah saya. Menjual ayam kesayangan saya demi membayar SPP. Saya pernah menjadi mereka dan hidup susah seperti mereka. Ya, luka di masa lalu yang membuat saya memiliki hati untuk berbagi.
Tugas kampus, pekerjaan di tempat kerja, dan kegiatan lain pun terkadang menyita waktu saya sehingga tampaknya saya kurang bergerak di AAT. Saya pun manusia, terkadang merasa jenuh terhadap pekerjaan AAT. Tetapi dari hati saya yang paling dalam, luka di masa lalu itulah yang membuat saya merasa puas apabila saya bergabung dan bisa berbagi bersama AAT.
Bergabung dengan AAT banyak memberi saya pelajaran hidup dan menyadarkan bahwa saya tidak berjuang sendirian. Relawan AAT adalah ciri khas orang yang pekerja keras dan tidak mudah menyerah. Hal tersebut saya pelajari dari teman-teman AAT bahwa di luar sana masih banyak orang yang kondisinya di bawah kita. Mental berbagi dan melayani adalah hal pokok sebagai relawan AAT.
Dalam buku “The Secret of the Power” dituliskan bahwa apa yang kita beri sama dengan apa yang kita terima. Begitu juga dengan Relawan AAT … Puji Tuhan … setelah sekian lama menjadi relawan AAT, sudah dua kali saya tidak perlu membayar SPP tetap, dikarenakan mendapat beasiswa dari kampus. Saya menyakini bahwa Tuhan memberikan porsi kebahagiaan dan penderitaan kepada setiap orang itu BALANCE. Maka pesan saya untuk teman-teman AAT, tetaplah berjuang dan jangan mudah menyerah. Karena saat ini, kita sedang berada pada titik perjuangan. Pada saatnya nanti, kita akan memetik kebahagiaan yang telah kita tanam sekarang.
“Yang menanam dengan cucuran air mata akan menuai dengan sorak sorai… “
Terima kasih.
Nataliya Isma Staff Admin AAT Yogyakarta [qrcode content=”https://aat.or.id/bertemu-dengan-masa-lalu” size=”175″]