HARI itu, 8 Desember 2013, adalah hari terakhir survei sekolah dan wawancara calon anak asuh Yayasan Anak-Anak Terang (AAT) Indonesia di sekolah-sekolah wilayah eks Keresidenan Madiun. Sekolah yang mendapatkan giliran terakhir untuk disurvei ini adalah SMPK Garuda Parang, Magetan. Banyak cerita yang membuat saya senang, sedih, terharu, kagum, bahkan sampai terheran-heran.
Salah satu cerita yang membuat saya terharu dan kagum adalah cerita tentang salah satu siswi kelas VIII. Dia adalah salah satu siswi hebat yang membuat saya semakin bersyukur atas hidup ini. Wajahnya manis meskipun kulitnya terlihat gelap. Tubuhnya kecil dengan rambut panjang yang diikat rapi. Matanya lentik, bibir tipis, dan hidung yang agak mancung. Menurut saya, dia cukup cantik meskipun kulitnya hitam.
“Namanya Ayu ya, Dek?” tanya saya memulai wawancara (nama disamarkan)
“Iya, Mbak,” jawabnya dengan senyum yang terlihat tulus.
“Ayu kelas berapa?”
“Kelas delapan, Mbak,” balasnya dengan sangat sopan.
Berbicara dengan calon anak asuh AAT yang sopan itu rasanya menyenangkan sekali. Rasanya tidak sabar ingin mendengarkan cerita-cerita mereka yang seru.
“Ayu saudaranya berapa?”
“Lima, Mbak?”
“Lima?” saya sedikit kaget dan ingin bertanya lebih banyak lagi.
“Yang nomor satu kemana, Dek?” saya mulai penasaran.
“Sudah kerja, Mbak,” jawabnya pelan.
“Terus yang nomor dua?”
“Kerja juga, Mbak.”
“Yang nomor tiga?”
Dia diam dan mulai berkaca-kaca, saya pun menjadi semakin penasaran. Namun saya mencoba mengalihkan pembicaraan.
“Kamu yang nomor empat ya Dek?”
“Iya, Mbak,” jawabnya dengan mata yang masih berkaca-kaca.
“Berarti kamu masih punya adik?”
“Iya, Mbak, adik saya berumur satu setengah tahun.”
“Kakakmu yang nomor tiga ke mana ya, Dek?” saya mengulangi pertanyaan yang belum terjawab tadi dengan lebih halus.
“Kakak saya sudah meninggal, Mbak. Setahun yang lalu. Padahal dia adalah kakak saya yang paling saya sayangi. Hanya dia yang bisa mengerti saya. Saya sangat menyayanginya, Mbak.”
Airmatanya mulai tumpah. Saya mencoba menenangkannya. Setelah sudah sedikit tenang, saya mulai bertanya kembali.
“Kalau kakak boleh tahu, kakakmu meninggalnya kenapa?”
“Kakak saya meninggalnya dilindas truk, Mbak.”
“Deg..” Jantung saya rasanya berhenti berdetak, sesak, dan saya pun mulai menarik nafas dalam-dalam.
“Semenjak ditinggal kakak, kehidupan saya langsung berubah, Mbak. Selama ini yang membiayai sekolah saya adalah kakak saya yang nomor tiga. Kakak-kakak saya yang lain kurang peduli pada saya. Setelah lulus SD, kakak saya yang nomor satu dan dua bekerja sendiri-sendiri dan kini sudah berumah tangga. Kakak saya yang nomor tigalah yang bekerja demi sekolah saya. Dan setelah kepergian kakak saya, kehidupan saya hancur, Mbak”.
Dia menangis kembali. Sebisa mungkin saya menahan air mata saya. Saya tidak mau menunjukkan kesedihan saya.
“Sabar ya, Dek. Janganlah merasa hancur. Kehidupanmu masih panjang. Masih banyak hal yang bisa kamu lakukan, masih banyak yang harus kamu perjuangkan. Kepergian kakakmu pasti ada hikmahnya untuk kamu. Dan Tuhan tahu kamu adalah perempuan yang kuat. Kamu pasti bisa mengahadapi semua ini”.
“Iya, Mbak. Saya akan terus berjuang demi cita-cita saya dan demi cita-cita kakak saya”.
“Apa cita-cita kakak kamu?”
“Kakak saya ingin saya sekolah sampai SMA, Mbak. Karena itu dulu kakak saya berjuang mati-matian demi membiayai sekolah saya. Dan setelah kakak saya meninggal, saya ingin sekali mewujudkan cita-citanya. Tetapi saya tidak tahu bagaimana caranya agar saya bisa melanjutkan sekolah saya”.
“Bagaimana dengan Bapakmu, Dek? Beliau kan masih bisa membiayai kamu”
“Bapak saya hanya petani kecil, Mbak. Sawahnya cuma satu petak dan hasilnya hanya cukup untuk makan sehari-hari saja”
“Bagaimana dengan ibu kamu?”
“Ibu tidak bekerja. Di rumah mengurus adik saya”
“Berarti hanya bapakmu yang mencari nafkah?”
“Tidak, Mbak. Saya juga ikut membantu Bapak mencari nafkah”
“Lho, kamu kerja? Kerja apa, Dek?”
“Setiap pulang sekolah, saya mengumpulkan bunga Kamboja yang ada di kuburan”
“Buat apa bunga Kambojanya?”
“Buat dijual, Mbak. Biasanya saya sampai maghrib mengumpulkan bunga Kamboja. Sepulang dari mencari bunga Kamboja, saya mencari rumput untuk makan kambing nenek saya. Biasanya saya bawa senter. Malamnya, sekitar pukul sembilan, saya biasanya belajar sampai jam sebelas”
Saya tercekat dan langsung terdiam. Saya tidak bisa lagi berkata apa-apa. Sungguh, adik ini membuat saya kagum. Dengan usia yang masih terbilang remaja, ia harus mencari nafkah untuk membantu orang tuanya. Saya kira kisah seperti ini hanya ada dalam sinetron atau dalam acara televisi saja. Namun ternyata saya mendengar sendiri kisah itu dari siswi ini.
“Kamu tidak takut Dek di kuburan malam-malam? Nanti kalau kamu digigit setan gimana? Kalau ada yang loncat-loncat gimana?” lelucon saya untuk mencoba mencairkan suasana.
“Tidak, Mbak. Demi cita-cita kakak saya, saya akan terus berjuang dan tidak akan menyerah”
Saya pikir saya bisa sedikit menghiburnya dengan guyonan saya. Ternyata dia tetap berbicara dengan serius sambil mengusap air matanya.
“Biasanya sehari dapat seberapa bunga Kambojanya, Dek? Harganya berapa?” saya mulai melanjutkan pertanyaan saya.
“Sehari dapat satu kresek kecil, Mbak. Kalau sedang musim berbunga seperti ini biasanya saya dapat lebih banyak. Sampai rumah bunga-bunga itu saya jemur dan saya kumpulkan sampai satu kilogram. Setelah itu saya jual dengan harga lima puluh ribu”
“Wah, banyak dong Dek lima puluh ribu. Itu berapa hari sekali dapat lima puluh ribu?”
“Sebulan sekali, Mbak. Itu pun kalau sudah terkumpul satu kilogram”
“Haa ..! Sebulan?”
Saya hanya tertegun keheranan.
“Iya, Mbak. Dan uangnya saya berikan pada ibu untuk belanja sehari-hari”
“Mengapa tidak kamu pakai untuk uang jajan kamu saja, Dek?”
“Tidak, Mbak. Kasihan ibu. Ibu tidak bekerja dan bapak juga hanya bisa memberi uang sedikit”
“Terus bagaimana dengan uang jajanmu?”
“Saya jarang jajan. Kalaupun ingin jajan, saya akan mengambil sedikit uang dari hasil menjual bunga Kamboja. Kadang lima ratus kadang seribu”
“Uang lima ratus memang cukup untuk jajan, Dek?”
“Cukup kok Mbak. Untuk beli permen yang akan saya bagi dengan adik saya”
“Baik sekali hatimu Dek. Mbak bangga sama kamu. Jangan pernah putus asa ya. Tuhan tidak akan membuat apa yang kamu perjuangkan menjadi sia-sia”
“Iya, Mbak”
Cerita demi cerita saya dengarkan sendiri darinya. Bagaimana perjuangannya yang harus berjalan kaki kiloan meter setiap hari karena tidak punya kendaraan yang bisa dipakai, bagaimana perjuangannya yang setiap hari mengumpulkan bunga Kamboja yang hasilnya tak seberapa, bagaimana perjuangannya menghadapi kerasnya hidup, menahan kesedihan atas kepergian kakaknya yang sangat ia sayangi, menahan kekasaran bapaknya, dan menahan semua rasa sakit dalam hati dan tubuhnya. Saya sangat kagum padanya. Dia yang begitu polosnya dengan ikhlas membantu bapaknya mencari nafkah. Padahal dia sering mendapat perlakuan kasar dari bapaknya. Tetapi menurutnya, semua perlakuan kasar yang diterimanya adalah untuk kebaikan dirinya juga. Sejahat apapun bapaknya, ia tetap menyayangi kedua orang tuanya. Kebaikan hatinya yang begitu tulus itu telah membuka hati saya untuk lebih peduli lagi dan lebih bersyukur atas kehidupan ini.
“Saya yakin, nanti kamu pasti bahagia, Dek. Kamu layak mendapatkan kebahagiaan itu. Mungkin saat ini hidupmu tak seindah kilauan permata. Namun kebaikan hatimu, melebihi harumnya bunga Kamboja. Tetap semangat ya, Dek. Tuhan tidak akan membiarkanmu terus merana. Karena kuncup bunga akan mekar dan mewangi pada waktunya..” ucap saya dalam hati sembari mengingat wajah tulus Ayu, gadis manis pencari Kamboja.
Rike Kotikhah Staff Admin AAT Madiun [qrcode content=”https://aat.or.id/gadis-pemetik-kamboja” size=”175″]