Theodora Laras Wigati, itulah namaku. Tetapi, teman-teman akrab menyapaku dengan panggilan Dora. Aku berasal dari keluarga yang sederhana. Hidup sederhana kunikmati bersama kedua orang tua dan dua saudaraku di sebuah desa, daerah Lampung. Dulu ayahku masih bekerja sebagai seorang guru di perantauan, yaitu di daerah Lahat, Sumatra Selatan. Ayah rela merantau jauh meninggalkan kami demi memenuhi kebutuhan hidup kami. Tetapi ternyata ayah tidak pernah mengirim uang untuk ibu. Karena uang yang diperoleh ayah hanya cukup untuk biaya hidup ayah di perantauan. Ketika itu, ibu berinisiatif bekerja sebagai seorang penjual sayur keliling di Desa Argomulyo, Kecamatan Banjit, Lampung.
Tentang Orangtua
Waktu itu, ketika ibu menjadi penjual sayur keliling, aku masih berada di dalam kandungan. Tidak hanya itu, ibu juga rela menitipkan kakakku yang masih berumur 1 tahun pada tetanggaku, ketika ibuku berjualan. Dengan sabar dan ikhlas ibuku berkeliling dari pagi sampai siang dengan penghasilan yang tidak menentu. Itulah salah satu kehebatan yang dimiliki oleh seorang ibu. Rela berkorban untuk anak-anaknya meski dalam keadaan seburuk apapun.
Ketika aku dilahirkan, ayah belum kembali pulang. Hal itu sangat membuat hati ibu sangat sedih karena ibu melahirkan tanpa didampingi seorang suami. Setelah beberapa hari aku dilahirkan, ayah pulang ke rumah. Tetapi sedihnya, ayah terlihat tidak senang dan tidak langsung menggendong aku seperti para ayah yang lain terhadap anaknya. Kisah itu kudengar dari cerita ibu saat aku sudah duduk di bangku SMA, ketika ibu sering bertengkar dengan ayah di hadapanku.
Semenjak itu, aku menyimpan rasa benci terhadap sosok ayahku. Meski rasa benci itu tidak pernah aku tunjukkan pada ayah. Dan memang, dari kecil aku merasa kurang mendapat kasih sayang darinya. Tetapi hal itu justru menjadi motivasi untuk diriku agar menjadi anak yang lebih mandiri dan tegar.
Aku Harus Bisa Kuliah
Ketika SMP dan SMA, aku memilih sekolah di sekolah swasta Katolik karena aku ingin belajar mandiri dengan tinggal di asrama dalam bimbingan para Suster. Karena ibu mendukung dan ayah pun ikut menyetujui dukungan ibu, maka aku bersekolah di sekolah yang aku inginkan tersebut. Ibu mendukung karena ibu tidak mau anak-anaknya merasakan nasib seperti ibuku yang hanya lulusan SMP.
Dengan penuh harapan, ibu selalu berkata pada kami, “Pokoknya kalian harus bisa kuliah semua. Supaya nanti jadi orang yang lebih baik dari ibu.”
Ketika aku lulus SMA, aku teringat kata-kata ibu. Dan aku ingin sekali melanjutkan pendidikanku di salah satu perguruan tinggi swasta di Yogyakarta Jurusan Farmasi. Tetapi aku tidak berani meminta ibu untuk mewujudkan impianku, karena aku tahu biayanya besar. Dan lagi tidak hanya aku yang dibiayai untuk kuliah. Kakakku juga kuliah dan aku harus mengerti dengan keadaan keluargaku yang pas-pasan dan masih ada adikku yang baru masuk SD.
Ketika itu, aku tetap nekat meminta kepada orangtuaku untuk kuliah. Ibu pun menanyakan kira-kira biayanya. Setelah aku memberi penjelasan pada ibu, akhirnya ibu menyetujui, tetapi syaratnya aku harus berhenti sekitar setahun sembari orangtuaku mengumpulkan biayanya. Aku tak begitu saja menyetujui, aku berfikir kembali dan mencari solusinya. Aku pun searching di internet mencari Jurusan Farmasi di daerah Jawa. Aku memutuskan untuk kuliah di Akademi Farmasi Theresiana Semarang, orangtuaku pun menyetujuinya. Aku senang sekali dapat melanjutkan kuliah seperti teman-temanku yang lain. Di Akfar Theresiana inilah aku diperkenalkan dengan AAT oleh dosenku.
Mengenal AAT
Ketika itu aku bersama lima temanku yang lainya yaitu Wulan, Lensa, Naning, Natalia, dan Jenesia, diberitahu bahwa Bruder Konrad, CSA, mengajak kami untuk bergabung membantu komunitas AAT tersebut. Kami masih bingung apa itu AAT, apa saja kegiatan AAT, dan kami baru mengetahui adanya komunitas AAT, Bruder lalu memberi tahu dosen kami bahwa pada hari minggu tanggal 22 September 2013, kami diminta untuk mengikuti pengenalan tentang AAT di Deoholic Cafe. Dengan rasa semangat dan penasaran kami datang dan memperkenalkan diri masing-masing kepada para pengurus AAT dan kakak-kakak AAT.
Setelah pengenalan para pengurus dan teman-teman Pendamping Komunitas (PK), dilanjutkan pengenalan apa itu AAT, bagaimana tugas AAT, dan terutama tugas PK AAT karena kami akan masuk menjadi anggota AAT dan menjadi PK AAT. Yang paling berkesan adalah kata-kata Mami Lies yang unik yaitu “AAT membantu anak asuh yang ingin bersekolah namun tidak memiliki dana untuk membiayai uang sekolah mereka. Jadi kita harus mencari biaya dari para donatur-donatur yang baik hati untuk membantu para anak asuh AAT.” Setiap mengingatnya, aku menjadi semakin bersemangat untuk ikut membantu dan melakukan tugas sebaik mungkin.
Pertamanya kami masing bingung dengan tugasnya bagaimana. Tetapi setelah terjun dan belajar langsung mengenai tugas kami yaitu seperti survei dan mewawancarai anak asuh yang akan mendapatkan beasiswa dari AAT ini. Selain itu kami juga kami belajar tentang pengajuan proposal, pengiriman kwitansi dan bukti pembayaran SPP, serta cara menginput data anak asuh. Kami bisa menjalaninya sedikit demi sedikit. Sangat menyenangkan rasanya, karena aku bisa mendapat teman banyak dan pengalaman yang luar biasa di AAT.
Menginspirasi Lewat AAT
Tugas yang sangat berkesan buat aku adalah ketika mewawancarai adik-adik yang akan menjadi calon anak asuh AAT di SMP Salomo 3 Temanggung, pada tanggal 10 November 2013. Saat itu aku senang karena bisa bertemu dengan adik-adik yang akan aku wawancarai. Di balik keceriaan mereka semua ternyata banyak masalah yang mereka alami melebihi masalah yang aku alami selama ini. Mulai dari keluarga yang sangat tidak mampu, anak yatim, anak yatim piatu, dan ada juga yang mengalami kejadian seperti aku dulu waktu kecil ditinggal ayah pergi merantau mencari uang dan ibu mencari nafkah sendiri.
Saat itu aku teringat pengalaman diriku juga, sedih saat mendengarkan ceritanya. Ayahnya pergi ke Kalimantan meninggalkan keluarganya dan tidak pernah bisa dihubungi lagi. Ibunya pun tidak pernah mendapat kiriman uang dari ayahnya. Ibunya bekerja sebagai buruh dengan penghasilan yang tidak menentu. Adik ini juga termasuk siswa yang berprestasi karena dia mendapat nilai yang bagus dan mendapat juara ke-2. Aku bangga dengan semangat belajar adik ini. Dengan tegar ia menceritakan apa yang dialaminya selama ini.
Ternyata aku masih sangat beruntung dibanding mereka semua. Aku masih punya ayah yang tidak lagi meninggalkan keluarga demi mencari nafkah. Kehidupan keluargaku yang sekarang sudah lebih baik dibanding nasib keluarga mereka.
Tanpa aku sadari ternyata mereka menjadi inspirasiku untuk lebih menyayangi ayahku dan ingin membuang rasa benci yang pernah aku pendam. Rasa sayangku terhadap ibu semakin kuat. Dari pengalaman wawancara ini aku mengambil hikmah bahwa ternyata aku masih beruntung masih punya ayah yang mau mendidikku dan menjagaku meski bukan dengan cara seperti yang ditunjukkan ayah orang lain, tetapi dengan cara ayah sendiri, yaitu dengan tidak memanjakanku dan menjadikanku pribadi yang mandiri. Jika aku tidak mandiri dan tanpa restu ayah, aku yakin tidak akan bisa berada di sini. Semoga lewat AAT ini aku bisa menginspirasi banyak orang dan yang paling penting aku dapat berbagi kasih terhadap sesama.
“Berhentilah memikirkan masa lalu. Jalani hidup dengan penuh rasa syukur, berusaha sebaik mungkin, dan menjadi pribadi yang berguna bagi Tuhan dan sesama.”
Theodora Laras Wigati Staff Admin AAT Semarang [qrcode content=”https://aat.or.id/menginspirasi-lewat-aat” size=”175″]