Berubah untuk Berbuah

natalia

Tentang Diriku

Namaku Natalia Agassi Cristinawati. Sejak kecil aku biasa dipanggil Gessi oleh orang tua, teman dan saudaraku. Tetapi biasa juga dipanggil Natalia atau Agassi. Masa kecil kuhabiskan di sebuah kota kecil di pinggir Utara Pulau Jawa yaitu Juana. Hingga saat menginjak SMA aku meninggalkan tempat tinggalku untuk hidup di lingkungan baru di sebuah kota besar, Semarang. 19 tahun yang lalu aku dilahirkan di Pati, 24 Desember 1994. Selama hampir 5 tahun aku tinggal di Semarang dan jauh dari keluarga. Selama 5 tahun itu pula banyak cerita dan pengalaman yang berharga buat hidupku.

Orang Tua

Saat aku berumur kurang lebih satu bulan ayah pergi meninggalkanku dan ibu untuk merantau ke negeri orang untuk mencari nafkah bagi keluarga kami. Selama beberapa waktu aku tidak tahu bagaimana sosok ayahku, hingga suatu saat ayahku pulang aku tidak mengenalinya. Bahkan aku menganggapnya seperti orang asing karena sekian lama aku tak melihatnya.

Sejak kecil aku hidup bersama keluarga yang sederhana. Cinta kasih yang begitu besar aku dapatkan dari ayah, ibu, kakek, nenek dan semua keluargaku. Suatu saat ayah memutuskan untuk pulang dan tidak pergi merantau lagi. Ayah membuka usaha kuningan dengan membeli sepetak tanah dan membangun sebuah rumah sekaligus tempat usaha. Harapannya adalah ingin punya usaha sendiri dengan penghasilan yang lumayan, karena daerah kami dikenal sebagai pengrajin kuningan. Tetapi di tengah jalan usaha itu terpaksa tutup dan kami harus menjual rumah tanah milik kami.

Ketika itu mendapatkan pekerjaan sangat sulit. Ayah sudah mencoba untuk mencari pekerjaan kesana kemari namun nihil. Hingga akhirnya ayah mencoba untuk kembali merantau, tetapi gagal. Keluarga kami mengalami pergumulan hebat. Di samping kebutuhan sehari-hari yang harus dipenuhi, ada kebutuhan sekolahku, juga kebutuhan adikku yang saat itu masih kecil. Sedangkan pemasukan hampir tidak ada.

Berbagai usaha dicoba dan ayahku mendapat pekerjaan sebagai juru parkir di swalayan dekat rumah kami milik seorang temannya. Memang bukan pekerjaan yang menjanjikan waktu itu tetapi lumayan untuk menambah pemasukan keluarga kami. Setelah beberapa waktu bekerja ternyata penghasilan ayah belum mencukupi untuk kebutuhan keluarga kami. Hingga ibu memutuskan untuk berjualan makanan.

Waktu itu ibu berjualan jus buah di rumah. Aku mencoba menambah penghasilan ibu dengan menawarkan kepada teman-teman sekolahku. Kala itu aku masih duduk di kelas 4 SD. Harga jus yang ditawarkan pun sangat murah yaitu 300 rupiah dan 500 rupiah. Setelah itu ibu mencoba berjualan pepes telur ikan. Setiap pulang sekolah aku membantu ibu untuk mengolah telur ikan yang masih mentah untuk dibuat pepes. Sore harinya dengan sepeda ibu menjajakan dagangannya berkeliling desa. Terkadang aku pun ikut berjualan dengan dibonceng oleh ibu. Banyak orang yang berkomentar negatif tentang dagangan ibu tetapi dengan ikhlas ibu tetap menjalaninya. Usaha ini tak bertahan lama karena bahan baku yang sulit didapatkan. Kemudian ibu mencoba usaha menerima pesanan makanan, dengan sepeda aku mengantarkan hasil pesanan ke tempat pemesan. Terbersit rasa capek dan sedih harus melihat kedua orang tuaku bekerja keras untuk keluarga kami. Sebagai anak aku mencoba membantu sebisaku untuk meringankan mereka.

Ketika lulus SD aku sangat ingin masuk sekolah favorit di daerahku. Tetapi ada hal yang sedikit menghalangi yaitu masalah biaya. Orang tuaku sempat pesimis karena takut tidak bisa membiayai sekolahku. Tetapi aku ingin terus sekolah, aku optimis bisa menjadi salah satu murid di sekolah favorit itu. Dan Tuhan mengabulkan harapanku. Di sekolah ini aku meminta keringanan biaya SPP karena masih terlalu berat bagi orang tuaku untuk membayarnya.

Selama kurang lebih 4 tahun ayah bekerja sebagai juru parkir, akhirnya ayahku mendapat kesempatan untuk kembali bekerja di negeri orang. Hal ini dilakukan ayah karena beliau ingin anak-anaknya bisa terus sekolah hingga perguruan tinggi dan mendapatkan pekerjaan. Sudah hampir 6 tahun ayah berada disana. Baru sekali ayah pulang menemui kami setelah 3 tahun ayah di sana. Selama satu bulan ayah pulang aku hanya bisa bertemu setiap akhir minggu karena waktu itu aku masih sekolah di Semarang. Rindu selama 3 tahun hanya bisa dibayar dengan intensitas pertemuan yang singkat.

Terkadang aku merasa iri melihat teman-temanku yang bisa setiap hari bertemu dan memeluk orang tua mereka atau bahkan hanya sekedar mencium tangan mereka. Aku tak bisa sering melakukannya dan hanya bisa mencium tangan ibuku ketika aku pulang ke rumah. Aku pun hanya bisa sesekali mendengar suara ayahku lewat telepon tanpa bisa bertemu, memeluk dan mencium tangannya.

Sekolah dan Kuliah

Tinggal dan sekolah di Semarang sebenarnya bukan keinginanku, tetapi keinginan orang tuaku. Mereka ingin aku bisa berkembang menjadi orang yang lebih baik. Ingin rasanya menolak apa yang mereka mau, tetapi aku ingin membuat mereka bahagia.

Sejak tinggal di Semarang banyak hal yang aku dapatkan. Aku belajar mandiri sebagai anak kos. Belajar mengatur keuangan, belajar menjaga diri, tahu tempat baru, bertemu banyak teman dan orang baru yang belum pernah kukenal. Tentunya aku belajar menjadi orang yang lebih dewasa. Sebagian masa remajaku, kuhabiskan untuk menuntut ilmu di Semarang. Kembali lagi itu semua kulakukan demi orang tua yang selalu mendukung dan mendoakanku.

Ketika hampir lulus sekolah aku berniat untuk bekerja, untuk membantu orang tuaku. Tetapi niat itu musnah ketika aku melihat teman-temanku melanjutkan kuliah. Aku juga ingin kuliah seperti mereka tetapi aku tak tahu apakah aku bisa. Niat ingin kuliah aku utarakan kepada orang tuaku. Aku meyakinkan mereka bahwa aku akan lebih bersungguh-sungguh untuk kuliah supaya bisa mendapatkan pekerjaan yang aku inginkan.

Awalnya aku ingin masuk perguruan tinggi negeri, tetapi tidak lolos seleksi. Lalu aku mendaftar di Akademi Farmasi Theresiana dan diterima.

Di sinilah aku bertemu dan mengenal AAT

Anak Anak Terang

Perkenalan dengan AAT diawali ketika aku bersama lima temanku yaitu Wulan, Lensa, Dora, Naning dan Jenesia diberitahu oleh salah satu dosen kami (Pak Priyo) untuk bergabung dalam komunitas AAT menjadi relawan. Saat itu kami masih bertanya-tanya apa itu AAT. Mengapa kami yang dipilih dan apa yang nantinya akan kami lakukan.

Minggu, 22 Sepetember 2013 kami hadir pada pertemuan relawan AAT Semarang di Deoholic Café. Kami disambut dengan begitu baik oleh teman-teman dari AAT termasuk Mami Lies, Bruder Konrad, CSA dan Mas Christ. Saat itu satu per satu dari kami relawan baru diminta untuk berbicara mengenai mengapa kami mau bergabung di AAT. Bukan hal mudah untuk bisa berbicara didepan orang lain, yang aku rasakan saat itu adalah grogi karena harus berbicara didepan orang lain yang belum kukenal. Tetapi hal itu akan terus kuingat karena saat itulah aku mulai mengetahui dan mengenal AAT.

Setelah pengenalan AAT kami pun tahu tujuan AAT, berbagai kegiatan AAT dan tugas yang akan kami terima sebagai relawan di AAT. Bagiku semua kegiatan di AAT berkesan, karena di beberapa kegiatan aku bisa bertemu dengan teman-teman relawan dari sekertariat lain selain Semarang dan mendapatkan sesuatu yang baru yang belum pernah aku kerjakan sebelumnya.

 

Foto bersama Sahabat AAT
Foto bersama Sahabat AAT

Kegiatan pertamaku sebagai relawan adalah survey ke SMA Kanisius Yos Sudarso Boyolali bersama beberapa relawan dari Semarang. Di sana aku melakukan revisi proposal dan wawancara PJ (Penanggung Jawab). Saat itu PJ (Bu Melani) menceritakan keadaan sekolah dan murid sekolah tersebut. Sebagian besar orang tua murid bekerja sebagai buruh kayu serabutan dengan penghasilan sangat kecil yaitu Rp 10.000,00 per hari. Rumah mereka pun jauh dari sekolah sehingga memerlukan kendaraan umum untuk bisa sampai ke sekolah. Penghasilan orang tua mereka habis untuk ongkos ke sekolah dan hanya tersisa sedikit bahkan tidak cukup untuk makan. Kemiskinan membuat orang tua mereka enggan untuk menyekolahkan anaknya. Tidak semua murid bisa membayar uang SPP mereka, sehingga para guru dan karyawan di sekolah tersebut merelakan sebagian gajinya dipotong untuk membayar SPP muridnya.

Kegiatan lainnya adalah mengikuti retreat bersama seluruh relawan dari semua sekertariat AAT di Ungaran (14-15 Oktober 2013).

Salah satu kegiatan yang berkesan adalah ketika aku melakukan wawancara dengan calon anak asuh di SMP Raden Patah Semarang. Aku senang bisa bertemu dengan adik-adik yang akan aku wawancarai. Tapi lagi-lagi perasaan grogi datang ketika proses wawancara dimulai. Ada banyak cerita dari adik-adik ini mengenai keadaan keluarga mereka. Banyak dari mereka yang berasal dari keluarga kurang mampu dan membutuhkan bantuan untuk membayar biaya sekolah. Kegiatan lain yang menurut saya paling seru adalah belajar marketing dengan menawarkan merchandise AAT.

Selain menambah teman dan pengalaman, AAT memberikanku inspirasi tentang hidup bahwa di luar sana masih banyak anak-anak yang kurang beruntung yang memerlukan bantuan supaya mereka bisa terus sekolah. Banyak di antara mereka mengalami kehidupan yang kurang baik, mereka harus hidup di tengah kemiskinan yang membuat mereka tidak bisa menikmati dunia pendidikan yang seharusnya menjadi hak mereka.

Aku sangat bersyukur karena sampai saat ini aku masih bisa menikmati pendidikan di bangku kuliah, aku masih mempunyai orang tua yang utuh, mempunyai keluarga yang harmonis dan punya hidup yang lebih baik dari sebelumnya. Di sini aku belajar untuk punya tanggung jawab lebih, peduli dengan orang lain, lebih bersyukur atas hidup yang kuterima saat ini.

Bersama AAT aku ingin berubah menjadi pribadi yang lebih baik. Aku ingin belajar lebih banyak lagi bersama teman-teman relawan supaya suatu saat nanti aku bisa berbuah dan berguna bagi orang lain.

 

Natalia Agassi Cristinawati
Staf Admin AAT Semarang

* Natalia Agassi Cristinawati adalah salah satu Anak Asuh AAT tingkat Perguruan Tinggi yang juga bertugas sebagai Staff Admin AAT Semarang. Merupakan mahasiswa Program Studi Farmasi, Akademi Farmasi Theresiana Semarang, angkatan 2012.

 

[qrcode content=”https://aat.or.id/berubah-untuk-berbuah” size=”175″]

 

error

Enjoy this blog? Please spread the word :)