Agustus 2013

Kisah Relawan : SMP Pangudi Luhur Tuntang

SMP PANGUDI LUHUR (PL) Tuntang terletak di di Desa Tlogo, Kecamatan Tuntang, Kabupaten Semarang dari Salatiga lebih kurang 5 Km. Untuk menuju sekolah ini tidak sulit, hanya saja letaknya jauh dari wilayah kota Salatiga. Sepanjang perjalanan kami disuguhi oleh perkebunan karet dan buah-buahan Desa Tlogo. Kondisi sekolah saat kami kunjungi kebetulan habis direnovasi jadi terlihat bersih dan indah. Biaya renovasi ini diperoleh dari pemerintah kota Salatiga. Kepala sekolah dan guru guru di sana sangat ramah dan benar-benar perhatian pada kami.   Tidak hanya mengembangkan prestasi akademis, di bidang non-akademis SMP PL Tuntang menyediakan ekstra-kulikuler menjahit, olahraga, karawitan demi pengembangan bakat para siswa. Hasilnya juga memuaskan sebab antara tahun 2009-2010, SMP ini meraih juara dalam berbagai bidang di tingkat kota maupun tingkat propinsi. Latar Belakang Para Siswa Anak-anak yang bersekolah di SMP PL Tuntang kebanyakan tinggal bersama kakek & nenek. Mereka menuju ke sekolah dengan berjalan kaki melewati desa-desa dan perkebunan. Selain itu ada juga yang bersepeda. Para orangtua siswa bekerja di luar kota, itupun bekerja “kasar”. Ada yang bekerja sebagai kuli bangunan, PRT, penjaga toko, ataupun buruh pabrik konveksi rumahan. Beberapa ada yang tinggal bersama kakek dan neneknya sejak kecil. Pertemuan dengan orang tuanya hanya saat lebaran, itupun tidak lengkap kadang hanya ayahnya saja dan ibunya saja. Pengiriman uang sekolah juga tidak tentu sehingga perekonomian anak tersebut sangat pas-pasan dan kadang kurang. Kakek dan nenek yang sudah tua penghasilannya juga sedikit karena hanya bekerja sebagai buruh “mbiset” getah karet. Namun betapapun banyak keterbatasan, semangat anak-anak yang tinggal di Desa Tlogo sangat membuat saya “berkaca diri”. Meskipun dengan kondisi keluarga yang tidak “utuh” namun mereka mampu bersekolah dengan baik serta berprestasi. Uniknya lagi kakek dan nenek mereka kebanyakan tidak bisa membaca dan menulis. Akibatnya, saat membuat surat keterangan, sekolah perlu membantu membuatkannya. Bahkan beberapa guru datang langsung ke rumah anaknya hanya untuk mengajari kakek dan nenek dari anak tersebut untuk tanda tangan ala kadarnya. Saya juga salut dengan para guru karena mereka mau mencari anak-anak yang tidak sekolah yang hanya bekerja di kebun untuk disekolahkan. Untuk pembiaya anak-anak ini sekolah mencarikan bantuan melalui pengurus yayasan, pemerintah kota, dan betapa beruntungnya sekolah ini dapat bertemu dengan “Anak Anak Terang”. Kami sebagai penanggung jawab komunitas yang merupakan bagian dari Anak Anak Terang juga merasa beruntung dan sangat senang dapat membantu. Melalui Anak Anak Terang semoga pendidikan siswa-siswi di desa Tlogo tidak hanya sampai berhenti di sini. Foto lengkap survey, presentasi, dan wawancara calon anak asuh SMP PL Tuntang dapat dilihat melalui Galeri AAT.   Edo Prakosa Staff Admin AAT Semarang  [qrcode content=”https://aat.or.id/kisah-relawan-smp-pangudi-luhur-tuntang” size=”175″]  

Kisah Relawan : SMP Pangudi Luhur Tuntang Read More »

Kisah Relawan : SMP Theresiana Sumowono

TIM AAT SEMARANG mengunjungi SMP Theresiana Sumowono yang beralamat di Jalan Pahlawan No.18 Sumowono pada 2 Juni 2013. Nama Theresiana pasti sangatlah favorit untuk banyak orang, khususnya bagi masyarakat Semarang. Namun yang terjadi justru berbeda, meski sama-sama di bawah naungan Yayasan Bernadus, SMP Theresiana Sumowono justru merupakan sekolah yang menurut saya dan teman-teman kurang dari baik untuk sebuah sekolah. Hal ini karena letaknya yang kurang strategis, jauh dari tengah kota. Saat saya dan teman-teman berkunjung pun, kita tidak tahu di mana SMP Theresiana berada sebab tingginya rumput-rumput liar yang menghalangi akses menuju sekolah. Sesampainya di sana, kami kami mewawancarai kepala sekolah serta salah satu penanggung jawab. Wawancara Kepala Sekolah dan Penanggung Jawab adalah prosedur baku yang harus dilakukan sebelum kami melakukan wawancara dengan calon anak asuh. Tentang SMP Theresiana Sumowono Pada tahun ajaran 2013/2014 SMP Theresiana Sumowono mempunyai 12 guru dan karyawan serta 60 murid yang terdiri dari 18 murid kelas VII, 16 murid kelas VIII, serta 44 murid kelas IX. Tiap tahunnya SMP Theresiana mengalami penurunan jumlah murid. Dari yang sekitar 90 pada tahun 2011, lalu tiap tahun jumlah murid terus menurun. Penurunan ini diakibatkan kekalahan kompetisi dengan sekolah negeri yang membebaskan tidak membayar uang gedung kepada calon murid, sehingga orang tua lebih memilih menyekolahkan anaknya di sekolah tersebut. Fasilitas-fasilitas yang dimiliki oleh SMP Theresiana Sumowono memang kurang. Jumlah kelas yang dimiliki pun juga sedikit, yaitu hanya ada 5 kelas yang dapat digunakan untuk kegiatan belajar mengajar. Selain kelas yang sedikit, keterbatasan ruang guru yang kecil, jumlah komputer yang minim untuk kegiatan pembelajaran, tembok-tembok yang mulai retak, merupakan sedikit dari contoh kekuranglayakan fasilitas SMP Theresiana Sumowono. Pada tahun ajaran 2013/2014, SMP Theresiana Sumowono mengajukan 34 murid yang masih duduk di kelas VII dan kelas VIII. Kami Tim AAT segera mengenalkan Anak Anak Terang kepada murid-murid, mengajak mereka bernyanyi, dan mewawancarai satu per satu. Wawancara Rata-rata pekerjaan orang tua siswa adalah petani garapan. Sawah yang dikerjakan oleh mereka merupakan lahan milik TNI-AD yang disewakan pada masyarakat untuk digunakan sebagai tempat bercocok tanam. Banyak di antara para murid yang kami wawancarai memang keluarganya berasal dari desa. Untuk menuju ke sekolah mereka harus berjalan kaki cukup jauh, bahkan mereka menumpang mobil pick-up yang lewat sesuai dengan jurusan munuju sekolah. Ketidakmudahan transportasi ini kerap kali membuat ada yang terlambat ke sekolah. Tapi semangat untuk bersekolah, semangat mendapat ilmu, membuat mereka tidak mengurungkan niat meski apapun rintangan yang mereka hadapi. Para murid SMP Theresiana Sumowono ingin menggapai cita-cita yang mereka impikan. Setelah pulang sekolah pun terkadang siswa-siswi – didampingi oleh para guru –  mengajari adik-adik mereka yang berada di sekitar rumah, baik berhitung dan juga membaca. Selesai mewawancarai, kami memberikan sedikit snack untuk sarapan murid-murid. Meskipun tidak banyak tapi berharga sekali untuk mereka. Tak lupa juga ada Ibu Lies Endjang selaku pengurus AAT yang turut hadir memberikan motivasi-motivasi kepada para murid agar tetap semangat dengan apa yang mereka miliki sekarang. Sesudah beliau memberikan saran yang bermanfaaat, kita ajak untuk berfoto bersama sebagai kenang-kenangan sebelum pulang. Kenangan tentang semangat yang tetap menyala dalam segala keterbatasan yang mereka miliki. Setelah kunjungan kami melakukan pleno. SMP Theresiana Sumowono mendapatkan persetujuan untuk 18 anak asuh yang diterima AAT pada tahun ajaran ini.   Handy Wibowo Staff Admin AAT Semarang  [qrcode content=”https://aat.or.id/kisah-relawan-smp-theresiana-sumowono” size=”175″]  

Kisah Relawan : SMP Theresiana Sumowono Read More »

Kisah Relawan : Cepu Punya Cerita

PERJALANAN sore itu diawali dengan kecemasan kami akan tiket kereta ekonomi yang telah habis terjual. Padahal sudah jelas bahwa malam itu kami diwajibkan untuk tiba di Cepu karena Pak Michael (Kepala Sekolah SMK Katolik St. Yusuf) sudah menanti kedatangan kami. Pak Michael juga sudah mempersiapkan para muridnya untuk diwawancarai oleh team relawan AAT Semarang. Akhirnya kami memilih untuk tetap berangkat dengan Kereta Cepu Ekspress karena tak ada pilihan kereta lain. Kereta berangkat tepat pukul 17.05 WIB. Empat jam selama perjalanan kami tidak hanya duduk dan berdiam diri di atas kursi kereta api. Beberapa dari kami menghabiskan waktu dengan mengobrol tentang rencana yang akan kita kerjakan di Cepu. Ada pula yang sembari mengerjakan tugas kuliah karena kami pergi dengan membawa sejuta tugas layaknya mahasiswa pada umumnya. Singkat cerita setelah 4 jam berada di atas kereta api, kami berdelapan tiba juga di Stasiun Cepu dengan sambutan hangat oleh Bapak Michael. Selanjutnya kami diantar ke penginapan yang terletak tak jauh dari stasiun. Hanya 10 menit dengan menaiki becak. Bapak Michael adalah seorang Kepala Sekolah yang juga aktif membantu murid-muridnya yang kesulitan untuk membayar biaya sekolah. Hal ini dikarenakan beliau belum memiliki seorang putra sehingga sebagian dari rejekinya diberikan kepada para murid yang membutuhkan agar mereka dapat terus bersekolah. Presentasi dan Wawancara  Keesokan harinya kegiatan kami diawali dengan mewawancarai Penanggung Jawab dari SMK Katolik St. Yusuf, dilanjutkan dengan presentasi mengenai AAT kepada calon anak asuh. Alangkah terkejutnya kami bahwa hampir seluruh calon anak asuh yang hadir adalah lelaki. Hanya terlihat dua murid perempuan pagi itu. Banyak hal yang membuat hati kami tersentuh saat wawancara. Bagaimana tidak, kebanyakan dari mereka harus bekerja seorang diri agar dapat memiliki cukup rupiah sekedar untuk biaya makan sehari-hari. Jangankan membayar SPP, untuk membayar buku pelajaran saja mereka harus rela makan sehari satu atau kali supaya bisa menyisihkan sedikit uang guna melunasi buku. Jarak antara rumah siswa dengan sekolah sangat jauh. Ada yang mencapai 10 kilometer, padahal mereka berangkat sekolah hanya dengan bersepeda. Sedangkan yang jaraknya lebih dekat, harus berjalan kaki untuk sampai ke sekolah tersebut. Belum lagi saat banjir tiba dan sungai Bengawan meluap, mereka harus menaiki perahu terlebih dahulu lalu dilanjutkan berjalan kaki. Beberapa dari mereka ada yang hidupnya jauh dari orang tua. Mereka harus pintar-pintar mencari uang untuk biaya hidup dan biaya sekolah sebab sadar bahwa orang tua tak mempunyai cukup uang untuk kebutuhan tersebut. Namun dengan penghasilan yang sangat kecil, mereka masih tetap punya semangat yang besar untuk terus bersekolah demi cita-cita yang sangat indah : ingin membahagiakan orang tua dengan hasil yang akan mereka peroleh ketika dewasa kelak. Ternyata di balik sikap kekanak-kanakan yang terlihat di depan kami, sesungguhnya mereka memiliki jiwa berjuang yang sangat tinggi untuk tetap dapat melanjutkan sekolah. Apapun yang terjadi, mereka akan terus mengejar cita-cita itu. Setelah banyak berbincang dengan para murid dan guru, kami sempatkan diri untuk berfoto bersama dan berpamitan dengan Bapak Michael serta para guru sebelum melanjutkan perjalanan kembali menuju Stasiun Cepu. Dengan diantar beberapa guru menggunakan sepeda motor, 5 menit kemudian kami tiba di stasiun. Tepat pukul 12:25 kereta Cepu Ekspress kembali membawa kami pulang ke Semarang dengan selamat. Di atas kereta api menuju Semarang kami tak lagi hanya berdiam diri, karena harus melakukan pleno kecil mengenai wawancara yang telah dilakukan. Meski hanya perjalanan singkat, namun cukup memberikan pembelajaran bagi kami, bahwa akan ada hasil yang diperoleh ketika kita mau bekerja keras untuk mewujudkannya. Perjuangan anak-anak SMK Katolik St. Yusuf adalah salah satu perjuangan anak bangsa yang sangat nyata tentang kesesungguhan untuk dapat terus bersekolah. Mengapa kita yang telah memiliki berkat melimpah tidak membantu perjuangan mereka? Sejauh mana wujud syukur kita kepada Tuhan akan segala nikmat yang diberikan-Nya? 15 Juni 2013 Annisa Wulan Andadari Staff Admin AAT Semarang  [qrcode content=”https://aat.or.id/kisah-relawan-cepu-punya-cerita” size=”175″]  

Kisah Relawan : Cepu Punya Cerita Read More »