Januari 2014

Keajaiban dari Tuhan melalui AAT

MUKJIZAT selalu datang bila kita percaya kepada Tuhan. Itulah yang saya dapatkan, mukjizat dari Tuhan yang datang melalui Anak-Anak Terang (AAT) kepada saya. Berikut ini, saya akan sharing kepada teman-teman sekalian tentang pengalaman saya. Ketika saya duduk di bangku SMA, setiap tahun, sekolah saya mengadakan pameran pendidikan. Banyak perguruan tinggi yang ikut serta dalam pameran tersebut. banyak sekali stand-stand yang menawarkan dan mempresentasikan perguruan tinggi mereka. Teman-teman saya sangat antusias setiap tahunnya ketika diadakan pameran tersebut, karena memang latar belakang keluarga mereka yang berkecukupan sehingga membuat mereka yakin untuk memilih ke mana mereka akan melanjutkan studi mereka. Sedangkan saya hanya mengunjungi beberapa stand saja, karena saat itu ada tugas guru untuk menuliskan laporan tentang perguruan tinggi tersebut. Hingga akhirnya di tahun ketiga saya bersekolah dan hendak lulus, ketika pameran pendidikan itu diadakan kembali, dengan perasaan senang saya melihat teman-teman saya yang didampingi orang tua mereka untuk mendaftarkan diri ke sebuah perguruan yang mereka pilih. Namun di saat yang bersamaan pula, saya sedih hanya bisa melihat kegembiraan dan keantusiasan mereka karena keterbatasan biaya yang saya alami. Saya, Maria Elisabeth Roberta, kebetulan saya lahir di keluarga yang berkecukupan. Orang tua saya bekerja di bidang tekstil (batik) di bawah bimbingan nenek saya. Kemudian di tahun 2006 ketika itu saya duduk di bangku 6 SD, nenek saya meninggal dunia dikarenakan kanker lambung yang ia derita selama satu tahun. Biaya yang dikeluarkan untuk pengobatan nenek saya tidaklah sedikit, sehingga ayah saya harus berhutang kepada bank dengan jaminan rumah kami di Pekalongan. Dan pada akhirnya rumah kami disita oleh bank, di tahun yang sama ketika nenek saya meninggal. Masa itu adalah masa tersulit yang tengah dihadapi oleh ayah saya karena setelah kehilangan ibunya ia juga harus kehilangan rumah yang telah Ia tinggali selama 19 tahun. Akhirnya, kami sekeluarga pindah ke Jakarta. Ketika di Jakarta, ayah saya tidak memiliki pekerjaan. Ia berniat membuka usaha lain selain batik, tetapi segala yang Ia lakukan hanyalah sebuah niat yang tak tersalurkan. Sehingga selama 3 tahun kami tinggal di Jakarta, ayah kami tidak bekerja dan hanya mengandalkan aset yang Ia miliki. Akhirnya seluruh aset yang ayah saya miliki kini habis dan ayah pun berhutang pada saudara dari ibu saya. Ketika tahun 2009, ayah saya memutuskan untuk kembali ke Pekalongan untuk merintis batik kembali. Seketika itu juga saya dan keluarga saya kembali ke Pekalongan. Saya dan keluarga saya mengontrak di sebuah rumah kecil di Pekalongan yang setiap tahunnya selalu terkena banjir ketika musim hujan. Seiring berjalannya waktu, ketika Ayah saya merintis batik kembali, Ia mengalami kerugian yang banyak sekali sehingga mengharuskan ayah berhutang lebih banyak lagi kepada saudara dan teman-temannya. Dan akhirnya pekerjaan apapun Ayah lakoni dan menyingkirkan ego dan gengsinya. Dari menjadi supir sampai membantu tetangga kami pindahan rumah. Apapun akan Ayah kerjakan asalkan dapat menghasilkan uang, sehingga setiap bulannya Ayah kami tidak memiliki penghasilan tetap. Kakak saya pun akhirnya menunda kuliahnya selama 2 tahun untuk bekerja dan mengumpulkan uang untuk biaya kuliahnya. Ketika kakak saya bisa kuliah, Ia beberapa kali dipanggil oleh Kantor Keuangan UAJY karena tunggakan yang Ia miliki. Hingga akhirnya pada semester 4, Ia direkomendasikan oleh Pak Agus Triyogo, Kepala Kantor Keuangan UAJY untuk bergabung dengan Yayasan Anak-Anak Terang (AAT) Indonesia. Akhirnya Saya Menjadi Seorang Mahasiswi Ketika saya lulus di tahun 2012, karena saya tidak bisa melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi, saya bekerja. Awalnya saya bekerja sebagai Staff Administrasi di salah satu toko elektronik di Pekalongan. Di pertengahan tahun 2013, saya ditawari oleh ayah saya untuk bekerja di Jakarta. Karena gaji yang lebih tinggi, saya pun pindah ke Jakarta. Namun karena tekanan dari atasan saya yang begitu besar, akhirnya saya memutuskan untuk mengundurkan diri (resign) dan kembali ke Pekalongan. Sesampainya saya di Pekalongan, saya diajak kakak saya untuk mencoba mengajukan beasiswa AAT. Tuhan memang selalu datang di waktu yang tepat! Ia tidak pernah terlambat dan selalu menolong hambanya tepat pada saat saya menghadapi keputusasaan bagaimana saya akan melanjutkan studi saya. Saat itu setelah mendengarkan ajakan Kakak, saya langsung ke Jogja dan membawa berkas-berkas yang saya butuhkan untuk mendaftarkan diri ke beasiswa AAT. Besar harapan saya agar dapat lolos dalam seleksi AAT. Saya terus berdoa dan memohon kepada Tuhan agar saya dapat lolos dan mendapatkan beasiswa dari AAT, agar saya dapat mewujudkan cita-cita saya dan dapat membantu perekonomian keluarga saya bila kelak saya lulus nanti. Dan keajaiban pun terjadi, ternyata saya lulus untuk mendapatkan beasiswa AAT. AAT akhirnya membantu saya dalam melunasi tunggakan yang diperlukan agar saya dapat masuk ke universitas yang saya kehendaki. Pada bulan Agustus 2013, saya resmi menjadi mahasiswi di Sekolah Tinggi Pariwisata Ambarrukmo (STIPRAM) dan mengambil jurusan D3 Perhotelan. Walaupun saya terpaksa melewatkan masa OSPEK atau pengenalan kampus di bulan Juli, tapi saya sangat senang sekali. Dengan bantuan yang diberikan oleh AAT, saya dapat kuliah. Selain menjadi mahasiswi di STIPRAM, saya juga aktif dalam UKM Pastry setiap hari Selasa dan kegiatan senam pagi setiap hari Jumat. Tidak hanya kegiatan kampus, kegiatan lain yang saya lakukan yaitu kegiatan luar kampus, seperti mengikuti casual-casual (pekerjaan freelance di hotel) beberapa kali, tetapi tidak sering karena terkadang jadwal kuliah dengan casual sering kali bentrok. Jadi saya hanya mengikuti casual di saat saya tidak ada kelas saja. Dan juga menjadi pagar ayu di event organizer di Solo di akhir minggunya. Menjadi Staff Admin di AAT Dengan mendapatkan beasiswa dari AAT, konsekensi yang saya terima adalah selain belajar dengan rajin, saya juga harus menjadi Staff Administrasi atau biasa disebut sebagai Pendamping Komunitas (PK) di AAT. Saya sama sekali tidak terbebani dengan hal ini, karena saya juga ingin berbuat sesuatu kepada AAT yang sudah mau membantu saya dengan beasiswa yang diberikan agar saya dapat kuliah. Ketika pertama kali menjadi Staff Administrasi di AAT, awal mulanya saya cukup bingung dan beberapa kali melakukan kesalahan saat input data. Beruntung kakak-kakak pembimbing dengan penuh kesabaran selalu mengingatkan saya dan memberikan dukungan kepada saya agar saya tidak down dengan kebingungan yang saya alami. Sekitar tanggal 11 November 2013, saya bersama kakak PK lain mengadakan survei ke SMP Kanisius Gayam. Di sana banyak anak-anak yang latar belakang keluarganya juga kurang mampu, bahkan jauh di bawah saya. Ada

Keajaiban dari Tuhan melalui AAT Read More »

Bantuan Komputer untuk SMK Santo Yusuf Mejayan Madiun

Minggu, 5 Januari 2014, Yayasan Anak-Anak Terang (AAT) Indonesia memberikan bantuan 4 unit komputer dan 1 unit printer untuk SMK Santo Yusuf Mejayan Madiun. Komputer dan printer tersebut dibawa dari Semarang oleh Om Adhi, salah satu relawan AAT dari Semarang. Bantuan komputer diberikan oleh AAT karena kondisi komputer di SMK Santo Yusuf Mejayan sudah sangat memprihatinkan. Dari 5 komputer yang ada, hanya satu yang berfungsi dengan baik. Itu pun processornya masih Pentium III. Kondisi komputer yang ada saat ini menghambat proses pengajaran komputer di sekolah. Komputer yang disumbangkan adalah komputer yang bertipe Nettop (Netbook Desktop) dengan processor Dual Core AMD E350, RAM DDR3 4GB, Harddisk 320 GB, dan dengan monitor LED 16 AOC sebanyak 4 unit. Komputer ini bisa dibilang komputer canggih dengan kinerja desain grafis platform netbook. Meskipun canggih, komputer ini tidak boros listrik dan lebih ringkas karena bentuknya yang simpel. Karena pertimbangan itulah AAT memilih mini PC tersebut. Selain itu, AAT juga menyumbangkan 1 photo printer inkjet. Printer tersebut mampu mencetak dengan kecepatan hingga 4,8 ppm. Diharapkan, untuk kedepannya siswa dapat memanfaatkan komputer dan printer itu dengan semaksimal mungkin. Sebelum menuju ke Sekolah, Om Adhi singgah ke Universitas Katolik Widya Mandala Madiun untuk menemui teman lamanya yaitu Pak Anton. Pak Anton merupakan salah satu dosen Fakultas Psikologi di Universitas Widya Mandala Madiun. Dan ternyata sebelumnya, Om Adhi sudah pernah ke kampus, namun sudah bertahun-tahun lamanya, yaitu sekitar 13 tahun yang lalu. Setelah sedikit ngobrol dengan Pak Anton dan beberapa Pendamping Komunitas (PK) Madiun, Om Adhi berangkat ke sekolah SMK Santo Yusuf Mejayan dengan ditemani 3 PK yaitu Tiara, Rike, dan Novi Bria, serta 1 dosen Universitas Katolik Widya Mandala Madiun yaitu Pak Anton. Sesampainya di SMK Santo Yusuf Mejayan, Om Adhi dan kawan-kawan disambut oleh Pak Joko, Kepala Sekolah SMK Santo Yusuf Mejayan. Pak Joko hanya ditemani satu karyawan karena waktu itu hari Minggu. Mereka pun dipersilahkan masuk ke kantor. Setelah menyampaikan maksud kedatangan kami dan serah terima bantuan komputer dan printer, Pak Joko mengucapkan banyak terima kasih. Menurut Pak Joko, bantuan komputer dan printer itu sangat membantu dalam kegiatan pengajaran komputer di SMK Santo Yusuf Mejayan. Bantuan komputer seperti itu tidak hanya diberikan pada satu sekolah saja. Di tahun 2014 ini, AAT akan melanjutkan program bantuan komputer ini untuk sekolah yang benar-benar membutuhkan. Harapannya, dengan adanya komputer-komputer itu pengajaran komputer di sekolah tidak akan terhambat. Dan siswa dapat mengembangkan kreatifitasnya melalui bantuan komputer itu.   Rike Kotikhah Staff Admin AAT Madiun   [qrcode content=”https://aat.or.id/wawancara-dan-survei-smp-kanisius-raden-patah” size=”175″]  

Bantuan Komputer untuk SMK Santo Yusuf Mejayan Madiun Read More »

Wawancara dan Survei SMP Kanisius Raden Patah

Minggu, 17 November 2013 adalah hari yang berkesan dan bersejarah buat saya khususnya. Tadi pagi, tepatnya jam 10.00, kami tim Pendamping Komunitas Anak-Anak Terang (PK AAT) mengadakan survei sekolah dan wawancara calon anak asuh AAT di SMP Kanisius Raden Patah Semarang yang terletak di Jln. Raden Patah No. 163, Semarang. Ketika sampai di sana, kami disambut hangat oleh guru-guru SMP Kanisius Raden Patah Semarang. Setelah presentasi tentang AAT di depan calon anak asuh selesai, kami membuat permainan kecil yaitu mengadakan kuis yang seru lalu dilanjutkan menyanyikan Lagu AAT bersama-sama. Setelah itu, kami pun mulai mewawancarai calon Anak Asuh (AA) satu per satu. Dari mereka yang saya temui, saya menemukan banyak karakter dan sifat, tapi di sisi lain ini adalah hal yang sangat menyenangkan bagi saya karena dapat mengenal latar belakang mereka. Dari sekian banyak latar belakang dan latar kehidupan mereka yang saya ketahui, ada salah satu anak yang memiliki cerita kehidupan yang menyentuh hati dan nurani saya yang amat mendalam. Anak ini merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Kondisi keluarga yang tidak harmonis dan memprihatinkan tengah dirasakan seorang gadis kecil yang duduk di kelas 3 SMP Raden Patah ini. Ibunya meninggal kira-kira 2 tahun lalu dan di saat itu juga ayahnya pun pergi entah kemana, tanpa pamit, dan tanpa kabar. Betapa mirisnya hati saya ketika saya mendengar cerita gadis kecil yang lugu itu. Seorang ayah yang seharusnya berkewajiban menafkahi, menjaga, dan mengayomi anak-anaknya malah pergi tanpa ada kabar sampai sekarang. Anak itu saat ini tinggal bersama neneknya. Dia dan adiknya dinafkahi oleh neneknya yang berjualan kecil-kecilan di depan rumahnya. Seorang nenek yang harusnya sudah tidak bekerja lagi tapi tetap berusaha mencari nafkah demi kedua cucunya yang masih bersekolah. Dan mirisnya lagi anak ini di sekolah belum mendapat beasiswa apapun yang membantu meringankan biaya SPP-nya. Semakin tersentuh sekali hati saya mendengarnya. Setelah mendengar cerita anak ini saya berfikir bahwa dia layak mendapat beasiswa dari AAT.   Cerita selanjutnya dari gadis yang duduk di bangku kelas 3 SMP juga, dia anak ke 2 dari 4 bersaudara. Orangtuanya telah bercerai dan yang menafkahi keluarganya adalah ibunya dengan berjualan di dekat kantor POS dan menyetor-nyetorkan nasi ke sekolah adiknya. Tanggungan ibunya adalah 3 anak yang masih bersekolah dan 1 anak yang hanya lulusan SMP. Saat ini anak itu bekerja baru sebulan. Ia melakukannya karena orangtuanya bercerai dan ayahnya tidak menafkahinya lagi. Ibunya pun harus banting tulang untuk menafkahi anak-anaknya dengan segala cara. Mendengar cerita ini saya tersentuh kembali dan sangat miris hati saya. Anak ini layak juga mendapat beasiswa AAT. Cerita terakhir yang menyentuh yaitu cerita seorang anak yang harus hidup tanpa kasih sayang kedua orang tuanya. Jika anak lain, masih ditemani kedua orang tuanya saat belajar, dia tidak dapat merasakannya lagi. Kedua orang tuanya telah meninggal. Sang ayah meninggal sejak dia kecil, sedangkan ibunya, meninggal ketika dia baru duduk di bangku SMP. Yang mengurusnya sekarang adalah kakaknya. Meski memiliki 2 kakak, itu tidak menjamin dia mendapatkan kasih sayang sepenuhnya. Karena kakaknya sendiri telah berkeluarga. Di samping itu, kakaknya tidak bisa membuatkan makanan untuknya karena berangkat kerjanya pagi-pagi dan pulangnya malam hari. Terlebih lagi uang saku setiap harinya hanya Rp 5.000, itu sudah termasuk uang untuk naik angkot pulang dan uang makan selama sehari. Mungkin kalau saya di posisinya, saya hanya bersedih, tidak dapat lagi tersenyum, seakan-akan dunia telah menelan semua kegembiraan yang saya miliki. Namun anak ini berbeda, dia tetap bersemangat untuk tetap bersekolah dan tetap tersenyum, seperti tidak ada beban di pikirannya. Semangat hidupnya tetap membara meski telah dipadamkan berulang kali. Namun semua pasti ada batasnya, kita tidak tahu, sampai sejauh mana kekuatannya. Semoga ada yang tergerak hati untuk membantunya. Tidak hanya membantu dalam finansial, namun juga kasih sayang. Saya tidak dapat membayangkan bila saya berada di posisi anak ini. Jadi bersyukurlah kita yang sudah diberi kenikmatan hidup oleh Tuhan. Janganlah kalian menyia-nyiakannya. Tetaplah bersyukur bagi semuanya.   Fransisca Jenesia Staff Admin AAT Semarang   [qrcode content=”https://aat.or.id/wawancara-dan-survei-smp-kanisius-raden-patah” size=”175″]  

Wawancara dan Survei SMP Kanisius Raden Patah Read More »

Kunjungan ke SMP Yoannes XXIII

Pagi menjelang siang, sekitar pukul 09.45 WIB, kami berempat para Pendamping Komunitas Anak-Anak Terang (PK AAT) Semarang mengunjungi SMP Yoannes XXIII. Saya, Johanes, Pieter, dan Lukas sampai di tujuan sekitar pukul 10.00 WIB. Di sana kami disambut oleh Bapak Rochadi selaku Penanggung Jawab (PJ) di SMP Yoannes XIII. Kami pun langsung menuju ke tempat kelas untuk melakukan presentasi mengenai AAT kepada calon anak asuh. Waktu itu, saya yang mempresentasikan mengenai AAT dibantu oleh Pieter sebagai moderator. Saat saya mempresentasikan mengenai AAT, calon anak asuh itu duduk dengan manis sambil mendengarkan dan berusaha memahami betul apa itu AAT. Cerita tentang Salah Satu Calon Anak Asuh Setelah selesai presentasi, kami segera mewawancarai para calon anak asuh. Dan saya mendapati salah satu calon anak asuh yang menurut saya memang pantas untuk dibantu. Anak tersebut menceritakan semua kondisi keluarganya. Keluarganya numpang di rumah teman ayahnya. Ayahnya sudah tidak bekerja karena sakit, sedangkan ibunya bekerja sebagai buruh (mencuci pakaian dan menyetrika). Ternyata ayahnya mengalami penyakit gagal ginjal yang tiap minggunya harus cuci darah sebanyak dua kali. Padahal ibunya hanya memiliki penghasilan kurang dari Rp 500.000,-. Ditambah lagi, dia dan adiknya masih sekolah dan harus membayar uang sekolah. Dia merupakan anak ke 2 dari 3 bersaudara. Kakaknya sudah tamat kuliah dan yang membiayai adalah pak dhenya. Sedangkan dia dengan adiknya dibiayai ibunya.   Setiap kali berangkat ke sekolah, dia diberi uang saku Rp 5.000,- di mana yang Rp 4.000,- untuk ongkos transportasi dan Rp 1.000,- untuk jajan. Dia mengerti kondisi keuangan keluarganya bisa dibilang sangat rendah, sehingga di sekolah dia tidak makan sama sekali. Jika dia merasa lapar, dia hanya beli air minum gelas untuk mengenyangkan perutnya. Ketika saya menanyakan kenapa tidak membawa bekal saja, anak itu menjawab tidak karena dia tidak mau merepotkan ibunya. Apalagi kalau masak sendiri, dia bisa telat masuk sekolah. Dia sadar bahwa ibunya juga harus mengurusi ayahnya yang sedang sakit. Saya pernah menanyakan bagaimana ibunya bisa membayar biaya rumah sakit kalau ayahnya mau cuci darah. Dia pun menjawab kalau ibunya meminjam uang ke tetangga-tetangga. Tiap satu kali cuci darah, ibunya harus mengeluarkan uang sekitar kurang lebih Rp 600.000,- Pernah dua kali ia belum bayar SPP ketika kelas VII dan saat ini juga belum bayar SPP bulan November. Meskipun begitu, dia memiliki cita-cita yang tinggi yaitu ingin menjadi pemain basket internasional karena dia suka sekali bermain basket. Selain itu, ia juga pernah mendapatkan suatu penghargaan berupa sertifikat bela diri karena dia sudah sampai di sabuk orange. Rapat Pleno Setelah selesai wawancara semua anak, kami mengadakan rapat pleno, di mana teman-teman saya menceritakan apa saja informasi yang didapatkan pada waktu wawancara tadi. Saya mendengarkan cerita dari pengalaman teman saya saat mewawancarai calon anak tersebut. Ada yang menceritakan tentang perilaku orang tuanya yang marah-marah karena agama. Saya pun heran mengapa karena masalah agama mereka selalu bertengkar? Padahal sebelum menikah pasti mereka setuju tentang perbedaan agama yang mereka anut. Saya pun menanyakan ke teman saya yang menceritakan cerita tersebut, ”Lah trus bagaimana dengan anak ini? Dia mengikuti agama ayahnya apa ibunya? Dan kenapa ayahnya dan ibunya sering bertengkar cuma gara-gara agama?” “Ya agama anak itu ikut dengan ibunya. Tidak hanya soal agama, mereka juga sering bertengkar karena masalah ekonomi,” jawab temanku itu. Setelah itu temen saya yang lain menceritakan hasil wawancaranya tentang salah satu anak yang nakalnya bukan main. Padahal kondisi keluarganya juga tidak terlalu mewah. Ayahnya bekerja sebagai tukang tambal ban dan ibunya sebagai ibu rumah tangga. Kadang-kadang ia juga sering tidak masuk sekolah dan main ke warnet, tetapi orangtuanya tidak tahu kalau anak itu kadang-kadang tidak masuk sekolah. Namun anak ini pernah mendapat prestasi yaitu juara 3 lomba sepak bola di UNDIP pada saat masih di SD. Saya pun bilang kepada penanggung jawabnya kalau seandainya anak ini mendapatkan beasiswa dari AAT, anak ini harus berubah menjadi baik dan tidak akan bolos lagi. Jika kelakuannya masih seperti itu, beasiswanya nanti bisa dicabut. Ada juga cerita tentang orang tua calon anak asuh yang sering bertengkar karena ibunya sering berbohong. Namun sayangnya bukan saya yang mewawancarai melainkan teman saya. Saya hanya mendengar sekilas mengenai anak tersebut kalau ayahnya itu bekerja sebagai tukang pembuat saluran air minum dan ibunya sebagai ibu rumah tangga. Kadang-kadang ibunya jualan nasi pecel. Ayahnya bekerja jika ada panggilan, sedangkan kalau tidak ada panggilan ayahnya tidak bekerja. Dia anak ke-4 dari 4 bersaudara, kakak pertama sudah bekerja, kakak ke-2 masih kuliah, dan yang ke-3 masih sekolah kelas 3 SMK. Dia memiliki prestasi yaitu mendapat peringkat 1 dan juara lomba pendidikan. Ia memiliki hobi berenang dan memiliki cita-cita menjadi seorang pastur. Dari cerita-cerita anak asuh tersebut, banyak yang mempunyai kesamaan dengan kondisi keluarga saya. Sehingga setiap saya mendengarkan cerita tentang anak-anak tersebut, saya langsung ingat akan kenangan pahit yang pernah saya alami. Orang tua saya yang sering bertengkar gara-gara masalah ekonomi dan ayah saya yang dulu juga pernah menderita penyakit. Namun, kenangan-kenangan itu membuat saya bertekad untuk bisa mengubah kondisi keluarga saya agar lebih baik lagi.   Metodius Billy Sentosa Staff Admin AAT Semarang   [qrcode content=”https://aat.or.id/kunjungan-ke-smp-yoannes-xxiii” size=”175″]  

Kunjungan ke SMP Yoannes XXIII Read More »