April 2014

Learn to Life Together

PAGI ITU, 6 april 1993, lahirlah seorang bayi laki-laki. Namun, kelahirannya tidak berjalan dengan lancar. Ketika keluar dari rahim ibunya, ia tidak menangis dan tidak bernapas. Hal tersebut membuat dokter dan kedua orang tuanya panik. Segala upaya dilakukan dokter, mulai dari mengguncang tubuh si bayi, hingga memberi napas buatan, tetapi nihil yang diperoleh. Kedua orangtuanya cemas dan terus berdoa demi keselamatan anaknya. Hingga di ujung doa mereka, akhirnya Tuhan menunjukkan kuasanya. Beberapa detik setelah mereka berpasrah pada Tuhan, bayi tersebut meneriakkan tangisannya, tepat pagi hari ketika ayam berkokok. Kini, bayi tampan bermata cemerlang itu telah beranjak dewasa. Bayi yang telah dewasa itu adalah saya, Lucas Kristiawan. Nama sederhana yang berarti lahir di pagi hari. Penyangkalan Masa-masa bahagia yang saya alami sama seperti anak-anak pada umumnya. Saya dapat bermain dengan teman sebaya saya dan segala mainan yang saya inginkan dapat dipenuhi oleh kedua orang tua. Namun, masa-masa bahagia tersebut tidak bertahan lama, hingga ayah yang merupakan tulang punggung keluarga terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Ayah mengalami PHK tepat saat saya kelas 2 SMK. Kejadian itu sontak membuat saya marah kepada Tuhan. “Mengapa Kau ijinkan kejadian ini menimpa keluarga saya Tuhan?” Itulah kata-kata yang terucap saat doa malam menjelang tidur. Penyangkalan–penyangkalan itu tidak dapat hilang begitu saja di pikiran dan hati saya. Kebencian terhadap pahitnya hidup selalu meliputi hati saya. Kemarahan yang saya luapkan tak kunjung memberi hasil. Tetap saja ekonomi keluarga saya memburuk. Hidup apa adanya memaksa saya untuk dijalani. Tidak jarang saya harus makan sehari hanya dua kali. Hingga akhirnya ayah mendapat pekerjaan sebagai salesman. Untuk melanjutkan studi, saya mencoba mencari penghasilan sendiri. Pekerjaan sebagai guru privat menjadi pilihan saya, guna membantu kedua orang tua. Penghasilan dari menjadi guru privat tersebut juga saya tabung untuk melanjutkan studi ke jenjang perkuliahan. Anak-Anak Terang   Menginjak semester 4 di AKIN St. Paulus Semarang, saya dipertemukan Tuhan dengan salah seorang teman. Teman akrab yang membuat saya sadar akan nilai hidup ini. Dan teman yang selalu bersama saya, yang juga mengenalkan saya tentang Komunitas Anak-Anak Terang. Perdebatan demi perdebatan terlontar dari mulut kami berdua, hingga sampai pada salah satu argumennya yang membuat hati saya tergugah untuk masuk ke dalam Komunitas Anak-Anak Terang. “Di sana kamu dapat belajar tentang arti hidup”. Saya yang merupakan orang dengan akar kepahitan atas ketidakadilan hidup sangat tertarik dengan pernyataan teman saya tersebut. Sebulan berjalan, saya belum juga menemukan jawaban atas pertanyaan saya. Yang ada malah kejenuhan dan kebosanan yang saya temukan. Pekerjaan-pekerjaan yang dibebankannya seakan menyita waktu berharga saya. Hingga saat di mana ada kegiatan wawancara anak di SMP Agustinus Semarang. Learn to Life Together Tepat saat saya mewawancarai seorang anak yang benar-benar tidak memiliki apa apa, bahkan orang tua sekalipun. Namun, ia tetap tegar dan tidak menyalahkan Tuhan maupun orang lain. Hal itu seketika membuka belenggu kebencian dalam hati saya. Tidak berhentinya menanyakan keadaan anak tersebut saja, namun saya juga menanyakan tentang hal apa yang dapat membuatnya tegar dalam menjalani hidup seperti itu. Jawab anak ini sangat sederhana, “Meskipun tidak ada orang tua maupun harta benda yang saya miliki, namun saya memiliki ibu panti dan teman-teman panti yang senantiasa mengisi warna dalam hidup saya”. Saat itulah hati kecil saya menangis dan terbuka. Saya meminta maaf kepada Tuhan karena saya hanya melihat kelemahan yang saya miliki dan tidak pernah bersyukur dengan apa yang telah ada. Melalui Komunitas Anak-Anak Terang, telah ada satu hati yang terselamatkan. Satu hati yang belajar tentang indahnya mensyukuri segala yang ada. Belajar untuk hidup bersama, saling peduli, saling berkasih, dan saling berbagi kasih. Komunitas Anak-Anak Terang telah membimbing saya ke jalan yang benar. Menjadi relawan AAT adalah keputusan yang telah saya pilih. Melalui AAT ini, saya akan terus berkarya untuk kemajuan AAT. Masih banyak anak-anak yang membutuhkan bantuan biaya pendidikan di luar sana dan masih banyak juga tangan-tangan baik yang ingin membantu pendidikan di Indonesia. Saya berkomitmen, dengan apa yang saya miliki sekarang ini yaitu kekuatan dan keberanian, saya akan selalu membantu mengenalkan AAT ke seluruh orang-orang yang belum mengenal AAT. Semakin banyak yang mengenal, semakin banyak yang terbantu.   Lucas Kristiawan Staf Admin AAT Semarang   *Lucas Kristiawan adalah salah satu Anak Asuh AAT tingkat Perguruan Tinggi yang juga bertugas sebagai Staff Admin AAT Semarang. Merupakan mahasiswa Program Studi Teknik Kimia, Akademi Kimia Industri Santo Paulus Semarang, angkatan 2011.   [qrcode content=”https://aat.or.id/learn-to-life-together” size=”175″]  

Learn to Life Together Read More »

Tekad Penuh Semangat

“Lawan hambatan itu dan kamu harus cari jalan keluarnya.” Surakarta, 21September 1994, Tuhan telah berkarya dengan menghadirkan seorang anak perempuan dengan segala kekurangan dan kelebihan untuk hidup bersama umat-Nya di dunia ini. Dengan penuh harapan dari orang tuanya, agar anaknya menjadi orang yang bermanfaat bagi orang lain dan bagi keluarga. Dia adalah saya, Tanti Kusumawati, yang saat ini sedang menyelesaikan pendidikan S1 Program Studi Akuntansi di Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Saya anak ke-3 dari 4 bersaudara. Lahir di tengah-tengah keluarga yang sangat sederhana. Dengan kekurangan yang ada, saya mewarnai kehidupan dengan penuh syukur dan cinta. Saya gemar membaca, menyanyi, dan berolah raga. Dan saya paling senang jika mengikuti kegiatan yang bersifat sosial. Karena menurut saya berbagi itu indah. Hidup Sederhana Saat berusia 4-9 tahun saya tinggal di desa Gubug Purwodadi, tempat kelahiran ayah saya. Di sana saya tinggal bersama ibu, kakak laki-laki dan adik saya. Sedangkan ayah dan kakak perempuan tinggal di Solo bersama nenek. Satu minggu sekali, ayah menyempatkan pulang ke Purwodadi untuk berjumpa dengan kami. Memang harus terpisah seperti itu, karena untuk memenuhi kebutuhan keluarga kami. Ayah bekerja sebagai sopir truk milik paman dan ibu membuka usaha mebel di desa. Sedangkan kakak perempuan saya tinggal di Solo untuk menuntut pendidikan yang Ia inginkan. Dengan segala perbedaan, mulai dari perbedaan agama dan pendapat, membuat keluarga kami menjadi tidak harmonis. Namun, setelah usia 17 tahun kami diberi kebebasan oleh orang tua untuk memilih agama sesuai dengan keyakinan masing-masing. Kakak perempuan saya memilih agama Islam. Sedangkan kami bertiga menganut agama Katolik. Kami sudah menerima Sakramen Baptis dan Sakramen Krisma. Ibu bercita-cita agar anaknya kelak dapat menempuh pendidikan yang baik, sehingga dapat membentuk pribadi anaknya yang baik atau berakhlak mulia. Dengan segala upaya, ibu menabung untuk biaya pendidikan anak-anaknya. Saya bangga dengan ibu, karena beliau selalu mendidik kami anak-anaknya untuk hidup sederhana, menghargai sesama, dan mengajarkan kami untuk memiliki sifat yang jujur. Demi Sekolah dan Tiga Saudaraku Setelah itu, kami semua pindah ke Solo. Di Solo, kami tinggal di rumah nenek dan ibu bekerja menjadi peternak babi, yang merupakan usaha turun temurun dari nenek saya. Hampir 90% saudara-saudara saya adalah seorang peternak babi. Saat itu, paman mengajak tukar-menukar tanah warisan kakek, karena milik ibu digunakan paman untuk gudang makanan ternak. Ibu menyetujuinya dan membangun rumah di tanah tersebut atas kesepakatan keluarga. Saat saya masuk SMP, di sinilah tantangan terberat keluarga saya untuk membiayai anak-anaknya. Kami bertiga beruntut dari kelas 1-3 bersekolah di SMP yang sama yaitu SMP Regina Pacis Surakarta. Sedangkan adik masih duduk di bangku kelas 3 SD. Ibu mengembangkan usahanya guna memenuhi kebutuhan kami anak-anaknya. Sedangkan Ayah bekerja hanya untuk memenuhi kebutuhannya sendiri tanpa memikirkan keluarganya. Semua kebutuhan keluarga, ibu yang menanggungnya. Dengan kebutuhan yang besar, tabungan yang dimiliki ibu lama-lama berkurang, karena untuk membiayai pendidikan kami berempat serta kebutuhan sehari-hari. Saat saya SMA kelas 3, saya sudah diterima di Universitas Atma Jaya Yogyakarta Program Studi Akuntansi. Inilah impian saya sejak SMP. Jika saya ditanya orang akan melanjutkan pendidikan di mana, pasti saat itu saya menjawab dengan bangga, SMA Regina Pacis dan Universitas Atma Jaya Yogyakarta Program Studi Akuntansi. Kami Diusir dan Dikucilkan Inilah saat tersulit dalam hidup kami sekeluarga. Ibu mengalami kebangkrutan karena isu flu babi yang berkembang di Indonesia, hingga semua yang kami miliki terjual habis hanya menyisihkan 1 rumah saja dan juga hal itu menyebabkan keluarga kami memiliki hutang banyak. Tidak hanya itu, satu-satunya rumah yang kami tempati juga diminta paman dengan alasan tidak jadi tukar-menukar. Seketika itu, kami sekeluarga diminta pindah dan meninggalkan rumah. Hingga kami sekeluarga dipanggilkan pengacara untuk mengusir kami. Paman pun tidak mau mengganti biaya bangunan rumah yang sudah dibangun ibu. Kejadian ini berujung di persidangan. Ibu saya tidak memiliki pengacara karena keterbatasan ekonomi yang kami miliki. Ibu hanya meminta ganti rugi pembangunan rumah saja tidak lebih, tetapi paman tidak mau. Entah apa yang ada di benak paman hingga mempermalukan kami seperti ini. Setelah kejadian itu, empat bulan kemudian paman meninggal, entah apakah ini rencana Tuhan. Keluarga kami dikucilkan dalam keluarga besar Ibu karena keluarga kamilah satu-satunya yang tidak mampu. Ibu dianggap mempermalukan keluarga besarnya, karena hanya keluarga kamilah yang mengontrak rumah. Kami sudah tidak memiliki apa-apa lagi, kami hanya memiliki uang pesangon dari paman sebesar 25 juta rupiah. Uang itu langsung digunakan ibu untuk kontrak rumah selama 5 tahun. Setelah itu, pekerjaan apapun dilakukan ibu dan kami anak-anaknya. Mulai dari jualan botol, sate, dan hingga saat ini menjadi seorang penjahit. Hingga Akhirnya Mengenal AAT Saat itu, ibu dan saya bingung karena ini sudah mendekati registrasi mahasiswa baru. Dan akhirnya saya memutuskan untuk langsung mundur, tidak jadi kuliah. Namun, saya diminta dari pihak SMA saya untuk bertemu dengan rektor UAJY agar biaya kuliah saya dapat diringankan. Dengan segala proses, akhirnya kami berjumpa dengan Pak Agus Triyogo, Kepala Kantor Keuangan Universitas Atma Jaya Yogyakarta, yang memberikan dispensasi waktu untuk pembayaran uang kuliah saya. Meskipun begitu, dari dispensasi itu kami tetap saja tidak bisa membayarnya tepat waktu. Lalu, Pak Agus Triyogo meminta saya untuk mengangsur biaya kuliah dengan berapapun jumlah uang yang saya miliki. Suatu ketika, Pak Agus menghubungi saya untuk wawancara beasiswa. Pak Agus selalu menyemangati saya. Waktu itu, beliau mengenalkan saya dengan suatu yayasan pemberi beasiswa. Menurut beliau, saya cocok untuk bergabung di yayasan beasiswa itu. Dan yayasan yang dimaksud adalah AAT. Pengalaman Mereka, Inspirasiku   Dan akhirnya, pada bulan Maret 2013, saya mulai bergabung dengan AAT. Dengan kegiatan yang saya ikuti bersama AAT, semangat berbagi saya menjadi semakin tumbuh. Di saat mulai putus semangat karena jenuh akan keadaan yang saya rasakan, saya akan kembali bersemangat setiap kali bertemu dengan anak-anak asuh ketika survei. Mereka menjadi inspirasi saya untuk mencapai cita-cita saya. Dengan segala karakter dan dengan perjuangan-perjuangan mereka yang diceritakan ke saya itu, membuat saya semakin bersemangat untuk menjalani kehidupan. Survei yang berkesan untuk saya adalah saat di SD Pangudi Luhur Kalirejo dan SMA Sanjaya XIV Nanggulan. Saya bertemu dengan anak yang luar biasa. Perjuangannya membuat saya salut padanya. Hingga foto anak asuh tersebut saya tempel di buku agenda saya, karena dialah yang selalu membuat saya untuk memiliki semangat yang luar

Tekad Penuh Semangat Read More »