Suatu hari ketika kutelisik ke belakang, sesuatu yang kujalani adalah warisan kedua orang tuaku. Bila melihat anak tidak dapat melanjutkan sekolah maka hatiku serasa teriris.
Aku dibesarkan bersama ke-5 saudara kandung dan beberapa saudara yang silih berganti dibawa ayah ke rumah saat mereka ingin melanjutkan kuliah. Prinsip orang tuaku adalah menuntut ilmu setinggi mungkin tanpa memandang usia. Meski orang tuaku tergolong pegawai kecil yang gajinya tidak seberapa, namun kami dinasehati tetap melanjutkan sekolah sebagai bekal hidup. Saudara-saudara maupun anak orang lain yang tinggal di rumah kami tidak dikenai biaya kost sepeserpun asal mereka dengan tekun belajar.
Bundaku membantu ayah dengan berjualan kebutuhan sehari-hari, menerima jahitan, serta berjualan masakan. Beliau hanya sempat tidur beberapa jam saja setiap harinya. Sore hari ayah jualan kacang goreng serta jenis-jenis lain di Pasar Peterongan, dahulu disebut dengan Pasar Koplak, pasar yang buka pada sore dan malam hari. Pasar sore yang dahulu bersih dan asri bagi penjual dan pembelinya. Beliau mencari tambahan penghasilan demi uang sekolah dan kebutuhan hidup.
Meski kelelahan dalam memenuhi segala kebutuhan anak-anaknya dan anak orang lain, ayah serta bundaku tidak mengeluh di hadapan kami. Yang mengherankan adalah, ayah tidak pernah putus membawa anak orang lain ke rumah supaya mereka bisa mengenyam pendidikan yang lebih baik.
Kadang jengkel rasa hatiku melihat ini semua, sebab aku harus bekerja bertambah keras untuk membantu bundaku mencari tambahan uang guna memenuhi kebutuhan hidup. Aku anak perempuan tertua, berbadan kecil, hitam, jelek dan sakit-sakitan, masih harus jualan gorengan yang dibuat oleh bunda. Aku berjualan gorengan dari kampung ke kampung, juga disetor ke warung-warung. Jengkel, nangis, dan entah apa lagi saat itu yang kurasakan menerima dampak sikap orang tuaku yang menampung anak-anak orang lain.
”Capai tauu,” kata hati kecilku.
“Apakah mereka tidak merasakan keluhan yang selalu kupendam selama ini ya?” batinku.
Gaji Pertama dan Pengalaman Menjadi Orangtua Asuh
Tahun demi tahun berlalu dan ayahku masih mengambil anak-anak asuh tanpa kelelahan maupun bosan. Hingga suatu hari saat aku mendapatkan gaji untuk pertama kalinya, aku mengambil alih beberapa orang anak tetangga yang sudah satu tahun tidak bisa sekolah. Sangat perih kurasakan saat melihat mereka bengong di depan rumah ketika teman seusianya berangkat sekolah. Kemudian aku berada dalam situasi “terkutuk” (menurutku saat itu) warisan orang tuaku yang membuatku menjadi “pecandu” untuk memberi beasiswa bagi anak-anak orang lain secara konvensional.
Dalam memberi beasiswa, aku berinteraksi langsung dengan orang tua serta keluarga anak asuh. Aku ingin mendampingi anak-anak agar sekolah dengan benar. Namun ada yang kurang menyenangkan dengan cara ini. Seringkali uang sekolah yang aku berikan ke orang tua anak tidak dibayarkan hingga berbulan-bulan. Hal ini kuketahui saat ingin melihat raport mereka.
Karena menunggak sampai saat pembagian raport, maka buku laporan hasil belajar tersebut tidak dapat diberikan kepada siswa. Memang tidak semua orang tua bersikap seperti itu, buktinya ada juga anak-anak yang dapat aku tanggung kuliahnya hingga jenjang S1 meski nafasku tersenggal-senggal. Namun tetaplah, sikap orang tua yang seenaknya cukup membuat hatiku jengkel, sedih, hingga pada akhirnya aku memutus kesempatan sekolah bagi mereka untuk kemudian berganti ke anak lain.
Bergabung Bersama Anak Anak Terang
Sampai pada suatu hari aku mendapatkan informasi tentang komunitas yang sesuai misiku. Komunitas Anak Anak Terang (AAT). Aku sadar meski aku bukan tergolong kaya, namun “canduku” untuk memberi kesempatan calon penerus bangsa agar mendapatkan pendidikan yang layak telah menjadi kesukaanku. Bukan karena ingin dipuji, namun berharap agar suatu saat bangsa di mana aku dilahirkan, dibesarkan, akan memiliki generasi muda yang dapat meneruskan perjuangan para pendahulunya menjadi negara maju dan bersih.
Saat aku menulis goresan hidup ini, aku diberi tugas Tuhan untuk menjadi salah satu pengurus harian komunitas Anak Anak Terang. Meski kutahu hanya secuil yang mampu kulakukan dibanding pengurus lain yang masih muda belia yang memiliki peran begitu besar atas berlangsungnya komunitas ini, para pengurus yang membanting tulang untuk orang lain, yang kehilangan banyak waktu untuk diri sendiri, pengurus yang mencurahkan pikiran dan kepandaiannya dalam mencari peluang mendapatkan donatur, aku hanya bisa memberi bekal kepada pemuda-pemudi relawan AAT untuk kehidupan mereka selanjutnya. Bahwa hidup mereka sangat berharga. Berharga bagi orang lain dan diri sendiri. Berharga bagi komunitas Anak Anak Terang yang saat ini membutuhkan tenaga muda mengurus adik-adik asuh, mendampingi adik-adik yang mendapatkan beasiswa sekolah dari jenjang SD hingga SMA/SMK.
Kebahagiaanku bukan dengan emas permata. Kebahagiaanku adalah saat aku berkumpul dengan pemuda-pemudi relawan AAT yang semakin lama semakin memiliki kepribadian yang cerdas serta bertanggung jawab, mandiri dan tidak cengeng. Bersama mereka di Sekretariat Yogya, Purwokerto, Madiun, Semarang hingga Malang membuatku serasa menjadi lebih muda berpuluh tahun. Serasa aku menjadi ibu muda yang harus mengomel, memberi petuah, maupun tertawa bersama. Relawan-relawan yang menyandang status mahasiswa ini membuat hidupku penuh bunga. Aku bahagia bila para relawan dapat membawa diri serta mampu mengurus adik-adik yang menjadi tanggung jawab mereka di AAT. Menjadikan AAT sebagai komunitas beasiswa yang mampu mempertanggungjawabkan semua uang yang dipercayakan dari para donatur.
Sekarang yang kuharapkan adalah semakin banyak insan yang berkenan menjadi donatur di AAT melalui www.anakanakterang.web.id , supaya semakin banyak anak yang mendapatkan kesempatan menuntut ilmu. Harapanku agar ada bibit-bibit relawan muda yang sudah mapan dan jujur untuk berkenan bergabung bersama AAT agar kelak dapat menggantikan kami sebagai pengurus di Yayasan AAT Indonesia. Berkenan bergabung bersama AAT akan membuat hidup lebih berharga, lebih bermakna, dan berkenan di hadapan Allah.
Tetap bertahan dan bertambah besarlah Anak Anak Terang. Terima kasih atas kesempatan untuk dapat hidup bersama kalian.
Salam
Elisabeth Lies Endjang Soerjawati Pengurus Harian Yayasan AAT Indonesia [qrcode content=”https://aat.or.id/hidupku-tertambat-bersama-aat” size=”175″]