Miracle Happens

ikkampost

Delapan Tahun Lalu

Nenek saya menginap di ICU sebuah rumah sakit di Jakarta karena kanker lambung yang dideritanya. Suatu malam, papa menelepon saya dari Jakarta dan meminta saya untuk segera pulang ke Jakarta untuk menemui nenek.

“Emak mau ketemu kamu, Ka…” ucap papa lirih.

Saya yang saat itu sedang menghadapi ujian kenaikan kelas 2 SMP di Singapura, langsung memberitahu ibu kost dan guru saya mengenai apa yang terjadi. Ternyata, guru saya langsung memberikan izin malam itu juga dan ibu kost segera mengurus transportasi untuk kepulangan saya ke Jakarta. Esok paginya saya langsung menuju Jakarta. Dan sesampainya di Bandara Soekarno-Hatta, saya segera menuju ke rumah sakit. Sampai di sana, saya melihat nenek sudah sedang dalam fase kritis dan tidak sadarkan diri. Keinginannya untuk “melihat” cucu kesayangannya pun tidak tersampaikan, karena akhirnya beliau meninggal keesokan harinya.

21 Januari 2014

Malam itu, tepat pukul 21.30, saya sedang menginap di rumah seorang teman dekat. Handphone saya berdering dan memperlihatkan nama teman papa di layar handphone.

Dalam hati saya, “Ada apa ya? Kok malam-malam Om telepon?”

Akhirnya saya angkat teleponnya dengan ragu-ragu.

Dengan suara seperti tidak yakin, teman papa berkata, “Ka, papa kamu sakit. Dadanya sesak. Ini baru Om bawa ke IGD. Nanti Om kabarin lagi.” Telepon langsung ditutup.

Dengan perasaan tidak karuan, saya menunggu kabar berikutnya dari teman papa.

Teman papa kembali menelepon, “Ka, papa kamu ternyata kena serangan jantung. Sekarang mau dibawa ke ICCU. Mendingan kamu ke sini. Cari transportasi yang tercepat. Papa kamu sedang masa kritis.”

Dengan keadaan setengah tidak percaya saya menutup telepon dan segera mencari transportasi tercepat dari Yogyakarta ke Jakarta. Saya merasa terbawa ke delapan tahun yang lalu. Tidak mau membayangkan hal yang buruk terjadi, saya segera berdoa dan memohon agar Tuhan menyelamatkan Papa.

Miracle Happens

Pagi itu, pukul 10.30, keadaan jalan yang macet dan banjir membuat perjalanan dari bandara ke rumah sakit memakan waktu hingga 3 jam. Saya yang sudah gugup sejak tadi, tidak sabar untuk segera bertemu dengan papa. Namun, satpam tidak memperbolehkan saya masuk ruangan ICCU. Saya harus menunggu hingga jam besuk dibuka, yakni pukul sebelas siang.

Akhirnya, jam besuk dibuka. Saya melihat keadaan papa yang lemah terkulai di ranjang pasien dengan berbagai alat tertempel di dada, hidung, dan tangannya. Suara bip..bip.. yang konstan terdengar dari monitor di sebelahnya. Pemandangan ini merupakan hal yang sangat kontras dibanding papa yang biasanya selalu energik. Saat saya menjenguknya, papa sudah dalam keadaan sadar dan bisa sedikit berbicara.

“Papa sayang kamu,” bisik papa yang hampir tidak terdengar suaranya.

“Papa nyesel nggak bisa bahagiakan mama, kamu, dan adik-adik. Sampai nggak punya apa-apa sama sekali. Jojo mau ke Timezone, papa selalu menghindar. Mau beliin Jojo baju baru aja susahnya minta ampun!”

Beliau pun meneteskan airmata, sampai saya pun tak kuasa menahan tangis.

Saya memegang tangan papa sambil mengelus punggung tangannya seraya berkata, “Papa nggak boleh gitu. Lihat, sekarang dede sudah bisa sekolah, aku dan Elis sudah bisa kuliah dan kerja. Papa harus bangga. Jangan mikir yang enggak-enggak, Pa.”

Ya, memang dulu hidup kami bisa dikatakan sangat berkecukupan. Apapun yang saya minta, pasti dituruti. Alhasil, saya tumbuh menjadi anak egois yang harus selalu mendapatkan apa yang saya mau. Saya selalu ingin menjadi yang terbaik dan memiliki hal-hal yang terbaik pula. Saya bangga memiliki barang-barang branded dan membuang uang dengan mudahnya untuk hal yang tidak penting.

Itu dulu.. Sejak nenek sakit, kami sudah menjual berbagai aset untuk biaya pengobatan. Ditambah hutang-hutang yang besar jumlahnya, bisnis papa yang terus menurun, dan investasi saham yang sudah tidak ada nilainya, kami praktis tidak punya apa-apa. Menjalani tahun-tahun penuh kekecewaan dan penolakan diri sudah pernah saya alami.

Sekarang saya sadar bahwa hal-hal materi seperti itu tidaklah penting. Dengan keadaan kami yang sekarang ini, saya masih mempertahankan sikap ingin menjadi yang terbaik. Namun, menjadi yang terbaik tidak saya peroleh dengan merengek-rengek meminta pada orang tua. Saya memperolehnya dengan jerih payah sendiri. Saya bisa membeli tas baru dengan hasil kerja sebagai student staff di kampus. Saya bisa memberi adik saya sedikit uang jajan dari hasil bekerja di sebuah Event Organizer. Saya bangga dan saya tidak menyesali apa yang terjadi. Karena saya sadar, bahwa ini adalah jalan Tuhan untuk membuat saya dan keluarga saya menjadi pribadi yang lebih baik.

“Saya memiliki hidup yang selalu diberkati Tuhan. Mukjizat selalu terjadi di dalam hidup saya.”

Saya tidak memiliki ijazah SMP, karena tidak menyelesaikan studi di Singapura, namun tetap dapat melanjutkan pendidikan ke SMA tanpa halangan. Saya terpaksa menunda kuliah setelah SMA dan harus bekerja, namun saya bisa mendapatkan pekerjaan di sebuah perusahaan oli dengan gaji di atas rata-rata. Saya masuk kuliah dengan sudah memiliki pengalaman kerja.

Dan ketika tidak mampu membayar SPP saat kuliah, Tuhan memperkenalkan saya pada AAT. Baru-baru ini, papa saya terkena serangan jantung dan kami tidak punya apa-apa untuk membayar biaya rumah sakit. Namun, pertolongan datang bertubi-tubi dari orang-orang yang bahkan tidak saya kenal sebelumnya. Apa lagi yang perlu dikhawatirkan?

Tak Kenal, Kami Sayang

Foto bersama sahabat Anak Anak Terang
Foto bersama sahabat Anak Anak Terang

Melalui AAT, Tuhan membantu kami lewat tangan-tangan kecil orang-orang yang ada di sekitar kami yang bahkan tidak kami kenal. Bila peribahasa mengatakan, “Tak kenal maka tak sayang,” AAT akan berkata, “Tak kenal, kami sayang”. Sahabat AAT dengan ikhlas membantu kami yang tidak pernah mereka lihat apalagi kenal.

Saya hanya bisa terkagum-kagum dengan semangat para Sahabat AAT. Mereka dengan besar hati bersedia turun tangan memberikan sebagian rejekinya untuk membantu para strangers ini.

Berada di roda kehidupan yang selalu berputar, saya percaya bahwa apa yang saya alami dulu dan saat ini akan menjadi pelajaran yang berharga untuk saya kelak. Bukan menjadi orang yang selalu mengeluh, melainkan untuk selalu bersyukur. Bukan selalu khawatir akan masa depan, namun mempercayakan seluruhnya pada Tuhan.

Kami telah merasakan jatuh ke dalam lubang dan ditolong oleh tangan-tangan orang tak dikenal. Sekarang, kami sudah keluar dari lubang itu. Suatu saat, kamilah yang akan menolong orang-orang yang terjatuh. Semua itu berkat bantuan para Sahabat AAT yang sudah memberi teladan pada kami tentang indahnya berbagi. Ketika kita tulus berbagi, maka keajaiban akan datang. Miracle happens.

Semoga tulisan kecil ini bisa menjadi penyemangat dan pemberi harapan bagi kita semua.

“Janganlah kamu kuatir tentang apapun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur.” (Filipi 4: 6)

Terima kasih untuk keluarga besar Anak Anak Terang yang mengajari saya berempati, indahnya berbagi, dan selalu bersyukur. Salut!

 

Ikka Marissa Roberta*
Staf Admin AAT Yogyakarta

* Ikka Marissa Roberta adalah salah satu Anak Asuh AAT tingkat Perguruan Tinggi yang juga bertugas sebagai Staff Admin AAT Yogyakarta. Merupakan mahasiswa Program Studi Komunikasi, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, angkatan 2011.

 

 

[qrcode content=”https://aat.or.id/miracle-happens” size=”175″]