Workshop Menulis Bersama Rumah Media

Workshop Amal oleh Para Penulis “Kumcer Teenlit: Bukan Cupid” dari Rumah Media Minggu pagi, 16 Februari 2014, para relawan AAT Sekretariat Semarang tampak sibuk mempersiapkan workshop kepenulisan dengan tema “Write Your Love”. Workshop tersebut diisi oleh para penulis “Kumcer Teenlit: Bukan Cupid” dari Rumah Media. Acara yang diselenggarakan di SMK Kimia Industri, Jalan Sriwijaya (Kusumanegara) No. 104 Semarang ini dihadiri oleh para relawan AAT sekretariat Semarang, beberapa relawan dari sekretariat Yogyakarta, sekretariat Madiun, pengurus AAT, dan beberapa teman-teman dari Rumah Media. Menurut jadwal, acara dimulai tepat pukul 10 pagi. Namun, karena Mbak Ulin (pembawa acara) masih ada suatu hal, akhirnya acara baru dimulai pukul 10.45. Karena waktu semakin siang, akhirnya acara dibuka oleh Pak Wiwien Wintarto. Beliau adalah penulis, narasumber, sekaligus pegiat Rumah Media. Workshop dengan tema “Write Your Love” itu diawali dengan sambutan dari Bruder Konrad, CSA dengan gayanya yang khas. Bruder juga mengisi sambutan dengan membacakan sebuah syair cinta yang manis. Sebuah nasehat yang sangat menyentuh dan membawa kasih Tuhan di acara workshop amal semacam itu. Kala itu, bruder tidak seperti biasanya. Tangan beliau gemetaran saat menyenandungkan syair cinta tersebut. Selesai sambutan Bruder Konrad, CSA, dilanjutkan sedikit sambutan dari Pak Wiwien. “Rumah Media adalah bimbel menulis, wadah bagi siapa saja yang ingin belajar sama-sama tentang menulis karya sastra,” kata Mas Wien memulai sambutan. Rumah Media tidak hanya tempat belajar menulis, tetapi juga tempat memperdalam ketrampilan jurnalistik dan tempat untuk belajar broadcasting. Tak lama kemudian, Mbak Ulin datang. Intermezzo Mas Wien Wintarto dilanjutkan dengan perkenalkan para pengarang “Kumcer Teenlit: Bukan Cupid”. Kumcer tersebut ditulis oleh 14 pengarang. Beliau menjelaskan siapa-siapa saja pengarang didalamnya, ada Antonius Andrie, Christina Juzwar, Erlin Cahyadi, Esi Lahur, Irena Tjiunata, Janita Jaya, Lea Agustina Citra, Monica Petra, Nora Umres, Pricillia A.W, Sophie Maya, Theresa Bertha, Valleria Verawati, dan Wiwien Wintarto sendiri. Mereka adalah para penulis yang sudah melanglang buana dalam dunia tulis menulis. Penjelasan Mas Wiwien tentang Fiksionalisasi adalah materi selanjutnya. Fiksionalisasi adalah mengubah kisah nyata menjadi fiksi. Menurut penjelasan Mas Wiwien, ada 5 langkah yang dapat dilakukan untuk fiksionalisasi, yaitu : 1. Scene by Scene Yaitu membuat kisah secara runtut adegan demi adegan. 2. Rumus Hollywood Yang dimaksud Rumus Hollywood yaitu cerita yang diawali dengan perkenalan, konflik, lalu klimaks. Sama seperti Materi Bahasa Indonesia saat SMK. 3. Fluktuasi Emosi Memberi efek suasana emosional yang fluktuatif atau bahasa kerennya “labil”. Senang, tegang, sedih, dan bahagia, untuk mencampur adukkan suasana hati pembaca. 4. Efek Dramatik Menambahkan hal-hal yang sebenarnya tidak ada agar cerita tersebut memberi kesan dramatis. Menambahkan hal-hal “alay” dapat dilakukan. Sesuai selera dan imajinasi masing-masing. 5. Tokoh Fiktif Mengembangkan adegan dan menambah tokoh-tokoh yang sebenarnya tidak ada. Menurut Pak Wiwien lagi, setelah kita dapat mengarang cerita, setidaknya dapat menghasilkan sebuah cerpen, kita dapat mencoba membuat novel. Ada beberapa tips bagaimana sebuah novel saat masuk penerbit dapat memiliki peluang yang besar untuk lolos seleksi. Beberapa tips yang diberikan yaitu: 1. Enam Halaman Pertama Saat teks novel kita masuk pada bagian editor, pertanyannya, “Apakah mereka membaca seluruh bagian novel yang kita kirim?” tentu saja jawabannya “tidak”, 6 halaman pertamalah yang mereka baca. Oleh karena itu, enam halaman pertama harus dikemas semenarik mungkin. 2. Adegan Pertama Unik Memberi kesan dini pada pembaca atas karya tulis sangat berguna untuk menarik perhatian pembaca dalam membaca karya anda. 3. Langsung Action/Dialog (bukan eksposisi maupun deskripsi) Deskripsi adalah penggambaran dan eksposisi adalah penjelasan suatu hal secara terperinci. Karya yang seperti itu membuat cerita terlihat berbelit-belit. Tentu saja penjelasan hal-hal di atas juga diselingi oleh joke-joke ala Mas Wien Wintarto agar materi tidak membosankan. Dan acara selanjutnya adalah makan siang selama setengah jam. Seusai makan siang, acara diambil alih oleh Mas Aulia A. Muhammad. Pembawa acara “Ruang Cinta” di salah satu acara televisi lokal di Semarang. Sama seperti Mas Wien, beliau juga penutur bahasa yang sangat baik dan selalu ada guyonan di sela-sela pemaparan materi. Mas Aulia ini juga sudah dua kali datang di acara AAT, seperti mas Wien.   Mas Aulia menjelaskan tentang kreativitas. Yaitu suatu kemampuan untuk berimajinasi dan menghasilkan ide-ide baru dengan mengombinasikan, mengubah, atau menerapkan sesuatu yang sudah ada dengan cara yang belum ada sebelumnya. “Tanpa kreativitas, suatu karya tidak akan memiliki jiwa dan terlihat mainstream,” jelasnya. Dalam kreativitas ini yang terpenting adalah jeli melihat peluang dan memanfaatkannya. Dalam kondisi apapun, peluang selalu ada. Kesempatan yang hanya datang sekali dan sangat rugi apabila kita hanya duduk terdiam tidak berbuat apapun. Mas Aul menunjukkan kemampuan kita pada setiap peluang, entah itu menulis, menjadi pembawa acara, dan sebagainya. Ini penting. Mas Aul juga menjelaskan tentang Bejana Kreativitas, Tembok Kreativitas, dan Sembilan Pil Perangsang. Yang dibahas satu persatu. Yang pertama ada Bejana kreativitas, yang terdiri dari empat hal. 1. Motivasi Personal Yang dimaksud di sini adalah keberanian sesorang untuk menantang diri dan menjawab tantangan tersebut untuk kemajuan hidupnya. 2. Lingkungan Lingkungan sebagai pembentuk kepribadian. Saat kita hidup di lingkungan yang penuh kreativitas, kita akan berkembang didalamnya. Begitupun sebaliknya. 3. Keahlian dan Keterbukaan Ahli didapatkan dari berlatih. Dan keterbukaan dilakukan dalam menerima kritik orang lain atas bentuk karya. Hal itu akan membuat jiwa kreatif terbentuk. 4. Proses Kegagalan dan keberhasilan adalah hasil akhir. Yang ditekankan di sini adalah bagaimana cara kita dalam mencapai hal itu. Dengan berlatih, mencoba hal-hal baru, dan tentu saja berusaha semaksimal mungkin. Materi kedua adalah Tembok Kreativitas. Apa saja itu? 1. Menyangkal Masalah Saat kita memiliki masalah, kita akan cenderung bersikap “saya baik-baik saja” dihadapan orang lain. Padahal kenyataan yang terjadi adalah sebaliknya. Setiap masalah haruslah dihadapi. Berani menerima kekurangan adalah kuncinya. 2. Merasa Tak Mungkin/Bukan Aku Ketika kita melihat suatu peluang atau ditantang oleh suatu hal, banyak dari kita yang hanya diam karena kita merasa bahwa “ini bukan saya”. Karena apa? Tidak adanya kepercayaan diri sendiri bahwa kita dapat menerima tantangan itu. Saat kita mau berusaha untuk berkata “saya bisa melakukannya” dan mewujudkannya dalam aksi. Itulah memang yang seharusnya kita lakukan. 3. Ingin Terlihat Dewasa, Canggih, Tak Usil Kebanyakan orang ingin terlihat dewasa dan bersikap hati-hati di depan umum. Dunia anak misalnya, penuh kreativitas karena apa? Keluguan dan tak ada kata malu dalam kamus mereka. Mereka

Workshop Menulis Bersama Rumah Media Read More »

Nothing is Impossible

“Don’t ever let someone tell you that you can’t do something. Not, even me your father. You got a dream, you gotta protect it. When people can’t do something themselves, they’re gonna tell you that you can’t do it. You want something, GO, GET IT, PERIOD!!  (Will Smith, The Pursuit of Happiness). Pesan Will Smith untuk anaknya dalam film itu tidak jauh berbeda dengan pesan bapak saya sebelum meninggal. Bedanya hanya versi bahasanya saja. Kata-kata itulah yang selalu membuat saya semangat untuk meraih cita-cita dan percaya bahwa segala sesuatu itu mungkin dan pasti akan indah pada waktunya. * * * Nama saya Novhy, lengkapnya Marsellina Novhy Bria, mahasiswa jurusan Sastra Inggris semester 6, UNIKA Widya Mandala Madiun. Saya anak ke 3 dari 4 bersaudara. Lahir tanggal 11 November 1990 dan menghabiskan masa kecil di Baun, sebuah desa yang berjarak 20 km dari kota Kupang, Ibukota Provinsi Nusa Tenggara Timur. Bapak dan mama, panggilan saya untuk orang tua saya, bekerja sebagai petani. Tetapi, cita-cita mereka untuk menyekolahkan anak-anaknya sampai ke jenjang perguruan tinggi membuat kami selalu bersemangat untuk memberi yang terbaik. Untuk mereka, orang tua kami, melalui prestasi kami di sekolah. Semuanya berjalan dengan lancar dan baik-baik saja sampai kelas 3 SMP. Hingga menjelang UAN, bapak yang merupakan tulang punggung keluarga dan juga motivator saya meninggal dunia karena sakit. Saya merasa jauh dari cita-cita dan berpikir bahwa kuliah itu hanyalah sebuah mimpi yang tidak akan pernah bisa diraih. Tapi saya bersyukur karena mempunyai mama dan kakak yang luar biasa yang selalu membuat saya bersemangat dan termotivasi untuk melakukan hal-hal yang berguna untuk mencapai cita-cita yang saya inginkan. Setelah bapak meninggal, saya memutuskan untuk melanjutkan sekolah ke SMA Negeri 2 Kupang yang merupakan salah satu sekolah favorit saat itu. Masa SMA inilah masa di mana saya belajar menjadi pribadi yang lebih tekun, kuat, dan sabar dalam menghadapi apapun. Tahun 2008, setelah lulus SMA, saya memutuskan untuk ke Surabaya. Niat ke Surabaya bukan untuk kuliah tapi bekerja, karena yang ada dalam pikiran saya, “Saya tidak mungkin bisa kuliah, terlalu mahal.” Sejak tahun 2008-2011, saya memilih tinggal dan bekerja di Madiun, karena kota ini lebih nyaman dan tidak rumit. Selama bekerja inilah, sedikit demi sedikit, saya mengumpulkan uang untuk kuliah. Hingga akhirnya tahun 2011, nama saya pun tercatat sebagai mahasiswa Sastra Inggris di UNIKA Widya Mandala Madiun. Bangga, bahagia, dan tidak percaya karena untuk mendapat status mahasiswa, jalan yang saya lewati sangat sulit. Saya semakin percaya bahwa semua mungkin terjadi. Nothing is impossible. Awal kuliah, semua urusan administrasi masih lancar-lancar saja. Tetapi, memasuki semester ke 2, semuanya terasa lebih sulit. Karena tidak ingin menjadi beban kakak yang selama ini menjadi tulang punggung keluarga, saya pun mencoba untuk mencari beasiswa. Semester 3, saya mendapat beasiswa prestasi. Tetapi hanya untuk satu semester saja. Saat itu juga saya memutuskan untuk bekerja menjadi guru les privat anak SD dan SMP. Dan juga sebagai asisten pengajar di KUMON, salah satu tempat kursus Bahasa Inggris di Madiun. Awal Perkenalan dengan AAT Akhir semester 4 sebelum liburan akhir semester, kami calon anak asuh yang dipilih prodi di hubungi untuk mengikuti pengenalan beasiswa Anak-Anak Terang (AAT) oleh Bapak Bernardus Widodo, Wakil Rektor 3. Setelah itu, kami diminta untuk melengkapi semua persyaratan dan mengikuti seleksi wawancara bersama bruder-bruder CSA. Saat itu, saya diwawancara oleh Bruder Aleks, CSA. Banyak pertanyaan dan motivasi yang diberikan oleh Bruder dan beliau berpesan, “Nov, banyak doa ya. Ingat pulang Novena. Kita tidak pernah tahu rencana Tuhan. Siapa tahu kamu juga terpilih dapat beasiswa ini.” Saya pun mengikuti pesan Bruder dan doa saya terkabul, karena saya salah satu dari 10 penerima beasiswa Anak-Anak Terang. Bersyukur dan bersyukur. Berkat Tuhan memang luar biasa. Akhirnya, saya benar-benar bisa membuat mama dan kakak tersenyum. Anak-Anak Terang   Setelah menjadi Anak Asuh AAT, secara otomatis kami pun menjadi staff administrasi atau Pendamping Komunitas (PK) untuk sekolah-sekolah sekaresidenan Madiun yang bekerja sama dengan Yayasan AAT Indonesia. Banyak hal luar biasa yang saya dapat selama bergabung dalam AAT ini. Dari perjalanan survei dan wawancara bersama calon anak asuh, sampai pengalaman mengurus pengiriman tanda bukti penerimaan beasiswa AAT, kwitansi, dan pengiriman raport anak asuh AAT. Satu hal yang pasti, saya menjadi orang yang sangat bersyukur. Karena bisa dibilang kesulitan hidup yang saya alami tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan adik-adik yang saya wawancara. Saya belajar banyak hal dari mereka. Semangat untuk belajar, kuat dalam menghadapi tantangan, selalu tersenyum, dan selalu berpikir positif. Saat ini, walaupun harus membagi waktu antara kuliah, kerja, kegiatan kampus dan AAT, tapi saya berjanji untuk selalu memberikan yang terbaik untuk AAT. Cerita ini saya persembahkan untuk donatur yang telah membantu saya membiayai kuliah. Siapapun beliau, saya percaya Tuhan ada dalam dirinya. Suatu saat nanti, saya pasti akan melakukan hal yang sama seperti yang beliau lakukan saat ini. Untuk AAT dan untuk adik-adik asuh nantinya. Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini. Begitu pun dengan apa yang saya cita-citakan untuk AAT. Terima kasih AAT. Terima kasih Pak Hadi Santono, Pak Christ Widya, Br. Konrad, CSA, Br. Aleks, CSA, Br. Yakobus, CSA, Om Adhi, dan orang-orang baik lainnya yang tidak bisa saya sebut satu persatu. Salah satu anugerah Tuhan yang terindah dalam hidup saya adalah menjadi anggota keluarga besar Anak-Anak Terang.   Marsellina Novhy Bria Staff Admin AAT Madiun. * Marsellina Novhy Bria adalah salah satu Anak Asuh AAT tingkat Perguruan Tinggi yang juga bertugas sebagai Staff Admin AAT Madiun. Merupakan mahasiswa Program Studi Sastra Inggris, UNIKA Widya Mandala Madiun, angkatan 2011.   [qrcode content=”https://aat.or.id/nothing-is-impossible” size=”175″]  

Nothing is Impossible Read More »

Pohon Kesabaran yang Berbuah Manis    

“Pertolongan Tuhan selalu tepat pada waktunya” Menjadi Mahasiswa Menjadi seorang mahasiswa memang sudah menjadi impian saya sejak dulu. Awalnya saya memang ingin melanjutkan kuliah di salah satu perguruan tinggi negeri, tentunya itu hanya ada di luar kota Madiun. Namun keinginan saya untuk melanjutkan kuliah di luar kota tidak dikabulkan oleh kedua orang tua saya, karena semua itu membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Biaya yang dikeluarkan tidak hanya untuk kuliah, tapi juga biaya hidup di sana nantinya. Mengingat bapak saya yang hanya seorang sopir di sebuah instansi pemerintah dengan penghasilan pas-pasan dan ibu saya tidak bekerja. Akhirnya saya memutuskan untuk mendaftar di Universitas Katolik Widya Mandala Madiun. Bersyukur saya bisa melanjutkan kuliah. Bulan September 2011 perkuliahan dimulai. Awalnya menyenangkan, karena impian saya untuk kuliah tercapai. Saya merasakan menjadi seorang mahasiswa dan merasakan diajar oleh dosen. Namanya bukan lagi mata pelajaran, tapi sudah menjadi mata kuliah. Merasakan mengikuti proses belajar mengajar dengan menggunakan pakaian bebas di kelas, dengan setumpuk tugas, dan berbagai kegiatan yang ada di kampus. Ya, sangat identik dengan seorang mahasiswa. Memang berbeda sekali ketika masih di bangku sekolah. Ketika tugas mulai menumpuk, saya harus sering berkunjung ke warnet dan mengeluarkan uang lebih. Harus merepotkan sahabat serta teman-teman untuk pinjam laptop, karena waktu itu saya belum punya laptop. Semuanya demi tugas kuliah yang harus saya selesaikan. Saya Gagal dan Mencoba Lagi Satu semester terlampaui. Terbersit keinginan untuk nyambi kerja. Tapi keinginan itu hanya sebatas keinginan saja, masih belum mantap di hati saya. Di semester dua, saya mulai melihat kebingungan orang tua saya, ketika tiba waktunya untuk membayar angsuran biaya kuliah. Hal ini dikarenakan berkurangnya penghasilan sampingan bapak (carteran mobil). Selama ini, penghasilan dari carter mobil itu yang membantu keuangan keluarga kami. Akhirnya saya berusaha mencari informasi beasiswa-beasiswa yang ada di kampus. Pertengahan semester dua saya mencoba mengajukan beasiswa di kampus. Tetapi saya gagal mendapatkannya. Padahal harapan dan keyakinan saya sudah setinggi langit. Apa boleh buat, belum rejeki saya. Kemudian tak lama setelah itu ada kesempatan beasiswa lagi dan saya mencobanya lagi. Karena beasiswa ini memang sangat menggiurkan buat kami para mahasiswa. Tapi lagi-lagi saya gagal mendapatkannya. Kecewa iya, sedih iya, tapi Alhamdulillah saya masih diberi kekuatan untuk bersabar dan terus mau berusaha lagi untuk mencoba keberuntungan yang lain. Ketika menginjak semester tiga, keinginan saya untuk nyambi kerja sangat besar. Bahkan saya ingin pindah kelas malam supaya bisa bekerja penuh. Karena memang keuangan keluarga kami terus menurun dan selalu ada kekhawatiran dalam diri saya saat waktunya membayar cicilan uang kuliah. Takut-takut kalau tidak bisa membayar, tidak bisa ikut ujian, dan akhirnya berhenti kuliah. Harapannya, jika saya nyambi, saya dapat membantu meringankan beban bapak meskipun hanya sedikit. Akhirnya, saya mulai mencari informasi lowongan pekerjaan. Beberapa kali saya memasukkan lamaran, tetapi tak satu pun yang diterima. Meskipun kecewa, tapi saya masih bersabar dan terus mencari informasi. Ternyata, Tuhan telah mempersiapkan pekerjaan untuk saya di tempat lain. Mulai April 2013, saya mulai bekerja di salah satu bimbingan belajar. Saya pun masih bisa kuliah tanpa harus berpindah kelas malam. Alhamdulillah penghasilan part time job ini dapat membantu kebutuhan pribadi saya. Lagi-lagi Gagal Kesempatan beasiswa yang ketiga kalinya muncul saat saya berada di semester 4. Dan saya mencoba keberuntungan lagi, berharap kali ini bisa saya dapatkan. Tetapi sepertinya keberuntungan belum berpihak kepada saya, lagi-lagi saya gagal. Pengumuman beasiswa itu memang seperti halilintar di siang bolong yang menggoyahkan pikiran, hati, dan semangat saya. Beberapa hari saya sempat down karena saat itu bapak saya mulai pensiun dan otomatis keuangan kami akan semakin menurun. Bingung bercampur kecewa, karena tidak tahu lagi harus berbuat apa. Tetapi, untungnya Tuhan memberikan kekuatan pada saya melalui sahabat-sahabat saya yang tidak hentinya terus memberi semangat. Akhirnya kepercayaan saya tumbuh lagi. Pohon Kesabaran Selalu Berbuah Manis Tak lama kemudian, saya seperti kejatuhan durian runtuh, mendapatkan rejeki yang bisa digunakan untuk membeli laptop. Saya mendapatkan tugas dari kampus untuk menjadi LO (Liaison Officer) di acara PORPROV Jatim yang diselenggarakan di kota Madiun. Di sana saya bertugas selama kurang lebih 2 minggu dan mendapatkan gaji yang lumayan. Ya, pohon dari kesabaran selama dua tahun akhirnya berbuah juga. Akhirnya saya bisa membeli laptop. Tidak lama dari itu, saya mendapatkan informasi dari Pak Bernardus Widodo, Wakil Rektor III di kampus saya, bahwa akan ada kesempatan untuk mendapatkan beasiswa ANAK-ANAK TERANG dari Yayasan AAT Indonesia atau biasa disebut dengan AAT. Saat itulah saya mulai mengenal AAT. Informasi itu membuat saya semakin bersemangat lagi dan dengan sesegera mungkin saya melengkapi berkas-berkas persyaratan. Kemudian langkah selanjutnya saya harus diwawancarai. Saat itu, saya di wawancarai oleh Bruder Yakobus, CSA. Deg-degan di hati bercampur dengan dingin yang luar biasa, was-was menunggu giliran wawancara. Setelah masuk ruangan, saya mendapatkan berbagai pertanyaan. Saat menjawab pertanyaan dari Bruder, suasana mulai mencair, dan saya mulai merasa nyaman diwawancarai. Rasanya seperti ngobrol dengan teman sendiri. Beberapa hari kemudian, tanggal 23 Agustus 2013, saya harus wawancara kembali dengan pengurus AAT. Itu adalah persyaratan terakhir yang harus saya penuhi. Ternyata setelah mereka datang, langsung diumumkan siapa yang lolos beasiswa ini dan menjadi anak asuh AAT. Berdebar sekali rasanya, seperti jantung mau copot. Dari 30an peserta, yang lolos hanya 10 mahasiswa. Satu persatu nama yang lolos disebutkan. Dalam batin saya, “Kok nama saya nggak disebut-sebut ya.” Saya tambah nervous saat urutan nama ke-7 belum juga disebut. Sempat berpikir negatif, menghela nafas, dan terus menunggu sampai selesai. Dan ternyata nama saya disebut yang terakhir kalinya, urutan ke-10. Lega seketika, hilang rasa cemas, kecewa, yang ada hanya rasa syukur dan gembira. Dan lagi-lagi, pohon kesabaran yang saya tanam berbuah manis. Raut kegembiraan terpancar jelas dari orang tua dan keluarga saya, penantian selama dua tahun. Terima Kasih AAT   Memang pertolongan Tuhan tepat pada waktunya. Di mana September 2013, awal bapak saya harus pensiun dan saat itu juga saya mulai mendapatkan beasiswa dari AAT. Alhamdulillah beasiswa yang diberikan AAT sangat membantu meringankan beban keluarga saya, sehingga saya masih bisa melanjutkan kuliah sampai sekarang ini. Memang semuanya sudah dipersiapkan oleh-Nya. Kesabaran, kerja keras, dan pantang menyerah memang menjadi kunci dari semua impian yang ingin kita wujudkan. Tidak ada yang gratis di dunia ini, semua harus

Pohon Kesabaran yang Berbuah Manis     Read More »

Menginspirasi Lewat AAT

Theodora Laras Wigati, itulah namaku. Tetapi, teman-teman akrab menyapaku dengan panggilan Dora. Aku berasal dari keluarga yang sederhana. Hidup sederhana kunikmati bersama kedua orang tua dan dua saudaraku di sebuah desa, daerah Lampung. Dulu ayahku masih bekerja sebagai seorang guru di perantauan, yaitu di daerah Lahat, Sumatra Selatan. Ayah rela merantau jauh meninggalkan kami demi memenuhi kebutuhan hidup kami. Tetapi ternyata ayah tidak pernah mengirim uang untuk ibu. Karena uang yang diperoleh ayah hanya cukup untuk biaya hidup ayah di perantauan. Ketika itu, ibu berinisiatif bekerja sebagai seorang penjual sayur keliling di Desa Argomulyo, Kecamatan Banjit, Lampung. Tentang Orangtua Waktu itu, ketika ibu menjadi penjual sayur keliling, aku masih berada di dalam kandungan. Tidak hanya itu, ibu juga rela menitipkan kakakku yang masih berumur 1 tahun pada tetanggaku, ketika ibuku berjualan. Dengan sabar dan ikhlas ibuku berkeliling dari pagi sampai siang dengan penghasilan yang tidak menentu. Itulah salah satu kehebatan yang dimiliki oleh seorang ibu. Rela berkorban untuk anak-anaknya meski dalam keadaan seburuk apapun. Ketika aku dilahirkan, ayah belum kembali pulang. Hal itu sangat membuat hati ibu sangat sedih karena ibu melahirkan tanpa didampingi seorang suami. Setelah beberapa hari aku dilahirkan, ayah pulang ke rumah. Tetapi sedihnya, ayah terlihat tidak senang dan tidak langsung menggendong aku seperti para ayah yang lain terhadap anaknya. Kisah itu kudengar dari cerita ibu saat aku sudah duduk di bangku SMA, ketika ibu sering bertengkar dengan ayah di hadapanku. Semenjak itu, aku menyimpan rasa benci terhadap sosok ayahku. Meski rasa benci itu tidak pernah aku tunjukkan pada ayah. Dan memang, dari kecil aku merasa kurang mendapat kasih sayang darinya. Tetapi hal itu justru menjadi motivasi untuk diriku agar menjadi anak yang lebih mandiri dan tegar. Aku Harus Bisa Kuliah Ketika SMP dan SMA, aku memilih sekolah di sekolah swasta Katolik karena aku ingin belajar mandiri dengan tinggal di asrama dalam bimbingan para Suster. Karena ibu mendukung dan ayah pun ikut menyetujui dukungan ibu, maka aku bersekolah di sekolah yang aku inginkan tersebut. Ibu mendukung karena ibu tidak mau anak-anaknya merasakan nasib seperti ibuku yang hanya lulusan SMP. Dengan penuh harapan, ibu selalu berkata pada kami, “Pokoknya kalian harus bisa kuliah semua. Supaya nanti jadi orang yang lebih baik dari ibu.” Ketika aku lulus SMA, aku teringat kata-kata ibu. Dan aku ingin sekali melanjutkan pendidikanku di salah satu perguruan tinggi swasta di Yogyakarta Jurusan Farmasi. Tetapi aku tidak berani meminta ibu untuk mewujudkan impianku, karena aku tahu biayanya besar. Dan lagi tidak hanya aku yang dibiayai untuk kuliah. Kakakku juga kuliah dan aku harus mengerti dengan keadaan keluargaku yang pas-pasan dan masih ada adikku yang baru masuk SD. Ketika itu, aku tetap nekat meminta kepada orangtuaku untuk kuliah. Ibu pun menanyakan kira-kira biayanya. Setelah aku memberi penjelasan pada ibu, akhirnya ibu menyetujui, tetapi syaratnya aku harus berhenti sekitar setahun sembari orangtuaku mengumpulkan biayanya. Aku tak begitu saja menyetujui, aku berfikir kembali dan mencari solusinya. Aku pun searching di internet mencari Jurusan Farmasi di daerah Jawa. Aku memutuskan untuk kuliah di Akademi Farmasi Theresiana Semarang, orangtuaku pun menyetujuinya. Aku senang sekali dapat melanjutkan kuliah seperti teman-temanku yang lain. Di Akfar Theresiana inilah aku diperkenalkan dengan AAT oleh dosenku. Mengenal AAT Ketika itu aku bersama lima temanku yang lainya yaitu Wulan, Lensa, Naning, Natalia, dan Jenesia, diberitahu bahwa Bruder Konrad, CSA, mengajak kami untuk bergabung membantu komunitas AAT tersebut. Kami masih bingung apa itu AAT, apa saja kegiatan AAT, dan kami baru mengetahui adanya komunitas AAT, Bruder lalu memberi tahu dosen kami bahwa pada hari minggu tanggal 22 September 2013, kami diminta untuk mengikuti pengenalan tentang AAT di Deoholic Cafe. Dengan rasa semangat dan penasaran kami datang dan memperkenalkan diri masing-masing kepada para pengurus AAT dan kakak-kakak AAT. Setelah pengenalan para pengurus dan teman-teman Pendamping Komunitas (PK), dilanjutkan pengenalan apa itu AAT, bagaimana tugas AAT, dan terutama tugas PK AAT karena kami akan masuk menjadi anggota AAT dan menjadi PK AAT. Yang paling berkesan adalah kata-kata Mami Lies yang unik yaitu “AAT membantu anak asuh yang ingin bersekolah namun tidak memiliki dana untuk membiayai uang sekolah mereka. Jadi kita harus mencari biaya dari para donatur-donatur yang baik hati untuk membantu para anak asuh AAT.” Setiap mengingatnya, aku menjadi semakin bersemangat untuk ikut membantu dan melakukan tugas sebaik mungkin. Pertamanya kami masing bingung dengan tugasnya bagaimana. Tetapi setelah terjun dan belajar langsung mengenai tugas kami yaitu seperti survei dan mewawancarai anak asuh yang akan mendapatkan beasiswa dari AAT ini. Selain itu kami juga kami belajar tentang pengajuan proposal, pengiriman kwitansi dan bukti pembayaran SPP, serta cara menginput data anak asuh. Kami bisa menjalaninya sedikit demi sedikit. Sangat menyenangkan rasanya, karena aku bisa mendapat teman banyak dan pengalaman yang luar biasa di AAT. Menginspirasi Lewat AAT   Tugas yang sangat berkesan buat aku adalah ketika mewawancarai adik-adik yang akan menjadi calon anak asuh AAT di SMP Salomo 3 Temanggung, pada tanggal 10 November 2013. Saat itu aku senang karena bisa bertemu dengan adik-adik yang akan aku wawancarai. Di balik keceriaan mereka semua ternyata banyak masalah yang mereka alami melebihi masalah yang aku alami selama ini. Mulai dari keluarga yang sangat tidak mampu, anak yatim, anak yatim piatu, dan ada juga yang mengalami kejadian seperti aku dulu waktu kecil ditinggal ayah pergi merantau mencari uang dan ibu mencari nafkah sendiri. Saat itu aku teringat pengalaman diriku juga, sedih saat mendengarkan ceritanya. Ayahnya pergi ke Kalimantan meninggalkan keluarganya dan tidak pernah bisa dihubungi lagi. Ibunya pun tidak pernah mendapat kiriman uang dari ayahnya. Ibunya bekerja sebagai buruh dengan penghasilan yang tidak menentu. Adik ini juga termasuk siswa yang berprestasi karena dia mendapat nilai yang bagus dan mendapat juara ke-2. Aku bangga dengan semangat belajar adik ini. Dengan tegar ia menceritakan apa yang dialaminya selama ini. Ternyata aku masih sangat beruntung dibanding mereka semua. Aku masih punya ayah yang tidak lagi meninggalkan keluarga demi mencari nafkah. Kehidupan keluargaku yang sekarang sudah lebih baik dibanding nasib keluarga mereka. Tanpa aku sadari ternyata mereka menjadi inspirasiku untuk lebih menyayangi ayahku dan ingin membuang rasa benci yang pernah aku pendam. Rasa sayangku terhadap ibu semakin

Menginspirasi Lewat AAT Read More »

Saya Berubah Berkat AAT

“Tidak ada kata terlambat untuk berubah menjadi lebih baik.”  PERKENALKAN, Saya Edo Prakosa, relawan Yayasan Anak-Anak Terang (AAT) Indonesia Sekretariat Semarang. Saya seorang muslim, lahir di Semarang tanggal 29 Maret 1994. Saat ini, saya kuliah di AKIN (Akademi Kimia Industri) St. Paulus Semarang, Semester IV. Di AKIN, saya dipercaya sebagai ketua BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa), dan di AAT ini, saya sebagai Koordinator Sekretariat AAT Semarang. Kedua orang tua saya merupakan pekerja keras. Tiap pagi jam 4, ayah sudah bangun untuk pergi ke pasar. Beliau di pasar bekerja menata dan menjaga kendaraan, baik roda dua maupun roda empat agar tampak rapi dan terhindar dari pencurian sampai jam 7 pagi. Sore harinya, sekitar jam 3, beliau ke ruko untuk menjaga keamanan di sana sampai jam 5. Ya, penjaga keamanan yang tidak pernah memakai seragam. Ibu saya bekerja berjualan nasi dan minuman di depan ruko dengan gerobak bersama tetangga saya. Pekerjaan dibagi dua, Ibu bagian memasak dan menyiapkan yang lainnya, sedangkan tetangga saya yang berjualan. Nantinya, keuntungan tiap hari akan dibagi dua. Saya lahir di sebuah keluarga yang istimewa. Sekilas tampak dari kondisi keluarga yang harmonis dan sangat tercukupi. Namun, hal itu kadang tidak selalu benar. Kebiasaan buruk ayah saya dari muda sampai sekarang masih belum bisa dihilangkan. Karena memang ayah saya sejak kecil lahir dan hidup di lingkungan yang keras. Ayah kadang pulang dalam keadaan sempoyongan. Hal itulah yang memicu seringnya terjadi cekcok dalam keluarga saya. Berusaha sekuat tenaga untuk menyadarkan ayah, sudah saya lakukan. Tetapi masih tetap sama, tidak ada perubahan. Meskipun begitu, itu semua tetap saya hadapi dengan sabar dan kuat. Walau sebenarnya dalam hati ingin berteriak sekeras-kerasnya, karena tidak tahan melihat keadaan keluarga saya yang seperti itu. Saya Berubah Berkat AAT Semasa SMP dan SMK, saya dikenal sebagai sosok yang pendiam dan cuek. tapi kadang suka membuat teman-teman tertawa. Bahkan, saking cueknya, beberapa teman saya mengira bahwa saya seorang anak yang sombong. Padahal bagi yang sudah mengenal saya, hal itu sangat jauh berbeda. Semasa sekolah, saya belum aktif berorganisasi. Namun saya dikenal anak yang rajin dan cukup pintar. Itu kata teman-teman saya. Sebelum lulus SMK, saya sudah diterima kerja di Pabrik Cat asli Indonesia yaitu PT. Propan Raya ICC Tangerang. Saya hanya bekerja selama setahun karena ada desakan dari orang tua yang belum bisa melepas saya untuk bekerja. Akhirnya saya memutuskan untuk kuliah di AKIN St. Paulus Semarang, karena di sana banyak beasiswa prestasi yang ditawarkan dan lulusannya juga tidak kalah dengan PTN lainnya. Di AKIN St. Paulus inilah saya mulai berubah 180 derajat. Sebelum bertemu AAT, saya masih pendiam, dingin, malu tampil di depan umum, dan parahnya gaptek media sosial (buat akun facebook saja baru bulan Agustus 2012). Bulan Juni 2013 merupakan “pandangan pertama” saya dengan AAT. AAT yang multikultur yang tanpa membeda-bedakan agama, membuat saya tanpa berpikir panjang langsung mengikuti kegiatan AAT tiap akhir pekan. Hal itu berkat ajakan teman saya, Handy. Kegiatan-kegiatan di AAT seperti survei di sekolah-sekolah untuk mewawancarai calon anak asuh, yang nantinya anak tersebut akan mendapat beasiswa untuk pembayaran SPP. Kesan pertama bergabung di AAT, saya sangat senang sekali karena bisa jalan-jalan sambil berkegiatan sosial. Namun di tengah perjalanan kadang terdapat kesulitan. Meskipun begitu, AAT telah memberi saya banyak manfaat. Karena AAT yang membuat saya berani berbicara di depan umum, berani diberi tanggung jawab, dan berani menjadi pemimpin. Bimbingan, arahan, dan nasehat yang keras dari para pengurus AAT yang membuat saya seperti sekarang ini. Banyak hal yang saya dapat selama bergabung dengan AAT. Dari perubahan sikap, pengendalian emosi, pembagian waktu yang efektif, pola pikir yang lebih dewasa, dan yang terutama selalu memegang komitmen dan bertanggung jawab. Relawan AAT tidak sekedar relawan. Kami para relawan dilatih untuk menjadi seorang yang mandiri dan kelak akan menjadi bagian dari pemimpin negeri ini. Sebenarnya bukan relawan, melainkan pekerja. Pekerja sosial ! Karena selain membantu anak-anak yang kurang mampu dengan waktu dan tenaga yang dimiliki, di AAT diajarkan juga untuk memiliki target. Tentu saja target memenuhi kuota donatur bagi para anak asuh. Pengalaman Bersama AAT   Bulan Agustus dan Januari merupakan bulan tersibuk bagi semua jajaran AAT baik pengurus maupun relawan. Kenapa? Karena pada bulan tersebut terjadi suatu peristiwa paling heboh dan ramai yaitu “lelang anak”. Ingin tahu seperti apa? Ikuti saja terus kegiatan AAT melalui web AAT di www.anakanakterang.web.id ataupun sosial media AAT, bisa FB grup (Anak Anak Terang), Fanpage (Anak Anak Terang), atau Twitter @beasiswaaat. Di bulan-bulan itu para relawan dan pengurus bekerja sama mencari ratusan donatur yang nantinya akan membiayai SPP anak asuh, baik lewat jejaring sosial maupun lewat jaringan lain seperti teman kerja, teman kuliah, dan orang-orang terdekat lainnya. Jaringan AAT sangat luas, sehingga kami selalu mendapatkan banyak pertolongan dari orang-orang yang tergerak hatinya untuk membantu. Banyak tantangan dan kegiatan selama menjadi relawan AAT khususnya. Dimulai dari mengatur kegiatan survei, pencarian dana, input data anak asuh, mencari donatur, mengirim raport anak asuh, dan masih banyak lagi. Belum lagi secara tidak langsung mendapatkan ilmu public speaking, jurnalistik, dan sosial media. Seru dan menegangkan tentunya. Saya di lingkungan AAT merasa sedang masuk dalam labirin, di mana kadang kita menemukan jalan berlika-liku, buntu, dan akhirnya menemukan jalan keluar yang lain lagi. Sungguh tantangan yang luar biasa. Saya percaya setelah menguasai lika-liku labirin ini, banyak hal yang akan saya peroleh untuk bekal menjadi manusia bagi manusia lainnya, yaitu manusia yang peduli akan sekitarnya, manusia yang meyakini bahwa apa yang kita beri ke orang lain pasti juga nantinya akan kembali ke diri kita sendiri. Terima Kasih Mas Christ Widya, Mami Elisabeth Lies Endjang, Br. Conradus, CSA, yang sudah menjadi sosok penting dalam perjalanan hidup saya sekarang, nanti, dan selamanya.   Edo Prakosa* Staff Admin AAT Semarang * Edo Prakosa adalah salah satu Anak Asuh AAT tingkat Perguruan Tinggi yang juga bertugas sebagai Koordinator Sekretariat AAT Semarang. Merupakan mahasiswa Akademi Kimia Industri (AKIN) St. Paulus Semarang angkatan 2012.   [qrcode content=”https://aat.or.id/saya-berubah-berkat-aat” size=”175″]  

Saya Berubah Berkat AAT Read More »

Meskipun Berbeda tetapi Saya Bisa

“Kekurangan tidak menjadi penghalang bagiku untuk mewujudkan impian..” Saya Berbeda Nama saya Emy Prihatin, lahir di Pacitan, 31 Agustus 1994. Tempat tinggal saya di RT 01, RW 01, Dusun Krajan, Desa Wonokarto, Kecamatan Ngadirojo, Kabupaten Pacitan. Saya adalah anak tunggal yang terlahir dari keluarga yang sederhana. Saya sangat bersyukur karena keluarga sangat menyayangi saya meskipun kondisi saya yang seperti ini. Ya, saya berbeda dengan anak lainnya. Ayah saya adalah seorang petani dan ibu saya bekerja sebagai pembantu rumah tangga untuk membantu membiayai biaya hidup kami sehari-hari. Saya menimba ilmu sejak umur lima tahun. Berawal dari Taman Kanak-Kanak Dharma Wanita selama satu tahun, kemudian dilanjutkan ke SD Negeri Wonokarto I pada tahun 2000 dengan uang saku 300 sampai 500 rupiah waktu itu. Masa-masa TK dan SD bisa dibilang masa perkenalan bagi saya. Saya pun sangat minder dengan kondisi saya yang tidak seperti anak lainnya. Ketika SD sampai SMP saya sering sakit-sakitan. Sampai akhirnya waktu SMA sakit-sakitan itupun hilang. Operasi? Dulu, ketika saya masih kecil, saya sempat mau dioperasi bibir sumbing. Namun gagal karena saya demam dan menangis. Itu kata kedua orang tua saya. Kejadian tersebut waktu saya masih sangat kecil, sehingga saya tidak bisa mengingatnya. Saya teringat ketika kelas VI SD, ketika itu wali kelas memanggil di ruangan kelas, tetapi teman-teman saya sudah keluar. Saya tinggal sendiri di ruangan itu bersama dengan wali kelas. Saya pun sempat berpikir mengapa saya dipanggil? Apa mau dihukum? Saya salah apa? Pertanyaan-pertanyaan itu mengganggu pikiran saya. Guru pun langsung memulai pembicaraan tanpa basa basi. “Kamu kan sudah mau ke SMP, apa kamu nggak mau operasi?” tanya guru. Saya terdiam tidak menjawab. “Apa kamu nggak malu waktu SMP nanti kalau kamu nggak operasi?” tanya guru kembali. Saya masih terdiam. Seketika saya langsung pucat dan tubuh saya mendadak dingin. Saya hanya bisa menjawab “iya” dengan semua pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan guru saya waktu itu. Tetapi, meskipun saya menjawab iya, saya tetap tidak operasi karena perasaan takut yang menyelimuti. Setelah kejadian itu, di tahun 2006 saya pun alhamdulillah lulus dengan hasil yang cukup memuaskan. Saya Berbeda tetapi Saya Bisa Dengan hasil nilai yang saya dapatkan, saya memutuskan untuk mendaftarkan diri ke SMP Negeri 2 Ngadirojo hingga akhirnya diterima dan masuk ke kelas VII A. Di SMP ini saya masih sakit-sakitan. Dengan seragam baru putih-biru, saya mulai mendapatkan teman baru. Kegiatan belajar pun dimulai dengan suasana baru. Saya mulai beradaptasi dengan hal-hal yang baru pula. Di kelas VIII, saya mulai mengikuti kegiatan ekstra kurikuler seperti PMR dan KIR (Karya Ilmiah Remaja). Selain itu, saya juga mengikuti kursus komputer di luar sekolah. Ketika kelas VIII saya hampir tertabrak sepeda motor setelah terjatuh dengan lutut luka. Menginjak kelas IX saya mulai fokus untuk belajar dalam menghadapi UAN. Akhirnya pada tahun 2009, saya lulus dengan hasil yang memuaskan. Meski tidak mendapat juara 1, namun masih bersyukur mendapatkan juara 3. Setelah lulus dari SMP saya melanjutkan sekolah di SMA Negeri 2 Ngadirojo. Saya sangat menyukai tantangan, sehingga mulai kelas X saya aktif mengikuti ekstra kurikuler Saka Bhayangkara dan Pramuka sebagai junior. Di dalam ekstra kurikuler ini saya belajar bagaimana menjadi seorang yang disiplin dan memiliki mental yang kuat. Dan alhamdulillah di SMA saya sudah tidak sakit-sakitan lagi. Dan pada tahun 2010 saya naik ke kelas XI dengan mengambil jurusan IPA. Setelah satu tahun mengikuti ekstra kurikuler Saka Bhayangkara dan Pramuka, akhirnya saya menjadi seorang senior yang akan mengajar adik kelas yang baru. Di dalam organisasi ini, saya dipercaya untuk menjadi seorang bendahara. Meskipun tidak mudah untuk menjadi seorang bendahara, tetapi saya berusaha sebaik mungkin bagaimana untuk mengelola kas yang masuk dan kas yang keluar. Dan di tahun yang sama saya terpilih menjadi anggota OSIS sebagai seksi kreativitas. Saya sangat senang, karena impian untuk menjadi anggota OSIS bisa terwujud. Kegiatan OSIS, Pramuka, dan Saka Bhayangkara pun semakin padat. Saya harus bisa membagi waktu sebaik mungkin untuk belajar mata pelajaran yang diajarkan di sekolah. Di pertengahan kelas XI, saya pun dipercayai oleh guru untuk mewakili olimpiade FISIKA tingkat SMA. Meskipun sempat merasa kecewa ketika mendapatkan hasil yang tidak memuaskan, tetapi saya tetap bersyukur. Dalam rangka memperingati hari ulang tahun sekolah saya juga mencoba untuk mengikuti lomba KIR di sekolah dan bisa mendapatkan hasil yang cukup memuaskan. Lagi-lagi Pertanyaan yang Sama Suatu ketika, saya bersama teman pergi ke kantin untuk sekedar beli makanan kecil. Dan sepulangnya dari kantin, tiba-tiba saya dipanggil oleh kepala sekolah untuk ke ruangannya. Dalam otak saya berfikir ada apa gerangan sampai dipanggil oleh kepala sekolah? Sebelum saya berhenti berfikir, kepala sekolah pun langsung menyapa dengan ramah dan dengan senyumnya yang khas. Tanpa basa basi beliau pun bertanya, “Sebelumnya maaf ya, Em. Kenapa kamu tidak mencoba untuk operasi?” Suaranya sangat pelan, mungkin takut saya tersinggung. Dan “deg..” Lagi-lagi pertanyaan itu. Jantungku serasa berhenti sejenak. Saya pun langsung menjawab dengan singkat “Tidak, Pak”. Kepala sekolah menyambung, “Kenapa? Apa kamu takut?” jelasnya. “Bukan masalah takut nggaknya, Pak. Memang saya nggak mau operasi. Saya sudah sangat bersyukur dengan apa yang diberikan Allah untuk saya. Masih banyak orang yang lebih menderita dari saya. Saya tidak mau mengubah nikmat yang sudah Tuhan berikan kepada saya. Ini memang sudah takdirnya, Pak.” Lalu Kepala sekolah saya menyambung dengan sangat lembut dan penuh pengertian, “Ya kalau kamu operasi, itu bukan mengubah nikmat Tuhan, tetapi hanya memperbaiki saja supaya menjadi lebih baik. Ibarat baju yang kotor dicuci biar bersih. Bukan mengubah nikmat Tuhan,” jelasnya. Saya hanya diam. Memang saya tahu itu bukan mengubah nikmat Tuhan, tetapi tidak tahu mengapa hati kecil saya mengatakan “TIDAK!!” Ketika itu saya tetap bersikeras untuk tidak operasi meskipun kepala sekolah tetap meyakinkan saya. Dan pada akhirnya beliau menjabat tangan saya seraya berkata, “Iya nggak apa-apa. Saya salut sama kamu. Tetap semangat ya.” Saya mencoba untuk tersenyum, menahan air mata yang ingin tumpah. Saya segera permisi untuk kembali ke kelas. Bahkan, entah mengapa sampai sekarang hati kecil saya tetap berkata tidak untuk operasi, meski selalu ada tawaran untuk operasi dari berbagai pihak. Pernah saya menangis semalaman meratapi hidup saya. Sampai menyalahkan Tuhan kerena putus asa. Saya tahu itu salah. Tak seharusnya menyalahkan Tuhan. Itu adalah hal yang terbodoh yang

Meskipun Berbeda tetapi Saya Bisa Read More »

Keajaiban dari Tuhan melalui AAT

MUKJIZAT selalu datang bila kita percaya kepada Tuhan. Itulah yang saya dapatkan, mukjizat dari Tuhan yang datang melalui Anak-Anak Terang (AAT) kepada saya. Berikut ini, saya akan sharing kepada teman-teman sekalian tentang pengalaman saya. Ketika saya duduk di bangku SMA, setiap tahun, sekolah saya mengadakan pameran pendidikan. Banyak perguruan tinggi yang ikut serta dalam pameran tersebut. banyak sekali stand-stand yang menawarkan dan mempresentasikan perguruan tinggi mereka. Teman-teman saya sangat antusias setiap tahunnya ketika diadakan pameran tersebut, karena memang latar belakang keluarga mereka yang berkecukupan sehingga membuat mereka yakin untuk memilih ke mana mereka akan melanjutkan studi mereka. Sedangkan saya hanya mengunjungi beberapa stand saja, karena saat itu ada tugas guru untuk menuliskan laporan tentang perguruan tinggi tersebut. Hingga akhirnya di tahun ketiga saya bersekolah dan hendak lulus, ketika pameran pendidikan itu diadakan kembali, dengan perasaan senang saya melihat teman-teman saya yang didampingi orang tua mereka untuk mendaftarkan diri ke sebuah perguruan yang mereka pilih. Namun di saat yang bersamaan pula, saya sedih hanya bisa melihat kegembiraan dan keantusiasan mereka karena keterbatasan biaya yang saya alami. Saya, Maria Elisabeth Roberta, kebetulan saya lahir di keluarga yang berkecukupan. Orang tua saya bekerja di bidang tekstil (batik) di bawah bimbingan nenek saya. Kemudian di tahun 2006 ketika itu saya duduk di bangku 6 SD, nenek saya meninggal dunia dikarenakan kanker lambung yang ia derita selama satu tahun. Biaya yang dikeluarkan untuk pengobatan nenek saya tidaklah sedikit, sehingga ayah saya harus berhutang kepada bank dengan jaminan rumah kami di Pekalongan. Dan pada akhirnya rumah kami disita oleh bank, di tahun yang sama ketika nenek saya meninggal. Masa itu adalah masa tersulit yang tengah dihadapi oleh ayah saya karena setelah kehilangan ibunya ia juga harus kehilangan rumah yang telah Ia tinggali selama 19 tahun. Akhirnya, kami sekeluarga pindah ke Jakarta. Ketika di Jakarta, ayah saya tidak memiliki pekerjaan. Ia berniat membuka usaha lain selain batik, tetapi segala yang Ia lakukan hanyalah sebuah niat yang tak tersalurkan. Sehingga selama 3 tahun kami tinggal di Jakarta, ayah kami tidak bekerja dan hanya mengandalkan aset yang Ia miliki. Akhirnya seluruh aset yang ayah saya miliki kini habis dan ayah pun berhutang pada saudara dari ibu saya. Ketika tahun 2009, ayah saya memutuskan untuk kembali ke Pekalongan untuk merintis batik kembali. Seketika itu juga saya dan keluarga saya kembali ke Pekalongan. Saya dan keluarga saya mengontrak di sebuah rumah kecil di Pekalongan yang setiap tahunnya selalu terkena banjir ketika musim hujan. Seiring berjalannya waktu, ketika Ayah saya merintis batik kembali, Ia mengalami kerugian yang banyak sekali sehingga mengharuskan ayah berhutang lebih banyak lagi kepada saudara dan teman-temannya. Dan akhirnya pekerjaan apapun Ayah lakoni dan menyingkirkan ego dan gengsinya. Dari menjadi supir sampai membantu tetangga kami pindahan rumah. Apapun akan Ayah kerjakan asalkan dapat menghasilkan uang, sehingga setiap bulannya Ayah kami tidak memiliki penghasilan tetap. Kakak saya pun akhirnya menunda kuliahnya selama 2 tahun untuk bekerja dan mengumpulkan uang untuk biaya kuliahnya. Ketika kakak saya bisa kuliah, Ia beberapa kali dipanggil oleh Kantor Keuangan UAJY karena tunggakan yang Ia miliki. Hingga akhirnya pada semester 4, Ia direkomendasikan oleh Pak Agus Triyogo, Kepala Kantor Keuangan UAJY untuk bergabung dengan Yayasan Anak-Anak Terang (AAT) Indonesia. Akhirnya Saya Menjadi Seorang Mahasiswi Ketika saya lulus di tahun 2012, karena saya tidak bisa melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi, saya bekerja. Awalnya saya bekerja sebagai Staff Administrasi di salah satu toko elektronik di Pekalongan. Di pertengahan tahun 2013, saya ditawari oleh ayah saya untuk bekerja di Jakarta. Karena gaji yang lebih tinggi, saya pun pindah ke Jakarta. Namun karena tekanan dari atasan saya yang begitu besar, akhirnya saya memutuskan untuk mengundurkan diri (resign) dan kembali ke Pekalongan. Sesampainya saya di Pekalongan, saya diajak kakak saya untuk mencoba mengajukan beasiswa AAT. Tuhan memang selalu datang di waktu yang tepat! Ia tidak pernah terlambat dan selalu menolong hambanya tepat pada saat saya menghadapi keputusasaan bagaimana saya akan melanjutkan studi saya. Saat itu setelah mendengarkan ajakan Kakak, saya langsung ke Jogja dan membawa berkas-berkas yang saya butuhkan untuk mendaftarkan diri ke beasiswa AAT. Besar harapan saya agar dapat lolos dalam seleksi AAT. Saya terus berdoa dan memohon kepada Tuhan agar saya dapat lolos dan mendapatkan beasiswa dari AAT, agar saya dapat mewujudkan cita-cita saya dan dapat membantu perekonomian keluarga saya bila kelak saya lulus nanti. Dan keajaiban pun terjadi, ternyata saya lulus untuk mendapatkan beasiswa AAT. AAT akhirnya membantu saya dalam melunasi tunggakan yang diperlukan agar saya dapat masuk ke universitas yang saya kehendaki. Pada bulan Agustus 2013, saya resmi menjadi mahasiswi di Sekolah Tinggi Pariwisata Ambarrukmo (STIPRAM) dan mengambil jurusan D3 Perhotelan. Walaupun saya terpaksa melewatkan masa OSPEK atau pengenalan kampus di bulan Juli, tapi saya sangat senang sekali. Dengan bantuan yang diberikan oleh AAT, saya dapat kuliah. Selain menjadi mahasiswi di STIPRAM, saya juga aktif dalam UKM Pastry setiap hari Selasa dan kegiatan senam pagi setiap hari Jumat. Tidak hanya kegiatan kampus, kegiatan lain yang saya lakukan yaitu kegiatan luar kampus, seperti mengikuti casual-casual (pekerjaan freelance di hotel) beberapa kali, tetapi tidak sering karena terkadang jadwal kuliah dengan casual sering kali bentrok. Jadi saya hanya mengikuti casual di saat saya tidak ada kelas saja. Dan juga menjadi pagar ayu di event organizer di Solo di akhir minggunya. Menjadi Staff Admin di AAT Dengan mendapatkan beasiswa dari AAT, konsekensi yang saya terima adalah selain belajar dengan rajin, saya juga harus menjadi Staff Administrasi atau biasa disebut sebagai Pendamping Komunitas (PK) di AAT. Saya sama sekali tidak terbebani dengan hal ini, karena saya juga ingin berbuat sesuatu kepada AAT yang sudah mau membantu saya dengan beasiswa yang diberikan agar saya dapat kuliah. Ketika pertama kali menjadi Staff Administrasi di AAT, awal mulanya saya cukup bingung dan beberapa kali melakukan kesalahan saat input data. Beruntung kakak-kakak pembimbing dengan penuh kesabaran selalu mengingatkan saya dan memberikan dukungan kepada saya agar saya tidak down dengan kebingungan yang saya alami. Sekitar tanggal 11 November 2013, saya bersama kakak PK lain mengadakan survei ke SMP Kanisius Gayam. Di sana banyak anak-anak yang latar belakang keluarganya juga kurang mampu, bahkan jauh di bawah saya. Ada

Keajaiban dari Tuhan melalui AAT Read More »

Bantuan Komputer untuk SMK Santo Yusuf Mejayan Madiun

Minggu, 5 Januari 2014, Yayasan Anak-Anak Terang (AAT) Indonesia memberikan bantuan 4 unit komputer dan 1 unit printer untuk SMK Santo Yusuf Mejayan Madiun. Komputer dan printer tersebut dibawa dari Semarang oleh Om Adhi, salah satu relawan AAT dari Semarang. Bantuan komputer diberikan oleh AAT karena kondisi komputer di SMK Santo Yusuf Mejayan sudah sangat memprihatinkan. Dari 5 komputer yang ada, hanya satu yang berfungsi dengan baik. Itu pun processornya masih Pentium III. Kondisi komputer yang ada saat ini menghambat proses pengajaran komputer di sekolah. Komputer yang disumbangkan adalah komputer yang bertipe Nettop (Netbook Desktop) dengan processor Dual Core AMD E350, RAM DDR3 4GB, Harddisk 320 GB, dan dengan monitor LED 16 AOC sebanyak 4 unit. Komputer ini bisa dibilang komputer canggih dengan kinerja desain grafis platform netbook. Meskipun canggih, komputer ini tidak boros listrik dan lebih ringkas karena bentuknya yang simpel. Karena pertimbangan itulah AAT memilih mini PC tersebut. Selain itu, AAT juga menyumbangkan 1 photo printer inkjet. Printer tersebut mampu mencetak dengan kecepatan hingga 4,8 ppm. Diharapkan, untuk kedepannya siswa dapat memanfaatkan komputer dan printer itu dengan semaksimal mungkin. Sebelum menuju ke Sekolah, Om Adhi singgah ke Universitas Katolik Widya Mandala Madiun untuk menemui teman lamanya yaitu Pak Anton. Pak Anton merupakan salah satu dosen Fakultas Psikologi di Universitas Widya Mandala Madiun. Dan ternyata sebelumnya, Om Adhi sudah pernah ke kampus, namun sudah bertahun-tahun lamanya, yaitu sekitar 13 tahun yang lalu. Setelah sedikit ngobrol dengan Pak Anton dan beberapa Pendamping Komunitas (PK) Madiun, Om Adhi berangkat ke sekolah SMK Santo Yusuf Mejayan dengan ditemani 3 PK yaitu Tiara, Rike, dan Novi Bria, serta 1 dosen Universitas Katolik Widya Mandala Madiun yaitu Pak Anton. Sesampainya di SMK Santo Yusuf Mejayan, Om Adhi dan kawan-kawan disambut oleh Pak Joko, Kepala Sekolah SMK Santo Yusuf Mejayan. Pak Joko hanya ditemani satu karyawan karena waktu itu hari Minggu. Mereka pun dipersilahkan masuk ke kantor. Setelah menyampaikan maksud kedatangan kami dan serah terima bantuan komputer dan printer, Pak Joko mengucapkan banyak terima kasih. Menurut Pak Joko, bantuan komputer dan printer itu sangat membantu dalam kegiatan pengajaran komputer di SMK Santo Yusuf Mejayan. Bantuan komputer seperti itu tidak hanya diberikan pada satu sekolah saja. Di tahun 2014 ini, AAT akan melanjutkan program bantuan komputer ini untuk sekolah yang benar-benar membutuhkan. Harapannya, dengan adanya komputer-komputer itu pengajaran komputer di sekolah tidak akan terhambat. Dan siswa dapat mengembangkan kreatifitasnya melalui bantuan komputer itu.   Rike Kotikhah Staff Admin AAT Madiun   [qrcode content=”https://aat.or.id/wawancara-dan-survei-smp-kanisius-raden-patah” size=”175″]  

Bantuan Komputer untuk SMK Santo Yusuf Mejayan Madiun Read More »

Wawancara dan Survei SMP Kanisius Raden Patah

Minggu, 17 November 2013 adalah hari yang berkesan dan bersejarah buat saya khususnya. Tadi pagi, tepatnya jam 10.00, kami tim Pendamping Komunitas Anak-Anak Terang (PK AAT) mengadakan survei sekolah dan wawancara calon anak asuh AAT di SMP Kanisius Raden Patah Semarang yang terletak di Jln. Raden Patah No. 163, Semarang. Ketika sampai di sana, kami disambut hangat oleh guru-guru SMP Kanisius Raden Patah Semarang. Setelah presentasi tentang AAT di depan calon anak asuh selesai, kami membuat permainan kecil yaitu mengadakan kuis yang seru lalu dilanjutkan menyanyikan Lagu AAT bersama-sama. Setelah itu, kami pun mulai mewawancarai calon Anak Asuh (AA) satu per satu. Dari mereka yang saya temui, saya menemukan banyak karakter dan sifat, tapi di sisi lain ini adalah hal yang sangat menyenangkan bagi saya karena dapat mengenal latar belakang mereka. Dari sekian banyak latar belakang dan latar kehidupan mereka yang saya ketahui, ada salah satu anak yang memiliki cerita kehidupan yang menyentuh hati dan nurani saya yang amat mendalam. Anak ini merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Kondisi keluarga yang tidak harmonis dan memprihatinkan tengah dirasakan seorang gadis kecil yang duduk di kelas 3 SMP Raden Patah ini. Ibunya meninggal kira-kira 2 tahun lalu dan di saat itu juga ayahnya pun pergi entah kemana, tanpa pamit, dan tanpa kabar. Betapa mirisnya hati saya ketika saya mendengar cerita gadis kecil yang lugu itu. Seorang ayah yang seharusnya berkewajiban menafkahi, menjaga, dan mengayomi anak-anaknya malah pergi tanpa ada kabar sampai sekarang. Anak itu saat ini tinggal bersama neneknya. Dia dan adiknya dinafkahi oleh neneknya yang berjualan kecil-kecilan di depan rumahnya. Seorang nenek yang harusnya sudah tidak bekerja lagi tapi tetap berusaha mencari nafkah demi kedua cucunya yang masih bersekolah. Dan mirisnya lagi anak ini di sekolah belum mendapat beasiswa apapun yang membantu meringankan biaya SPP-nya. Semakin tersentuh sekali hati saya mendengarnya. Setelah mendengar cerita anak ini saya berfikir bahwa dia layak mendapat beasiswa dari AAT.   Cerita selanjutnya dari gadis yang duduk di bangku kelas 3 SMP juga, dia anak ke 2 dari 4 bersaudara. Orangtuanya telah bercerai dan yang menafkahi keluarganya adalah ibunya dengan berjualan di dekat kantor POS dan menyetor-nyetorkan nasi ke sekolah adiknya. Tanggungan ibunya adalah 3 anak yang masih bersekolah dan 1 anak yang hanya lulusan SMP. Saat ini anak itu bekerja baru sebulan. Ia melakukannya karena orangtuanya bercerai dan ayahnya tidak menafkahinya lagi. Ibunya pun harus banting tulang untuk menafkahi anak-anaknya dengan segala cara. Mendengar cerita ini saya tersentuh kembali dan sangat miris hati saya. Anak ini layak juga mendapat beasiswa AAT. Cerita terakhir yang menyentuh yaitu cerita seorang anak yang harus hidup tanpa kasih sayang kedua orang tuanya. Jika anak lain, masih ditemani kedua orang tuanya saat belajar, dia tidak dapat merasakannya lagi. Kedua orang tuanya telah meninggal. Sang ayah meninggal sejak dia kecil, sedangkan ibunya, meninggal ketika dia baru duduk di bangku SMP. Yang mengurusnya sekarang adalah kakaknya. Meski memiliki 2 kakak, itu tidak menjamin dia mendapatkan kasih sayang sepenuhnya. Karena kakaknya sendiri telah berkeluarga. Di samping itu, kakaknya tidak bisa membuatkan makanan untuknya karena berangkat kerjanya pagi-pagi dan pulangnya malam hari. Terlebih lagi uang saku setiap harinya hanya Rp 5.000, itu sudah termasuk uang untuk naik angkot pulang dan uang makan selama sehari. Mungkin kalau saya di posisinya, saya hanya bersedih, tidak dapat lagi tersenyum, seakan-akan dunia telah menelan semua kegembiraan yang saya miliki. Namun anak ini berbeda, dia tetap bersemangat untuk tetap bersekolah dan tetap tersenyum, seperti tidak ada beban di pikirannya. Semangat hidupnya tetap membara meski telah dipadamkan berulang kali. Namun semua pasti ada batasnya, kita tidak tahu, sampai sejauh mana kekuatannya. Semoga ada yang tergerak hati untuk membantunya. Tidak hanya membantu dalam finansial, namun juga kasih sayang. Saya tidak dapat membayangkan bila saya berada di posisi anak ini. Jadi bersyukurlah kita yang sudah diberi kenikmatan hidup oleh Tuhan. Janganlah kalian menyia-nyiakannya. Tetaplah bersyukur bagi semuanya.   Fransisca Jenesia Staff Admin AAT Semarang   [qrcode content=”https://aat.or.id/wawancara-dan-survei-smp-kanisius-raden-patah” size=”175″]  

Wawancara dan Survei SMP Kanisius Raden Patah Read More »

Kunjungan ke SMP Yoannes XXIII

Pagi menjelang siang, sekitar pukul 09.45 WIB, kami berempat para Pendamping Komunitas Anak-Anak Terang (PK AAT) Semarang mengunjungi SMP Yoannes XXIII. Saya, Johanes, Pieter, dan Lukas sampai di tujuan sekitar pukul 10.00 WIB. Di sana kami disambut oleh Bapak Rochadi selaku Penanggung Jawab (PJ) di SMP Yoannes XIII. Kami pun langsung menuju ke tempat kelas untuk melakukan presentasi mengenai AAT kepada calon anak asuh. Waktu itu, saya yang mempresentasikan mengenai AAT dibantu oleh Pieter sebagai moderator. Saat saya mempresentasikan mengenai AAT, calon anak asuh itu duduk dengan manis sambil mendengarkan dan berusaha memahami betul apa itu AAT. Cerita tentang Salah Satu Calon Anak Asuh Setelah selesai presentasi, kami segera mewawancarai para calon anak asuh. Dan saya mendapati salah satu calon anak asuh yang menurut saya memang pantas untuk dibantu. Anak tersebut menceritakan semua kondisi keluarganya. Keluarganya numpang di rumah teman ayahnya. Ayahnya sudah tidak bekerja karena sakit, sedangkan ibunya bekerja sebagai buruh (mencuci pakaian dan menyetrika). Ternyata ayahnya mengalami penyakit gagal ginjal yang tiap minggunya harus cuci darah sebanyak dua kali. Padahal ibunya hanya memiliki penghasilan kurang dari Rp 500.000,-. Ditambah lagi, dia dan adiknya masih sekolah dan harus membayar uang sekolah. Dia merupakan anak ke 2 dari 3 bersaudara. Kakaknya sudah tamat kuliah dan yang membiayai adalah pak dhenya. Sedangkan dia dengan adiknya dibiayai ibunya.   Setiap kali berangkat ke sekolah, dia diberi uang saku Rp 5.000,- di mana yang Rp 4.000,- untuk ongkos transportasi dan Rp 1.000,- untuk jajan. Dia mengerti kondisi keuangan keluarganya bisa dibilang sangat rendah, sehingga di sekolah dia tidak makan sama sekali. Jika dia merasa lapar, dia hanya beli air minum gelas untuk mengenyangkan perutnya. Ketika saya menanyakan kenapa tidak membawa bekal saja, anak itu menjawab tidak karena dia tidak mau merepotkan ibunya. Apalagi kalau masak sendiri, dia bisa telat masuk sekolah. Dia sadar bahwa ibunya juga harus mengurusi ayahnya yang sedang sakit. Saya pernah menanyakan bagaimana ibunya bisa membayar biaya rumah sakit kalau ayahnya mau cuci darah. Dia pun menjawab kalau ibunya meminjam uang ke tetangga-tetangga. Tiap satu kali cuci darah, ibunya harus mengeluarkan uang sekitar kurang lebih Rp 600.000,- Pernah dua kali ia belum bayar SPP ketika kelas VII dan saat ini juga belum bayar SPP bulan November. Meskipun begitu, dia memiliki cita-cita yang tinggi yaitu ingin menjadi pemain basket internasional karena dia suka sekali bermain basket. Selain itu, ia juga pernah mendapatkan suatu penghargaan berupa sertifikat bela diri karena dia sudah sampai di sabuk orange. Rapat Pleno Setelah selesai wawancara semua anak, kami mengadakan rapat pleno, di mana teman-teman saya menceritakan apa saja informasi yang didapatkan pada waktu wawancara tadi. Saya mendengarkan cerita dari pengalaman teman saya saat mewawancarai calon anak tersebut. Ada yang menceritakan tentang perilaku orang tuanya yang marah-marah karena agama. Saya pun heran mengapa karena masalah agama mereka selalu bertengkar? Padahal sebelum menikah pasti mereka setuju tentang perbedaan agama yang mereka anut. Saya pun menanyakan ke teman saya yang menceritakan cerita tersebut, ”Lah trus bagaimana dengan anak ini? Dia mengikuti agama ayahnya apa ibunya? Dan kenapa ayahnya dan ibunya sering bertengkar cuma gara-gara agama?” “Ya agama anak itu ikut dengan ibunya. Tidak hanya soal agama, mereka juga sering bertengkar karena masalah ekonomi,” jawab temanku itu. Setelah itu temen saya yang lain menceritakan hasil wawancaranya tentang salah satu anak yang nakalnya bukan main. Padahal kondisi keluarganya juga tidak terlalu mewah. Ayahnya bekerja sebagai tukang tambal ban dan ibunya sebagai ibu rumah tangga. Kadang-kadang ia juga sering tidak masuk sekolah dan main ke warnet, tetapi orangtuanya tidak tahu kalau anak itu kadang-kadang tidak masuk sekolah. Namun anak ini pernah mendapat prestasi yaitu juara 3 lomba sepak bola di UNDIP pada saat masih di SD. Saya pun bilang kepada penanggung jawabnya kalau seandainya anak ini mendapatkan beasiswa dari AAT, anak ini harus berubah menjadi baik dan tidak akan bolos lagi. Jika kelakuannya masih seperti itu, beasiswanya nanti bisa dicabut. Ada juga cerita tentang orang tua calon anak asuh yang sering bertengkar karena ibunya sering berbohong. Namun sayangnya bukan saya yang mewawancarai melainkan teman saya. Saya hanya mendengar sekilas mengenai anak tersebut kalau ayahnya itu bekerja sebagai tukang pembuat saluran air minum dan ibunya sebagai ibu rumah tangga. Kadang-kadang ibunya jualan nasi pecel. Ayahnya bekerja jika ada panggilan, sedangkan kalau tidak ada panggilan ayahnya tidak bekerja. Dia anak ke-4 dari 4 bersaudara, kakak pertama sudah bekerja, kakak ke-2 masih kuliah, dan yang ke-3 masih sekolah kelas 3 SMK. Dia memiliki prestasi yaitu mendapat peringkat 1 dan juara lomba pendidikan. Ia memiliki hobi berenang dan memiliki cita-cita menjadi seorang pastur. Dari cerita-cerita anak asuh tersebut, banyak yang mempunyai kesamaan dengan kondisi keluarga saya. Sehingga setiap saya mendengarkan cerita tentang anak-anak tersebut, saya langsung ingat akan kenangan pahit yang pernah saya alami. Orang tua saya yang sering bertengkar gara-gara masalah ekonomi dan ayah saya yang dulu juga pernah menderita penyakit. Namun, kenangan-kenangan itu membuat saya bertekad untuk bisa mengubah kondisi keluarga saya agar lebih baik lagi.   Metodius Billy Sentosa Staff Admin AAT Semarang   [qrcode content=”https://aat.or.id/kunjungan-ke-smp-yoannes-xxiii” size=”175″]  

Kunjungan ke SMP Yoannes XXIII Read More »